Suri dan Amarilis mempersiapkan segala sesuatunya. Alibi adalah hal utama yang mereka lakukan. Dengan sedikit rasa janggal, Suri berpamitan kepada ibunya, mengatakan ia akan bermain dengan Amarilis di bukit. Ibu Suri pun mempersiapkan sandwich untuk makan siang mereka, dan berpesan agar mereka tidak pulang larut karena salju biasanya turun saat sore hari.
Suri memeluk ibunya erat-erat. Ia tahu, ia mungkin saja tidak akan bertemu dengan ibunya lagi.
"Aku mencintaimu, Mom" Bisik Suri di telinga ibunya. Berharap ia masih bisa mengucapkan kata-kata itu lagi nanti.
"Ayo pergi" Kata Amarilis. Mereka pun berjalan menyusuri jalan setapak menuju perbatasan desa. Terlalu mencolok kalau mereka harus memakai sapu terbang. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah. Suri terus berhitung di dalam hati. Tepat di langkah ke dua ribu Suri berhenti melangkah. Ia terdiam sesaat.
"Suri? Kenapa berhenti? Jangan bilang kau capek! Ini bahkan masih di perbatasan" Tanya Amarilis.
"Amarilis... Aku mau... Eh, maksudku..." Suri terbata.
"Apa? Kau lapar?" Tanya Amarilis menghampiri Suri.
"Bagaimana kalau aku... Ugh! Sudahlah lupakan saja!" Suri kemudian melanjutkan langkahnya. Dalam hati Amarilis mengerti isi kepala Suri tanpa ia harus mengatakannya. Ia tahu hati sahabatnya sedang goyah. Ia tau Suri sangat mencintai ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Ia tahu Suri pasti tidak ingin meninggalkan ibunya.
"Malam ini kita berkemah saja" Usul Amarilis. Ia pun menghentakkan tongkat sihirnya, dan sepasang tenda muncul seketika. Tenda yang sebelumnya memang sudah dibawanya dan disimpan dalam ransel dengan mantera pengecil. Salju mulai turun saat matahari terbenam, titik-titik putih nun halus jatuh perlahan. Membuat cuaca makin terasa dingin.
Setelah menyantap potongan sandwich yang terakhir, sandwich buatan ibu Suri, mereka memutuskan untuk langsung tidur. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Suri di pagi harinya. Amarilispun sengaja membiarkannya. Ia ingin tahu seberapa jauh keteguhan hati Suri untuk mempelajari sihir tingkat atas. Hal yang selama ini didengungkannya. Merekapun melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk pergi ke Androd, sebuah kota besar di seberang pulau. Di sana mereka bisa dengan mudahnya berbaur dengan masyarakat lokal.
"Nama" Gumam Suri.
"Ya?" Tanya Amarilis menegaskan.
"Kita butuh nama baru kan?" Suri menyimpulkan.
"Oh, itu tidak perlu. Tidak akan ada yang mengenal kita di sana" Jawab Amarilis. "Kita kan sudah berubah drastis" Lanjutnya.
"Benar juga" Kata Suri.
Tanpa sepengetahuan mereka, ada seseorang yang mengikuti mereka sejak perbatasan. Memanterai dirinya hingga berwujud seekor burung pipit berwarna gelap.
Tak lain tak bukan, ialah Master Zaida. Ya, Master Zaida memang mengetahui rencana Suri dan Amarilis sejak awal. Ia memalsukan daftar bahan-bahan ramuan penukar jasad milik Amarilis, sehingga, ramuan yang mereka minum sebenarnya hanya ramuan penyamaran biasa. Ia ingin tahu sampai sejauh apa Suri bisa bertindak. Dan tanpa sepengetahuan Master Zaida dan Suri, sebenarnya Amarilis telah menyadari keberadaan burung pipit itu sejak mereka bermalam. Ia yakin itu salah satu penjaga keamanan setempat, namun Amarilis masih belum tahu pasti siapa itu. Menurut Amarilis, wajar saja orang asing seperti mereka diawasi oleh penjaga keamanan setempat. Asalkan mereka bisa bersikap wajar, pasti tak lama lagi burung itu akan pergi. Cara untuk bersikap wajar adalah, dengan tidak memberi tahu Suri.
Setelah berjalan menembus hutan lebat seharian, mereka sampai di tepi selat yang membatasi Xam, kampung halaman mereka dengan Androduic, tempat tujuan mereka. Mereka sedang menunggu perahu yang akan membawa mereka ke Androd, ibu kota Androduic. Suri telah membuat dokumen kependudukan mereka. Mudah saja bagi Suri, dengan mencuri peralatan kerja ayahnya, ia dapat membuat dokumen asli dengan waktu singkat.
"Aku membuat dokumen juga untukmu, mulai sekarang kita saudara" Kata Suri sambil menyerahkan kartu milik Amarilis. "Well, aku memang sudah menganggapmu saudara sih," Lanjut Suri sambil terkekeh yang dibalas senyuman oleh Amarilis. Amarilis pun juga sudah menganggap Suri sebagai kakaknya sejak lama.
Setelah menaiki perahu itu, Amarilis memalingkan wajahnya ke arah daratan Xam. Memastikan apakah burung pipit itu masih di sana. Ternyata sudah tidak ada. Ia lega ternyata gerak-geriknya cukup normal untuk ukuran penjaga keamanan.
"Ada apa?" Tanya Suri.
"Tidak, tadi aku lihat burung pipit cantik sekali" Jawab Amarilis.
Burung pipit itu memang pergi, namun bukan untuk meninggalkan mereka, melainkan telah berganti wujud menjadi seekor ikan, berenang bersama kapal yang mereka tumpangi tanpa mereka sadari.
:to be continued:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar