Jumat, 18 Desember 2009

Adegan Memorable di New Moon

Image Hosted by ImageShack.us
Oke, mungkin agak telat ya ngebahas ini. Tapi setelah pengalaman tiga kali nonton New Moon, (Twilight gua nonton empat kali) gua menyimpulkan beberapa adegan yang memang memorable banget buat gua.

1. Adegan Bella tenggelam di Laut trus Bayangan Edward muncul.
Entah kenapa ya, ini adalah adegan favorit gua di New Moon. Sumpah romantis banget!!!!!!! Bayangan Edward muncul dari arah yang berlawanan dengan tubuh Bella pas dia tepar—pingsan di dalem air. Mungkin karena efek di dalem air plus slow-motionnya yang bikin gua bergetar gimaannnaaaa gitu (halah).

2. Adegan Nonton Barengnya Jacob-Bella-Mike.
Sumpah! Gua ngga nyangka banget kalo scene ini bakal jadi kocak! Saat nonton, Bella duduk diantara Mike dan Jacob, kedua-duanya ngarep banget bisa megang tangan Bella.

3. Adegan Jacob nolong Bella yang Jatuh dari Motor.
Adegan ini sempet bikin jantung gue berhenti berdetak sepersekiandetik. Oh my gosh. Jacob membersihkan darah Bella dengan membuka kausnya. Dear, God. Badannya……………………………………

4. Adegan Bella dan Edward Lari-lari di Hutan
Seisi gedung bioskop—cewe maupun cowo—termasuk gua juga, bersorak: “Jiiiiaaaaahhhhh….. India-he banget!!” Adegan ini berasal dari penerawangan Alice untuk masa depan Bella sebagai seorang Vampire. Digambarkan dengan Bella dan Edward berkejaran di hutan dengan kulit bella yang ‘blink-blink’ tersorot matahari dan kalo diperhatikan, warna mata Bella juga jadi merah.

5. Adegan Bella Loncat dari Tebing.
Setelah liat adegan ini gua langsung tertantang buat terjun bebas juga!!!! Hanya ada satu kendala sebenernya, untuk gua tidak melakukan hal yang sangat menantang tersebut; ngga akan ada cowok seksi yang nyelametin gua kalo gua kelelep. Ugh!

Itu aja kayaknya yang paling membuat gua kecanduan untuk nonton lagi dan lagi. Dan kekurangan…..
Film se-keren apapun juga pasti ada kelemahannya, begitu juga New Moon. Dan menurut gua;

1. Subtitle Bahasa Indonesianya SSUMPAHHH JELEEEKKK BANGEETT. Udah tahu bakalan lebih mirip ke novel, harusnya yang bikin sub-nya kerja sama atau konsultasi lah palingg ngga sama penerjemah novelnya. Huufff… gua sampe pebgen nindih itu subtitle rasanya. Kalo di suruh milih, lebih baik ngga ada sub-nya atau pake sub Inggris aja -.-. gara-gara sub yang jelek, ada beberapa adegan yang seharusnya menggigit jadi adem ayem, dan jokes-jokes jadi ga lucu. Aih!

2. Ngga Ada Adegan Yang Paling Gua Tunggu!!!!! AAAAAARRRGGHHH!!! Adegan yang gua maksud adalah adegan negosiasinya Bella yang minta jadi Vampire ke Edward yang berlangsung dalam kamarnya Bella (dalam novel). Padahal disitu rommmaannnnttiisssssss abissss pastinya -.- soalnya ada dialog Edward yang; “Before you Bella… bla bla bla” ituuuuu!!!! Aaaahhhhh!!!!

3. New Moon (film) kelewat maksaain untuk sedemikian rupa sama dengan novelnya. Ngga seperti Twilight yang menurut gua, ANJRIT KOK BEDA SAMA NOVELNYA????? New Moon cenderung memaksakan diri mengadopsi adegan di novel, yang jadinya, menurut gua, rada kurang nyambung. Kenapa? Yah lo bayangin aja novel setebel itu kalo di-film-in seutuhnya???? Harusnya di buat kayak Twilight (film) aja, jadi, yang belum pernah baca novelnya bisa tetep nyambung.

4. Clan Volturi di New Moon kok Gak Serem ya?
Serem yang gua maksud adalah 'kesan' seram gitu,,, seperti yang gua dapatkan di Novel. hhmmm... gimana mau deg-degan pas Edward menghadap Volturi (pas baca novelnya gua deg-degan tapi kok filmnya.....) kalo kesan 'angker'nya nga nampak?

5. Jacobnya Kelewat Ganteng.
Kalo di nove, gua terlanjur men-cap Jacob itu reseh, nyebelin, tukang ikut campur bla bla bla... walaupun di Breaking Dawn (buku ke empat) akhirnya gua malah jadi suka banget sama Jacob. nah, di filmnya, gua sungguh sungguh nggak sampai hati membenci Jacob. lo bayangnin aja, yang ada malah kesian. "Ya Allah, kok cowok se-hot itu dianggurin. ckck,"

Oke, segitu aja deh bahasan tentang New Moon. Walau bagaimanapun, gua akan dengan TIDAK SABAR menunggu kelanjutan ceritanya di Eclipse yang bakal tayang sekitar Juni tahun depan. AAAAAHHHH!!!!! KENAPA SIH JUNI BULAN KE ENAAAMMM????

posting.

anjrit. udah lama juga gua ga posting blog orz
oke. malem ini gua bakal nulis kelanjutan fic gua dan (mungkin) menemukan sumthin buat gua post (hope).

aaarrggh! terlalu banyak yang terjadi di bulan ini, gua jadi pusing! -.-
semoga semangat gua untuk nulis ga hilang! :D

Minggu, 06 Desember 2009

tentang tokoh di fan fic gua.

gua menyebutkan banyak banget tokoh di fan fic gua.
semua tokoh penting untuk di bayangkan seperti apa sosoknya, umtuk mendukung penggambaran cerita. gua memberi kebebasan pembaca menciptakan wajah atau rupa dari tokoh yang gua gunakan dalam fic gua. tapi ada beberapa yang gua ingin lo membayangkan dengan tepat.

1. tokoh Daniel.
yap, saudara-saudara. Daniel yang gua maksud di sini jelas adalah Daniel Pedrosa si pembalap itu. so, gua pengen lo membayangkan tokoh Dani ini dengan wajah:
Image Hosted by ImageShack.us

2. tokoh Francesc.
oke. Francesc yang gua maksud di sini jelas si Francesc Fabregas ya. dan yang wajahnya seperti begini:
Image Hosted by ImageShack.us

oke dua tokoh ini aja kok yang gua ingin pembaca membayangkannya dengan benar.
untuk si tokoh utama, Carla, gua memberikan keluasan imajinasi pada pembaca untuk mengkhayalkan seperti apa sosok Carla yang ada di fic gua lewat deskripsi yang sering gua selipkan di tengah-tengah cerita. :)
Carla di fic gua, aslinya adalah Carla pacar Cesc Fabregas. kalo ada pembaca yang udah pernah ngeliat sosok Carla si pacar Cesc Fabregas sebelumnya, ya silakan saja menerapkan wajah dan perawakan Carla ke tokoh 'Carla' di fic gua.
untuk yang belum, silakan ciptakan sendiri tokoh 'Carla' oke?

begitu juga dengan tokoh-tokoh pendukung lainnya selain tiga tokoh utama ini. silakan bayangkan sendiri seperti apa mereka. tentunya mengikuti deskripsi yang gua berikan ya, jangan melenceng terlalu jauh supaya nyambung... hehehe....
segitu aja, thaks buat yang baca :))

Jumat, 04 Desember 2009

Fan Fiction: Another Love Story 5.

Kisah Para Hantu

Aku terbangun di pagi hari karena bunyi jam weker yang berdering kasar. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Memastikan aku sudah terbangun—terbebas dari mimpi anehku semalam. Semalam aku bermimpi sedang berada di sebuah ruangan gelap gulita. Aku mencoba mencari jalan keluar tapi tidak ada yang kutemukan. Aku sendirian dan mulai putus asa. Menggapai-gapai udara berharap menemukan pintu untuk keluar. Aku bersyukur jam weker yang bunyinya sama sekali tidak enak itu telah membangunkan aku sebelum aku mulai gila dalam mimpiku sendiri.
Aku berdiri dengan lunglai merambat di dinding. Padahal hanya mimpi aku terseok-seok di ruangan gelap, tapi sepertinya keseimbangan tubuhku memburuk. Kakiku lemas dan kepalaku pening. Tiba-tiba aku melihat Cesc muncul dihadapanku.
“Carla?” Sepertinya dia menyadari keadaanku. Aku jatuh terduduk di lantai dapur, dengan sebelah tangan memegangi kepalaku yang terasa aneh. Tanpa banyak bicara Cesc menggendongku kembali ke tempat tidur, merebahkanku disana. Walau tubuhnya dingin membeku, tapi aku bersyukur aku tak perlu berjalan untuk kembali ke kamarku.
“Sebentar, kuambilkan kau sesuatu” Katanya sambil menarik selimut dan meyelubungi tubuhku hingga sebatas leher. Sedetik kemudian dia lenyap. Aku memejamkan mata. Aku cukup sadar kalau aku sedang sakit. Tubuhku terasa tidak enak. Kepalaku pening bukan main, dan lidahku terasa pahit—seperti saat setelah meminum teh herbal yang pekat. Perutku jadi mual membayangkan teh herbal pekat yang dibuat ibuku musim semi lalu. Tak lama kemudian Cesc kembali sambil membawa secangkir susu cokelat panas, uap panas menguar dari cangkir yang dibawanya. Dia meyerahkan cangkirnya kepadaku. Dan saat aku meminumnya, susunya sudah tidak panas—hanya hangat suam-suam kuku. Aku tahu ini pasti karena suhu tubuhnya yang tidak normal. Tangannya yang seperti es pasti telah mendinginkan susu panas ini.
“Kau pucat sekali, Carla. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” Tanya Cesc dengan wajah bingung. Mungkin ini kali pertama dalam kehidupan hantunya ia berusan dengan manusia yang sedang sakit.
“Tidak, aku baik-baik saja” Jawabku. Keadaanku memang lebih baik setelah menghabiskan secangkir susu cokelat hangat. “Aku rasa aku melewatkan makan malam” Kataku menebak-nebak penyebab keadaanku. Dan itu benar, semalam aku tidak makan apapun karena sedang menghadiri pertmuan hantu yang pesertanya—mayoritas, tidak butuh makanan normal. Padahal aku tahu aku pasti langsung lemas kalau melewatkan jam makan. Tapi, siapa sih yang punya nafsu makan saat dikelilingi hantu-hantu? Aku bahkan tak merasa lapar—sama sekali, semalam.

Wajah Cesc masih terlihat cemas. Wajah hantunya yang pucat semakin memutih karena panik.
“Bisa buatkan aku secangkir lagi? Ini sangat membantu” Kataku sambil menyerahkan cangkir kosong dalam genggamanku kepadanya.
“Tentu” Kata Cesc sambil menghilang. Aku rasa aku sudah terbiasa dengan keganjilan ini. Saat dia tiba-tiba muncul atau sebaliknya. Tak sampai lima menit dia sudah kembali dengan susu coklat panas—yang langsung berubah hangat saat ia memberikannya padaku.
“Aku bisa menelepon dokter untukmu” Katanya saat aku meneguk susu buatannya. Hantu ternyata bisa membuat susu ya? Rasanya lumayan. Dia mau menelepon dokter? Oh, yang benar saja, memangnya apa yang akan dikatakannya pada dokter di ujung telepon? ‘halo, bisa datang ke flat-ku sekarang? Teman manusiaku sedang sakit, aku tidak tahu ia sakit apa, sudah lama sekali aku tidak sakit’. Aku meringgis membayangkannya
“Tidak usah, aku sudah jauh lebih baik. Trims, susu buatanmu enak” Kataku sambil menyeringai. Merebahkan diri ke tumpukan bantal-bantal. Aku menoleh kearah jam weker di meja di sebelah tempat tidurku. Jam setengah delapan.
“Tidak perlu pergi bekerja kalau kau masih lemah” Katanya. Mengingatkan aku bahwa pemilik toko tempatku bekerja adalah sepasang penyihir.
“Aku tidak apa-apa, aku hanya butuh semangkuk—atau dua, sereal. Aku lapar sekali” Jawabku. Setelah beberapa menit berbaring, aku membuka selimutku dan mencoba berdiri. Kali ini aku sudah dapat berdiri dengan benar. Ternyata dua cangkir susu cokelat hangat ampuh juga.
“Hati-hati” Saran Francesc saat aku berjalan menuju dapur. Saat aku sampai di dapur, ternyata Cesc sudah tiba di sana lebih dulu.
“Bisa tidak kau ajari aku berteleport seperti itu? Sepertinya simpel sekali untuk bepergian” Komentarku sambil menuang sereal ke sebuah mangkuk besar. Cesc tertawa mendengarnya.
“Ya, kau sudah sehat sepenuhnya” Katanya yakin saat melihatku melahap sereal-sereal dengan semangat. Aku sungguh sangat berterimakasih kepada para jenius di masa lalu yang telah menemukan sereal dan mengemasnya di kemasan karton yang simpel, sehingga orang-orang yang malas—atau tidak sempat memasak untuk sarapannya sendiri bisa tertolong.
“Kau mau? Ini enak” Tanyaku sambil menyodorkan kotak sereal kepadanya.
“Aku tidak makan, Carla” Jawabnya.
“Oh, ya. Tentu. Bodohnya aku. Maaf,” Aku merasa sangat tolol telah menawari hantu makanan manusia.
“Tidak masalah. Sudah lama sekali tidak ada yang menawariku sarapan” Katanya sambil tertawa. Ya, sudah seabad lebih. Itu memang benar-benar lama. Aku tersentak kaget saat menyadari ada sesuatu yang kurang. Dwight dan Coleen. Bukankah semalam mereka masih disini?
“Dimana mereka?” Tanyaku dengan mata was-was kearah Cesc.
“Siapa? Dwight dan Coleen? Mereka sudah pergi saat tengah malam” Jawab Cesc enteng. Seolah bepergian di tengah malam itu hal biasa. Ya, hal biasa untuknya—mereka. Aku menghela napas puas. Aku tidak begitu menyukai Dwight. Tatapan matanya aneh, iris matanya yang hitam pekat seperti sedang mengincarku, menunggu saat aku lengah dan menyeretku kedalam ruangan gelap gulita tak berbatas seperti di mimpiku semalam. Selain itu dia juga seenaknya mengacak-acak isi kepalaku. Lain halnya dengan Coleen. Dia baik-baik saja menurutku—dan sangat cantik. Rambut pirang kemerahannya sungguh indah. Terasa sangat halus dan ringan menggantung di bahunya yang ramping. Matanya juga tak kalah indah. Iris matanya merupakan kombinasi antara ungu dan merah, sangat serasi dengan rambut indahnya. Suaranya yang merdu bisa dengan mudahnya membuat seeorang menyangkanya seorang penyanyi gereja. Aku heran jadi seindah apa suaranya saat ia bernyanyi?
“Kau tidak menyukai mereka, Carla?” Tanya Cesc.
“Coleen baik-baik saja, tapi Dwight… menyebalkan” Kataku menyiritkan alis. Aku tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan kecemasanku saat ada dia. Cesc tersenyum mendengar pengakuanku.
“Dwight memang begitu sejak dulu. Jahil dan… cuek” Jelas Cesc. Percakapan kami membuatku teringat akan semua detil dalam pertemuan kemarin, memunculkan beribu-ribu kalimat tanya dalam kepalaku.
“Darren itu… hantu jenis apa? Dia… berbeda” Tanyaku ragu-ragu. Kata ‘berbeda’ mungkin pas untuk menggambarkan sosok hantu Darren yang hitam-putih tak berwarna dan transparan.
“Darren Fletcher. Dia sudah seperti ayah untukku. Well, selain dia memang lebih tua, dia selalu bisa memberi solusi saat aku menghadapi masalah dengan hidupku yang abadi ini” Jelasnya. Cesc duduk di konter di dapurku. Meletakkan kedua tangannya di atas paha. Aku duduk tepat di sisinya. Aku merasakan ada aura dingin menguar dari tubuhnya, seperti saat membuka lemari es di pagi hari.
“Menurut ceritanya, dia meninggal tahun 1345. dia berbeda, karena jiwanya tidak tertinggal sepenuhnya di dunia sepertiku” Katanya kemudian. Aku menyimak penjelasannya dengan seksama. Hal-hal seperti ini selalu membuat aku tertarik.
“Begini, kalau aku, jiwaku-lah yang tertinggal di dunia saat aku mati. Tapi dia berbeda. Sesungguhnya jiwanya sudah pergi ke tempat yang benar—seperti yang aku ceritakan padamu waktu itu, saat dia mati. Yang tertinggal di dunia hanyalah auranya” Kata Francesc dengan detil. Menatap mataku serius saat dia berkisah.
“Aura?” Tanyaku.
“Ya, itu seperti sulur-sulur energi yang menyelubungi tubuh, berpendar-pendar dengan harmoni. Setiap makhluk yang masih hidup memiliki aura, dan warnanya bermacam-macam. Aura juga dipengaruhi oleh keadaan si-hidup—seolah-olah ia juga ikut hidup bersama. Saat dia senang, sedih, atau sakit, warna dan pencaran aura akan berubah” Jelas Cesc kepadaku. Aku membayangkan sekumpulan orang dijalan dan tubuhnya berpendar warna-warni seperti lampu neon di pusat pertokoan. Ada yang merah, kuning, hijau seperti pelangi.
“Auraku warnanya apa?” Tanyaku penasaran.
“Hijau. Cerah dan… kelewat antusias” Katanya sambil tertawa. Aku lalu membayangkan aku-lah yang berpendar hijau dari orang-orang yang aku bayangkan tadi. Aku mengernyit aneh membayangkan tubuhku berpendar seperti neon.
“Yang terjadi pada Darren, auranya masih terus berpendar saat dia mati. Dia spesial—menurutku. Kau bayangkan saja, makhluk hidup yang mati pasti auranya akan meredup, kemudian padam—ikut mati bersama. Tapi dia tidak” Kata Cesc sambil tersenyum.
“Dia mengingat dengan jelas seluruh kejadian yang dialaminya saat dia masih hidup, dia berpikir, tertawa, juga menangis. Dia memiliki akal dan emosi, hanya saja wujudnya tidak padat sepertiku dan tidak berwarna” Tutur Cesc.
“Dan dia juga melayang, seperti hantu sungguhan” Tambahku. Cesc tertawa mendengarnya. Hantu sungguhan. Seolah-olah yang sekarang duduk di sampingku ini bukan hantu.
“Dia selalu beranggapan bahwa dirinya yang sekarang adalah hanya sebagian kecil dari dirinya yang sesungguhnya, yang sudah kembali ke pangkuan Tuhan. Karenanya dia tidak pernah mengeluh menjalani kehidupan abadi ini, karena dia percaya, dirinya yang sesungguhnya sudah bahagia di tempat yang benar” Kata Francesc menutup ceritanya tentang Darren. Aku mengangguk setuju. Kalau yang tertinggal di dunia hanya auranya, berarti jiwa orang itu sudah kembali ke tempat yang benar. Tapi kasihan sekali aura yang tertinggal itu, ikut hidup tapi tidak ikut mati—mengalami tahap selanjutnya dalam siklus kehidupan. Tapi menurut penuturan Cesc barusan, yang mengatakan bahwa Darren itu spesial—berarti sangat jarang ada kasus ‘aura yang tertinggal’ ini. Suasana hening sejenak saat aku mencerna nformasi yang baru aku dapatkan.

“Mau ceritakan aku tentang Coleen?” Tanyaku antusias, aku penasaran dengan sosok rupawan itu.
“Tentu. Coleen dan Dwight…” Aku memotong ceritanya dan protes.
“Aku tidak memintamu menceritakan tentang Dwight sekalian” Protesku. Aku sudah bulat untuk tidak menyukai ‘tukang intip isi kepala orang’ itu.
“Merka bersama-sama, Carla. Sulit memisahkan ceritanya. Tapi akan kucoba” Kata Cesc. Wah, beruntung sekali Dwight yang jahil dan menyebalkan itu berpasangan dengan Coleen yang cantik-tak-bercela. Aku menggerutu dalam hati. Tidak merestui hubungan mereka. Cesc mulai berkisah.
“Coleen hidup di pertengahan tahun 1400-an. Dia putri tunggal dari seorang pandai besi. Kalau tidak salah, nama keluarganya adalah Seamann. Dia tinggal berdua dengan ayahnya di sebuah desa kecil di dekat Merseyside. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Seperti yang kau lihat, dia luar biasa cantik, begitu juga saat dia masih hidup. Dia terkenal karena kecantikan dan kelembutan hatinya. Suatu hari, saat usianya memasuki dua pukuh, ayahnya yang mulai sakit-sakitan meminta temannya yang seorang bangsawan bernama Campbell untuk merawat putri tunggalnya jika dia meninggal nanti” Cesc mengisahkannya dengan sangat baik. Aku sampai benar-benar sedang menyaksikan kejadian yang diceritakannya secara langsung.
“Tepat di usianya yang ke dua puluh satu ayahnya meninggal, Coleenpun tinggal bersama keluarga Campbell. Anak sulung keluarga itu, Ian Jr.—yang memang sudah sejak lama jatuh hati pada Coleen, melamarnya. Karena ingin membalas budi baik keluarga Campbell yang telah merawatnya selayaknya saudara sendiri, akhirnya mereka berdua menikah. Baru beberapa bulan menikah, Coleen menyadari ada sesuatu yang aneh dengan keluarga barunya. Mereka tidak pernah keluar rumah. Hanya para pelayannya yang bersosialisasi, dan itupun hanya pada kesempatan tertentu. Dan setiap malam bulan purnama, seluruh anggota keluarga pergi meninggalkannya sendirian di rumah untuk mengunjungi puri mereka di perbatasan. Colleen tidak pernah sekalipun diizinkan ikut. Karena penasaran, akhirnya pada suatu kesempatan, Coleen berhasil membuntuti mereka dengan menyewa sebuah kereta kuda” Francesc menegakkan tubuhnya, memperbaiki posisi duduknya. Seolah bersiap untuk menceritakan inti permasalahan.
“Di puri itu, Coleen menyaksikan keluarga Campbell sedang memangsa manusia, meminum darah mereka hingga tubuh mereka nampak kering dan pucat. Coleen sangat syok mengetahui keluarga barunya merupakan keluarga Drakula. Pemuja darah. Suami barunya kemudian menyadari kehadiran Coleen di luar puri, dan menyeretnya masuk, memaksa Coleen ikut bersantap bersama mereka” Jelas Cesc. Aku bergidik ngeri saat membayangkan si-cantik Coleen ikut meminum darah. Perutku terasa bergejolak, dan aku mulai mual.
“Bisa kita tinggalkan bagian itu? Aku mual” Pintaku.
“Ya, tentu. Maaf,” Kata Cesc saat menyadari keringat dingin mulai mengaliri pelipisku. “Coleen terus dipaksa menjalani ritual bulan purnama keluarga Campbell selama bertahun-tahun, hingga akhirnya Coleen sendiri-lah yang menantikan ritual itu. Dia menyadari, dengan meminum itu, dia sama sekali tidak bertambah tua, usianya masih di kisaran dua puluhan awal dan dia senang kecantikannya tetap terjaga. Sejak hari itu Coleen menjadi pemuja darah” Kata Cesc akhirnya.
“Secara teknis, dia manusia—masih hidup. Hanya saja ritual keluarga Campbell telah merubahnya. Dia menjadi gila akan darah. Taring akan tumbuh dari giginya setiap full moon” Kata Cesc. “Suatu saat, dia merasa muak dengan dirinya yang terisolasi dari dunia luar—hanya keluar untuk minum darah, sementara ia melihat orang-orang disekitarnya tumbuh, menjadi tua, lalu mati. Teman-temannya semasa kecil sudah menikah dan memiliki anak yang lucu-lucu. Yah, keluarga Drakula memang tak bisa menghasilkan anak dan itu membuat Coleen sedih. Dia akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari kediaman keluarga Campbell, keluarga Drakula dan pergi sejauh mungkin hingga mereka tidak bisa mengejarnya. Dia akhirnya sampai di Birmingham dan bertemu Dwight, yang saat itu belum menjadi vampir…” Francesc mengakhiri ceritanya dan menatapku. Otakku masih penuh dengan kemalangan Coleen yang tanpa dosa—dan bukan keinginannya sama sekali untuk menjadi pemuja darah.
“Ini sudah sampai pada bagian Dwight, kau mau aku berhenti atau…” Tanya Cesc.
“Lanjutkan saja” Pintaku. Kisah malang Coleen benar-benar menghanyutkan aku. Mendadak aku jadi penasaran pada Dwight yang menyebalkan itu.
“Tapi bukankah Merseyside dan Birmingham tidak begitu jauh? Pasti keluarga Drakula itu dengan mudah menemukannya” Tanyaku bingung.
“Saat itu belum ada jalan tol dan bus, Carla. Hutan masih bertebaran di sana-sini” Jelas Cesc dan aku tidak membantah. Dia benar. Perjalanan dari Merseyside ke Birmingham di masa lalu pasti berat.
“Coleen—akhirnya hidup berkelana, yang putus asa akan kehiduapannya saat itu memutuskan untuk tidak minum darah lagi seumur hidupnya” Cesc terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan kebali ceritanya. “Dia mengira dengan tidak minum darah, dia akan cepat mati dan itu lebih baik menurutnya dari pada harus membunuh orang lebih banyak lagi” Cesc berdeham ringan. “Bulan pertama, dia masih kuat menahan nafsunya, bulan ke dua, ke tiga, dan hingga di pertengahan tahun, tubuhnya melemah, ia hampir tidak bisa merasakan seluruh tubuhnya. Ia terus makan—makanan normal, tapi ia tidak pernah merasa kenyang” Kata Cesc.
“Dia makan?” Tanyaku kaget. Kupikir hantu tidak ada yang makan.
“Ya, sudah kukatakan, dia tetap manusia” Jawab Cesc tanpa ragu.
“Coleen tidak sanggup mengalami penyiksaan tidak langsung ini, kemudian dia memutuskan untuk bunuh diri, mengiris pergelangan tangannya dengan sebuah pecahan batu yang runcing. Tapi dia gagal. Ternyata tubuhnya sudah menjadi kuat—tanpa disadarinya. Ia sama sekali tidak bisa melukai dirinya sendiri, bahkan untuk membuat luka kecil sekalipun” Kata Cesc.
“Dia tidak jadi bunuh diri?” Tanyaku.
“Tepatnya, ia tidak bisa bunuh diri saat itu, Carla” Cesc mengkonfirmasi. “Coleen semakin putus asa. Dan ia memutuskan untuk mogok makan, berharap dia bisa mati kelaparan kali ini” Jelas Cesc.
“Dia berhasil?” Tanyaku.
“Hampir. Tubuhnya sangat lemas. Ia tidak lagi bisa menggerakkan tubuhnya. Ia—yang diceritakannya, sangat senang sekaligus sedih saat merasa kematian akhirnya menghampirinya. Senang, karena akhirnya dia bisa terbebas dari kehidupan mistis yang selama ini dijalaninya, dan sekaligus sedih, ia harus mengakhiri kehidupannya dengan cara seperti ini” Cesc memandang langit-langit saat mengatakannya, seolah-olah hal yang sama juga terjadi padanya.
“Dia sempat berpikir tentang ketidakadilan Tuhan kepadanya. Ia merasa selama dia masih hidup bersama ayahnya, ia selalu menjadi gadis yang baik. Tidak pernah sekalipun melanggar peraturan kerajaan, atau norma setempat. Apa yang mungkin pernah dilakukannya hingga Tuhan harus menghukumnya begitu berat? Itu kalimat tanya yang mengganggu pikirannya hingga saat tubuhnya makin melemah dan akhirnya ia tak sadarkan diri. Coleen pingsan di tengah hutan. Tempat Dwight menemukannya saat berburu rusa” Papar Cesc. Wajahnya masih mengisyaratkan misteri. Entah itu berkaitan dengan Coleen dan Dwight atau malah tentangnya sendiri. Ia tak banyak cerita tentang dirinya sendiri. Ia hanya menceritakan bagaimana dia mati waktu itu.
“Dwight yang menemukannya langsung membawanya pulang. Dia mengira Coleen tersesat di hutan dan kelaparan. Pamannya yang seorang dokter ikut membantu Dwight memulihkan kondisi tubuh Coleen yang waktu itu benar-benar parah” Cesc melanjutkan ceritanya. “Dwight merawat Coleen layaknya adiknya sendiri. Dia teramat sangat bahagia karena selama ini dia tidak memiliki saudara. Ayahnya tewas saat perang dan ibunya meninggal tak lama setelah sang ayah gugur dalam perang. Itu terjadi saat dia masih berusia sembilan tahun, kemudian hak asuhnya jatuh ke pamannya yang seorang dokter. Bukan seorang yang hebat, tapi profesi sebagai dokter pada era itu masih sangat langka, karena itulah pamannya berkecukupan” Aku mengerutkan dahi, membayangkan kalau saja aku yang ada di posisi Dwight. Rasa jengkelku yang teramat sangat kepada Dwight langsung sirna entah ke mana. Aku menggigit bibir bawahku karena ngeri.
“Kau tahu? Coleen hampir saja membunuh Dwight saat tersadar” Kata Cesc sambil menyunggingkan senyuman penuh arti. Aku membelalak ngeri mendengarnya.
“Dia menyerang Dwight? Lalu apa? Apa yang terjadi?” Aku mendadak antusias—berlebihan. Mendadak aku mencemaskan si Dwight yang vampir itu.
“Tidak, dia tidak apa-apa. Saat itu Coleen masih sangat lemah sehingga Dwight berhasil mengatasinya. Tapi Coleen berhasil meminum sedikit darah Dwight. Dan saat itulah Dwight sadar apa sebenarnya Coleen itu” Kata Cesc. “Dwight mengikatnya di ranjang, dan memberi tahu pamannya. Setelah sang paman merawat luka di bahu Dwight, dia menghampiri Coleen dan memberi tahunya tentang Dwight yang selama ini telah merawatnya. ‘Aku tahu kau mungkin bukan manusia biasa, tapi hargailah sedikit dia yang menyelamatkanmu’ begitu ucap paman Dwight. ‘Aku tak pernah memintanya berbuat begitu! Kau tahu?! Gara-gara dia aku masih hidup sekarang! Padahal aku sudah hampir mati! Aku tidak mau hidup seperti ini!’ Coleen terus memberontak diantara ikatannya. Dwight memandangnya lirih. Dia tahu seharusnya Coleen tak mengatakannya kalau dia menjadi penghisap darah karena keinginannya, Dwight yakin dia tidak menginginkan ini.” Kisah Cesc. “Dwight berusaha membujuk Coleen untuk tetap hidup, menjaganya dari kehausan akan darah, dan dia berhasil. Lambat laun Coleen mulai membuka dirinya. Dia mulai percaya pada Dwight, bahwa kelainannya ini bisa sembuh. Kau tahu? Dwight sesekali membiarkan Coleen meminum darahnya saat Coleen mulai lepas kendali. Dwight tidak ingin Coleen menjadi pembunuh. Coleen pada awalnya sangat jijik dan putus asa akan apa yang dilakukan Dwight untuknya. Tapi dia percaya bahwa yang dlakukan Dwight adalah semata-mata untuk membebaskannya dari kutukan ini. Apalagi Dwight selalu mengatakan padanya kalau hanya sesekali Coleen melakukannya, tak akan membuatnya mati” Aku membayangkan Coleen menghisap darah Dwight,dan perutku mual.
“Suatu hari Dwight pergi berburu ke hutan. Ia suka sekali berburu. Ia membawa senapan angin peninggalan almarhum ayahnya dan berangkat pagi-pagi. Biasanya menjelang tengah hari ia sudah kembali, membawa seekor rusa atau paling tidak kelinci. Tapi sampai menjelang sore, Dwight belum kembali. Pamannya sangat ketakutan Dwight sudah dimakan singa gunung yang agresif. Karena bulan-bulan itu adalah masa kawin bagi singa gunung, mereka jadi ribuan kali lebih berbahaya jika sedang dalam musim kawin. Coleen juga ikut mencari Dwight bersama pamannya dan beberapa warga desa lainnya. Mereka menelusuri hutan yang biasanya didatangi Dwight untuk perburuan kecilnya” Papar Cesc. Aku ikut berdebar-debar menantikan kelanjutan nasib Dwight.
“Beberapa warga mulai berpencar saat hari mulai gelap. Coleen dan pamannya berada dalam rombongan besar mulai memasuki hutan lebih dalam, disana mereka menemukan senapan Dwight, tapi Dwight tidak ada dimanapun. Mereka kembali dengan tangan hampa kerena hari semakin gelap. Mereka memutuskan untuk melanjutkan pencarian esok paginya. Coleen terus menerus menangis sepanjang malam. Ia tidak pernah mengalami kehilangan seperti ini setelah kepergian ayahnya. Dwight sudah menjadi miliknya yang berharga selama ini. Darahnya juga mengaliri tubuh drakulanya. Dia sangat tidak siap kalau harus kehilangan orang yang disayanginya sekali lagi” Papar Cesc. Aku berpikir, ia menceritakannya dengan sangat sempurna, seolah olah ia juga bersama Coleen saat itu.
“Mereka tidak menemukan Dwight?” Tanyaku.
“Mereka menemukanya esok harinya, lebih dalam di hutan. Tapi dia sudah bukan Dwight lagi. Dia sudah menjadi vampir. Dwight menyerang seluruh rombongan—yang saat itu berjumlah empat orang, termasuk pamanya. Mengisap habis darah mereka didepan mata Coleen” Cesc bangkit dan berjalan menuju jendela, mengintip di celah gordyn yang tersingkap.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Tidak ada” Katanya sambil berjalan kembali ke dapur, dan melanjutkan ceritanya.
“Well, saat itu Coleen sangat kalut dengan keadaan Dwight yang baru. Matanya gelap, padahal Dwight yang dkenalnya bermata biru terang yang indah. Wajahnya pucat dan tatapannya membius. Walaupun Dwight tidak menyentuhnya sama sekali saat itu—karena mungkin insting vampirnya mengatakan bahwa mereka sejenis—sama-sama pengghisap darah, tapi Coleen merasa kehidupannya direnggut sekali lagi. Hatinya terasa sakit dan tercabik-cabik. Satu-satunya manusia yang dipercayanya, yang dengan sukarela menerima status drakulanya, sekarang bukan manusia lagi” Cesc mengerjapkan mata beberapa kali, seolah sedang berusaha melihat sesuatu lebih jelas.
“Kurasa sudah waktunya kau pergi bekerja,” Katanya kemudian. Aku melirik jam dinding di seberang ruangan. Dia benar. Aku harus segera mandi dan bergegas.
“Oh, terimakasih mengingatkan aku! Berjanjilah akan menceritakan aku kelanjutannya” Pintaku sambil berjalan ke arah kamarku.
“Tentu” Katanya dan kemudian dia lenyap.
Aku langsung mandi dan berpakaian. Mengikat rambutku asal-asalan dan segera keluar dan mengunci pintu. Berjalan setengah berlari ke arah halte terdekat. Aku tiba di sana jam sepuluh kurang lima menit.
“Selamat pagi,” Sapaku pada seisi toko—Danniene, Mathieu dan Abbey.
“Oh, selamat pagi Carla!” Sapa Danniene hangat sambil menyambutku di depan pintu. Kulihat dia menggenggam secarik kertas memo.
“Selamat pagi,” Sapa Mathieu kemudian sambil tersenyum ramah. Aku membalas senyumannya dengan canggung, tiba-tiba teringat status mereka—penyihir. Sementara Abbey hanya menatap kehadiranku sebentar dan kembali menata cakes di etalase. Potongan rambutnya sangat khas, tapi tidak norak menurutku.
“Cuci piring,” Begitu katanya saat aku menghamipi konter dan memakai celemekku. Well, walaupun dia lebih dulu bekerja disini, tapi aku kan yang lebih tua. Harusnya dia lebih sopan sedikit. Aku berjalan ke arah dapur dan mulai mencuci. Aku mambasahi piring dan hendak menuang sabun. Tapi ternyata sabunnya habis.
“Dimana sabunnya?” Tanyaku kepada Abey.
“Minta pada Danniene” Jawabnya. Sepertinya dia masih sibuk dengan cakes-cakesnya. Aku berjalan ke sisi lain toko dan menemukan Danniene disana.
“Aku kehabisan sabun” Kataku.
“Oh, biar kuambilkan” Katanya kemudian. Dia menunjuk ke arah sudut ruangan, dan tiba tiba salah satu lacinya terbuka dan sebungkus sabun cuci piring melayang keluar dari dalamnya. Aku membelalak kaget saat bungkusan itu melayang perlahan melintasi ruangan dan jatuh tepat diatas tangan Danniene.
“Ini,” Katanya sambil tersenyum jahil dan menyerahkan sabun itu kepadaku. Aku menerimanya saat masih teramat kaget.
“Ba… bagaimana?” tanyau panik.
“Kau sudah tahu jawabanya, Sayang” Kata Danniene. Ya, aku tahu jawabnnya. Tapi apakah dia tidak takut ketahuan orang lain? Aku buru-buru memandang sekeliling. Toko masih sepi dan hanya ada Abbey di sisi lain ruangan panjang itu. Abbey!
“Tidak apa-apa, Carla. Dia juga tahu rahasia kami” Kata Danniene menjawab pertanyaan di kepalaku. Seolah dia mendengar teriakan di kepalaku. “Lebih mudah melakukan semuanya dengan sihir, lebih cepat selesai, hemat waktu” Kata Danniene dan sesaat setelah ia merapikan barang-barang di toserbanya dengan hanya menunjuk-nukjuknya dengan ujung jari. Aku hanya mengaga dibuatnya.
“Tadinya kupikir aku akan puasa menggunakan sihir saat menerimamu bekerja disini, tapi ternyata kau mengatahui ini lebih cepat dari perkiraanku. Well, aku cukup kaget pada awalnya saat tahu kau berhubungan dengan hantu muda itu tapi yah, aku senang bisa leluasa menggunakan sihir lagi sekarang” Katanya menjelaskan pendapatnya tentang hubunganku dengan Cesc.
“Yeah, aku bernegosiasi dengannya mengenai tempat tinggal” Kataku kemudian sambil menimang-nimang sebungkus sabun cair itu. Benda ini baru saja melayang-layang di udara sesaat yang lalu.
“Dia selalu mengusir manusia yang berniat tinggal di flat itu, ini baru sekali terjadi. Aku tidak tahu apakah aku harus memujimu karena berhasil tinggal di flat itu dengan aman” Kata Danniene sambil diselingi tawa.
“Dia bukan hantu yang jahat. Dia tidak pernah sekalipun melukai manusia. Biasanya orang yang akan tinggal di sana langsung pindah setelah seminggu dijahilinya” Lanjut Danniene.
“Dia menjahiliku juga kok, bola lampu yang kendur, kabel telepon, meja-meja” Jelasku. Danniene tertawa mendengarnya. Dan kurasa aku sebenarnya hampir terbunuh olehnya, tapi aku tak menceritakan peristiwa itu, toh Cesc tidak benar-benar membunuhku.
“Benar-benar cara halus untuk mengusir” Komentar Danniene.
“Halus, tapi sangat menjengkelkan” Lanjutku. Kemudian aku mendengar suara Abbey.
“Cuci piring” Katanya dengan suara lantang.
“Oh, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk mengobrol” Kata Danniene sambil mengedipkan mata. Aku tersenyum dan berjalan kembali ke dapur, menyelesaikan pekerjaanku. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku tanyakan kepadanya. Khususnya tentang pertemuan mereka—dan aku semalam. Siapa yang menduduki Himalaya? Siapa yang mau memasuki Eropa? Mengapa Cesc yang terlihat paling tidak senang? Tapi sudahlah, aku tidak mungkin mengobrol dengan Danniene disaat pekerjaanku sendiri menggunung. Lagipula disini ada Abbey. Walaupun Danniene sudah mengatakan bahwa Abbey juga sudah mengetahui statusnya yang penyihir itu, aku yakin dia tidak mengetahui sama sekali tentang pertemuan semalam.
Hari ini Abbey membuat banyak sekali cakes. Danniene mengatakan kalau hari minggu seperti ini, kedai biasanya ramai. Aku boleh saja membantu membuat cakes, kata Danniene. Tapi Abbey tidak sependapat. Ia mau mengerjakan semuanya sendirian. Mungkin ia berpikir kalau aku malah akan menghancurkan pekerjaannya. Padahal kemampuanku dalam memasak tidak separah itu, aku bisa membuat berbagai macam cakes dan hidangan lainnya. Tapi tidak apa-apa, mungkin kedai ini sudah memiliki ciri khas dengan cakes buatan Abbey.
Dan benar saja, sejak jam makan siang, pengunjung tidak berhenti berdatangan. Ada yang memang hanya ingin minum kopi, tapi ada juga yang khusus memborong cakes. Dan mereka semua… memakai T-shirt warna merah, dengan lambang perisai dengan meriam di tengahnya. Jersey sepak bola? Dan mereka saling berbincang satu sama lain.

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 11.

“Kucing?” Suri masih terheran-heran dengan sosok putih cemerlang yang berjalan perlahan mendekatinya. Tepat setelah angin dingin itu lenyap.
Langkah kaki yang anggun, mata hijau cemerlang, juga bulu putih tebalnya yang berpendar. Indah.

Kucing itu semakin mendekat ke arah Suri. Hingga menyisakan jarak sekitar satu meter, ia berhenti dan menekuk kaki belakangnya—duduk khas seekor kucing, sambil mengibaskan ekornya yang panjang. Kucing putih itu menatap Suri lekat-lekat, tepat ke kedua matanya. Suri semakin heran akan kelakuan kucing putih itu. Ia menatapnya balik.
“Kau yak seharusnya berada di sini” Suara seorang wanita terdengar dari dalam tubuh kucing itu. Suri terlonjak dan terjatuh kembali saking kagetnya.
“Ka… kau berbicara?” Tanya Suri terbata.
“Kenapa? Belum pernah lihat kucing berbicara sebelumnya?” Tanya kucing berkilauan itu. Suri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saking syoknya. Tentu saja ia belum pernah bertemu binatang yang bisa berbicara sebelumnya.

Jantungnya berdetak kencang dan keringat dingin mulai menitik keluar dari pelpisnya. Kalau kucing ini bisa bicara, hal apa lagi yang mungkin bisa dilakukannya? Rona ketakutan mulai menjalari wajah Suri.
“Kau tak seharusnya berada di tempat ini. Padang ini milikku. Tak boleh ada seorangpun—sesuatupun yang menjejakkan kaki kotor mereka di tanahku!” Bentaknya.
“Ma… maaf, aku tak tahu peraturannya. Sungguh. Aku pendatang” Jawab Suri jujur.
“Dari mana kau berasal?” Tanya kucing itu tanpa membuka mulutnya. Suara yang dihasilkan ternyata memang berasal dari dalam tubuhnya.
“A… aku datang dari Xam. Namaku Suri, aku bersama… adikku, Amarilis” Jawab Suri. Kucing dengan bulu bersinar itu tetap menatap suri lekat-lekat.
“Kau bohong!” Bentaknya. Suri membelalakkan mata karena terkejut. Bagaimana mungkin kucing ini tahu ia berbohong?
“Tidak berdua!! Kalian datang bertiga!!” Bentak kucing itu disertai geraman kasar. “Aku tak suka ada yang membohongiku!!” Teriaknya penuh amarah. Angin sedingin es kmbali berhembus. Tajam, dan menyesakkan. Cahaya di sekitar tubuh kucing itu semakin terang benderang.
“Tunggu dulu! Aku memang hanya datang dengan Amarilis! Aku bersumpah!” Teriak Suri. Ia memang berbohong, karena Amarilis memang bukan adiknya, tapi ia memang datang bersama Amarilis. Mereka memang datang berdua!
Suasana semakn mencekam. Angin dingin itu serasa menyayat kulit wajahnya.
***

Derap langkah-langkah cepat Amarilis memecah keheningan lorong-lorong gelap bangunan sekolah. Sudah hampir seluruh lorong dijelajahinya dan ia tetap tak menemukan Suri.
“Kemana sih dia?” Kata Amarilis yang mulai panik. Ia menyesal telah meninggalkan suri yang kalut tadi. Suri tak mungkin kembali ke flat sewaan mereka karena ini masih jam pelajaran. Gerbang sekolah masih terkunci rapat. “Tapi di mana?” Gumam Amarilis dalam hati.
Amarilis kembali menyusuri lorong-lorong gelap. Hingga pada sebuah persimpangan, ia hampir menabrak seseorang. Amarilis membelalakkan kedua matanya saat menyadari siapa gerangan yang hampir ditabrak olehnya.
“Ma…” Desahnya panik saat sosok itu terlihat semakin jelas. Master Zaida. Amarilis mematung saking kagetnya.
‘Amarili! Astaga! Akhirnya aku menemukanmu!” Seru Master Zaida histeris.
“Eh?” Amarilis ternganga. Bagaimana mungkin Master Zaida mengetahui tentang dirinya?
“Nanti akan kujelaskan! Kita harus segera menemukan Suri!” Kata Master Zaida sambil menarik lengan Amarilis dan menyeretnya untuk sekera melanjutkan perjalanan.
Separuh hati Amarilis tenang karena ada Master Zaida yang akan membantunya menemukan Suri. Namun sebagian lagi tentu saja takut dan cemas tentang hal illegal yang telah dilakukannya bersama Suri.
“Master… Anda tahu aku sedang mencari Suri?” Tanya Amarilis di tengah langkah cepat mereka. Ia sendiri juga bingung menuju kemana sebenarnya mereka berjalan?
“Jangan banyak tanya! Aku tahu di mana Suri. Dia dalam bahaya!” Jawab Master Zaida yang langsung membuat Amarilis kembali tersentak. Darah seolah surut dari wajahnya. Pucat. Hal yang paling tak diinginkannya terjadi.
“Suri dalam bahaya?!”

Rabu, 02 Desember 2009

Kunang-kunang ngga pernah sekeren ini! (Owl City - Fireflies Lyric)

Pertama kali denger + liat video klipnya di Mtv, gua langsung jatuh cinta! Musiknya ear-catching banget, dan sekali denger pun udah bisa langsung ikut nyanyi. Buat yang ngga tau, bisa download di sini

Owl City - Fireflies

You would not believe your eyes
If ten million fireflies
Lit up the world as I fall asleep
Cause they fill the open air
And leave teardrops everywhere
You'd think me rude
But I would just stand and stare.

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when im asleep
Cause everything is never as it's seems

Cause I'd get a thousand hugs
From ten thousands lightning bugs
As they tried to teach me how to dance
A foxtrot above my head
A sock hop beneath my bed
A disco ball is just hanging by a thread

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when im asleep
Cause everything is never as it's seems

Leave my door open just a crack
(Please take me away from here)
Cause I feel like such an insomniac
(Please take me away from here)
Why do I'm tired of counting sheep?
(Please take me away from here)
When I'm far too tired to fall asleep

To ten million fireflies
I'm weird cause I hate goodbyes
I got misty eyes as they said farewell
But I'll know where several are
If my dreams get real bizarre
Cause I saved a few and I keep them in a jar

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when im asleep
Cause everything is never as it's seems

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when im asleep
Because my dreams are bursting at the seams

lovely isn't it? <3

Senin, 30 November 2009

Fan Fiction: Another Love Story 4.

Pertemuan

Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat bangun. Aku kaget karena aku masih berada dalam pelukkan Dani. Mimpikah aku? Atau dia memang masih disini? Aku bangkit dan terduduk di kasurku. Manandangi sosok yang masih terlelap didepan mataku. Aku tersenyum geli memandang wajah tidurnya yang polos. Ini pertama kalinya aku melihat Dani sedang tidur. Bahkan disaat tidurpun, wajah khasnya tak berkurang. Aku membelai pipinya yang tampak dengan punggung tanganku, kemudian aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Aku mengikat rambutku ekor kuda asal-asalan saat berjalan. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku akan membuat sarapan. Apa ya? Ah, beberapa pancakes sederhana saja. Aku tersenyum sendiri saat mulai mengocok adonan dengan mixer. Aku menyadari perbedaan ukuran tepung dan gula yang aku gunakan. “Seperti pengantin baru saja,” Gumamku dalam hati. Biasanya aku hanya membuat porsi untukku sendiri, tapi kali ini ada yang akan sarapan bersamaku. Daniel, dan masih tertidur lelap dikamarku. Benar-benar seperti pengantin baru.

“Selamat pagi,” Sapa Francesc, yang langsung—begitu saja muncul dihadapanku. Aku melonjak kaget.membuat sendok-sendok yang sedang aku genggam jatuh berdentingan dengan suara ribut.
“Francesc!” Aku berusaha marah, tapi suaraku malah terdengar aneh.
“Kupikir kau sudah terbiasa dengan keberadaanku” Ujarnya sambil membantuku memunguti sendok sendok yang jatuh berserakan dilantai. Untung bukan piring yang sedang aku pegang.
“Setidaknya, cobalah muncul dengan cara yang lebih perlahan” Gumamku.
“Memangnya kau mau melihat aku muncul perlahan? Kepala terlebih dahulu, berterbangan tanpa tubuh? Aku bisa saja sih melakukannya kalau kau mau” Katanya. Membayangkannya saja perutku langsung kram.
“Sesukamu sajalah” Ujarku kesal sambil merebut sendok-sendok dalam genggamannya. Tak sengaja aku menyentuh jemarinya. Aku terkesiap dan langsung membelalak menatap matanya. Tangannya dingin sekali. Francesc hanya tersenyum melihat ekspresiku.
“Omong-omong, aku harap kau punya acara hingga sore ini dengan pacarmu, mungkin? Bukankah manusia suka pergi berkencan di hari Sabtu?” Ujar Francesc sambil berjalan menjauhiku. Berjalan kearah meja bundar, menarik salah satu kursi dan duduk diatasnya.
“Sore ini?” Aku mengklarifikasi. Aku mengingat-ingat rencanaku hari ini. Aku memang akan pergi ke sebuah toserba di sekitar Ashburton Grove. Aku sudah diterima untuk bekerja part time di sana. Dan hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Gajinya juga lumayan untuk meringankan biaya hidupku disini. Pemiliknya adalah sepasang suami-isteri paruh baya yang ramah dan baik hati, Danniene dan Mathieu Willis. Aku rasa usia mereka tidak terpaut jauh dengan kedua orang tuaku. Aku bekerja sehari penuh pada week-end dan seusai jam kuliah pada week-day. Tentu saja aku tidak memberitahu Dani mengenai hal ini. Dia pasti akan melarangku. Dan berusaha keras membujukku menerima uang-uangnya.
“Ya,” Jawabnya singkat.
“Memangnya ada apa sore ini?” Aku penasaran. Francesc terdiam sejenak. Sorot matanya tidak yakin.
“Mengingat tempat ini tempat tinggal bersama… Aku, ingin menggunakan tempat ini sore nanti” Jelasnya. Aku menyadari penekanan berlebih pada kata ‘tempat tinggal bersama’ yang diucapnya.
“Memangnya kau mau melakukan apa? Sebagai flat-mate mu, aku rasa aku berhak tahu” Balasku kembali menekankan beberapa kata seperti yang dilakukannya. Francesc kembali melayangkan tatapan tidak yakinnya kepadaku, sementara aku mulai menata piring di meja di hadapannya. Aku menyilangkan tangan di dada, balas menatapnya.
“Terkadang kau… jadi sangat cerdik. Baiklah. Aku memang akan melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi tidak sendirian” Jelasnya.
“Tidak sendirian? Maksudmu, kau akan mengundang teman-temanmu?” Aku menayakannya kaget.
“Persis” Senyum menyungging di sudut bibirnya.
“Kau akan membawa hantu-hantu ke rumahku? Yang benar saja! Aku tidak mau melihat yang lain lagi” Protesku.
“Ingatkan ini tempat tinggal bersama? Kau boleh mengundang tamu-mu untuk datang begitu juga aku” Kelaknya. Tentu saja aku akan menyetujuinya jika tamunya manusia.
“Lagipula mereka yang datang bukan dari jenisku—setidaknya beberapa, karena itu aku memintamu pergi sore ini” Tambahnya. Aku kembali membelalak. Kali ini karena ngeri. Bukan dari jenisnya. Itu berarti ada jenis yang lain. Tapi apa?
“Bukan dari jenismu?” Nada suaraku tidak jelas. Francesc mengangguk lambat-lambat. Meng-iya-kan. Aku menelan ludah. Aku meresapi informasi yang baru saja aku dapatkan. Bukan dari jenisnya—yang rupawan dan berbentuk manusia normal. Itu berarti hantu yang sesungguhnya? Yang ada di film horror?
“Lalu jenis apa?” Tanyaku. Meskipun takut, tapi rasa penasaran menguasai otakku. Francesc tersenyum kagum. Mungkin ia mengagumi sikapku yang terlihat biasa saja bersinggungan dengan dunianya.
“Nanti saja kuberi tahu detilnya. Pacarmu sudah bangun” Sahutnya, kemudian sekejap saja dia sudah menghilang.

Aku berusaha sebisaku untuk bersikap wajar. Aku meletakan potongan potongan pan cakes di atas piring datar dan menuang dua gelas susu hangat.
“Selamat pagi,” Sapaku kepada Dani yang berjalan ke arahku. Ia merengkuh pinggangku dan memelukku lembut.
“Selamat pagi” Jawabnya. “Bagaimana tidurmu samalam?” Tanya Dani kepadaku. Aku langsung merasakan perbedaan suasana yang drastis. Pertanyaan Dani adalah pertanyaan normal dan wajar ditanyakan pada pagi hari, berbeda dengan percakapanku barusan dengan Francesc.
“Sempurna. Kau sendiri bagaimana?” Tanyaku sambil melepas pelukannya dan menata gelas susu.
“Tidur malam terindah yang pernah aku alami” Jawabnya sambil duduk di kursi yang tadi di duduki Francesc. Agak aneh melihatnya duduk di kursi itu. Karena baru saja sesuatu yang bukan manusia duduk di kursi yang sama. Tapi aku terus berusaha bersikap wajar. Sewajar mungkin. Membayangkan nanti sore tidak ada pertemuan hantu-hantu di tempat ini.
“Aku membuat pancakes, kuharap kau suka” Kataku sambil menghidangkan seporsi pancakes untuknya.
“Siapa sih yang tidak suka pancakes?” Guraunya. Aku tersenyum sambil duduk di seberang meja. Kami mulai melahap pancakes kami. Ditengah tengah sarapan kami, Dani memandang jam tangannya yang sejak semalam tak pernah lepas dari pergelangan tangannya.
“Aku harus pulang ke apartemenku, Mr Puig akan menemuiku disana siang ini” Jelas Dani.
“Oh, aku juga ingin pergi ke toserba di Ashburton Grove jam sepuluh” Aku jadi teringat. Dani kelihatan tidak curiga sama sekali. Syukurlah.
“Kalau begitu akan ku antar” Sarannya.
“Tidak usah, aku bisa naik bus. Lagipula apartemenmu berlawanan arah” Aku berusaha menghalanginya mengantarku. Aku takut dia tahu kalau aku bekerja disana.
“Jangan mempersempit waktu dengan berdebat Carla, aku akan mengantarmu ke Ashburton, lalu kembali ke apartemanku tepat waktu, Ok?” Desak Dani. Aku tidak bisa membantah. Aku harap dia hanya mengantarku sampai pinggir jalan.
Setelah selesai sarapan aku langsung bergegas mandi dan berpakaian, menguncir rambutku ekor kuda—kali ini lebih rapi, lalu merias wajahku tipis-tipis—karena aku tidak suka ber make-up, lagi pula jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Aku lantas mengunci pintu flatku dan bergegas turun ke bawah. Dani sudah menungguku di dalam mobilnya yang mengilap diterpa sinar mentari pagi yang hangat.
Perjalanan ke Ashburton dari flatku ternyata memakan waktu tak sampai dua puluh menit dengan mobil. Dani mengantarku sampai depan toko—sesuai dengan dugaanku, dan tidak sesuai dengan harapanku. Sebuah plang neon bertuliskan “Ashburton Shop” tepat ada di atap toko.
“Tokonya masih tutup, Carla” Kata Dani memandang papan bertuliskan ‘TUTUP’ di pintu toko.
“Oh, ya. Memang, ini memang belum jam buka toko. Aku kenal dengan pemiliknya, tenang saja” Jawabku kikuk. Aku tidak tahu apakah aku terlihat sedang berbohong sekarang.
“Baru satu bulan disini, kau sudah mengenal seorang pemilik toko. Kau mungkin saja mengenal semua orang di London dalam dua tahun” Canda Dani.
“Aku tidak tertarik punya banyak teman, kau tahu kan? Oh, sudahlah. Kau harus pergi ke apartemenmu kan? Sampai jumpa” kataku buru-buru sambil berusaha membuka pintu mobilnya, tapi ternyata dikunci. Dani kemudian menarik tanganku.
“Setelah ini aku akan langsung kembali ke Perancis” Katanya. Aku kaget, kupikir di akan lebih lama di sini.
“Oh,” Aku paling tidak suka membicarakan perpisahan. Walaupun aku tahu ini kan cuma perpisahan semantara. Dan sangat singkat. Ya, aku konyol. Aku tahu itu.
“Tiga hari lagi aku juga kembali kok, race berikutnya di sini, tidak usah repot-repot merindukan aku” Katanya sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya sambil menunduk.
“Jaga dirimu, Carla” Sambungnya sambil mengecup keningku.
“Harusnya aku yang bilang begitu kan?” Kataku sambil mengecup pipinya. Dani tertawa dan membukakan pintu mobilnya untukku.
“Bye,” Sahutku sambil menutup pintu mobilnya. Menunggu sampai mobilnya—kilau keperakannya tak terlihat mata lagi saat mencapai belokan jalan lengang. Kemudian aku memasuki toko itu. Mr dan Mrs Willis sedang membereskan beberapa pamflet di depan mesin kasir.
“Selamat Pagi” Sapaku kepada mereka. Senyum mengembang di wajah keduanya, membuat mereka semakin terlihat bersahabat. Danniene adalah seorang wanita bertubuh agak gemuk dan berambut pirang sebahu. Tingginya tidak lebih tinggi dariku. Tapi untuk wanita seusianya, tubuhnya terlihat sanagat ideal. Sementara Mathieu lebih tinggi dari Danniene. Rambutnya hitam tebal, hanya saja warna keperakan mulai tampak di rambut pendeknya yang tertata rapih. Dia menggunakan kacamata berantai yang dikalungkan di lehernya. Celana golf kotak-kotaknya sedikit mencolok dimataku.
“Selamat datang, Carla. Toko buka setengah jam lagi” Kata Mathieu Willis sambil meletakan tumpukan pamflet terakhir.
“Apakah aku datang terlambat?” Tanyaku.
“Oh, tidak Sayang, kau datang tepat waktu. Seperti yang aku katakana kepadamu waktu itu, akhir pekan jam sepuluh” Sahut Danniene sambil membimbingku memasuki toko. Aku merasakan aura yang berbeda. Aku mulai bekerja hari ini, tapi mereka berdua terasa sudah seperti keluargaku sendiri. Danniene menceritakan tentang anak tunggalnya, yang sekarang sedang bekerja di Amerika, tentang toko ini, juga tentang pernikahannya dengan Mathieu. Dia bercerita banyak sekali, tapi entah mengapa aku tidak merasa bosan. Aku menyimak ceritanya dengan baik dan terkadang mengajukan pertanyaan. Sementara Mathieu lebih banyak diam sambil membaca buku.
Toko ini bisa dibilang unik. Toko terbagi menjadi dua bagian. Selain ada barang-barang keperluan sehari-hari di sisi kanan toko, ada juga sebuah kedai kopi mungil di sisi kiri bangunan. Saat makan siang, biasanya kedai kopi dipenuhi pengunjung. Aku hampir lupa ada seorang lagi yang bekerja disini selain aku. Namanya Abigail. Pelanggan dan juga tentunya, Mr dan Mrs Willis biasa memanggilnya Abbey—begitu yang aku dengar dari Danniene. Dan hal lain yang kuketahui tentang dia, dia masih SMA. Danniene bilang ia ber-home schooling sejak kecil dan Danniene mengenal orang tua Abbey dengan baik, makanya Abbey bisa bekerja di kedainya. Dia cewek yang cukup manis menurutku. Rambut pirangnya dipotong pendek dan sikapnya tomboy. Abbey dan aku yang akan mengurus kedai kopi ini, sementara Mr dan Mrs Willis yang mengurus toserbanya. Tak kusangka seluruh cakes yang dijual di toko ini adalah kreasi Abbey. Memang mengejutkan ternyata dia pintar memasak dibalik sikap cueknya. Abbey adalah seorang gadis yang pendiam. Sangat diam. Aku sampai bingung bagaimana cara mengajaknya berbincang. Dia hanya bicara saat ada yang memesan makanan—dan itu hanya untuk keperluan pesanan pelanggan. Sementara disaat kedai sedang sepi, dia menghabiskan waktu mendengarkan lagu dari iPodnya di sudut kedai. Aku mendapatinya mencuri pandang kearahku beberapa kali. Danniene mengatakan padaku agar tidak usah terlalu memikirkan Abbey di hari pertamaku ini, cepat atau lambat kami juga akan banyak mengobrol. Kata Danniene, dia memang kurang bersahabat dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi aku tidak bisa memastikan seberapa cepat—seberapa lambat waktunya.
“Kau suka memasak kan?” Tanya Danniene disela-sela ceritanya. Saat aku meng-iya-kan dia langsung dengan antusias mengeluarkan beberapa buku resep dari laci meja kasirnya, dan memintaku mempraktekan di rumah beberapa menu yang ada di buku itu.
Jam masih menunjukkan pukul lima saat Danniene terlihat merapikan toserbanya. Ada apa? Bukankah toko ini baru akan tutup jam delapan nanti?
“Hari ini toko tutup lebih awal, Danniene lupa memberi tahumu tadi” Pernyataan Abbey seolah menjawab pertanyaan di kepalaku. Tunggu dulu, Abbey baru saja bicara kepadaku!
“Sebaiknya kau membantuku kan?” Kata Abbey lagi sambil menunjuk cangkir-cangkir berbagai ukuran yang harus dibereskan. Dia menatapku sebentar kemudian berjalan ke arah etalase berisi cakes yang belum sempat terjual hari ini.
“Oh, ya! Tentu” Jawabku kikuk, menata cangkir-cangkir bersih itu ke dalam lemari kayu di dapur. Setelah selesai menutup toko, Abbey sudah menghilang entah kemana. Aku bahkan tidak bisa memperkirakan sejak kapan dia pergi.
“Hari ini kami harus pergi menemui teman lama, maaf aku lupa memberi tahumu pagi ini, sepertinya aku terlalu asyik bercerita” Jelas Danniene saat aku meletakkan celemek cuci piring diatas meja.
“Tenang saja Carla, aku tidak akan memotong gajimu karena toko hari ini tutup lebih awal” Kata Mathieu kepadaku. Kami tertawa bersama. Dan aku akhirnya berpamitan untuk segera kembali ke flatku. Hari pertamaku bekerja tidak terlalu buruk. Pemilik toko yang ramah, rekan kerja yang pendiam—setidaknya aku tidak perlu banyak bicara, juga pelanggan yang menyenangkan. Rata-rata pelanggan yang datang di kedai itu adalah pekerja kantoran yang sedang istirahat makan siang atau yang menikmati kopi di sore hari. Pekerjaanya juga tidak terlalu berat, apalagi aku bekerja dengan banyak cakes yang lezat-lezat. Menyenagkan sekali bisa bekerja dengan hal yang kau sukai kan?

Aku memutar pegangan pintu dan masuk ke dalam flatku. Lho? Tunggu dulu. Rasanya tadi pagi aku sudah menguncinya? Apakah aku begitu ceroboh sampai lupa mengunci pintu? Tapi aku yakin sudah menguncinya sebelum berangkat. Aku terus mengingat-ingat kejadian tadi pagi sampai tiba-tiba Francesc muncul dengan sekejap didepanku.
“Kupikir kita sudah sepakat tentang sore ini?” Tanyanya dingin setengah membentak. Dengan tatapan tajam, dingin dan sebersit rasa tidak suka.
“Sore ini?” Tanyaku ling lung. Mendadak aku teringat akan percakapan singkat kami pagi tadi, mengenai sore ini. “Ah!” aku meneriakannya saat teringat secara spontan.
“A… aku benar-benar lupa” Jawabku jujur. Wajahnya terlihat melunak saat aku megatakannya. Dia menghela napas—aku kaget apakah sebenarnya dia bernapas, dan melipat lengannya di dada.
“Aku mencium manusia, Cesc?” Tanya suara dari arah ruang tengah. Mendadak aku merinding. Bulu kudukku meremang, menyadari ternyata bukan hanya aku dan Francesc yang ada di sini. Aku baru teringat akan teman-temannya yang datang sore ini. Aku menatap Francesc cemas. Jantungku berdegup kencang. Makhluk apa yang baru saja bicara itu?
“Tidak apa-apa” Katanya kepadaku saat melihat perubahan sikapku. Apa maksudnya ‘tidak apa-apa’? Tiba-tiba sesosok makhluk yang juga berpenampilan manusia normal muncul dari arah ruang tengah. Laki-laki normal. Menghampiri aku dan Francesc. Aku cukup lega wujudnya juga manusia. Wajahnya putih pucat—beberpa tingkat lebih pucat dari Francesc. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna gelap yang di gulung sampai ke siku. Rambutnya hitam pekat dan sedikit berantakan, membuat wajahnya kelihatan semakin putih. Matanya sangat tajam menatapku. Iris matanya gelap dan mencekam. Rasa sesak yang dulu aku rasakan saat pertama kali bertemu Francesc seolah siap menyapaku kembali.
“Ini ya, manusia yang tinggal bersamamu?” Tanya cowok itu masih menatapku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mematung bersandar pada pintu masuk sementara keringat dingin terus bercucuran dari dahiku. Cowok pucat itu masih menatapku garang membuat degupan jantungku semakin liar. Anehnya, dia juga mengernyitkan hidung tidak suka. Apakah aku akan dibunuh kali ini? Karena baru saja mengganggu pertemuan mereka?
“Jangan ganggu dia!” Perintah Francesc pada cowok itu, dan cowok itu langsung mengalihkan pandangannya pada Francesc. Menekuk bibirnya kebawah lalu mengangkat alis sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aku tidak melakukan apa-apa?” Katanya cuek.
“Itu menakutinya, bodoh!” Francesc kemudian menarik tanganku. Aku tersentak saat tangannya yang sedingin es situ menggenggam pergelangan tanganku. Ini pertama kalinya kami bersentuhan secara disengaja. Dan sensasi aneh menjalari tubuhku. Tangannya begitu dingin. Saking dinginnya, aku merasakan sumsum tulangku ikut tersengat hawa dingin tangannya. Ia menyeret masuk aku ke dalam kamar dan melepaskan genggamannya yang membeku. Aku langsung menggenggam pergelangan tanganku dengan tangan satunya, berusaha menghangatkan pergelangan tanganku yang seolah mati rasa karena hawa dingin yang menyengat.
“Kau diam di sini saja, Ok? Oh, dan maaf soal itu” Kata Francesc sambil menatap lenganku. Aku masih terdiam membisu. Berusaha duduk di kasurku. Jantungku masih berdegup kencang tak karuan, membuat aku sulit bernapas. Aku menghela napas panjang berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku masih bingung bagaimana sebenarnya posisiku di sini. Amankah? Berada di sekitar teman-teman Francesc—yang jelas-jelas bukan manusia? Tapi setidaknya aku tahu Francesc tidak akan melukaiku dan tidak akan membiarkan salah satu temannya melukaiku. Iya kan?
“Yang itu tadi temanku dari Birmingham” Jelas Francesc. “Wajar kalau kau punya insting untuk ‘takut’ padanya, karena dia memang bukan dari jenisku. Dia dari jenis yang… bisa dibilang tidak akrab dengan manusia” Kata Francesc sambil tersenyum. Aku menyipitkan mata menatapnya.
“Apa maksudmu tentang insting ‘takut’ku? Jenis yang tidak akrab dengan manusia?” Tanyaku dengan suara masih gemetar saat debaran jantungku mulai mereda. Tapi bulu kudukku masih meremang. Keringat dingin juga belum berhenti megalir di pelipisku. Lagi-lagi mulutku melontarkan pertanyaan tanpa sempat kupikurkan terlebih dahulu saking penasarannya. Padahal aku tidak yakin apakah aku cukup berani untuk mengetahui jawabannya.
“Aku rasa… ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan seseorang yang sedang ada di ruang sebelah” Francesc berkelit dan berjalan menuju sudut kamarku. Memandangku berkali-kali tidak yakin. Aku rasa dia menimbang-nimbang apakah akan memberitahuku—atau yang lebih ektrem, memperkenalkan temannya kepadaku atau tidak. Apa yang disembunyikannya? Berapa banyak sebenarnya jenis-jenis makhluk bukan manusia yang dia maksud? Dari raut wajahnya aku tahu dia sudah mengambil keputusan untuk tidak memberitahuku, tidak sekarang.
“Tenang saja nona, aku tidak akan membiarkan satupun dari teman-temanku mencelakaimu” Katanya sambil tersenyum jahil kemudian lenyap. Dia seperti sedang mempermainkan aku yang ketakutan. Aku meringkuk di tempat tidurku lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. Mataku membelalak dalam gelapnya ruang dibawah selimut. Aku benar-benar tidak menyangka akan terjebak dalam situasi begini. Dikelilingi para makhluk yang bukan manusia. Yang diantaranya mungkin akan mengancam keselamatanku.

Aku berusaha menghilangkan pikiran bahwa di ruang sebelah sedang ada pertemuan antara makhluk bukan manusia. Tapi itu semakin sulit kulakukan saat aku mendengar semakin banyak suara dari ruang tengah. Bukan hanya suara Francesc yang begitu merdu dan lembut, juga suara teman dari Birminghamnya yang tadi aku temui. Tapi aku juga mendengar dua suara lagi. Yang satu wanita dengan suara yang indah menggema dan suara laki-laki yang lebih rendah dan berat. Aku memejamkan mata dan berusaha mengabaikan apa yang sedang mereka diskusikan, memang kedengarannya serius sekali, tapi aku sama sekali tidak bisa mendengarnya karena panik. Aku terus berusaha untuk tidak mendengarkan sampai aku mendengar suara yang sungguh tidak asing lagi. Dan aku lagsung membelalak ngeri mendengarnya.
“Maaf kami terlambat” Sapa Danniene terdengar riang di ruang sebelah.
“Kalian tahu kan, kami tidak bisa bepergian dengan mudah seperti kalian?” Suara Mathieu menyusul di belakangnya. Aku hampir saja menjerit histeris saat mendengar sepasang suara yang aku kenali itu. Sebagian otakku memerintahkanku untuk keluar kamar dan memastikan apakah sumber sepasang suara itu benar-benar Danniene dan Mathieu dan sebagian otakku yang lain memberitahuku bahwa mungkin saja itu bukan mereka. Akal sehatku mengikuti perintah sebagian otakku yang memintaku tetap bertahan di kamar. Lagipula itu pasti bukan Danniene dan Mathieu. Mereka sehat-sehat saja sesaat sebelum aku pulang. Tidak mungkin mereka bagian dari hantu-hantu temannya Francesc yang datang hari ini. Tidak mungkin.
“Tidak masalah, Danniene. Kalian memang harus pintar-pintar membaur dengan manusia. Aku juga sih. Eh, kudengar kalian membuka sebuah toko?” Sahut suara cowok yang tadi aku temui.
“Oh, Hello Dwight! Astaga sudah lama sekali aku tidak melihat vampir di London. Ya, kami memanag membuka sebuah kedai, mampirlah kapan-kapan” Sapa Danniene kepada cowok itu. Vampir katanya? Astaga! Cowok yang baru aku temui tadi itu Vampir? Darah terasa surut dari kepalaku. Perutku mual dan tanganku basah. Kupikir vampir itu tidak ada! Inikah maksud dari perkataan Francesc tentang instingku untuk takut kepadanya? Karena dia bukan dari jenis yang akrab dengan manusia. Bagaimana mungkin mereka akrab dengan manusia? Mereka kan memangsanya! Aku kembali gemetaran. Kalau saja hantu yang aku temui di flat ini adalah Dwight—yang vampir, dan bukan Francesc. Aku pasti sudah mati kehabisan darah.

***
“Ah, Coleen!” Sapa Mathieu kepada seseorang di ruangan itu. Yang aku yakini adalah si cewek bersuara indah.
“Kau masih mengingatku rupanya” Sahut Coleen ramah. Suaranya sangat merdu dan enak didengar.
“Aku tak menyangka kau juga datang, Mr Fletcher” Suara Mathieu berubah sedikit lebih formal saat menyapa seseorang lagi.
“Jangan begitu, panggil aku Darren saja. Cesc yang mengundangku, katanya penting. Makanya aku datang” Kata suara yang lebih berat dibandingkan dengan suara yang lain bahkan Mathieu yang suaranya cukup berwibawa menurutku, tidak ada apa-apanya. Dari aksennya aku yakin dia sudah hidup sejak abad pertengahan.
“Oh, sungguh reuni yang menyenangkan!” Kata Mathieu. Rasa penasaran kembali bergejolak liar di dalam dadaku. Ingin sekali rasanya melihat sosok mereka. Terlebih lagi, aku ingin memastikan apakah itu benar-benar Danniene dan Mathieu yang baru saja aku temui di toko satu jam yang lalu. Aku memasang telinga lekat-lekat. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi mana yang kenyataan ,mana yang bukan. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
“Sepasang penyihir legendaris tak pantas rasanya memanggil nama belakangku hanya karena aku lebih tua” Kata pria bernama Darren. Penyihir? Siapa? Sepasang penyihir katanya? Apakah yang dia maksud adalah Danniene dan Methieu? Bohong! Mereka sungguh manusia biasa. Mereka Normal-normal saja. Tidak mungkin mereka penyihir legendaris yang dimaksudkan Darren.
“Sepertinya teman manusiamu sedang mencuri dengar pembicaraan kita, Cesc. Apakah sebaiknya tidak sekalian saja kau bawa kemari? Aku syok setengah mati saat Dwight yang vampir itu mengetahui aku sedang mendengarkan percakapan mereka.
“Teman manusia?” Suara Danniene langsung berubah panik saat Dwight memberitahu ada manusia di flat ini. Seolah-olah dia takut penyamarannya sebagai manusia normal terancam terbongkar.
“Apa maksudmu teman manusia?” Bentak Mathieu. Sepertinya hanya Danniene dan Mathieu yang baru tahu tentang keberadaanku. Karena Coleen dan Darren tak bereaksi.
“Aku juga kaget Cesc berteman dengan manusia. Cewek lagi” Kata Coleen jengkel. Solah-olah yang dilakukan Francesc adalah kelainan.
“Dia tidak buruk kok” Aku cukup kaget mendengar pembelaan Francesc.
“Bawa dia kemari, Cesc. Itu yang terbaik. Dia sudah bersinggungan dengan dunia kita. Tidak ada gunanya berpura-pura dia tidak tahu” Sahut Darren bijak. Oh, tidak. Aku akan dibawa ketengah-tengah penyihir, vampir dan hantu yang jenisnya aku tidak tahu. Keringat dingin kembali meluncur di sekitar wajahku. Perutku terasa kram. Tiba-tiba suasana hening sejenak. Seperempat detik kemudian Francesc sudah berada di sisi tempat tidurku.
“Mereka memintamu bergabung. Maaf, tapi aku tidak bisa menolak” Kata Francesc sambil menyingkirkan selimut yang meneyelubungi tubuhku. Aku menatapnya, seolah memohon agar aku dikeluarkan saja dari tempat ini.
“Aku berjanji kau akan baik-baik saja” Katanya sambil menarik tanganku, setengah menyeretku kearah ruang tengah. Disanalah mereka semua berkumpul.
Dwight bediri bersandar di dinding sambil melipat kedua tangannya di dada. Memandangku dengan tatapan kosong. Di susut ruangan lain aku melihat sesosok wanita cantik berambut pirang kemerahan. Aku mengira-ngira usia manusianya sekitar dua puluh tahunan. Pasti itulah Coleen—yang bersuara merdu. Disampingnya ada seorang pria yang mengenakan stelan jas abad pertengahan yang kuno. Anehnya… dia tidak berwarna. Sosoknya hitam-putih dan hampir transparan. Aku juga mendapati kakinya tidak menyentuh lantai. Dia tersenyum ramah sambil membungkukkan tubuhnya kearahku seraya memberi hormat—khas gaya abad pertengahan. Aku bingung harus bersikap bagaimana. Jantungku masih berdetak tak karuan.
“Astaga, Carla!” Aku mendengar suara Danniene terkaget saat melihat siapakah teman manusia Francesc sebenarnya. Ternyata pendengaranku tidak salah. Itu benar-benar Danniene dan Mathieu. Bahkan mereka masih mengenakan pakaian yang tadi. Aku hampir saja roboh karena kakiku terasa lemas sekali sebelum Francesc menahan tubuhku dengan tangannya yang sedingin es itu. Dia mendudukkanku di sofa. Aku menunduk dan memegangi kepalaku dengan kedua tangan. Kepalaku terasa berat sekali.
“Kau mengenal gadis ini Danniene?” Tanya Darren bingung.
“Tentu, dia bekerja untukku di kedai!” Jawab Danniene antusias, namun tetap tak beranjak dari tempatnya di sisi kanan Darren. Mathieu juga sama kagetnya dengan Danniene.
Francesc menatap bingung kearah Danniene kemudian ke arahku. Aku membalas tatapan matanya. Sedetik kemudian tatapan matanya melunak.
“Pacarmu pasti marah sekali kalau tahu kau bekerja” katanya sambil merebahkan diri disampingku.
“Baiklah, aku sudah membawanya ke sini. Kita mulai saja langsung ke pokok masalah” Kata Francesc kemudian. Aku kembali membenamkan wajah di kedua tanganku. Ingin rasanya aku terjun keluar jendela saking paniknya berada satu ruangan dengan mereka semua. Aku yakin air mataku mulai menggenang sekarang. Aku merasakan ada seseorang lagi yang duduk di sampingku. Aku menoleh perlahan untuk memastikan. Aku harap bukan si vampir haus darah yang kulihat. Ternyata itu Danniene. Aku bingung harus berlaku apa. Aku syok setengah mati menyadari kehidupanku dikelilingi sosok-sosok gaib ini. Aku menyesal dulu pernah berharap bisa bertemu hantu. Aku menyesal dulu aku begitu antusias ingin melihat Francesc.
“Jangan panik, Carla. Aku juga manusia sepertimu kok. Kau bukan satu-satunya manusia disini. Walaupun aku cukup syok saat tahu kau berteman dengan hantu” Kata Danniene seraya meletakan satu tangannya di bahuku. Tiba-tiba gelombang ketenangan menghampiriku. Degup jantungku kembali beraturan. Kepanikan yang melanda otakku berangsur lenyap. Aku memandang Danniene.
“Kau manusia?” Tanyaku ragu-ragu.
“Ya, tentu saja aku manusia. Sama sepertimu” Jawab Danniene sambil tersenyum.
“Kukira kalian penyihir?” Tanyaku.
“Well, penyihir juga manusia. Kami memang manusia yang kebetulan menguasai sihir” Jelas Danniene sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku cukup lega ternyata Danniene dan suaminya manusia sungguhan. Setidaknya bukan cuma aku makhluk asing yang hadir di pertemuan aneh ini.
“Bisa tidak kita mulai sekarang?” Tanya Dwight dengan nada jengkel.
“Aku sudah mulai bosan. Kalian tahu kan? Kalau bosan biasanya aku mudah lapar?” Dwight menyeringai kearahku. Aku membelalak ngeri kearahnya. Karena dia tidak mungkin menyuruhku membuatkan makanan normal untuknya kalau dia lapar.
“Dwight!” Bentak Francesc.
“Hey, aku cuma bercanda kok! Aku sudah makan saat perjalanan ke tempat ini” Katanya. “Tanya saja Coleen. Dia yang membereskan sisanya” Jelas Dwight. Aku bergidik ngeri membayangkan apa yang sudah Dwight dan Coleen lakukan sebelum tiba di tempat ini.
“Sudahlah, Dwight. Kau malah membuatnya semakin parah” Keluh Francesc.
“Baiklah, sebenarnya. Alasan aku mengundang kalian semua ke tempat ini” Francesc berdeham berkali-kali.
“Kalian tahu kan, dia sudah menduduki Himalaya?” Tanya Francesc akhirnya. Dia? Dia siapa? Siapa yang menduduki Himalaya? “Kurasa Eropa sasaran berikutnya. Well, dia harus terus lari kan?” Katanya kemudian. Suasana hening mencekik. Rasanya ada sesuatu yang mereka takuti datang. Tapi apa?
“Kurasa kita bisa menghalaunya dari Eropa kalau semua bersatu” Kata Francesc.
“Sulit sekali untuk bersatu kau tahu itu. Eropa sangat luas!” Desak Dwight. “Apa lagi mereka yang di Timur. Sangat menjengkelkan!” Maki Dwight kemudian.
“Tapi patut dicoba” Kata Mathieu kemudian. “Meskipun kalian tidak bisa berharap banyak partisipan dari golongan kami,” Mathieu melanjutkan.
“Bisa mendapatkan kalian berdua saja sudah hebat” Darren berkata seraya mengangguk setuju.
“Kami kan cinta Inggris” Kata Danniene sambil tersenyum penuh arti.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka diskusikan. Terlalu banyak kata ganti yang tidak aku ketahui. Lagipula, siapa yang mau menduduki Eropa?
“Temanmu bingung, Cesc” Kata Dwight dengan cuek. “Dia bilang, terlalu banyak kata ganti yang kita gunakan, dan siapa sih yang mau menduduki Eropa?” Kata Dwight mengutip isi pikiranku. Aku membelalak kaget ke arah Dwight. Dia baru saja membaca pikiranku!
“Ya, kaget Calra?” Tanya Dwight menjawab pertanyaan di kepalaku sambil menyeringai sinis. Aku menolehkan wajah ke arah Francesc, menatapnya bingung sekaligus panik. Francesc menyiritkan dahi, membuat kedua alisnya bertautan. Dia menatapku penuh iba.
“Bisakah kau tidak membuatnya semakin panik?” Kata Francesc ke arah Dwight.
“Sepertinya sulit, sudah lama sekali tidak ada manusia yang mengetahui identitasku. Asyik sekali bermain-main dengan manusia ya, kau membuatku iri Cesc” Katanya sambil memandangku. Francesc menggeleng-geleng tanda tak setuju.
“Jangan hiraukan dia, Carla” Kata Francesc sambil menyentuh punggung tanganku. Tangannya yang sedingin espun tak terasa sama sekali karena tanganku sendiri serasa membeku. Sekarang aku—bahkan di dalam pikiranku sendiri sudah tidak aman.
Setelah perundingan yamg sama sekali tidak aku mengerti, tentang kawasan-kawasan Eropa dan Himalaya, Danniene, Mathieu, dan Darren berpamitan. Darren—yang transparan, menghilang begitu saja tak berbekas. Sementara Danniene dan Mathieu yang manusia—meskipun tidak normal, pergi dengan cara normal. Sebelum keluar dari pintupun mereka sempat berkata sampai jumpa besok di toko. Aku malah tidak yakin apakah aku akan kembali lagi ke toko yang pemiliknya adalah sepasang penyihir itu. Tanganku masih terasa dingin dan basah walau keadaanku sudah tidak se-parah tadi. Tapi satu ruangan dengan vampir—Dwight dan Coleen masih ada di sini untuk melanjutkan diskusinya dengan Francesc, memang tidak lebih baik. Tapi kenyataannya, Dwight malah bermain-main dengan isi kepalaku saat Francesc dan Coleen berbicara serius.
“Hmm… kau sudah punya pacar ya? Daniel?” Tanya Dwight sambil menyeringai senang. Aku membelakakan mata kearahnya—dia duduk tepat di depanku. Menyeringai senang sambil terus memandangku.
“Hmm… tampan juga. Pacar pertamamu?” Jengkel karena dia seenaknya membeberkan isi kepalaku. Aku melipat kedua lenganku, menatapnya sinis. Apakah dia tidak diajarkan sopan santun?
“Jangan marah, aku hanya sedang lihat-lihat saja” Katanya diselingi tawa. Lalu mengikutiku—melipat kedua lengan di dadanya. Dia masih menatapku. Tatapan aneh, sambil sesekali mngernyitkan hidung.
“Kau—pikiranmu sangat menarik, mau bergabung denganku?” Kata Dwight dengan penegasan di setiap katanya, kemudian dia beranjak duduk di sebelahku.
“TIDAK!”
Aku tidak sempat berpikir tentang maksud kata-katanya sampai Francesc tiba-tiba berteriak dan menubruk Dwight, mendorongnya sampai ke dinding. Dan sekejap kemudian sudah kembali dan berdiri tepat di depanku.
“Jangan macam-macam!” Bentaknya kepada Dwight yang terduduk di lantai akibat hantaman Francesc. Aku langsung panik dan berdiri.
“Ada apa? Apa yang kau lakukan?” Tanyaku panik. Mereka berkelahi? Tapi kenapa? Francesc hanya diam, tak sama sekali menggubris pertanyaanku. Dia masih menatap lurus Dwight yang kemudian berdiri.
“Aku hanya bercanda, Cesc! Kau terlalu berlebihan menaggapinya. Aku sudah bilang kan, aku sudah makan,” Kata Dwight.
“Kau yang memintaku menaggapi ini dengan serius” Sahut Francesc dingin.
“Sudah, cukup Cesc! Dwight, berhentilah bermain-main!” Bentak Coleen dengan suara tinggi. Wajahnya terkesan galak, namun tetap cantik. Aku memandang Coleen dan Dwight bergantian. Sementara posisi tubuh Francesc—Cesc mulai rileks. Ekspresi Dwight tidak berubah sejak awal. Tetap menyeringai jail. Cesc berbalik dan menatapku lekat-lekat. Wajahnya serius sekali. Iris matanya yang merah seakan berkobar menyala-nyala. Aku balas menatapnya dengan bingung.
“Dwight tidak akan melukai Carla, benar kan Dwight?” Tanya Coleen memastikan.
“Tentu, sudah aku katakan aku hanya bercanda. Lagipula sejak kapan kau memerdulikan manusia sih?” Tanya Dwight ditengah-tengah pengakuannya. Cesc melindungiku? Dari apa? Serangan vampir? Aku bahkan tidak tahu Dwight hendak menyerangku tadi. Aku menatap Dwight, Coleen dan Cesc bergantian. Cesc memejamkan mata, berhenti menatapku dengan serius. Kembali menghadap Coleen dan Dwight. Menundukkan kepala sebentar dan berjalan kearah keduanya.
“Ya, kau benar, aku tidak pernah begini sebelumnya. Aku percaya padamu. Maafkan aku Dwight,” Kata Cesc, Dwight hanya tersenum. Sekilas Cesc menatapku, tatapanya lirih.
“Sudah larut Carla, tidurlah” Cesc mengatakannya saat masih memunggungiku. Aku memilih menurutinya. Tak mau mengambil resiko terlibat dalam perkelahian antara hantu dengan vampir—aku berjalan kearah kamarku perlahan. Sebenarnya aku punya banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa Francesc tiba-tiba menyerang Dwight? Tapi kuputuskan untuk memendamnya—walaupun aku tahu Dwight tahu dengan jelas apa yang sedang ada di kepalaku. Aku naik ke tempat tidur, kembali menyelubungi tubuhku dengan selimut. Aku ragu apakah aku bisa tidur malam ini? Setelah semua kejadian hari ini. Tapi ternyata aku cukup kelelahan dan aku tertidur lebih cepat dari yang aku bayangkan. Aku sempat berharap kejadian yang baru saja menimpaku ini ternyata hanya mimpi sesaat sebelum aku memejamkan mata. Aku masih dapat mendengar pecakapan terakhir mereka sebelum aku benar-benar terlelap.
“Jangan tanya alasanku, Dwight. Aku juga tidak tahu” Suara Cesc mengalun merdu di telingaku. Seperti sedang menina-bobokan aku.
“Baiklah. Aku juga tak berharap kau memikirkannya” Kata Dwight kemudian. “Kuharap hanya sebatas itu ya, Cesc. Hindari hal yang memang tak perlu—tak pantas” Dwight melanjutkan kalimatnya. “Lagipula sejak awal aku sudah keberatan kau tinggal dengan manusia, terlebih dengan dia—dia berbeda. Aku tidak dapat memastikannya sih, tapi jalan pikirannya menarik” Kata-kata Dwight adalah hal terakhir yang aku dengar malam itu.

Fan Fiction: Another Love Story 3.

Daniel

Aku berjalan menelusuri trotoar di depan kampusku. Benar, aku tinggal disini dengan tujuan pendidikan. Aslinya, aku adalah orang Spanyol. Kemudian aku bersikeras untuk kuliah di Inggris Raya ini, memohon pada kedua orang tuaku—yang sangat menentang pada awalnya karena alasan keamananku, agar aku diizinkan pergi ke tempat ini untuk melanjutkan studiku. Setelah perundingan alot—dan juga atas bantuan Daniel, pacarku yang juga tinggal di London, walaupun sekarang dia sedang ada di Perancis untuk kejuaraan balapnya. Keluargaku bukan termasuk keluarga kaya, jadi dua tahun sebelumnya, saat aku masih SMA aku sudah berusaha mengumpulkan uang sendiri dengan bekerja part time, uangnya kemudian aku tabung untuk meringankan biaya pendidikanku nantinya. Lagipula aku memang mendaftar di jalur bea siswa. Tentu saja, Daniel selalu bersikeras untuk membiayai kehidupanku juga pendidikanku, tapi aku selalu menolaknya. Bukan bermaksud untuk sombong, hanya saja aku tidak mau hubungan cinta kami yang selama ini terjalin manis ternoda oleh uang. Aku berusaha sebisaku agar ia tidak mengeluarkan terlalu banyak uang yang didapat dengan mempertaruhkan nyawa di lintasan balap itu untuk membelikanku barang-barang mewah. Sadar ia tidak akan mempan menyogokku dengan uangnya, Daniel malah melakukannya pada orang tuaku. Tentu saja, ibuku yang paling terlihat senang saat Daniel datang berkunjung ke rumahku. Dengan segala bingkisan-bingkisan yang menyertainya.

Cuaca cukup dingin untuk sore hari di bulan Agustus. Ini yang paling aku benci dari London, cuaca yang sangat sangat tidak menentu. Matahari terik kemarin ternyata tidak menjadi pertanda bahwa hari ini akan cerah. Dan aku tidak memakai jaketku, aku meninggalkannya di flat, karena kupikir cuaca tidak akan berubah drastis seperti ini. Aku rindu matahari Spanyol. Aku berjalan ke sebuah halte sembil mendekap erat tubuhku sendiri. Angin sedingin es menerpa kulit wajahku, menyibakkan rambut hitamku yang sepunggung tergerai sepenuhnya ke belakang. Aku harus naik bus dari sini sampai melalui delapan halte berikut, lalu aku masih harus berjalan kaki lagi untuk menuju flatku. Memang jarak flat dan kampusku agak jauh. Ini terjadi karena aku berusaha mencari tepat tinggal yang termurah yang mungkn aku dapatkan. Sekarang aku tahu mengapa harga sewa flatku murah. Francesc. Kurasa aku harus berterimakasih padanya, karena kalau dia tidak ada, mungkin aku tidak bisa menolak uang pemberian Daniel. Oh, kenapa dua hari ini aku terus teringat dia. Wajahnya memang tidak lebih tampan—tapi dia tetap sangat tampan bagiku, dari hantu yang baru aku temui beberapa hari yang lalu, tapi, dia tentu begitu spesial. Alisnya juga tebal, matanya yang begitu berkilauan selalu terlihat indah saat dia menatapku, dan yang selalu membuatku terlupa akan masalah yang sedang menimpaku adalah senyumannya. Sangat menentramkan. Aku heran mengapa dia, yang tampan dan kaya itu—dan pembalap, yang pastinya punya jutaan fans cewek yang cantik-cantik yang dengan sukarela dan akan melakukan apa saja untuk menggantikan posisiku, mau menghabiskan perhatiannya untukku.

Aku lantas tersadar aku sedang merindukannya. Aku merindukan Daniel dan segala kelembutan dan perhatiannya yang hanya tertuju kepadaku, perhatiannya yang membuatku merasa begitu spesial sebagai seorang cewek—yang bisa dibilang biasa-biasa saja—kalau dibandingkan dengan pacarku yang tampan dan terkenal itu. Aku meringgis membayangkan perbedaan kami. Beruntung benar aku memiliki dia. Tak sadar air mataku menggenang dipelupuk mata. Jangan cengeng, Carla! Jangan sekarang! Aku menyeka air mata yang hampir jatuh itu. Aku merindukan Daniel dan aku menginginkannya lebih dari apapun juga saat ini. Sudah hampir dua bulan ini aku tidak bertemu secara langsung dengannya. Minggu ini dia di Perancis, dua minggu yang lalu ada di Malaysia, satu bulan yang lalu dia di China dan satu bulan tiga belas hari yang lalu dia di Amerika. Aku selalu cengeng begini saat merindukannya. Tapi aku tidak mugkin menghubunginya dan memintanya datang, egois benar aku kalau sampai melakukannya. Dia kan sedang di Le Mans untuk persiapan kejuaraan balapnya, pasti dia sedang sangat sibuk sekali. Dia memang meneleponku beberapa kali seminggu tapi bagiku itu tidak cukup. Kupikir dengan keadaan kami yang sama-sama tinggal di London akan mempererat hubungan kami. Karena tahun pertama kami berpacaran sangat berat untukku. Aku tinggal di Spanyol dan di di Inggris. Dia hanya kembali saat kejuaraan seri dan liburan tertentu. Rasanya sangat tidak enak kalau tidak sedang bersamanya.

Aku berusaha membenahi suasana hatiku yang tiba-tiba sangat rapuh saat berjalan menuju flatku. Saat aku sampai disisi gedung flat, aku tidak menyadari ada sebuah Aston Martin bercat silver terparkir anggun didepan gedung. Harusnya aku menyadarinya, tidak mungkin ada mobil mewah terparkir di depan gedung flat yang sederhana ini. Tapi suasana hatiku yang kacau balau tidak megizinkan otakku untuk bekerja dengan benar. Aku langsung bergegas berjalan menuju tangga, meniti satu demi satu anak tangga. Kamarku ada di lantai empat, dan letaknya paling pojok. Saat tiba didepan kamarku, dan berusaha memasukkan kunci ke pintu, aku baru sadar tanganku gemetaran, entah karena dingin atau apa, itu mempersulitku memasukkan kunci dengan benar.
“Oh, sial” Gumamku saat aku malah menjatuhkan kunci sialan itu ke lantai. Saat aku ingin memungutnya, ternyata ada tangan asing yang melakukannya terlebih dahulu dan menyerahkannya kepadaku.
“Terimakasih” sahutku tanpa memalingkan wajah dari kunci di genggamannya. Aku punya dua alasan untuk tidak melihat wajah si pemungut kunci itu, yang pertama, karena aku sedang tidak mood untuk berkenalan dengan tetangga baru dan yang kedua karena aku tidak ingin ia melihat air mata yang kembali menggenang di pelupuk mataku.
“Kau bahkan tidak menyadari kehadiranku” Aku tersentak kaget saat mendengar suaranya, dan itu membuat kunciku jatuh lagi. Daniel memungutnya kembali, aku sangat shock dan tak percaya, dan itu membuat air mata yang sejak tadi aku tahan jatuh berlinangan dipipiku.
“Carla? Astaga kau menangis? Ada apa?” Tangan hangatnya merengkuh wajahku, nyaman sekali. Dia menatapku panik. Apa wajahku terlihat begitu parah? Karena ia kelihatan benar-benar panik sekarang.
“Dani…?” Suaraku parau saat mengucap namanya. Bukankah seharusnya dia masih ada di Perancis sampai setidaknya minggu depan? Dan air mataku semakin deras mengalir.
“Ini aku Sayang, ada apa Carla? Kenapa kau menagis? Dan kau dingin sekali… kau tidak bawa mantelmu?” Dani memelukku erat, membiarkan panas tubuhnya menghangatkan aku.
“Kemarikan kuncimu, kita harus masuk sebelum kau membeku” Dani merebut kunci itu dari genggaman tanganku yang gemeteran dan membukakan pintu untuk kami. Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali, Dani langsung membimbingku masuk sampai ke ruang tengah, kemudian merengkuh tubuhku lebih erat, menggosok-gosokkan telapak tangannya ke lenganku, menghangatkan aku. Ya Tuhan, apa aku sedingin itu? Dia kemudian mengecup keningku dan menyingkirkan rambutku yang basah karena air mata dari wajahku. Dia melepaskan pelukannya untuk merunduk dan menatapku.
“Carla, ada apa?” Wajahnya masih kelihatan panik dan bingung. Aku menggeleng, memberinya isyarat bahwa aku tidak apa-apa. Aku memang baik-baik saja, aku cuma merindukan dia, aku biasanya tidak menunjukkan kecengenganku ini dihadapannya, tapi aku malah tidak dapat menghentikan air mataku saat ia sudah ada disini. Konyol.
“Aku tidak apa-apa” Jawabku sambil bersusah payah meredakan tangisku, dan berhasil.
“Bagaimana mungkin kau tidak apa-apa?” Tanya Dani sambil menyeka air mataku dan menunjukkan jari jarinya yang basah. Aku tertawa lirih sambil berusaha menghentikan tangisan bodohku ini—yang hanya membuat wajah kekasihku pucat.
“Aku merindukanmu bodoh,” Jawabku sambil membelai pipinya. Rona panik lenyap dari wajahnya, digantikan dengan ekspresi aneh. “Terserah kalau kau tidak percaya, aku memang jadi sangat cengeng kalau sedang rindu padamu” Jawabku jujur, aku tahu pasti wajahku sudah memerah, selalu begitu saat aku mengutarakan perasaanku padanya. Tiba-tiba dia tersenyum mengejek dan mengelus rambutku.
“Aku tidak tahu kau begitu” Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil terus membelai pipiku yang lembab. Tatapan lembutnya membuyarkan kegundahan yang tadi menguasaiku.
“Aku memang tidak ingin kau tahu, ini memalukan” Jawabku.
“Aku sudah disini, jangan menangis dan membuatku panik lagi” Bisiknya ditelingaku, aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat dan lembut menerpa leherku, kemudian dia mengecup rahangku. Dani merapatkan tubuhnya ke tubuhku, membuat punggungku semakin rapat bersandar ke dinding. Kecupannya yang hangat dan lembut berjalan menjelajahi dahi dan pipiku, kemudian kembali ke rahangku. Perlakuannya ini selalu membuat jantungku berdetak tak karuan serasa hampir lepas dari tempatnya, napasku juga mulai tidak beraturan. Tangannya merengkuh tanganku dan ia membawanya, mengalungkannya di lehernya, kemudian kedua tangannya meraih pinggangku.
“Carla” Ia membisikkan namaku tepat sesaat sebelum bibirnya menemukan bibirku. Bibirnya bergerak lembut di bibirku, dan tak perlu waktu yang lama, aku mulai terhanyut. Aku merengkuh wajahnya, kemudian menyusupkan jari jariku ke rambutnya. Darah mengalir lebih deras di tubuhku, aku bahkan lupa tadi aku sempat kedinginan. Dani masih terus menempelkan bibirnya di bibirku. Rasa rinduku yang bertumpuk membuatku tidak ingin melepaskan ciumannya sedetikpun, walau aku mulai merasa pening karena tidak bisa bernapas dengan benar. Mendadak ciumannya melambat dan tangannya menempel di pipiku, menahan kepalaku. Dengan mudah dia melepaskan ciumanku. Kemudian dia menatapku sambil menahan tawa.
“Jangan sampai kau mati kehabisan napas, Carla” Katanya menggodaku. Aku cuma bisa merengut dibuatnya. Ia kembali memelukku, membawaku ke dadanya yang bidang dan hangat.
“Aku suka sekali saat kau sedang rindu padaku. Kau bahkan lebih agresif daripada aku” Ejeknya disela-sela tawanya yang renyah, aku tidak bisa menyangkal saat dia mengatakannya, aku hanya diam menikmati pelukannya yang hangat dan nyaman, menikmati kehadirannya. Kemudian Dani melepaskan pelukannya. Aku sedikit memprotes tindakannya dengan erangan yang tak ditanggapinya.
“Kau lapar? Aku lupa aku membawakan sesuatu untuk kita, dan masih ada di mobilku. Tunggulah sebentar” Dia lantas bergegas keluar ruangan, yang terdengar kemudian hanyalah bunyi pintu masuk yang dibuka dan tertutup lagi. Tentu saja, Aston Martin yang terparkir dengan anggunnya didepan sana tadi miliknya. Bodohnya aku tidak menyadarinya.
Tiba-tiba aku merasakan hawa dingin yang mulai tersa familiar dikulitku. Francesc. Sudah tiga hari sejak kemunculannya yang terakhir.
“Dia pacarmu?” Tanya sosok rupawan itu.
Aku merebahkan tubuhku di sofa sambil mengangguk-angguk kecil menjawab pertanyaannya. Rongga dadaku terlalu dipenuhi kebahagiaan hingga tidak mampu berkata-kata.
“Boleh saja kalian bermesraan seperti itu, tapi aku minta jangan yang lebih dari itu” Pernyataannya membuat aku kaget. Dia menyaksikan aku berciuman? Hey, itu kan tidak sopan! “Ingat kan, flat ini tempat tinggal bersama?” Ia mengingatkan aku.
Benar juga, ini tempat tinggal bersama, dan aku sudah berjanji untuk tidak ‘mengganggu’nya.
“Tenang saja, hubunganku dengannya belum sampai tahap yang lebih dari itu kok,” Aku menjawabnya dengan kaku, menyadari makna pernyataanya tadi.
“Bagus, aku tentu tidak ingin melihat yang lebih dari yang tadi itu” Katanya sambil memutar bola matanya. Dia menatapku sekilas.
“Ada apa?” Tanyaku. Francesc tersenyum penuh arti.
“Dia baik, pilihanmu tepat sekali” Aku tidak tahu dari mana ia mendapat kesimpulan itu, padahal bertemu secara langsung saja tidak pernah—dan aku tidak ingin Dani bertemu dengannya, dia pasti langsung menyuruhku pindah kalau tahu tempat ini berhantu. Tapi dilihat dari sorot matanya, terlihat sekali dia sangat yakin dengan kata-katanya.
“Terimakasih, kau juga baik” Kataku jujur, walaupun dia sempat hampir membunuhku, tapi aku tahu sebenarnya dia orang yang baik. Dan dia memang tidak membunuhku kok. Aku tidak tahu bagaimana nasibku kalau hantu yang kutemui disini bukan dia. Aku mungkin sudah tidak ada lagi sekarang.
Dia tersenyum kepadaku kemudian menghilang. “Aku dibunuh orang tahu, itu artinya aku bukan orang baik. Mana mungkin ada orang yang begitu membenciku sampai harus melenyapkan aku kalau aku orang baik kan?” Suara merdunya menggema seantero ruangan.
“Bagiku kau tetap orang baik” Balasku, dan kemudian dia benar benar lenyap. Aku heran kemana perginya dia saat tidak menampakkan diri?

Setelahnya aku mendengar suara yang sama, suara pintu masuk yang terbuka dan, sejurus kemudian suara berdebam tanda pintu ditutup kembali. Dan aku mendapati kekasihku tercinta datang menghampiriku, membawa satu kantung plastik penuh makanan. Aku terbelalak dibuatnya ketika ia mengelurkan satu demi satu kemasan makanan siap saji dan menjajarkannya di meja tamuku. Tacos, sekotak pizza, sepotong short cake strawberry… Terakhir aku melihat dua kotak es krim coklat.
“Astaga Dani, yang benar saja” Bentakku.
“Apa? Kau suka tacos kan? Juga suka pizza dengan pepperoni?” Tuntutnya bingung.
“Bukan itu maksudku! Ini banyak sekali… Benar-benar banyak! Apa kau berpikir kita berdua sanggup menghabiskannya?” Tanyaku.
“Well, aku bingung mau membawakanmu apa—karena banyak sekali makanan yang kau sukai, jadi kubawakan saja semuanya” Jawabannya sungguh membuat aku marah.
“Kau tidak perlu menghabiskan uangmu hanya karena banyak makanan yang kusuka” Sahutku.
“Maafkan aku Carla, aku hanya ingin membawakanmu sesuatu” Balasnya dengan lembut, dan aku dijamin tidak akan bisa melawannya—kelembutannya. Aku menghela napas panjang kemudian berbicara.
“Sudahlah Dan, tidak apa-apa. Maafkan aku” Aku tahu seharusnya aku tidak boleh bersikap begini kepada seseorang yang telah memberiku sesuatu. Tidak sopannya aku.
Keadaan lalu sunyi sejenak. Dani masih duduk membatu di sofa, ekspresinya tak terbaca, menggenggam kantong plastik yang tadi terisi penuh. Aku memutuskan untuk mengambil beberapa piring dan peralatan makan lainnya di dapur.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil piring untuk kita” Kataku.
“Oh, biar aku saja” Jawab Dani seraya menyusulku ke dapur, Manggamit punggung tanganku lembut dan mengecup rambutku. Syukurlah dia tidak marah. Aku mengambil beberapa piring datar, sendok dan garpu, juga sebilah pisau. Dani melongok kedalam lemari esku dan menemukan sebotol besar cola di sana.

“Kau kan seharusnya ada di Perancis” Kataku mendadak teringat dimana seharusnya dia berada. Sekarang kami sedang makan malam bersama. Cukup mewah untukku, karena semua makanan kesukaanku terhidang dimeja kecil ini.
“Itu bukan pertanyaan” Sahutnya ringan sambil menyuap sepotong pizza ke mulutnya.
“Oh okay. Apa yang sedang kau lakukan disini?” Aku meralat pertanyaanku. Sejak kapan sih dia jadi begitu teliti.
“Hmm, aku sedang mengunjungi pacarku yang ternyata begitu kesepian tanpaku” Jawabnya enteng.
“Dani aku serius” Tuntutku.
“Aku juga serius Carla, aku merindukanmu” Jawabnya sambil menatapku.
“Oh, terserah lah” Gumamku kesal sambil menyuap potongan terakhir tacos digenggamanku.
“Hey, sejak kapan kau jadi begitu sensitif?” Tanya Dani sambil tertawa kecil. Aku tahu dia pasti menertawakan tingkahku yang cepat marah.
“Dan kau sejak kapan jadi suka menggodaku?” Tuntutku. Aku juga tahu wajahku pasti langsung memerah kalau dia mulai menatapku atau merayuku, aku juga bingung kenapa aku masih seperti ini. Padahal sudah hampir satu tahun kami bersama.
Dani tertawa renyah dan berkata, “Aku selalu suka menggodamu kok,” Dia masih terus tertawa, dan beberapa saat kemudian tawanya reda dan ia mulai menjelasan kepadaku alasannya berada di sini.
“Balapnya ditunda Sayang, dan karena aku sudah melakukan semua sesi tes, dan kualifikasi, jadi aku meminta izin pada Mr Puig untuk kembali ke London sebentar” Jelasnya padaku. Alberto Puig adalah mentornya. Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya, karena biasanya Mr Puig selalu bersama Dani disetiap kejuaraan.
“Dan alasan sisanya—tentang mengunjungi pacarku karena aku merindukannya, memang benar” Dani melanjutkan tawanya. Aku juga jadi tersipu karena pengakuannya.

Setelah merapikan meja, kami duduk berdampingan sambil menonton TV. Tangan kanannya memeluk pundakku, dan tangan kirinya sibuk memindahkan tombol channel dengan remote control. Sementara aku sibuk menikmati es krim yang tadi dibawanya. Udara dingin di luar sana tak akan menyurutkan rasa cintaku pada es krim coklat.
“Aku heran mengapa Negara ini punya hampir seribu channel, tapi tak satupun acara yang menarik” Gumamnya kesal.
“Matikan saja” Pintaku, dari pada kesal, lebih baik matikan saja kan?
Saat aku memintanya ia malah menemukan channel favoritnya, Star Sports, oh, apa lagi?
“Carla, apa kau tidak berpikir kalau jarak tempat ini dengan kampusmu cukup jauh?” Tanya Dani disela-sela perhatiannya yang tertuju ke layar TV.
“Memang agak jauh” Aku sependapat dengannya, tapi menurutku, selama aku bisa mendapatkan bus, tak jadi masalah. “Tapi ada bus yang melewatinya” Sambungku.
“Dan kau masih harus berjalan lumayan jauh untuk sampai ke sini” Tambah Dani.
“Tidak sejauh itu” Ralatku.
“Ya, tapi kau melakukannya dua kali sehari setiap hari kuliah” Ia meralat balik.
Ya, aku akui, aku memang sedikit capek kalau harus berjalan kaki sejauh itu dua kali sehari, saat berangkat dan pulang kuliah.
“Kau tahu? Sepertinya sebuah city car mungil akan cocok…” Aku tak mengizinkan Dani melanjutkan kata katanya. Oh, dia mulai lagi.
“Kukira kita tidak akan membicarakan uang-uangmu?” Tuntutku sambil melepaskan pelukan tangannya di bahuku dan menatapnya sebal.
“Oh, Carla. Aku kan tidak akan membelikanmu sebuah Porsche atau Bentley…” Dia menggenggam kedua tenganku sambil mengatakannya. Dan menatapku. Oh, bagus sekali! Aku kira dia sudah tahu apa kelemahanku.
“Izinkan aku memberikanmu hadiah Carla, selama ini aku selalu menuruti permintaanmu untuk tidak membelikanmu macam-macam” Dani berkata penuh kelembutan, dan sedikit memelas. Seolah olah dia-lah yang menderita kalau tidak memberiku hadiah.
Aku berpikir sejenak, aku memang membutuhkan kendaraan. Maksudku, sungguh asyik sekali kalau punya kendaraan sendiri. Aku bisa pergi ke kampus tanpa khawatir akan terlambat karena bangun kesiangan. Apakah kali ini aku akan menerima hadiahnya begitu saja? Tentu tidak.
“Kau sedang berpikir? Aku yang akan memberimu mobil tapi kau yang berpikir?” Tanya Dani heran.
Aku menghembuskan napas panjang dan membuat keputusan.
“Baiklah, kau menang. Kurasa aku memang membutuhkannya” Jawabku sebal.
“Kau… baru saja…” Dani kelihatan kaget luar biasa. Ini pertama kalinya aku mengizinkannya memberiku hadiah mahal. Sebuah mobil.
“Dengan syarat” Desakku.
“Baiklah, maksudku, tentu saja! Apa sih syaratmu?” Mendadak Dani jadi bersemangat.
Aku memaksakan otakku mengingat semua merek mobil-mobil mewah yang harganya kelewatan.
“Tidak Porsche, tidak Bentley, tidak Ford, Audi, Chrysler, BMW, Mercedes, Volvo, Aston Martin, dan… Err… Range rover—itu kan namanya? Oh, ya juga Chevrolet, dan Nissan” Tutupku. Yap! Aku rasa aku sudah menyebutkan semua merek mobil mewah.
“Ya ampun Carla! Kau menghabiskan daftarnya! Well, lagipula aku kan tidak mungkin membelikanmu Range Rover! Itu mobil laki-laki” Keluh Dani karena aku menghabiskan deretan mobil mewahnya.
“Itu syaratku, terima atau tidak terserah kau” Sahutku cuek.
Dani kelihatan berpikir keras dan kemudian dia menatap mataku penuh kemenangan. Eh? Apa aku melewatkan sesuatu?
“Aku terima syaratmu, Carla. Tidak akan ada Porsche, Bentley, Ford, Audi, Chrysler, BMW, Mercedes, Volvo, Aston Martin, Range Rover, juga Chevrolet, dan Nissan” Kata Dani mengulangi daftar yang tadi aku syaratkan “Lagi pula aku akan memberimu sebuah…” Dani memenggal kalimatnya disambung cengiran menyebalkan. Jantungku berdebar debar. Takut melewatkan merek mahal lainnya.
“Volks Wagen. Itu tidak ada di daftarmu, artinya sebuah VW Golf akan hadir dibawah sana minggu depan, Carla” Seringai Dani penuh kemenangan.
Oh tidak! Tidak! Aku melewatkan mobil buatan Jerman itu! Aku melewatkan mobil sialan itu! Dan aku tidak mungkin meralat syaratku.
Aku mengerang kalah, dan Dani tertawa penuh kemenangan. Harusnya aku tahu aku pasti kalah, mana mungkin aku yang mahasiswi biasa bisa mengalahkan pengetahuannya tentang otomotif? Maksudku, dia kan memang bekerja untuk otomotif!

“Aku berjanji kau akan menyukainya Carla, VW Golf itu mungil dan cukup simpel, cocok untukmu. Lagipula sudah kupilihkan yang tidak terlalu mahal, VW Golf yang R32 tidak sampai dua puluh lima ribu Pounds” Dani langsung antusias sementara aku merebahkan kepalaku di sofa. Mendadak aku pusing, dia bahkan tahu tipe-tipenya. Aku seharusnya tidak usah mengajukan syarat bodoh itu tadi. Seminggu lagi tumpukan uang dua puluh lima ribu Pounds akan disulap menjadi sebuah mobil di depan flatku. Yang benar saja, bagiku dua puluh lima ribu Puonds itu besar sekali!
“Apakah dua puluh lima ribu itu tidak kelewatan?” Tanyaku, berharap ada VW lain—yang lebih murah yang mungkin ditawarkan Dani padaku.
“Aku sudah menepati syaratmu, jadi tidak ada alasan bagimu untuk menolak ideku” Ia menjawabnya dengan argumen yang sempurna.
Aku mengerang sekali lagi. Dani mendesah dan menghampiri aku yang duduk semakin menjauh darinya. Dia menarikku kembali ke pelukannya.
“Tolong jangan perhitungkan uangku, Carla” Dia baru saja memintaku tidak memperhitungkan dua puluh lima ribu Pounds. Aku hanya diam saja tak menjawab.
“Cinta yang kau berikan kepadaku tak senilai dengan apapun juga” Dani mengecup keningku saat aku masih dalam pelukannya. Aku masih diam membisu, aku tidak tahu harus bicara apa. Lagipula aku mulai merasa ngantuk, aku tidak ingin berdebat dengannya dalam keadaan ngantuk begini. Mudah sekali mengantuk kalau sedang berada di pelukannya yang nyaman dan hangat.
Dani melonggarkan pelukannya dan memandang jam tangannya, aku tahu ini saatnya dia pulang. Jarak apartemennya sekitar empat puluh menit dari flatku—kalau naik mobilnya.
“Sudah larut,” Desahnya.
“Hmm” Aku hanya menggumam.
Dani melepaskan pelukannya dan membelai pipiku dengan punggung tangannya. Tatapan matanya penuh kedamaian. Dan itu membuatku semakin mengantuk. Aku menyurukkan kembali kepalaku ke dadanya, meremas kemejanya di jariku.
“Tinggallah,” Pintaku. “Aku masih ingin bersamamu” Aku memejamkan mata di pelukannya yang nyaman.
Aku tak ingat lagi kelanjutannya. Aku rasa, aku sudah jatuh tertidur dalam pelukannya.