Rabu, 28 Maret 2012

FanFiction: That Day (One Shot)

First of all...
Mau ngucapin terima kasih yang sebesar besarnya buat semua orang yang mensuport saya dalam menulis; friends, friends of a friend,those who I barely know, my ex, and also my current crush LOL

One shot ini menceritakan kisah awal mula pertemuan Daniel dan Carla.
Enjoy!


"Dani..! Cepat sedikit dong" Suara ibuku terdengar tidak sabaran. Dibarengi suara langkah kaki yang mendekati pintu kamarku.
"5 menit" Sahutku. Kemudian langkah ibuku berhenti dan berbalik arah. Pasti sekarang menuju kamar Eric, adikku.
Aku mematikan komputer dan langsung mengambil sunglasses dari laci. Terakhir kali kami pergi memancing bersama sekeluarga adalah liburan musim panas saat aku kelas sebelas. Itu tiga tahun yang lalu.

Saat aku tiba di ruang tengah ayahku dan Mr. Puig, mentor yang saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari keluargaku sedang sibuk mempak peralatan memancing. Mereka terlihat begitu asyik sampai tak menyadari aku ikut membantu mengemas beberapa peralatan.
Sepuluh menit kemudian kami sudah di dalam mobil menuju pantai.
"Dani, kemarin, well semalam Amber menelpon lagi kau tahu? Kelihatannya dia benar-benar menyesal" Kata ibuku. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Oh mom, kupikir sekarang kita sedang liburan?" Sahutku malas malasan.
"Oh maaf sayang, tapi kau yakin tidak mau memperbaikinya? Memberi ia kesempatan kedua?" Tanya Ibuku lagi yang hanya kujawab dengan gelengan kepala. Buatku, penghianat, semenyesal apapun dia, tetap penghianat. Perbuatan paling kelam di mataku. Aku melirik ke arah adikku yang rupanya sudah sejak tadi memerhatikan perubahan wajahku.
"Yah, setidaknya dulu aku sempat memperingatimu kan?" Katanya sambil tersenyum jahil. Sejak awal Eric memang tidak menyukai Amber dan berkali-kali menghampiriku hanya untuk mengatakan kalau Amber tidak baik untukku. Aku tersenyum "Harusnya aku mendengarkanmu eh?" Kataku.
Eric tertawa. "Nanti biar aku saja yang carikan kau pacar, oke?" Akupun ikut tertawa mendengarnya.

Setelah satu jam lebih perjalanan akhirnya kami tiba di tempat penyewaan boat memancing. Tempat yang cukup ramai, mengingat saat ini sedang musim pancing. Disana Yvette, sahabatku sedari kecil sudah menanti kami.
Bajunya yang berwarna kuning terang dengan celana pendek putih benar-benar silau di bawah paparan matahari musim panas yang terik, membuatnya mudah ditemukan.
"Dani!" Serunya sambil berlari ke arahku dan langsung memelukku erat-erat.
"Hey pirang" Sahutku. Yvette paling penci dipanggil 'pirang'. Dan benar saja, aku langsung dihadiahi pukulan telak si dada.
"OUCH!" Kataku sambil menekan bagian yang baru saja dipukulnya.
"Sudah kubilang jangan panggil aku pirang! Itu terdengar bodoh sekali! Uhh!" Omelnya. Meski sudah bertahun-tahun lamanya sifat kami tetap tidak berubah. Dia seperti adik perempuan di keluargaku, yang memang cuma ada anak laki-laki saja.
Saat kami tertawa dan bercanda di depan toko penyewaan boat, ayahku dan Mr. Puig sedang berada di dalam toko memastikan boat pesanan kami. Bangunan yang dikelilingi kaca itu membuat aku bisa melihat keseluruhan isi toko.

Tepat di ujung toko, seperti meja kasir ayahku dan Mr. Puig terlihat bercakap cakap dengan pria gemuk bertopi dan seragam berwarna biru tua dengan gambar logo tempat ini di bagian lengannya. Di sisi lain juga ada pengunjung yang sedang melihat-lihat etalase berisi perlengkapan memancing yang juga dijual di tempat ini. Tepat disisi satunya aku mendapati dua orang berseragam sama dengan pria gemuk yang sedang mengobrol dengan ayahku. Mereka sedang melihatku. Yang satu wanita dengan rambut berwarna gelap diikat ekor kuda dan yang satunya laki-laki dengan postur lebih tinggi dari si wanita menggunakan topi yang sama dengan pria gemuk di sana. Tanpa sengaja pandangan kami bertemu dan kedua pegawai tempat ini langsung mengalihkan pandangannya ke sisi yang berlawanan sehingga sekarang aku hanya melihat punggung mereka. Aku hanya mengangkat bahuku.
Dibilang sudah biasa, yah aku memang sudah biasa diperhatikan orang-orang yang tidak ku kenal.

Diluar dugaan si wanita membalikkan badannya dan menyambut tatapanku dan tersenyum. Aku cukup terkejut menanggapi perubahan sikapnya, dan juga, saat tersenyum begitu entah bagaimana aku mendapati dirinya...cantik.
Ternyata sekali lagi aku dibuat kaget karena si wanita ternyata berjalan ke luar toko dan menghampiriku. Senyumnya masih di sana namun aku juga melihat raut yang berbeda dari wajahnya.
"Em...hai?" Sapanya.
"Hai?" Balasku bingung. Dia berdiri beberapa langkah di hadapanku. Kemudian dia mengeluarkan sebuah notes dari sakunya.
"Kamu...Daniel yang pembalap itu kan?" Tanyanya ragu.
"Yah, aku orangnya" Jawabku. Kemudian dia menghela napas lega dan tertawa ringan tanpa sadar senyumku melebar, hampir tertawa bwersamanya. Mata kami bertemu lagi. Matanya bagus sekali, berkilap.
"Aku sempat takut salah tadi" Katanya. "Boleh minta tanda tanganmu?" Tanyanya lembut. Senyumku semakin lebar, aku yakin wajahku pasti terlihat bodoh sekarang.
"Ya, tentu" Jawabku sambil menerima notes dan pena darinya. Entah bagaimana aku tak bisa beranjak dari matanya. Sampai aku harus menggelengkan kepala beberapa kali untuk mengingat dia sedang meminta tanda tanganku. "Eh...Namamu?" Tanyaku sambil menggoreskan tanda tanganku di lembaran kertas.
"Oh, itu bukan untukku, untuk guruku yang sedang sakit, dia penggemarmu. Tolong tulis 'Get well soon Mr. Mattias' di bawahnya?" Katanya. Aku mengikuti apa yang diucapkannya sambil tersenyum.
"Bukan....maksudku, namamu? Boleh aku tahu?" Tanyaku. Dia kelihatan bingung.
"Uh... Carla" Jawabnya akhirnya. Carla. Carla. Aku mengembalikan notes nya.
"Carla," Kataku. Dia, Carla kembali menatapku kemudian mengalihkan pandangannya ke notes yang baru saja aku tanda tangani dan tak ketinggalan Get well soon Mr. Mattias-nya. Carla tersenyum memerhatikan notes di genggamannya.
"Sempurna" Gumamnya. "Terima kasih banyak! Aku yakin guruku pasti senang sekali" Katanya. "Bye," Katanya kemudian. Aku hanya bisa tersenyum bodoh sambil mengangguk. "See you" Gumamku ringan saat dia sudah kembali masuk ke dalam toko. Yah, see you Carla.
Aku pun tak mengerti, tapi aku yakin akan bertemu dengannya lagi nanti.

Selasa, 06 Maret 2012

Fan Fiction: Another Love Story 17

Pulang

Diluar dugaanku ternyata aku 'betah' berada di sini. Kupikir tempat ini akan agak 'horor' pada malam hari, namun kenyataannya sunggung berbanding terbalik. Bintang-bintang bersinar dengan cantiknya diatas sana, tersa begitu dekat. Cahaya mereka turun menerpa bunga-bunga yang tumbuh di belakang kastil, membuat kelopak mereka berpendar indah, beraneka warna. Seperti melihat pelangi, namun ini lebih berfariasi warnan dan karena pantulannya dari mahkota bunga, membuat mereka lebih mirip lampu bulat berwarna yang ditebar di padang rumput. Manis sekali. Tak heran Coleen sangat mencintai tempat ini.

Malam ini tepat malam ke enam aku tinggal di sini. Banyak sekali yang Coleen ceritakan kepadaku. Tentang Dwight yang betapa sesungguhnya adalah sosok yang penyayang dan menyenangkan--mungkin kepadanya, iya. Tidak buatku. Dan tentang Cesc. Yah, tentangnya yang jadi begitu 'berbeda', begitu 'hidup' setelah bertemu denganku. Dan Coleen, tidak sama sekali menyinggung mengenai alasan utama mengenai aku berada di sini. Tentang 'serangan' atau sejenisnya, sama sekali tak dibicarakannya. Aku tak mengerti mungkin memang 'itu' adalah urusan mereka dan aku yang cuma manusia ini tak perlu banyak tahu, entahlah. Aku sendiri juga tidak mau terlalu memaksa. Buatku, untuk mengetahui 'keberadaan' mereka saja sudah luar biasa.

Aku juga bercerita tentang Dani. Bagaimana pertemuan pertama kami yang sangat 'biasa' saja, saat aku sadar aku memerhatikannya lebih daripada aku memerhatikan orang lain disekitarku. Dan juga, saat dia memintaku untuk jadi pacarnya. Coleen menyukai ekspresiku saat percerita. Dia kerap menyentuhkan jemari lentiknya ke pipiku saat aku tersipu. Persis yang dilakukan Cesc. Yah, mereka kan sama-sama sudah mati dan tidak bisa tersipu. Bercerita tentang Dani membuat aku jadi merindukannya, apalagi ulang tahun Dani yang sudah di depan mata. Aku sempat berpikir apakah aku sudah akan dipulangkan setidaknya di hari ulang tahun Dani. Coleen selalu menenangkanku dan berkata 'Tenang saja, kalau Cesc tidak mau memulangkanmu, aku yang akan melakukannya!'

"Coleen?" Panggilku.
"Ya? Kau perlu sesuatu?"
"Ehm, ini sudah hampir satu minggu lamanya aku berada disini, bukannya tidak betah, tidak sungguh aku suka sekali kastilmu ini tapi... Kau tahu, ini bukan tempatku" kataku berterus terang. Setelah ngobrol banyak dengannya aku menjadi lebih akrab dan bisa lebih terbuka bersamanya. Dan kurasa waktuku sudah cukup disini. Aku mau pulang, aku kangen 'hidupku'
"Oh... Ya, tentu Carla. Tapi kita harus menunggu Dwight dan Cesc tentu saja. Dwight yang bilang sendiri padaku, semuanya baik baik saja dan mungkin kau bisa pulang" Jelas Coleen.
"Dwight bilang sendiri padamu?" Tanyaku bingung.
"Oh, ya maaf aku lupa bilang. Kami, vampire memiliki 'ikatan' yang sanagat kuat terhadap pasangannya, kau tahu, semacam telepati" Kata Coleen sambil tersenyum.
"Oh..." Jawabku. Pasti asyik sekali. Mereka bahkan tidak perlu telepon.
"Semuanya sudah baik-baik saja, begitu kata Dwight"
"Ulang tahun Dani...besok, dan aku tidak ingin melewatkannya"
"Oh, ya... Tentu Carla. Aku mengerti perasaanmu" Katanya sambil menggenggam jemariku.
"Trims" jawabku.

Coleen memberi tahuku kalau Cesc dan Dwight sudah meng-iya-kan dan menyuruhku membereskan barang-barangku. Saat aku sudah berada di ruang depan, tak sabar untuk segera pulang Dwight sudah berada disana bersama dengan Coleen, berpelukan. Membuatku semakin kangen Dani.
"Mana Cesc?" Tanyaku.
"Masih di tempat yang jauh" Jawaban Dwight benar-benar tidak menjawab pertanyaanku. Tapi dari raut wajahnya yang menurutku, tetap menyebalkan itu mengisyaratkanku untuk tidak bertanya lebih jauh. Dan aku menurutinya.

Setelah mereka melepas kangen Dwight lah yang akan mengantarku pulang. Kami berjalan keluar pekarangan kastil yang indah ini. Jalan yang sama saat aku pertama kali masuk.
Aku menolehkan kepalaku sekali lagi, menyrap sebanyak mungkin gambar kastil ini di memori otakku, mungkin aku tak akan kesini lagi.

"Kemari" Kata Dwight singkat sambil mengulurkan tangannya. Aku meraih tangannya. Dwight menatapku sesaat dengan dahi yang berkerut.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Kalau bukan Cesc yang minta, aku tak akan mau repot mengantarmu kau tahu?" Katanya ketus. Sontak aku langsung sebal.
"Aku tak pernah minta kau untuk mengatarku. Coleen sendiri yang bilang kalau kau tidak mau dia bersedia!" Tantangku.
"Berisik. Kau sudah cukup merepotkan Coleen dengan tinggal disini
Oke? Jangan minta yang aneh-aneh" Jawabnya.
Aku sudah sangat marah dan ingin sekali mengeluarkan unek-unekku tapi sebisa mungkin aku menahannya. Setidaknya sampai dia benar-benar membawaku ke London. Aku tak mau ambil resiko dia menelantarkanku di antah-berantah.

"Pegang yang erat, tutup matamu" kata Dwight. Aku menurut. Dan seperti saat pertama, kepalaku terasa sangat pusing dan tubuhku seolah melayang. Aku mencengkram tangan Dwight seerat mungkin. Aku tak tahu apakah itu bisa membuatnya kesakitan atau tidak.
Seketika udara yang masuk ke paru-paruku terasa berbeda. Lebih berat, lebih lembap. Dan saat itu juga aku membuka mata dan, benar saja, aku dan Dwight sudah berada di tengah kota London. Terima kasih Tuhan.

"Aku akan mengantarmu sampai apartemen pacarmu" Kata Dwight.
"Tidak usah, aku bisa sendiri" Jawabku.
"Heh, dengar ya. Asal tahu saja akupun sebenarnya tidak mau,
Ok? Ini juga permintaan Cesc. Jangan banyak omong" Sekali lagi aku menahan diri untuk tidak meneriakinya. Sebal. Seperti yang diinginkannya, aku tidak banyak omong dan menurut saja. Sampai akhirnya kami tiba di apartemen Dani. Dan Dwight benar-benar mengantarku sampai depan pintu. Sampai depan pintu!

Sebelum aku sempat menekan tombol bell apartemen Dani Dwight menarik tanganku dan berkata, "Dengar, kau tinggal di sini sampai Cesc menjemputmu dan berkata kau bisa pulang, oke?" Kata Dwight
"Kenapa?" Tanyaku bingung. Masa aku tidak boleh pulang ke flatku sendiri? Apa-apaan?
"Sudah kubilang jangan banyak tanya. Ini untuk keamananmu sendiri" Kata Dwight yang kemudian menekan tombol bell. Aku mengerutkan dahi sambil menatapnya. Dia menatapku balik sambil menaikkan alisnya. Tetap dengan raut ekspresi wajahnya
yang menyebalkan.
Aku benci Dwight.

Tidak sampai sedetik pintu apartemen dani terubuka dan muncullah Eric. Adik Dani.
"Eric!" Seruku yang langsung disambutnya dengan pelukan.
"Astaga Carla, sudah lama sekali tak bertemu!" Katanya. Aku dan Eric seumuran dan dia benar-benar manganggapku seperti temannya. Sejak aku pindah ke London kami tidak pernah mengobrol lagi bahkan melalui telepon.
"Siapa tamunya Eric?" Suara Dani menggema dari dalam ruangan. Suara yang sangat familiar di telingaku. Suara yang tidak aku dengar hampir satu minggu ini, suara orang yang paling aku cintai.
"Coba kesini dan lihat sendiri" Kata Eric dengan nada suara menggoda. Kemudian suara langkah kaki Datanga mendekat dan, muncullah dari balik pintu ruangan lain Daniku. Dani-ku.

Matanya terbelalak kaget mendapati sosokku. Aku menyambut tatapannya dengan senyuman lebar.
"Carla!" Serunya sambil berlari dan menabrakku, memelukku erat, erat sekali.
"Hai" Kataku.
"Hai? Hai kau bilang?" Katanya sambil melepas pelukannya dan merengkuh pipiku dengan kedua tangannya. "Tidak mengangkat telepon, tidak meneleponku balik dan tidak ada satupun SMS ku yang kau balas! Astaga selama satu minggu dan kau bilang Hai?" Kata Dani cepat.
"Kau tahu, dia sempat berpikir kau memang 'sengaja' meninggalkannya! Well, siapa juga yang betah jadi pacarnya kan-- OUCH!" Sebelum Eric menyelesaikan kalimatnya Dani keburu meninju lengannya. Dan itu membuatku tertawa. Eric langsung lari ke dalam ruangan untuk menghindari tinju Dani lainnya.
"Kau bersama seseorang, Carla?" Tanya Dani. Astaga aku hampir melupakan Dwight.
"Oh, yaampun, maaf. Dani perkenalkan, ini Dwight. Pacarnya Coleen, kau masih ingat Coleen kan? Err... Dwight menjemput kami di...bandara dan dia mengantarku segala ke sini" Kataku agak terbata.
"Oh, ya. Tentu. Terimakasih sudah mengantar Carla. Senang bertemu denganmu" Kata Dani dengan sopan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tapi tak disambut oleh Dwight.
Aku melihat wajah Dwight untuk menegurnya agar menjabat tangan Dani, tapi yang aku dapati cukup mengagetkanku. Wajah Dwight berubah seratus delapan puluh derajat. Dari wajahnya yang cuek dan agak menyebalkan jadi kaku dan pucat. Lebih pucat dari wajahnya yang memang pucat.
"A...aku harus pergi" Katanya mendadak, dan kemudian langsung berjalan cepat ke arah lift. Aku dan Dani dibuat terbengong sesaat.
Dani memalingkan wajahnya padaku dengan ekspresi penuh tanya namun akupun sama bingungnya dengan dirinya.

Untuk mencairkan suasana yang aneh ini aku mnegcup pipinya dan perhatiannya otomatis langsung kembali kepadaku.
"Jadi kau tidak mempersilakan tamumu masuk, Dani?" Tanyaku sambil melipat lenganku di depan dada.
"Oh, astaga! Maafkan aku!" Kata Dani yang langsung merebut tas yang sedang aku bawa dan menarik koporku dari depan pintu menuju ke dalam.

Apartemennya sepi, tak ada tanda-tanda keluarganya. Hanya ada Eric yang sedang asik memindah-mindah channel TV dengan remot kontrol. Dani menghilang sebentar ke salah satu ruangan untuk meletakkan barang-barangku kemudian kembali kenghampiriku dan mengecup pipiku. Aku tersenyum dibuatnya.
"Kau haus? Ingin minum sesuatu?" Tanya Dani lembut sambil menarikku ke dapur. Sesampainya didapur bukannya membuatkanku minuman, Dani langsung mengaitkan lengannya di tubuhku, memelukku erat dan mendaratkan kecupannya di bibirku.
"Aku kangen sekali" Katanya disela-sela kecupan.
"I miss you too" sahutku.
"Ini bukan berarti kita tidak akan membahas kau yang menghilang dan tidak bisa dihubungi itu ya" Katanya menaikkan alisnya. Aku tersenyum menanggapi tingkahnya.
"Kemana yang lainnya?" Tanyaku.
"Yah, Mama dan Yvette sedang jalan-jalan sebentar dan ayahku dibawa Mr. Puig untuk melihat motor baru yang akan kupakai musim balap depan" Jawabnya Dani mengarahkan bibirnya ke rahangku. Akupun mempererat jarak diantara kami. Oh, betapa hangat pelukannya.

"Yvette juga disini?" Tanyaku malas-malasan. Dani terkekeh mendengarnya.
"Sampai kapan baru kau bisa menerimanya sebagai bagian dari keluargaku?" Tanya Dani. Mungkin tidak akan pernah, jawabku dalam hati.
"Maaf" Kataku.
"Buat apa minta maaf?" Tanya Dani. Aku hanya terdiam menikmati pelukannya. Dani pun sepertinya paham dan hanya terdiam memelukku, membelai bagian belakang kepalaku dengan lembut.
"So... Kenapa tidak bisa dihubungi?" Tanya Dani. "Aku cemas, kau tahu?"
"Ketinggalan charger?" Jawabku asal. Dani menghela napas mendengarnya.
"Alasan apa itu Carla?" Tanya Dani sambil melepas pelukannya.
"Ide Coleen, katanya aku memerlukan sedikit liburan, tanpa materi kuliah, tanpa gadget, pokoknya benar-benar hanya aku saja dan oh alamnya Dani, pemandangannya benar-benar bikin relax" Jawabku. Entah darimana aku mendapatkan jawaban itu tapi kurasa aku mulai pandai berbohong.
"Hmm..." Sahut Dani sambil memainkan ujung rambutku dengan jarinya. Dani menghela napas.
"Kau kan bisa pergi bersamaku...yah, sudahlah, yang terpenting kau sudah di sini" Katanya sambil mengecup dahiku. "Dan kurasa aku tak mau melihatmu pergi lagi dengan Coleen"
Ya, kuharap aku juga tak akan pergi kemanapun dengan 'mereka'. Kuharap kehidupanku jadi normal lagi.
"Kiss me now" Aku tak ingin Dani membahas tentang Coleen lebih jauh lagi.