Minggu, 21 November 2010

update setelah sekian lama ngga update

yaoloh, fanfic2 gue terbengkalai..... maaf ya readers, saya memang bukan penulis yang baik........

anyway, ada alasannya kok, sebenernya gue ngga punya waktu luang sebanyak yang gue punya dulu, soalnyaaaaaa gue udah kerja sekarang! yipppeeeyyy!
seneng, bisa nyari duit sendiri, mandiri dan punya banyak temen baru. tapi, ya, capek (tentunya) dan yang paling gua sesalkan adalah berkurangnya waktu senggang gue, yang biasa gue gunakan buat nulis *sigh*

tapi, tapi, tapi... bukan berarti gue bakalan berhenti gitu aja. karena, faktanya, gue tetep pengen nulis! nulis, nulis dan nulis sepertinya udah jadi satu bagian dari diri gue. wish me luck ya, di pekerjaan dan di dunia nulis nulis ini! kisses!

FanFiction: Another Love Story 16

Kastil
“Lihat, dia siuman” Terdengar olehku suara samar-samar, suara seorang wanita yang ku kenal, terasa sangat familier di telingaku.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali dan merasakan pandanganku kembali jernih, pendengarankupun menajam.
“Sykurlah” Kata suara yang satu lagi. Suara wanita juga. Lebih muda dan sangat merdu.
“Dann? Coleen?” Tanyaku heran saat kedua sosok itu tertangkap pandanganku. Kenapa ada mereka? Aku melarikan pandanganku ke sekelilingku. Ruangan apa ini? Cat berwarna crème yang sedikit bernoda dimakan usia, perabotan kayu usang, dan sebuah rak buku menjulang tinggi penuh terisi berbagai macam buku, juga pencahayaannya yang remang… jelas ini bukan kamarku… bukan flatku. “Dimana ini?” Tanyaku seraya bangkit dari tempat tidur.
“Carla, tenangkan dulu dirimu” Kata Dann di sebelahku. Tangannya menggenggam pundakku. Dann kemudian mengambil secangkir teh hangat dan membantuku meminumnya. Rasanya menyenangkan, aroma cammomile.
“Apa kau ingat sesuatu? Sebelum kau jatuh pingsan?” Tanya Coleen dengan suara lembut. Aku mengerutkan alis dan mencoba berkonsentrasi. Aku merasa lebih seperti baru bangun tidur ketimbang pingsan. Aku sudah sering sekali jatuh pingsan dan tahu seperti apa rasanya. Tapi yang kurasakan kali ini benar-benar seperti saat baru bangun tidur.
“Ehm… aku sedang di dapur bersama Cesc… kami ngobrol…” Kataku. Perlahan-lahan semua terasa jelas di kepalaku. “lalu tiba-tiba seperti ada sesuatu yang dilihat Cesc, dan udara di sekelilingku terasa aneh, menekan dengan kuat… dia memintaku menunggunya, dia pergi” Jelasku perlahan dan kilasan peristiwa itu terasa berkelebat di depan mataku.
“Lalu aku… Astaga! Daniel!! Dimana dia?!” Aku baru ingat akan melihat keadaan Dani saat tiba-tiba kesadaranku lepas. Aku melompat dari tempat tidur menatap Coleen dan Dann.
“Dia baik-baik saja, hanya kau yang terpengaruh serangan itu. Dia masih tertidur nyenyak saat kami membawamu kemari” Jelas Dann sambil kembali menggenggam pundakku.
“Kemari? Ini di mana? Sudah berapa lama aku pingsan? Yang tadi itu sebenarnya apa? Dan kenapa kalian…” Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku minta untuk dituntaskan. Namun belum sempat aku menyelesaikan seluruh pertanyaanku, Dann kembali mengguncang tubuhku.
“Carla! Sudah kubilang tenang dulu!” Seru Dann.
“Kami tentu akan menjelaskannya satu persatu kepadamu, tenang saja.” Kata Coleen. Aku mengangguk lemah dan kembali bersandar pada bantal yang empuk.
“Yang pertama, aku cukup kaget mengapa kau bisa ikut terkena imbas dari serangan tadi… tapi karena kau ‘masih hidup’, kau baik-baik saja—selain tanganmu yang sejak awal sudah diperban. Jadi itu bukan masalah lagi” Papar Coleen.
“Lanjutkan,” Pintaku.
“Yah, kau pingsan… tidak lama, satu sampai dua jam… dari saat aku mengambilmu di flat itu. Sekarang jam satu siang. Aku membawamu ke kedai Dann, ini kamar bawah tanahnya” Kata Coleen lagi. Aku membelalakkan mata saat mendengar kalimatnya yang terakhir. Tapi aku tak heran, aku sudah banyak sekali mendengar yang seperti ini. Ruang bawah tanah tak lagi terdengar angker olehku. Tapi dimana pintu masuknya? Aku tak pernah melihat ada pintu aneh di lantai kedai Dann saat bekerja, juga tangga yang mengarah ke bawah. Aku baru sadar ternyata memang tidak ada pintu masuk sama sekali, setelah menjelajahi dinding kamar ini dengan penglihatanku. Tak ada pintu… bahkan jendela pun tak ada. Ruangan persegi panjang dengan luas sekitar delapan kali lima meter, hanya ada meja tulis, sebuah tempat tidur—yang kutempati, lemari dan rak buku.
“Oke.., kalau begitu aku harus kembali ke flatku! Dani mungkin sudah bangun dan dia pasti khawatir jika aku tak ada disana. Kau bisa jelaskan sisanya lain waktu, atau akan kutanyakan saja pada Cesc dan… bagaimana caranya keluar dari tempat ini?” Kataku. Tapi tak ada yang menjawab. Coleen menatapku dengan alis bertaut. Dann hanya berdiri mematung di samping ranjang. “Apa?” Tanyaku memecah kesunyian.
“Hmmm, aku ragu kau bisa kembali ke sana… maafkan aku, tapi kau sebaiknya tetap di sini sampai Cesc kembali dan menjelaskan detilnya. Dia sendiri yang memintaku menjagamu selama dia pergi” Kata Coleen perlahan.
“Apa maksudmu? Memangnya Cesc pergi kemana? Kenapa aku perlu penjagaan? Oh, Coleen! Dani akan sangat cemas kalau aku tak kembali ke sana!” Kataku sambil merabai dinding terdekatku, siapa tahu ada pintu rahasia.
“Karena kau terkena serangannya, makanya kau butuh perlindungan, Carla” Desah Coleen. Tiba-tiba aku merasa ada yang berbeda.
“Se… serangan apa? Siapa yang menyerangku?” Tanyaku saat kurasakan sesuatu yang berbeda itu mulai jelas terasa. Yang itu tadi hanya dirasakan olehku? “kenapa aku?”
“Justru itu, seharusnya kau tidak merasakannya sama sekali, tapi kenyataannya kau malah terkena serangannya—telak, sampai kau pingsan. Itu aneh, tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena itulah Cesc, Dwight dan Math pergi untuk mencari tahu. Oh, dan Darren belum ada kabar sampai sekarang… kuharap dia baik-baik saja…. Cesc memintaku menjagamu selama dia pergi, kurasa itu bukan ide yang buruk. Dan akan jadi buruk kalau kau berkeliaran dengan bebas seperti tak pernah terjadi apa-apa” Jelas Coleen.
“Aku tidak mengerti…” Kurasakan otakku tak mampu mencerna kata-katanya. Ada apa sebenarnya? Kenapa Coleen dan Dann kelihatan begini serius?
“Begini saja, aku akan menemanimu pulang, menemui pacarmu, setelah itu baru kita pergi. Kau setuju?” Tawar Coleen setelah ia kelihatan menimbang-nimbang.
“Pergi?” Tanyaku bingung. Kenapa aku harus pergi? Aku masih sangat tidak mengerti akan peristiwa yang begitu tiba-tiba ini.
“Ya. Keberadaanmu harus disamarkan” Kata Coleen. “Setelah semuanya jelas, aku akan menceritakan yang lebih detil untukmu, aku janji” Sepertinya dia memahami keadaanku yang super bingung.
“Tutup matamu,” Pinta Dann. Akupun menutup mataku. Kurasakan jemari dingin menggenggam tanganku. Jari-jari Coleen?
Seketika aku merasa melayang. Aku merasakan udara di sekitarku berputar dan mengangkat tubuhku. Rasanya aku pernah merasakan ini… benar! Rasanya persis sama seperti saat Cesc membawaku berteleport pagi ini. Apa saat ini aku juga sedang berteleport? Tapi ada yang berbeda… wanginya. Ah, lebih tepat bau. Aku mencium bau busuknya yang menyengat, membuat kepalaku pusing dan perutku mual.
Tidak seperti saat bersama Cesc—yang memancarkan aroma sirup maple yang manis dan menyenangkan, kali ini malah wangi belerang yang memuakkan yang kucium. Tak tahan rasanya. Ingin segera menyudahi ini semua dan menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya.
“Carla? Buka matamu, kita sudah sampai” Kata Coleen lembut. Dengan segera aku membuka mataku. Samar-samar aku masih bisa mencium aroma belerang itu. Aku cukup terkejut karena ternyata kami sedang berada di dalam flatku. Padahal rasanya tak sampai satu menit aku menutup mataku.
“Wow,” Hanya itu yang mampu kuucapkan saking syoknya. Coleen hanya tersenyum menanggapinya. “apa kau yang melakukannya?” Tanyaku.
“Bukan, aku tak bisa melakukannya. Itu Dann” Kata Coleen sambil melepaskan genggaman tangannya di jemariku. Jarinya dingin, hanya saja tak sedingin jemari Cesc.
“Ooh” Responku. Kalau begitu bau belerang itu berasal dari Dann. Apa setiap ‘makhluk’ memancarkan wangi—bau yang berbeda?
“Sepertinya pacarmu masih tidur” Kata Coleen sambil menatap pintu kamarku.
“Oh, syukurlah. Ehm, aku permisi masuk ke dalam, err… duduklah, anggap saja rumah sendiri… well, dan sepertinya aku tak punya suguhan yang cocok untukmu di kulkasku…” Kataku bingung. Ini adalah kali pertama aku berduaan saja dengan. Vampir. Anehnya aku sama sekali tak merasa takut padanya. Malah perasaan nyaman yang kurasakan, dia seperti kakakku sendiri—yang luarbiasa lebih cantik. Beda sekali dengan kesan pertama yang kudapatkan dari Dwight. Oke dia memang menyebalkan.
“Oh, hahaha… tidak perlu repot, aku sudah makan kok” Kata Coleen sambil merebahkan tubuh rampingnya di sofaku. Aku memaksakan senyuman mengembang di bibirku, mengingat makanan jenis apa yang sudah dikonsumsinya.
Aku segera berjalan ke arah kamarku dan meninggalkan Coleen sendirian. Kutemui Dani sedang berbaring di kasurku, tertidur dengan lelap. Satu lengannya terlipat di depan dadanya sementara yang lainnya terjulur sampai melewati tempat tidur. Aku tersenyum memandangi wajah tidurnya yang tenang dan menenangkan. Dengan perlahan aku duduk di sisi tempat tidurku, tak ingin membuat guncangan dan membangunkannya.
Syukurlah dia tidak apa-apa. Syukurlah hanya aku yang merasakan serangan aneh yang tadi itu. Walaupun aku masih belum mengerti apa sebenarnya yang tadi itu—gelombang udara aneh, tapi ini pasti ada hubungannya dengan kedekatanku pada makhluk-makhluk-yang-bukan-manusia. Aku tak ingin Dani ikut-ikut merasakan keganjilan yang kurasakan selama aku mengenal Cesc—dan teman-temannya. Hantu tampan baik hati, penyihir, juga vampir, dan apakah mimpi anehku—yang terus berulang, tentang orang-orang berjubah juga termasuk? Aku tak ingin Dani mengetahui sisi kehidupanku yang ini. Dalam pandangannya aku hanyalah mahasiswi biasa, cewek biasa-biasa saja. Kurasa lebih baik begitu.
“Carla…” Gumam Dani dalam tidurnya.
Eh? Apakan dia memimpikan aku?
Aku tersenyum saat ia menggumamkan namaku sekali lagi. Kebahagiaan tiba-tiba membuncah di dadaku. Aku ingin tahu apa yang sedang diimpikannya. Aku sedang apa di mimpinya ya? Aku juga ingin sekali memimpikan Dani. Kalau saja mimpi-mimpiku tak dipenuhi oleh tempat aneh dan yang lain-lainnya itu.
Aku meletakkan tanganku di atas tangannya yang terlipat di atas dada, merasakan teksturnya, ukurannya, dan kehangatannya. Mataku kembali ke wajah tidurnya yang indah. Aku mengulurkan jemariku ke arah wajahnya, membelainya lembut.
Ya Tuhan aku sangat mencintai orang ini.
Aku menggigit bibir bawahku karena tak sanggup menahan pesonanya, pancaran kemurnian dan ketulusan dari wajah tidurnya.
“Carla?” Kata Dani saat matanya terbuka. Dia bangun.
“Aku membangunkanmu lagi ya?” Tanyaku.
“Oh… aku pikir aku berimpi, atau tadi memang aku sedang memimpikanmu ya?” Kata Dani dambil menggosok matanya. Ternyata benar tadi dia memimpikan aku? Dani lalu melihat ke jam di tangannya. Senyuman di wajahku kembali terkembang.
“Wow, aku tidur nyenyak sekali,” Katanya takjub. Dani kemudian beranjak duduk di atas tempat tidurku, melipat kakinya. Aku menggeser posisi dudukku untuk berdekatan dengannya. Gerakanku ini disambut tangannya yang terbuka, memintaku menyurukkan tubuhku ke dalam pelukannya. Tentu saja aku melakukannya. Dani memelukku dengan lembut, mengecup pucuk kepalaku. Tapi aku lebih suka dia melakukannya di tempat lain. Maka aku memutar wajahku untuk menyentuhkan bibirnya ke bibirku. Aku bisa merasakan Dani tersenyum di tengah ciuman kami.
Aku hampir saja melupakan Coleen—atau memang aku sudah melupakannya? Kalau dia tidak memanggilku.
“Carla?” Suara lembutnya yang memang sangat enak di dengar menyebutkan namaku. Seketika Dani menghentikan ciumannya.
“Siapa?” Tanya Dani bingung sambil menatap mataku.
“Eh… temanku. Datang saat kau masih tidur tadi” Jawabku. “tunggu sebentar,” Kataku kepada Coleen di ruangan sebelah sambil bangkit dari pelukan Dani. Aku kemudian berjalan ke arah pintu dan segera menuju tempat Coleen berada. Dani membuntutiku dari belakang.
Coleen berdiri dari duduknya saat melihat aku dan Dani datang.
“Maaf,” Kataku dengan wajah yang memerah. Aku merasa dia tahu apa yang terjadi di kamarku barusan.
“Hai,” Sapa Dani sambil tersenyum ke arah Coleen.
“Hai, kau Daniel? Namaku Coleen,” Kata Coleen sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut Dani.
“Ya, aku Daniel. Panggil Dani saja,” Kata Dani,
“Ehm, apa Carla sudah bilang padamu?” Tanya Coleen. Aku menatap Coleen dengan bingung. Coleen langsung menarik lenganku dan merangkulku dengan akrab, seolah-olah kami sudah berteman lama. Atau memang itu kesan yang ingin di tampilkannya?
“Bilang? Soal apa?” Tanya Dani sambil mengerutkan alis.
“Well, aku dan Carla akan pergi ke… Belgia. Ke rumah nenekku. Carla pernah janji untuk menemaniku menjenguk nenekku.” Jelas Coleen. Aku menatapnya bingung. Belgia?
“Oh ya? Kau tak bilang apa-apa tentang ini?” Kata Dani sambil menatapku. Aku juga tidak tahu Daniel! jeritku dalam hati.
“Err… aku baru mau bilang tadi…” Jawabku asal.
“Yep, kalau begitu sekalian saja, Carla pamit sekarang kalau begitu. Eh, apa kau sudah berkemas?” Tanya Coleen. Sambil melayangkan tatapan aneh kepadaku.
“Eh, belum…” Jawabku.
“Oh, Carla! Ya sudah, kubantu kau berkemas ya,” Kata Coleen sambil melenggang ke arah kamarku. Menyeretku. Dani mengikuti kami.
Aku mengambil tas koporku dan beberapa potong pakaian dari dalam lemari, sementara Coleen merapikannya di dalam kopor.
“Ehm, kapan kalian berangkat?” Tanya Dani.
“Nanti sore” Jawab Coleen segera. Cepat sekali?! Aku tak bisa berkata apa-apa. Ini sepenuhnya ide Coleen dan aku takut menghancurkannya.
“Ya Tuhan, nanti sore?!” kata Dani takjub. “berapa lama?” Tanya Dani lagi.
“Beberapa hari saja kok” Lagi-lagi Coleen yang menjawab. beberapa hari itu berapa lama? Seminggu? Lama sekali? Kuliahku bagaimana? Ulang tahun Dani? Ingin sekali aku meneriakkan itu pada Coleen. Kalau masalah hantu-hantuan ini menghancurkan program beasiswaku aku tak akan mengampuninya.
“Lama sekali?” Tanya Dani. Aku tahu sebenarnya pertanyaan itu ditujukan padaku. dia sedang libur dari balapnya dan aku tahu ia ingin aku menemaninya. Aku lalu berjalan ke kamar mandi untuk membereskan perlengkapan mandiku dan memasukkannya ke dalam sebuah tas kecil. Setelah selesai aku menghampiri Coleen dan memberikan tas itu padanya.
“Beraktinglah sedikit supaya dia tidak curiga” Bisiknya saat aku berjongkok di sampingnya untuk membersekan sisa barang bawaanku.
Setelah selesai mambantuku berkemas. Coleen lalu berpamitan. Aku tahu dia tidak benar-benar pergi. Pasti dia bersembunyi di suatu tempat di gedung ini. Tinggal aku berdua Dani sekarang. Benar-benar tidak nyaman. Karena akulah yang harus berbohong padanya sekarang.
“Kenapa mendadak sekali?” Tanya Dani. Saat kami berduaan saja di ruang tengah.
“Tidak mendadak kok, kami sudah merencanakannya sejak lama.” Jawabku. Aku lalu duduk di sofa hijau lumutku. Aku harus benar-benar tenang untuk berbohong dengan baik.
“Tapi kenapa aku tidak diberi tahu?” Tanya Dani.
“Aku saja hampir lupa… hampir lupa kalau kami berangkat hari ini” Jawabku asal. “kau tidak suka aku pergi?” Tanyaku. Dani lalu menyusulku dan duduk di sebelahku.
“Bukan begitu… hanya saja… terlalu tiba-tiba,” Kata Dani. “yah, aku tak punya kuasa penuh untuk melarangmu sih…” Kata Dani sambil meraih pinggangku untuk memeluku. Aku menyandarkan punggungku di dadanya. “lain kali bilanglah lebih awal, aku merasa… kau adalah tanggung jawabku. Kau mengerti kan?” Kata Dani. Aku sungguh berharap tidak akan ada yang lain kali. Aku mengangguk. aku merasakan jemari tangannya di wajahku, membelaiku lembut. Lalu turun ke leher dan pundakku.
“Kau marah ya?” Tanyaku.
“Entahlah. Kurasa tidak juga. Hanya kaget saat tahu kau harus pergi nanti sore, padahal keluargaku akan datang dan kita bisa bersenang-senang bersama” Kata Dani.
“Titipkan salam untuk mereka” Kataku. Dani hanya diam saja. Ugh, suasana ini menyebalkan. Aku lalu bangkit dan memutar tubuhku agar menghadapnya.
“Kau marah,” Kataku dengan suara setengah merajuk, kuharap ini ampuh menggodanya. Dani tersenyum melihat tingkahku.
“Mana mungkin” Katanya sambil menggenggam wajahku dengan kedua tangannya. Dia mendekatkan wajahnya dan menciumku. Selalu menyenangkan berciuman dengannya. Aku menggapai lehernya, mengalungkan lenganku di lehernya, membalas kecupannya.
“Jaga dirimu, jangan melakukan hal yang aneh-aneh” Bisiknya sambil mengecup pipi dan telingaku.
“Hal aneh?” Tanyaku sambil tertawa.
“Melopat dari tebing? mengejar banteng?” Jawab Dani dan kami tertawa bersama. Syukurlah suasana membaik.
“Ugh padahal aku libur beberapa hari ini dan ingin bersenang-senang dengan kau dan keluargaku… telepon aku sesering mungkin,” Pintanya.
“Iya,” Jawabku. “setelah aku pulang kita kan masih bisa berduaan,” Kataku sambil menarik wajahnya yang tenggelam di leherku. Melihat wajahnya lekat-lekat. “Kurasa sebaiknya kau bersiap-siap ke bandara” Kataku. Dan Dani langsung melihat ke arah jam tangannya.
“Kau benar. Kenapa waktu jadi singkat sekali saat sedang bersama denganmu?” Kata Dani yang kurespon dengan tawa. “kapan pesawatmu berangkat? Perlu kuantar?” Tanya Dani sambil memakai kembali jaketnya.
“Tak usah, aku bersama Coleen. Well, dia yang mengatur urusan tiket dan semuanya, aku hanya tahu jadi.” Jawabku. Dani mengangguk-angguk. Sepertinya dia tak heran karena aku memang tidak suka mengurus dokumen-dokumen birokrasi dan teman-temannya itu.
“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu.” Kata Dani sambil mendaratkan kecupan mesranya di dahiku. Aku tersenyum dan mengantarnya ke pintu depan. Setelah saling melambaikan tangan, dia segera menuju tangga dan bergegas turun. Aku masuk dan menutup pintu, menghela napas panjang karena perasaan lega aku tak harus berbohong lagi di depan Dani. Baru saja aku berjalan dua langkah pintu di belakangku terbuka lagi. Coleen.
“Ayo, kita pergi” Katanya dengan wajah yang tanpa ekspresi.
“Sekarang?” Tanyaku. Coleen menjawabnya dengan nyelonong ke kamarku dan mengambil koporku. “biarkan aku makan dulu, oke?” Usulku. Sudah hampir jam dua dan aku belum makan siang.
“Kau bisa makan di kedai Dann. Ke sanalah kita akan pergi” Coleen lalu menggenggam tanganku yang diperban. Ia juga menyerahkan koporku ke tanganku yang satu lagi. Ia lalu merogoh dalam-dalam saku jaketnya dan mengeluarkan segenggam serbuk hitam berkilauan. Ia menjatuhkan seruk itu ke lantai dan seketka asap putih muncul dari serbuk itu.
“Pejamkan matamu, dan hirup asapnya dalam-dalam” Perintahnya. Aku tak berani membantah.
***
Setelah asapnya menghilang, ternyata kami sudah tiba di kedai Dann. Aku langsung disuguhi seporsi pasta dengan saus carbonara. Coleen mengambil alih kopor dari tanganku dan membawanya. suasananya benar-benar seperti ketika kau akan pergi ke perkemahan pramuka untuk pertama kalinya. Disuguhi makanan porsi besar, dan kau menurut untuk menghabiskannya karena khawatr kau tidak akan bisa makan dengan layak di perkemahan. Well, setidaknya itulah yang aku rasakan.
“Makanlah,” Kata Dann sambil tersenyum. Ia meletakkan segelas jus jeruk di samping piring pasta. Aku mengangguk, segera duduk di sebuah kursi kayu dan mulai makan. Dann kemudian menghampiri Coleen yang sudah kembali dan mereka terlibat perbincangan serius. Aku tak bisa mendengar apa yang sedang diperbincangkan oleh mereka tapi aku bersumpah melihat Dann sedang menangis walau sekilas. Aku mengerutkan dahi. Apa situasinya memang serius?
Aku mengalihkan pandanganku ke piring di hadapanku. Kenapa aku jadi terseret jauh ke dalam persoalan mereka ini?
“Carla, cepat selesaikan makananmu, kita harus bergegas” Kata Coleen yang tiba-tiba muncul. Tapi dia sendirian. Dann sudah pergi entah kemana dan kapan.
“Kemana?” Tanyaku.
“Tempatku” Jawabnya singkat. Aku menyuapkan dua sendok penuh pasta itu untuk menyelesaikannya, mengunyah cepat-cepat dan menelannya. Aku meneguk jus jeruk juga dengan sesegera mungkin. Aku berharap masih bisa bertemu makanan layak seperti ini lagi nanti saat bersama Coleen—mengingat perbedaan makanan kami. Coleen menantiku dengan sabar dan kembali mengulurkan tangannya ke arahku. Yang segera kusambut setelah bangkit dari dudukku.
“Apakah ini ada hubungannya dengan hal yang kalian bicarakan di flatku waktu itu?” Tiba-tiba aku teringat saat pertama kali aku mengenal orang-orang ini. Saat itu mereka membicarakan, serangan, perbatasan Eropa dan yang segala macamnya itu.
“Ya” Jawabnya singakat sambil kembali menjatuhkan serbuk hitam ke lantai. “dan sekarang ‘serangan’ itu sedang berlangsung” Setelah mendengar jawabannya entah mengapa aku merasa semakin was-was.
“Aku tak seharusnya terlibat” Tuntutku. Aku manusia normal.
“Aku juga berpendapat demikian. Cesc dan yang lainnya juga berpikiran seperti itu. Karena itulah ini memerlukan penyelidikan, dan selama itu, kau akan butuh perlindungan kalau-kalau serangan itu datang lagi. Kau mengerti?” Tak ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali menurut.
***

“Wow” Sebutku tertahan. Aku memutar tubuhku sekali lagi. Pemandangan yang sungguh berbeda tersaji di hadapanku. Sebuah kastil tua, yang seluruh bangunannya terbuat dari batu alami berdiri dengan megahnya di hadapanku, tidak begitu besar, tapi benar-benar cantik. Dan taman yang mengelilingi sisa pandanganku menguarkan wangi aneka bunga yang menyenangkan. Ini bukan pertama kalinya aku melihat kastil secara langsung. Tapi kastil ini terlihat jauh dari kesan megah, ini lebih mungil, anggun, dan manis.
“Lewat sini” Kata Coleen sambil menunjukkan jalan setapak yang membelah taman cantik ini yang sisi-sisi jalannya ditumbuhi ratusan tangkai crysant berbagai warna, lurus menuju pintu masuk kastil.
“Ini… di mana?” Tanyaku. Apakah saat ini aku masih di Inggris?
“Rahasia. Maaf ya aku tak bisa beri tahu, ini tempat tinggal rahasiaku dan Dwight!” Kata Coleen dengan nada menggodaku. “tenang saja Carla! Kita masih di bumi kok, aku tak membawamu ke alam ghaib atau sejenisnya!” Kata Coleen yang menyadari perubahan raut wajahku saat dia bilang ‘tempat tinggal rahasia’
“Memangnya alam ghaib itu ada?” Tanyaku takjub. Coleen hanya tertawa renyah menanggapi pertanyaanku. Bahkan tawanya terdengar luar biasa merdu di telingaku.
Kami kemudian memasuki kastil itu. Dibalik pintu kayu yang besar dan terlihat berat ini tersaji sebuah ruangan besar tak bersiku. Dinding-dindingnya oval, melengkung membentuk kesan luas. Ditengahnya ada sebuah meja kayu ek yang klasik. Aku tak berani menanyakan sejak kapan meja itu ada di sana karena yang pasti sudah lama sekali. Jendela dengan mosaik besar-besar beraneka warna memberikan penerangan sempurna karena cahanya matahari dapat masuk langsung ke tempat ini. Dinding-dinding di sekitarnya dilapisi permadani hias yang cantik-cantik. Di atasnya tersaji gambar—seperti ilustrasi yang saling bersambung antara permadani satu dengan yang lainnya, seperti memang sengaja dibuat.
“Sebelah sini,” Katanya dari arah sisi ruangan yang terdapat tangga melengkung. Aku tertegun melihat pemandangan didepanku. Coleen berdiri dengan anggunnya di anak tangga, rambut pirang strawberrynya menggelayut lembut di pundaknya. senyuman manisnya mengembang dengan sempurna. Oke dia memang cocok sekali tinggal di tempat ini. Dia benar-benar terlihat seperti putri raja. Tapi entah mengapa aku agak tidak rela karena bayangan Dwight yang muncul sebagai pangerannya.
Aku mengkutinya menaiki anak tangga menuju lantai selanjutnya, mengangkat koporku perlahan. setelah mencapai puncak anak tangga, kami berjalan di sebuah lorong panjang. Sambil terus memandangi dinding-dinding batu di sekitarku. Penerangan di tempat ini hanyalah obor-obor yang digantung di dinding setiap dua meter. Aku benar-benar merasa sedang terdampar di abad pertengahan.
“Yang ini kamarmu. Emm… kuharap kau tidak keberatan tinggal di sini?” Tanya Coleen, kurasa dia mendapati aku yang melongo memandangi setiap inci kastilnya.
“Tempat ini luar biasa!” Komentarku akhirnya. Coleen mengembangkan senyuman dan mengucapkan terimakasih.
“Dwight menghadiahkannya untukku” Katanya lembut. Oke, menurutku Dani yang membelikanku VW sudah keterlaluan, tapi begitu mendengar Coleen mengatakannya barusan, aku jadi berpikir Dani hanya memberikanku sebatang mawar. Kami memasuki ruangan yang disebutnya sebagai kamarku. Dan aku, saat itu juga mematung karena pemandangan didepanku yang luar biasa.
Ruangan oval itu tertata sangat rapi. Sebuah ranjang kayu besar dengan empat pilar di setiap sudutnya dilapisi sprei warna merah maroon yang anggun, serasi dengan tirai-tirai yang menggelayut di setiap sisi tempat tidur. Dinding di hadapanku hanya dilapisi kaca besar melengkung mengikuti bentuk ruangan ini, menyajikan pemandangan taman bunga yang luar biasa indah. Dua buah kursi kayu dan sebuah meja kecil tepat diletakan di depan dinding kaca, sudut yang sempurna untuk menikmati indahnya hamparan bunga. Sebuah lemari kayu yang tak terlalu besar mengisi sisi dekat pintu masuk. Dan sebuah buffet kayu yang kelihatan sangat solid melengkung di sisa sisi kamar cantik ini. Diatasnya sebuah vas kristal besar dengan tangkai-tangkai bunga yang cantik memberikan kesan yang luar biasa dalam untukku. Tempat ini sempurna.
“Wow” Kataku.
“Kau suka?” Tanya Coleen.
“Ini… luar biasa indah” Coleen tersenyum puas mendengarnya.
“Trims, well, aku ada di bawah kalau kau perlu sesuatu… oh, kamar mandinya tepat di seberang ruangan ini oke?” Kata Coleen.
“Ya” Jawabku. kemudian dia pergi dan menutup pintunya meninggalkanku sendirian di dalam kamar indah ini. aku meletakan koporku di atas ranjang dan berjalan ke arah jendela besar. Aku menarik kursinya dan duduk menikmati indahnya bunga-bunga yang terhampar di bawah. Aku memalingkan wajah ke arah pintu dan membayangkan sosok Cesc berdiri mematung disana sambil melipat kedua lengannya di depan dada, menatapku sambil tersenyum. Ditambah Cesc, kamar ini akan sempurna.