Kamis, 21 Januari 2010

movie release 2010

tahun ini, seperti tahun kemaren, udah pasti banyak banget film-film keren yang dinanti. diantaranya ada beberapa film yang secara pribadi gua tunggu.
misalnya, lanjutan kisah percintaan vampire dan manusia, Eclipse. trus ada lagi lanjutan petualangan anak-anak keluarga Pevensie di kelanjutan The chronicles of Narnia. penggemar Harry Potter pun udah pada ngga sabar ya mau nonton part pertama dari The Deathly Hallows, dan masih banyak lagi movie-movie keren layak tonton tahun ini.

nih, udah gua rangkumin beberapa tanggal release movie di dunia mulai bulan february. mudah-mudahan aja release di Indonesianya ngga molor ya :)

12 February 2010:
I Love You Phillip Morris
Percy Jackson & the Olympians: the Lightning Thief
The Wolfman

5 Maret 2010:
Alice In Wonderland (IMax 3D)

12 Maret 2010:
Remember Me

19 Maret 2010:
The Bounty Hunter
Season of The Witch

26 Maret 2010:
Clash of The Titans
How to Train Your Dragon

2 April 2010:
Diary of a Wimpy Kid
Why Did I Get Married, Too?

16 April 2010:
Death at The Funeral


22 April:
Oceans

7 May 2010:
Iron Man 2

14 May 2010:
Letters to Juliet
Robin Hood

21 May 2010:
Shrek Forever After (3D)


28 May 2010:

Prince of Persia: the Sands of Time
Sex and The City 2

4 Juni 2010:
Marmaduke
Killers

11 Juni 2010:
The A-Team
Get Him to the Greek
The Karate Kid

18 Juni 2010:
Jonah Hex
Toy Story 3

25 Juni 2010:

Grown Ups

30 Juni 2010:
Twilight Saga: Eclipse


2 Juli 2010:
The Last Airbender
Knight & Day

16 Juli 2010:
The Sorcerer's Apprentice

23 Juli 2010:
Dinner for Schmucks
Salt

30 Juli 2010:
Beastly
Cats & Dogs: the Revenge of Kitty Galore
Meet the Fockers Sequel
Morning Glory
Hairspray 2 (no specific date)

13 Agustus 2010:
The Expendables
Ramona and Beezus

1 September 2010:
The American

3 September 2010:
Born to be a Star

10 September 2010:
The Town

17 September 2010:
Flipped

24 September 2010:
Guardians of Ga'hoole
You Again

1 Oktober 2010:
Let Me In
Your Highness


8 Oktober 2010:

Going The Distance
Secretariat
The Zookeeper

15 Oktober 2010:
Faster
The Social Network

22 Oktober 2010:
SAW VII


29 Oktober 2010:

The Howling: Reborn

19 November 2010:
Harry Potter and The Deathly Hallows Part 1


24 November 2010:
Love and Other Drugs
It's Kind of a Fnny Story (no specific date)

10 Desember 2010:
The Chronicles of Narnia: Voyage of the Dawn Treader


17 Desember 2010:
How Do You Know?
Life As We Know It
Tron Legacy

22 Desember 2010:
Gulliver's Travels

dan ada juga film yang release di bulan Desember tapi belum pasti tanggalnya:
# 127 Hours

# Agora

# Bluebeard

# Carancho

# Conan

# Cracks

# The Dry Land

# The Exploding Girl

# The Fighter

# The Good Heart

# Harry Brown

# The Hero of Color City

# Hoodwinked 2: Hood Vs. Evil

# Horrorscope

# The King's Speech

# My Year Without Sex

# Possession

# The Poughkeepsie Tapes

# Prisoners

# Quantum Quest: a Cassini Space Project

# Rough Hustle

# Sanctum (3D)

# Stone

# Survival of the Dead

# The Wonderful Wizard of Oz

# This Man

# The Three Stooges

# The Tree of Life

# Unthinkable

# Untitled Rafael Edholm Project

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 12.

“SURI!!” Pekik Amarilis saat melihat angin keperakan membelit tubuh Suri. Saat ini Amarilis dan Master Zaida telah tiba di padang rumput di belakang gedung sekolah. Keduanya tercengang menyaksikan pemandangan yang tersaji di sana. Angin kencang berpusar dengan hebatnya membantuk pusaran, persis angin topan tornado dalam skala yang lebih kecil.
“Ya Tuhan” Kata Master Zaida sambil membekap mulutnya dengan kedua tangan. Ia sangat menyasal. Ia hanya lengah beberapa saat untuk mengawasi Suri dan beginilah akibatnya. Tubuh Suri tergolek lemah, ia tak sadarkan diri.

Angin sedingin es itu membelit tubuh Suri dan mengangkatnya tinggi ke angkasa. Suri yang tak sadarkan diri terlihat seperti boneka kayu yang putus tali kendalinya.
“Hentikan! Siapapun kau!” Teriak Master Zaida ke arah pusaran angin itu.
Mata Amarilis tertumbuk pada sesosok putih cemerlang yang muncul dari tengah padang rumput. Tepat di bawah pusaran angin yang membelit Suri.
“Master! Lihat!” Seru Amarilis sambil menunjuk ke arah sosok cemerlang itu.
“Apa itu?” Tanya Master Zaida ragu-ragu.
“Mungkinkah itu…” Amarilis ragu-ragu untuk mengutarakan pikirannya. ‘Tak mungkin itu kucing kan?’ Pikirnya dalam hati.
“Kucing?” Kata Master Zaida ragu-ragu. Kucing berbulu putih itu berjalan dengan anggunnya menuju tempat mereka berdiri.

Master Zaida tak yakin apakah itu kucing sungguhan. Ia lalu memejamkan matanya dan mulai menggumamkan mantera khusus untuk melihat yang tak nampak. Amarilis memerhatikan raut wajah Masternya yang berubah secara drastis dan ada kabut berwarna keemasan menyelubungi matanya. Amarilis kembali memandang ke arah kucing berbulu cemerlang itu dan berinisiatif untuk melapalkan mantera yang serupa.
“Ya Tuhan!” Gumam Amarilis saat matanya kini bisa melihat sosok sebenarnya dari binatang cantik itu. Seorang wanita tua berpakaian serba putih. Tapi bukan itu yang membuatnya terbelalak. Wajah wanita itu amat hancur dan buruk rupa.
Rambut keperakannya begitu panjang hingga terseret ke tanah saat ia berjalan. Sebagian rambutnya juga terurai menutupi sebelah wajahnya. Cara berjalannya pun tak sempurna. Terpogoh-pogoh dan tampak kepayahan. Amarilis sering diceritakan oleh teman-teman panti asuhannya tentang legenda hantu-hantu yang menyeramkan, tapi baru kali ini ia benar-benar melihat sosok yang begitu membuat perutnya kram dan dahinya basah oleh keringat dingin.

Wanita tua menyeramkan itu kini hanya berjarak sekitar dua meter dari tempat Amarilis dan Master Zaida terpaku.
“Apa kabar Zaida? Sudah lama sekali kita tak bertemu ya?” Kata wanita itu. Ada dua hal yang membuat Amarilis kembali tercengang. Yang pertama adalah, suara wanita tua buruk rupa ini begitu merdu dan syahdu, seperti suara seorang penyanyi gereja yang usianya tak beda jauh dengannya. Dan yang ke dua adalah, mengapa dia mengenal Master Zaida?
“Sudah kuduga itu kau. Lepaskan dia! dia muridku!” Kata Master Zaida. Perhatian Amarilis kini kembali ke arah Suri yang kini hanya kelihatan kepalanya saja. Tubuhnya seolah telah ditelan oleh pusaran angin itu.
“Oh, sekarang kau bahkan punya murid sendiri ya?” Tanya wanita tua itu.
“SURI!!!” Pekik Amarilis. Ia berharap teriakannya terdengar dan Suri kembali sadarkan diri.

Wanita tua itu menyipitkan matanya, menatap ke arah Master Zaida lekat-lekat. Jelas bukan tatapan penuh rasa bahagia karena bertemu kawan lama., itu adalah tatapan penuh kebencian dan ketidaksukaan. Tiba-tiba angin yang berpusar di sekitar tubuh Suri semakin jelas dan kelihatan memadat.
“Hentikan itu! Kau bisa membunuhnya!” Tuntut Master Zaida sambil menunjuk ke arah pusaran angin. Suasana dinginnya pun terasa sampai ke tulang. Ia tak berani membayangkan sedingin apa yang dirasakan Suri di sana.
“Memang aku ingin membunuhnya kok, anak nakal seperti dia harus dihukum” Kata wanita tua itu penuh kesombongan. Amarilis membelalakkan mata karena terkejut. Suri akan dibunuh wanita ini?!
“Master! Lakukan sesuatu!” Pinta Amarilis dengan panik.

“Kau yang minta!” Kata Master Zaida ke arah wanita tua itu. Seketika langit yang memang sudah tertutup awan kelabu semakin bertambah muram. Hari seolah malam, hanya saja tak ada bulan maupun bintang. Hanya ada kegelapan. Pandangan Amarilis menjadi terbatas, karena matahari tak lagi nampak dan memancarkan sinarnya. Ia seolah tengah berada di dalam sebuah kamar gelap tak berujung. Ia tak lagi bisa melihat Suri yang masih terjebak di dalam pusaran angin yang membekukan itu. Namun ia masih bisa melihat Master Zaida yang tubuhnya kini terselubung cahaya keemasan, berpendar dengan frekwensi yang aneh. Begitu juga dengan wanita tua dengan wajah buruk rupa. Mereka sama-sama terselubung pendar-pendar aneh. Amarilis yakin ini adalah bagian dari sihir tingkat tinggi yang ia dan Suri ingin kuasai secepatnya. Jantung Amarilis berdegup kencang saat cahaya yang berpendar di antara Master Zaida dan wanita tua itu semakin bertambah terang setiap detiknya, hingga terasa sangat menyilaukan mata Amarilis. Dengan refleks ia menutup matanya dengan lengan dan langsung mundur beberapa langkah dari kedua orang itu. Yang terlihat olehnya hanyalah cahaya menyilaukan—ledakan cahaya dan bau-bauan aneh, segala macam bau, dari yang sangat busuk sampai yang begitu manis namun memuakkan.
***

“Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi, Zaida. Di tempat ini lagi!” Kata wanita tua itu kepada Master Zaida. Wanita tua itu menghadapkan telapak tangannya ke udara, dan gumpalan cahaya seolah keluar dari dalam tubuhnya melalui telapak tangannya.
Master Zaida melakukan hal serupa, dan tanpa pikir panjang ia langsung melepaskan gumpalan cahaya itu ke arah wanita tua berwajah buruk rupa. Cahaya itu langsung bergerak sangat cepat ke arah wanita tua dan tepat mengenai lengannya. Cahaya itu berubah menjadi lendir hijau menjijikkan dan berbau busuk.
“Agghh!!!” Pekik wanita tua itu saat lendir yang menempel di tangannya terasa amat panas membakar kulit keriputnya.
Wanita itu langsung menyambarkan puluhan kilat ke arah Master Zaida sambil menjauh, dan salah satunya berhasil mengenai tubuh Master Zaida. Serangan kilat itu memang tak melukai tubuh bagian luar Master Zaida, namun auranya merasuki tubuh dan menyengat di dalam. Master Zaida terbatuk beberapa kali dan darah segar mengalir dari dalam mulutnya. Master Zaida melap sisi bibirnya dari bakas darah dan mengeluarkan tongkat sihirnya secara perlahan dari dalam jubah panjangnya. Ia lebih ahli dalam menggunakan tongkat daripada wanita ini, kawan lamanya yang ia tahu benar. Wanita tu melihat dengan jelas benda apa yang sedang dipegang oleh Master Zaida dan terbelalak. Ia tak lagi punya tongkat sihir sejak dihukum oleh pemerintahan sihir karena melanggar pasal berat. Dan ia tahu benar bakat Master Zaida dalam menggunakan tongkat.
“Buang benda itu jauh-jauh Zaida! Ayo kita bertarung secara adil” Tantang wanita tua itu.
“Sayang sekali, aku tak begitu suka sportifitas” Kata Master Zaida sambil mengayunkan tongkatnya ke depan dan melapalkan mantera tingkat tinggi. Seketika ledakan cahaya kehijauan terasa membutakan mata.
***

Langit gelap perlahan memudar. Amarilis kembali dapat melihat sekelilingnya, meski belum sempurna.
“Suri!!” Jeritnya saat didapatinya Suri yang masih tak sadarkan diri sedang meluncur dengan kecepatan tinggi menuju bumi kala angin yang membelit tubuhnya memudar.
Dengan sigap ia mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku jubah seragamnya dan melapalkan mantera untuk membuat tubuh Suri jatuh dengan lembut ke atas tanah. Amarilis berlari ke arah padang rumput dan menangkap tubuh Suri yang hampir menyentuh tanah.
Ia sangat terkejut karena tubuh Suri terasa sangat dingin dan pakaiannya tercoreng di sana-sini. Ia takut wanita tua itu benar-benar telah membunuh Suri.
“Suri!!! Sadarlah, kumohon!!” Kata Amarilis sambil mengguncang-guncangkan tubuh Suri untuk menyadarkannya, namun tak ada tanda-tanda Suri telah sadarkan diri. Amarilis yang panik langsung menggosokkan telapak tangannya di lengan Suri yang terasa membeku, berharap ia bisa membuat tubuh Suri menghangat.
Master Zaida menghampirinya dan langsung menggendong Suri.
“Ayo Amarilis, kita harus segera pergi dari sini sebelum penyihir tua itu sadar!” Seru Master Zaida sambil mempercepat langkahnya. Amarilis menurut dan sambil berlari, ia memerhatikan sosok kucing putih cantik itu sedang tergeletak tak sadarkan diri di dekat pohon cheddar.

:to be continued:

Jumat, 01 Januari 2010

Fan Fiction: Another Love Story 6

Para Pembersih

“Mengapa mereka mamakai pakaian yang sama?” Tanyaku bingung. Melihat sebagian besar pengunjung siang ini berpakaian seragam. Ada yang masih muda—sepertinya seumuran denganku, ada juga yang sudah paruh baya, mungkin seumur dengan Math dan Dann.
“Mereka supporter sepak bola, Carla. Astaga, kau tidak tahu?” Tanya Abbey membelalak terkejut. Shock akan ketidaktahuanku.
“Aku memnang tidak mengerti tentang sepak bola” Belaku.
“Ini London, Carla! Kami punya empat klub sepak bola besar disini! Salah satunya akan bertanding sore ini, Arsenal akan bertanding melawan AC Milan di fase grup Liga Champions” Abbey menjelaskan. Sepertinya dia paham benar dengan sepak bola. Atau mungkin hanya aku saja di tempat ini yang tidak paham? Kulihat Mathieu dan Danniene juga sedang asyik mengobrol dengan beberapa pengunjung. Suasana kekeluargaan yang nyaman. Seolah-olah mereka semua punya tali penghubung yang tidak terlihat. Semua pengunjung saling sapa dan mengobrol dengan hangat. Mereka seperti memiliki gairah yang sama, yang sama-sama berkobar dengan semangat.
“Kita punya peluang lolos lebih bersar dari mereka!” Seru salah seorang pengunjung dengan semangat. Diikuti oleh sorak sorai pengunjung yang lain.
“Kita akan menang malam ini!” Kata orang itu lagi. Apa dia itu semacam pemimpin mereka? Suara gemuruh membahana di dalam kedai. Mereka seperti sedang menyanyikan sebuah mars atau jingle khusus. Tapi aku sama sekali tidak menangkap sepatah katapun dari nyanyian mereka saking riuhnya. Aku mengerutkan dahi mendengarnya.
“Mereka luar biasa kan?” Tanya Danniene ditengah riuhnya nyanyian pengunjung.
“Yeah,” Komentarku. Aku tak berhasil menemukan kata yang lain.
“Inilah yang aku sukai dari Inggris! Sangat mencintai sepeak bola” Kata Danniene berseru senang. Sepertinya ia merasa sepuluh tahun lebih muda dalam keriuhan ini. Saat aku masih di Spanyol suasana memang sangat ramai saat salah satu klub terbesar melakukan pertandingan penting. Bagaimana tidak? Aku tinggal di Bercelona. Para supporter biasanya berpesta semalaman kalau klub yang mereka dukung menang. Tapi biasanya hanya terjadi di sekitar stadion.
“Stadionnya ada di dekat sini, kalau begitu?” Tanyaku kepada Abbey setelah Danniene kembali ke kerumunan.
“Well, Carla. Kurasa kau butuh berkeliling kota. Mintalah libur satu hari pada Dann” Jawab Abbey.
“Apa maksudmu?” Tanyaku bingung.
“Stadionnya hanya dua blok dari tempat kita berdiri, Carla!” Kata Abbey sambil menunjuk ke sebelah barat kedai.
“Masa kau tidak menyedari stadion sebesar itu? Emirates Satadium. Yang termewah di Inggris!” Dia berkata dengan berapi-api. Membuatku terlihat bagai idiot yang tersesat di pusat dunia.
“Well, sepertinya aku memang harus berkeliling kota” Desahku pasrah. Sepertinya hanya aku sendiri yang buta sepakbola di tempat ini. Abbey berjalan riang ke arah kerumunan, bersama Mathieu mereka ikut menyanyikan mars-mars yang sama sekali tidak aku mengerti. Sejenak aku mendengar beberapa diantara mereka menyerukan nama-nama—banyak nama, yang aku yakin adalah nama pemain sepakbola dari klub itu. Aku berjalan ke arah dapur dan mendapati Danniene sedang mengobrol di telepon. Wajahnya terlihat serius. Aku hendak memutar kembali tubuhku, menghindari mencuri dengar pembicaraan telepon Danniene. Tapi mendadak langkahku terhenti. Seperti ada yang menahanku.
“Kau harus mendiskusikannya dengan yang lain! Kau… kalian, tidak boleh membuat keputusan sepihak!” Danniene berusaha sebisa mungkin menahan luapan emosinya saat bicara. Aku tertegun. Aku tidak pernah mendengar Dann berbicara dengan logat perancis yang begitu kental Mendadak aku jadi ingin mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh Danniene dengan sesorang yang entah siapa diujung telepon.
“Sekali lagi kuberi tahu, kalian tidak boleh—tidak harus melawan mereka sendiri, maksudku” Danniene berusaha merendahkan suaranya.
“Baiklah, tentu saja… hmm, ya, kami ada pertandingan sepakbola, pertandingan besar. Semua orang pasti sibuk, tidak akan ada yang memerhatikan. Datanglah, kalau begitu” Pinta Danniene. Aku semakin penasaran, siapa yang sedang bicara dengan Danniene di ujung sana? Aku termenung. Apakah inti pembicaraan Danniene dan seseorang itu adalah tentang seseorang—sesuatu yang akan datang ke Eropa? Yang Cesc sebut tentang ‘menguasai’ Eropa.
“Carla?” Danniene memergokiku sedang mematung di ambang pintu. Aku yakin wajahku pucat. Aku tidak pernah menguping pembicaraan orang lain sebelumnya.
“Maaf… itu, aku tidak bermaksud… sungguh” Sahutku terbata-bata. Berusaha menjelaskan posisiku.
“Sejak kapan kau di sini?” Tanya Danniene ramah, tidak terdengar marah sama sekali. Aku yakin pertanyaannya itu sama artinya dengan ‘Seberapa banyak yang sudah kau dengar?’
“Belum lama,” Jawabku jujur.
“Tidak apa, Carla. Aku tidak marah, itu tadi bukan telepon penting—tidak terlalu penting. Hanya teman lama yang akan datang berkunjung” Sergah Danniene sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku masih merasa tidak enak. Ini kali pertama aku mencuri dengar pembicaraan seseorang, dan langsung ketahuan. Benar-benar tidak berbakat.
“Kau mau menyaksikan pertandingannya bersama kami?” Tanya Danniene memecah kesunyian. Dia tersenyum sambil menunjuk ke arah kedai yang sudah disulap menjadi ruang menonton. TV diletakkan di sisi dinding dan semua meja dan kursi dibentuk barisan.
“Kau salah mengajak orang, aku tidak mengerti sepakbola” Jawabku sabil tertawa.
“Kau tidak perlu jadi jenius untuk mengerti sepakbola, Sayang” Kata Danniene sambil menarik tanganku. Aku senang dia tidak marah. Saat pertandingannya hampir dimulai—menurutku, karena layar TV bukan lagi berisi para komentator sok tahu, tapi sudah beralih ke sebuah lapangan besar yang disinari lampu-lampu sorot, padahal matahari belum terbenam. Handphoneku berdering. Daniel. Aku bergegas ke luar ruangan, menghindari suara bising dan riuh para supporter yang kehabisan tiket untuk menonton langsung, memilih tempat ini untuk menonton bersama. Aku mempercepat langkahku kemudian aku mengangkat handphone.
“Hallo,” Sapaku. Rongga dadaku seakan penuh dengan perasaan mengambang yang menyenangkan. Selalu seperti ini saat sedang mengobrol dengan Dani, walau hanya di telepon.
“Carla,” Desahnya diujung telepon.
“Apa?” Tanyaku sok keren, seolah telepon darinya hanya menyita waktuku, yang sebenarnya adalah aku rela ia menyita waktuku seumur hidup walau hanya dengan bertelepon.
“Harusnya aku tidak usah pulang ke London kemarin, dan menemuimu,” Desahnya lagi.
“Memangnya kenapa? Kau menyesal menghabiskan malam denganku?” Tanyaku dengan nada setengah merajuk. Entah mengapa aku merasa sedang merayunya—dan berhasil, saat bicara dengan nada seperti ini. Sedikit menggelikan, memang, tapi aku suka.
“Menyesal? Sangat. Kau tahu, gara-gara aku menemuimu ditengah jadwal balapku, seharian ini aku tidak bisa berkonsentrasi” Katanya.
“Aku tidak mengerti? Aku mengganggu konsentrasimu?” Tanyaku bingung.
“Yeah, belum apa-apa aku sudah merindukanmu. Biasanya aku bisa lebih tahan menghadapi ini, kurasa pertemuan singkat yang kemarin itu…” Katanya, suaranya menggema di telingaku. Suara yang pemiliknya adalah sesorang yang paling aku inginkan di dunia ini. Aku melanjutkan kata-kata Daniel.
“…malah mebuatmu merindukanku?” Tanyaku memastikan.
“Yap. Aku di Paris. Datanglah,” Pintanya. Ia meminta aku datang ke Paris, seolah-olah Paris ada di seberang jalan.
“Jangan ngaco! Paris itu jauh” Sahutku.
“Carla! Tidak sampai tiga jam naik Eurostar, Kau juga sudah kuberikan sebuah kartu pass untuk memasuki paddock” Kilahnya. Dia memang memberiku sebuah kartu pass, yang digunakan para staff penting untuk keluar masuk area khusus pembalap dan mekanik mereka bekerja. Biasanya hanya para pengunjung khusus—yang membayar harga ekstra yang memiliki kartu ini, dan itupun hanya berlaku selama hitungan hari. Dan ada juga kartu pass yang dimiliki orang-orang terdekat sang pembalap. Pembalaplah yang menentukan siapa saja yang berhak hilir mudik di area itu. Biasanya kartu jenis ini dimiliki oleh keluarga pembalap, entah orang tua, isteri atau anak. Dalam kausku, pacar. Kartu ini berlaku sepanjang musim balap. Aku bisa dibilang bebas hilir mudik di seluruh sirkuit balap di berbagai Negara. Hanya saja aku tidak pernah menggunakan kartu itu. Aku hanya sekali menggunakannya, saat masih di Spanyol. Dan aku langsung jera. Banyak sekali kamera TV disana. Lebih banyak dari yang dapat aku prediksi. Karena aku sama sekali tidak ingin ter-ekspos sebagai kakasih seorang pembalap, akhirnya aku meutuskan untuk menyaksikan balapannya dari ruangan lain, bukan di paddock. Aku menghela napas panjang. Mengingat pengalaman pertamaku datang ke sebuah kejuaraan balap.
“Daniel,” Kataku mantap. “Besok aku ada kelas, aku tidak suka membolos kau tahu itu” Jawabku. Sunyi sesaat. Apakah aku salah bicara?
“Kau tidak lantas jadi bodoh hanya karena membolos satu sampai dua kelas kuliah. Lagipula kau kan jenius,” Katanya. Kata jenius menurutku terlalu berlebihan. Aku memang di terima berkuliah di sini karena jalur bea siswa, tapi bukan berarti aku sepintar itu.
“Aku bukan jenius, Dan, nilaiku harus sempurna kalau tidak ingin bea siswaku ini di cabut. Dan membolos tidak akan membuat nilaiku bagus” Kilahku. Bukannya tidak ingin menemuinya, melihat sosok paling spesial dalam hidupku, tapi memang, aku tidak boleh—tidak bisa membolos. Suasana sunyi kembali. Ini benar-benar terlihat seperti aku sedang mencampakkannya—hal yang paling tidak akan mungkin aku lakukan. Aku tidak mendengar suaranya sama sekali. Seolah-olah ia tertidur di ujung sana.
“Daniel,” Panggilku. Tidak ada jawaban. “Daniel…” Panggilku sekli lagi, dan kembali tidak ada jawaban. Okay, dia sudah benar-benar membuatku merasa bersalah.
“Tidakkah seharusnya kau sedang belajar sekarang? Supaya nilai-nilaimu sempurna?” Tanya Daniel dingin. Pertanyaan yang sungguh menjengkelkan. Aku memang lebih menyukai mebaca buku-buku referensi dibanding jalan-jalan ke mall, tapi tak seharusnya dia bertanya begitu padaku. Dia menanyakannya seperti pekarjaanku hanya belajar dan belajar tanpa kenal waktu. Aku menyadari suasana tidak enak—tidak bersahabat.
“Kau ingin aku menutup teleponnya?” Tanyaku kembali. Aku cukup kesal untuk mengatakannya.
“Tidak usah, aku saja…” Kata Daniel. Kami memang seharusnya tidak bicara lebih jauh lagi disaat seperti ini, atau pertengkaran kecil ini malah akan menjadi semakin besar. Sunyi kembali. Aku menunggunya memutus sambungan.
“Selamat malam,” Kata Daniel. Suaranya tak menggambarkan ekspresinya, tak terbaca. Apakah aku sungguh menyakiti perasaanya? Aku jamin malam ini aku tidak bisa tidur kalau sampai bertengkar dengannya hanya karena… kelas kuliahku?
“Selamat malam,” Jawabku.
“Aku mencintaiu,” Katanya lagi. Aku buru-buru menjawab sebelum ia menutup teleponnya.
“Aku lebih mencintaimu, kau tahu itu,” Kataku. Dengan ini aku harap dia tidak salah menyangka bahwa penolakanku bukan karena aku tidak mencintainya.
“Yeah, aku tahu, tapi tetap saja rasa cintaku kepadamu tak terkalahkan” Balasnya. Aku tersenyum, hampir tertawa. Tapi aku menahannya sebisaku. Suasana sudah mencair kembali, syukurlah. Aku paling tidak suka bertengkar dengannya. Walaupun kami memang terbilang sering bertengkar karena hal-hal kecil.
“Kapan tepatnya kau akan menutup telepon?” Tanyaku.
“Setelah aku selesai menyatakan cintaku—mungkin”Jawab Dani.
“Kau sudah menyatakannya berjuta-juta kali, tidakkah itu cukup?” Tanyaku, kali ini disertai tawa. Aku tidak mampu menahan tawaku lagi. Menanggapi kelakuannya, yang selalu tidak mau kalah menganai hal ini.
“Tidak akan sepenuhnya cukup, walau aku lakukan seumur hidup” Jawabya tanpa ragu. Semantara aku masih tersenyum-senyum. Kebahagian membuncah di tubuhku, kebahagiaan akan posisinya dan posisiku—perasaanya terhadapku dan perasaanku terhadapnya adalah sama.
“Hentikan, ini tidak akan ada habisanya” Sahutku. Dani yang sekarang tertawa. Kami memang terlihat—terdengar kalau saat ini, sangat konyol pada situasi begini. Mungkin sisi konyol dan idiot dari diriku tertular padanya.
“Kau jahat sekali tidak mau datang dan menyaksikan balapku Carla” Katanya tiba-tiba. Aku teregun tentang seberapa sering aku menolak ajakannya untuk datang ke sirkuit balap.
“Kau berkeliling dunia, Dani. Mana mungkin aku bisa sering datang di balapmu” Jawabku. Dan itu benar. Ia balapan di berbagai Negara. Mulai dari Eropa sampai Amerika, aku mengganti posisi handphoneku, memindahkannya ke telinga satunya.
“Alasanmu masuk akal, kalau begitu kau tidak boleh menolak ajakanku yang satu ini” Katanya.
“Ajakan ke Perancis? Astaga! Jadi kau anggap hanya karena ada jalur kereta yang menghubungkan Paris dengan London kau bisa seenaknya memintaku datang?” Tanyaku jengkel. Siapa sih yang membuat jalur kereta api sialan itu?
“Bukan, Carla! Maksudku, ajakanku setelahnya” Jawabnya meralat perkataanku.
“Ajakan yang mana kalau begitu?” Tanyaku. Aku tidak ingat dia mengajakku ke tempat lain.
“Race berikutnya di Donington Park. Aku memintamu datang, kau tidak boleh menolaknya” Jawabnya mantap. Donington Park, Castle Donington, Derby. Masih di Inggris walaupun tidak dekat. Selama ini aku memang berusaha menghapal semua nama dan alamat sirkuit langganan kejuaraan balap.
“Hari apa racenya?” Tanyaku. Aku tahu aku tidak boleh menolaknya kali ini, kalau aku masih ingin berpacaran dengannya tentu saja.
“Minggu, tepatnya empat belas hari lagi” Jawab Dani. Aku berpikir sejenak. Aku rasa aku bisa meminta libur satu hari pada Dnniene.
“Baiklah, aku akan datang” Jawabku kemudian.
“Kau serius?” Tanya Dani. Aku dapat merasakan aura semangatnya.
“Seratus persen” Jawabku yakin.
“Terimakasih” Kata Dani kemudian.
“Tidak perlu berterimakasih segala,” Kataku setengah merajuk.
“Okay. Well, lanjutkanlah belajarmu, Carla,” Kata Dani kemudian. Sepertinya dia yakin benar aku sedang belajar. Aku yakin dia akan mengamuk kalau tahu apa yang sedang aku lakukan sebanarnya. Bekerja paruh waktu.
“Tahu dari mana kau aku sedang belajar?” Tanyaku jahil.
“Apa lagi sih yang kau lakukan saat tidak sedang bersamaku?” Tanya Dani balas meledekku.
“Haha, yeah, kau benar. Aku punya pengalih perhatian disini, buku-buku kuliahku sungguh satu-satunya hal yang bisa menyingkirkanmu dari kepalaku walaupun sementara” Jawabku.
“Kau benar, aku juga punya satu kalau begitu. Punyaku lebih besar dan beroda dua” Jawabnya sambil terkekeh. Yang Dani maksud tentu saja adalah motor balapnya. Aku lantas teringat kata-katanya, dia pernah bilang padaku, dua hal yang tak bisa pergi dari pikirannya, balap dan aku. Aku tahu mungkin bagi sebagian orang kalimatnya itu adalah rayuan gombal sok puitis, tapi aku tidak menemukan arti lain dari kata-katanya. Ia mengatakannya dengan serius, kemudian dilanjutkan sebuah kalimat lagi. ‘Aku minta padamu untuk tidak memaksaku memilih antara kau dan balap, karena aku sungguh lebih memilih mati daripada kehilangan salah satunya’ balap adalah hidupnya, itu yang aku simpulkan. Aku datang belakangan, setelah balap menjadi hidupnya selama bertahun-tahun. Tidak ada alasan bagiku untuk memintanya menyingkirkan balap dari otaknya.
“Jangan lupa menyaksikan balapku besok siang,” Kata Dani akhirnya.
“Aku tidak pernah terlewat semenitpun,” Sahutku.
“Aku senang kau melihatku, walau dari TV” Katanya kemudian.
“Semoga besok sukses,” Doaku di akhir perbincangan panjang kami.
“Terimakasih, aku mencintaimu” Kata Dani.
“Aku juga,” Jawabku, keudian telepon terputus. Aku beranjak kembali memasuki ruangan. Yang penuh dengan keriuhan supporter Arsenal. Aku melirik ke layar TV wide screen itu saat melewatinya. Skor masih kosong-kosong, menit ke tiga puluh. Setengah jam sudah aku bertelepon dengan Dani. Tidak terasa.
“Pacarmu?” Tanya Abbey. Aku terkesiap. Seingatku tadi aku sudah barada di luar toko saat menjawab telepon Dani. Apakah dia menguping?
“Enak saja, aku tidak mendengar kok, aku hanya melihat ekspresi wajahmu, berubah. Jadi… merona,” Jawabnya. Kurasa hubunganku dan Abbey luar biasa berkembang saat ini.
“Wajahku merona?” Tanyaku bingung. Memang ada bedanya ya?
“Yeah, aku memang agak peka, sering melihat yang tak terlihat” Jawab Abbey. Dia melihat yang tak terlihat. Peka? Aku cukup terkejut.
“Aku bisa merasakan berbagai macam perubahan suasana hati, mungkin itu… aku tidak pandai menjelaskannya” Kata Abey sambil menumpuk piring-piring kotor di meja di sebelahku. Menumpuk pekerjaanku.
“Wow,” Responku sepertinya kurang tepat.
“Kau tahu? Kau orang pertama yang membuatku nyaman berada di dekatmu—padahal kita baru kenal, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, agak aneh, seperti ada sesuatu di dadaku yang hendak melompat keluar,” Abbey menjelaskan panjang lebar tentang perasaannya kepadaku. Seolah-olah dia baru saja melamarku.
“Aku tidak pernah bicara sebanyak denganmu dengan orang yang baru aku kenal selama dua hari. Kau ajaib, Carla, tidakkah kau merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirimu?” Tanya Abbey. Sesuatu yang beda mungkin adalah ada bagian dari otakku yang terkadang berpikir konyol.
“Aku tidak merasakan apapun,” Jawabku. Aku lalu mulai menyabuni piring-piring keramik yang Abbey tumpuk di sebelahku. Agak senang juga rasanya memiliki teman perempuan yang bisa diajak mengobrol. Meningat semua teman sekelasku tidak ada yang bersahabat─dan aku memang tidak berusaha membangun pertemanan dengan anak-anak sok pintar itu.
“Mungkin kau memang tidak merasakannya, tapi orang-orang di sekitarmu yang merasakan,” Lanjut Abbey mantap. Aku tidak lantas memercayainya. Kalau aku memang dapat membuat orang lain nyaman saat bersamaku, mengapa sampai sekarang aku tidak punya teman? Kemudian sesosok yang sudah sangat familier denganku satu bulan ini muncul. Aku terlonjak saking kagetnya, membuat sabun cuci piring terciprat kemana-mana, sebagian mengenai celemekku. Mengapa dia ada di sini? Mengapa Cesc muncul di tempat ini? Ada Abbey di sini!
“Apa yang kau…” Aku bertanya nyaris seperti bisikan saking pelannya. Kuharap Abbey tidak menyadari kehadirannya. Aku tidak mau menakuti teman baruku. Cesc tersenyum melihat tingkahku.
“Dia tahu aku di sini, Carla” Kata Cesc sambil mengerlingkan matanya ke arah Abbey. Sejurus kemudian Abbey menatapku, memalingkan wajahnya ke padaku
“Aku tahu dia di sini Carla, walaupun dia tidak menampakkan dirinya kepadaku, ingat kan? Aku peka” Seringai Abbey sambil lalu, membawa piring-piring yang telah selesai aku cuci.
“Dia sengat spesial, dapat merasakan yang tidak terasa, aku kagum pada sensenya,” Kata Cesc kemudian saat Abbey meninggalkan kami berdua di dapur.
“Dia tidak melihatmu? Tapi kenapa? Aku jelas sekali—kau jelas-jelas terlihat olehku” Aku menayakan sambil mencipratkan air dari bak cuci untuk membilas busa di lengan dan celemekku.
“Dia merasakanku, tapi aku tidak memperbolehkannya melihatku, lain denganmu, aku memang menampakkan diri untukmu” Jawab Cesc sanbil mendekatkan diri padaku. Berjalan melewatiku, kemudian duduk di konter sisi bak cuci piring.
“Lalu, apa yang membuatmu kemari? Seharusnya kau kan menjaga tempat tinggal kita?” Tanyaku. Hampir saja aku tertawa saat menyebutkan ‘tempat tinggal kita’
“Aku bukan House Elf! Aku memang ingin berpamitan, aku akan pergi mungkin satu sampai dua hari…” Katanya. Menjelaskan.
“Apa? Kemana tepatnya?” Tanyaku penasaran. Dia mau pergi? Meninggalkan aku di flat suram itu sendirian? Pada awalnya aku memang takut kalau harus tinggal sendirian, dan sangat bersyukur karena pada akhirnya aku tidak tinggal sendirian, walaupun yang tinggal bersamaku bukan manusia, tapi cukup—sangat bersahabat. Dan tidak merepotkan, tidak butuh makan, tidak butuh tempat tidur. Sangat tidak merepotkan. Nilai plus lainnya, dia luar biasa tampan.
“ Ke… Timur, bersama Darren, Mathieu, dan Dween—Dwight dan Coleen” Cesc menyebut mereka itu satu paket. Dwight dan Coleen. Paket penghisap darah, kalau begitu. Vampir menjengkelkan-tukang-intip-isi-kepala-orang dan Drakula cantik-tak-bercela.
“Danniene?” Tanyaku.
“Dia tinggal, teman lamanya akan datang kurasa,” Kata Cesc dengan nada tidak yakin. Teman lama, teman jenis apa? Teman yang tadi mengobrol dengannya via telepon di dapur?
“Kau kan sudah janji akan melanjutkan ceritamu tentang Dween?” Tanyaku.
“Aku bisa menceritakannya kapan saja, Carla. Ini lebih penting” Jawab Cesc
“Dan, bisakah kau… selama aku pergi, setidaknya, tetap menjaga tempat tinggal kita utuh?” Tanya Cesc kemudian . Aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Apa maksudu menjaga agar tetap utuh?” Tanyaku bingung.
“Kau sudah berulang kali, dalam frekuensi yang mencengangkan—tanpa kau sadari, hampir meluluh-lantakkan tempat tinggal kita, kau tahu?” Katanya jengkel.
“Aku tidak mengerti?” Aku semakin bingung. Mana mungkin aku pernah melakukan sesuatu seserius itu. Meluluh-lantakkan?
“Dalam satu bulan pertama, kau hampir membakar tempat itu! Tidak menutup saluran gas, stop kontak tebuka, kompor yang menyala semalaman… kau pikir sudah berapa kali aku menyelamatkan tempat itu?” Cesc sepertinya marah, namun sorot matanya malah terlihat sebaliknya.
“Aku tidak tahu… maksudku, mengapa kau tidak memberi tahuku?” Tanyaku. Seharusnya aku diberi tahu soal betapa liarnya aku—betapa liarnya kecerobohanku.
“Kurasa ini seperti simbiosis mutualisme bagiku. Jadi aku tidak merasa perlu memberi tahumu tentang betapa cerobohnya kau,” Cesc menjelaskan.
“Simbiosis bagaimana? Aku hampir membakar tempat tinggalmu!” Sergahku buru-buru.
“Dengan adanya kau di tempat itu—di flat kita, berarti aku sudah tidak perlu lagi repot-repot menghadapi manusia-manusia baru hampir setiap bulannya, itu melegakan, aku tidak harus mengacak-acak perabotan orang yang baru satu minggu tinggal,” Cesc menjelaskan sambil terkekeh, ia berkata seolah-olah sebenarnya dia tidak begitu suka mengganggu manusia.
“Well, sudah cukup mengobrolnya, aku harus pergi. Jaga tempat itu—flat kita baik-baik, aku tidak mau saat aku kembali nanti aku hanya menemukan puing-puing gosong” Katanya, kemudian ia berjalan ke arah sudut ruangan, berbalik dan menatapku sekilas, kemudian lenyap sama sekali. Aku heran, kemana perginya aura dingin aneh yang biasanya menguar dari tubuhnya saat ia muncul. Karena saat ini aku tidak merasakannya sama sekali. Sedetik kemudian Abbey muncul.
“Dia pergi?” Tanyanya, aku lupa ada orang lain yang merasakan kehadirannya selain aku di sini, walau tanpa melihat wajahnya. Syukurlah dia tidak melihat, aku tidak mau berbagi kesempurnaan itu dengan siapapun di dunia. Kesempurnaan itu milikku seorang.
“Yeah, kau merasakan kepergiannya juga?” Tanyaku.
“Aku merasakannya, saat ia datang dan saat ia pergi. Aku kaget Carla, kau baru saja… aku baru saja melihatmu berkomunikasi dengannya! Dia bahkan tidak terlihat!” Abbey terlihat histeris mendapati bukan hanya dia yang mampu merasakan kehadiran Cesc. Aku tersenyum padanya. Mencoba menenagkan histerianya.
“Aku juga tidak paham dengan hal yang baru saja terjadi, tapi, dia hantu baik. Tidak usah dipikirkan lagi. Kurasa kita punya beberapa persamaan tentang makhluk yang bukan manusia ini, Abbey” Kataku.
“Kau benar. Oh, sudahlah, aku masih harus memasukkan piring-piring” Kata Abbey kembali meninggalkanku di dapur. Suara masih membahana dari depan kedai. Cesc pergi selama dua hari. Aku tidak akan menjumpai sosok indah itu di sudut dapur malam ini, besok pagi dan besoknya lagi. Mendadak perasaan aneh muncul. Aku tidak mau sendirian. Dani sedang di Paris. Bagus sekali! Dua hari ini aku benar-benar sendirian.
Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku lantas berjalan ke arah toserba, menghindari kedai yang ramai. Danniene sedang duduk santai di sudut meja kasir.
“Math sudah pergi?” Tanyaku.
“Kau tahu mereka pergi?” Tanya Dann.
“Cesc tadi… berpamitan denganku,” Agak aneh mengucapkan tentang hantu yang berpamitan. Aku ingin sekali tertawa saat ini kalau bisa. Danniene tersenyum mendengarnya.
“Bolehkah aku tahu… kemana mereka semua?” Tanyaku ragu. “Cesc hanya bilang ke Timur… timur kan bisa berarti sepanjang Eurasia” Kataku kemudian. Danniene terkekeh dan kemudian menjawab.
“Kau tidak suka dia pergi jauh?” Tanya Dann.
“Aku tidak suka sendirian” Jawabku jujur. Dan mengetahui kemana sebenarnya mereka—Cesc-ku, pergi menurutku dapat membuatku sedikit lebih tenang. Oh, well, sekarang aku merasa telah memilikinya.
“Mereka pergi ke Timur, Cesc benar. Tepatnya ke Magyarország—Hungaria” Jawab Danniene tenang. Hungaria? Itu tidak dekat… apa dia serius tentang janjinya pergi selama dua hari? Atau hanya berusaha agar aku tidak berpikir dia akan pergi lebih lama?
“Cesc bilang hanya dua hari…” Desahku tak suka.
“Hungaria tidak sejauh itu, Carla… kau tentu tahu bagaimana cara mereka bepergian!”
“Oh!” Aku terkesiap. Kalimat Danniene barusan melegakanku. Cara mereka bepergian. Cara Cesc-ku bepergian. Cesc memang bisa menghilang dalam sekejap dan sudah berpindah tempat pada detik selanjutnya. London ke Hungaria sama sekali bukan masalah kalau begitu. Tapi, apa tujuan mereka pergi bersama-sama begitu?
“Apa yang akan mereka lakukan di Hungaria?... kalau aku boleh tahu,” Tambahku.
“Tentu saja kau boleh tahu. Carla, kau sadari atau tidak, Cesc sudah membuatmu menjadi sosok yang bersekutu dengan kami, pertemanan kalian berdua membawamu masuk ke dunia kami” Kata Dann mantap.
“Oh, ini terdengar seperti di film fantasi saat kau menyebut Dunia kalian” Sergahku. Mendadak itu terdengar lucu, kamipun tertawa bersama.
“Memang sebagian besar manusia menganggap eksistensi kami adalah fantasi, Sayang” Kata Dann kemudian. Ia berdeham beberapa kali baru kemudian melanjutkan.
“Mereka sedang menemui Para Pembersih,” Kata Dann tenang namun terkesan hormat. Aku mengernyit bingung. Para Pembersih. Mereka tentu yang bertugas membersihkan. Tapi apa tepatnya yang mereka bersihkan? Tentu bukan kotoran biasa, mengingat cara Dann menyebut mereka dengan formal.
“Para Pembersih?” Tanyaku. Aku melihat rahang Dann mengejang. Mungkin dia berharap aku tidak pernah menanyakan hal itu.
“Well, seperti namanya, mereka yang bertugas membarsihkan. Mereka tersebar di seluruh benua. Yang di Eropa ada di Hungaria, di Asia ada di Filipina, di Amerika bermarkas di Chile, di Afrika ada di Afrika Selatan, satu di Australia, Artik, dan Antartika” Danniene.
“Mereka ada di seluruh dunia? Tapi bagaimana yang di kutub selatan? Mana mungkin ada yang bisa bertahan hidup di…” Aku tersentak, membelalakan mata. Aku tersadar dengan siapa aku sedang bicara sekarang ini, dan apa yang sedang kami bicarakan.
“Mereka mungkin tidak akan bisa bertahan hidup kalau seandainya mereka manusia” Kata Dann perlahan. Memberi tekanan pada setiap kata-katanya. Kalau seandainya mereka manusia. Aku bergidik. Harusnya aku sudah tidak takut lagi saat membicarakan hal-hal gaib seperti ini. Harusnya aku sudah terbiasa. Tapi jantungku menolak membiasakan diri. Jantungku berdetak takkaruan, menimbulkan rasa nyeri yang teramat sangat. Hanya rasa penasaran yang membuatku tetap berdiri.
“Apa sebenarnya mereka? Apa yang mereka bersihkan?” Tanyaku dengan suara gemetar.
“Mereka bukan manusia, tapi mereka hidup dan tumbuh, mereka menua, dan mati. Mereka memiliki kekuatan yang tak terduga, mereka mengabdi kepada Tuhan. Mereka sangat dihormati oleh golonganku—penyihir, kami menganggapnya penyeimbang. Membersihkan segala kekacauan yang ditimbulkan para manusia yang tidak mati dengan benar, mereka yang sebenarnya sudah mati, namun masih berkeliaran di dunia. Juga untuk mereka yang jiwanya mati, namun masih hidup” Jelas Dann.
“Seperti Cesc?” Tanyaku. Aku ingat kata-katanya tentang ia mati dengan cara dan waktu yang salah.
“Seperti Dwight dan Coleen juga” Jawab Dann. Aku mendadak mengerti. Berbeda dengan Cesc, Dwight dan Coleen jiwanyalah yang mati. Tapi kekacauan apa yang mungkin mereka lakukan? Belum sempat aku bertanya, aku sudah menemukan jawabannya. Dwight dan Coleen jelas mungkin mengacau, tapi Cesc? Darren juga. Apa sih yang mungkin mereka lakukan? Menakuti orang-orang dengan muncul tiba-tiba di hadapan mereka? Itu masuk hitungan mengacau?
“Dan untuk apa mereka mendatangi Para Pembersih?” Tanyaku bingung.
“Ingat pertemuan kami di flatmu? Mereka bermaksud merundingkan hal yang sama pada Para Pembersih, menghimpun kekuatan untuk melindungi Eropa, syukur-syukur dapat merambat ke benua lainnya juga” Dann tersenyum lirih. Aku berpikr sejenak. Jadi selama ini masalah sebenarnya perpusat pada seseorang—sesuatu yang akan mendatangi Eropa.
“Aku masih belum tahu… tentang seseorang yang menguasai Himalaya itu” Kataku. Danniene tersenyum seklilas.
“Biar kujelaskan, Sayang. Para Pembersih itu, sebenarnya bekerja sendiri-sendiri. Mereka bahkan bersaing dengan Para Pembersih lain yang berada di benua lain. Dan tak jarang persaingan mereka adalah persaingan yang tidak sehat. Salah satu kelompok, katakanlah yang di Asia, yang paling dekat dengan Eropa, seringkali menciptakan vampir-vampir baru untuk dengan sengaja dilepaskan ke Eropa. Vampir-vampir baru yang liar, haus darah, dan tidak punya pengendalian diri disebar ke berbagai penjuru Eropa, membuat berbagai kekacauan. Pembunuhan berantai tanpa perhitungan, membuat semakin banyak jiwa-jiwa baru—yang mati bukan pada waktunya, bermunculan dengan jumlah fantastis. Membuat Para Pembersih Eropa tampak bodoh karena tidak dapat menjaga keseimbangan wilayahnya. Keseimbangan antara yang hidup dan yang mati. Itulah yang dilakukan Para Pembersih, saling menjatuhkan reputasi Para Pembersih lain. Tak jarang kelakuan mereka yang seperti ini mendapat kecaman dari golongan lain, golonganku misalnya. Para penyihir sering kali juga membantu mereka menangani masalah ini, mengurung jiwa-jiwa baru yang sarat akan kejahatan dalam mantera, untuk kemudian dihancurkan oleh Para Pembersih” Jelas Danniene. Bayangan vampir-vampir baru yang haus darah berkelebat dalam kepalaku. Mereka membunuh dengan membabi-buta, meminum darah mereka. Aku mual membayangkannya. Kemudian orang-orang malang itu mati kehabisan darah, dan jiwa-jiwa mereka melayang…
“Apa yang dilakukan Para Pembersih pada juwa-jiwa itu? Maksudku, mereka menghancurkannya? Bagaimana?” Tanyaku.
“Mereka memiliki kekuatan untuk itu. Aku sendiripun tidak mengerti bagaimana caranya” Kata Dann.
“Dan yang menguasai Himalaya dan Asia—secara keseluruhan, adalah salah satu dari mereka yang berhianat. Para Pembersih memang saling menjatuhkan, namun tidak saling memusnahkan. Cesc mengiranya sejak awal. Tidak mungkin ada kekacauan sebesar itu kalau tidak ada yang berkhianat” Danniene berdiri, menarik bangku untuk kami berdua. Dia memersilahkan aku duduk.
“Kekacauan?” Tanyaku saat kami sudah duduk.
“Ya, kekacauan besar. Aku yakin kau mengetahuinya, namun tidak menyadari penyebabnya” Jawab Dann. “Iklim berubah drastis, kemarau panjang di suatu daerah sementara daerah lainnya kebanjiran. Penyakit baru mematikan bermunculan, angka kematian meningkat dengan jumlah fantastis, laporan orang hilang… kau pikir semua kasus pembunuhan yang kau saksikan di berita sore CNN karena perampokan dan balas dendam semata?” Tanya Dann. Matanya awas menanti perubahan raut wajahku.
“Vampir-vampir?” Aku bergidik saat mengucapkannya. Dann mengangguk.
“Dan iklim yang berubah itu, dampak dari penyalah gunaan kekuatan mereka. Ada diantara mereka, Para Pembersih yang berhianat. Sudah kukatakan tadi, mereka tidak saling melenyapkan. Tapi keadaan malah membuat kami berpikir sebaliknya. Dua Pembersih Asia hilang, satu yang di Artik juga lenyap” Kata Dann lirih.
“Diatara mereka bertigalah penghianatnya?” Tanyaku.
“Aku mencurigai Prica dari Artik. Dia menghilang lebih dulu, disusul dua bersaudara Ming dan Ling dari Asia. Aku tidak mengerti apa yang merasuki pikirannya, padahal mereka semua mengabdi pada satu Tuhan,” Dann menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku yakin Pembersih yang berhianat itu ingin menguasai seluruh pengawasan mengenai yang mati sendirian. Kalau mereka jadi haus kekuasaan begini, mereka tidak ada bedanya dengan manusia!” Dann terlihat marah. Matanya berkilat tajam.
“Dan mereka—Cesc, Math dan yang lainnya pergi mendatangi Para Pembersih Eropa, memastikan mereka sudah mengetahui apa yang mereka ketahui” Kata Dann. “Kuharap mereka bisa meyakinkan Para Pembersih yang sombong itu” Kata Dann kesal.
“Sombong?” Tanyaku.
“Ya, Carla. Para Pembersih Eropa itu sombong bukan main! Mereka merasa yang paling tua dan paling agung dibandingkan Para Pembersih di tempat lain. Sulit sekali berdiskusi dengan mereka, aku pernah melakukannya sekali dan langsung jera! Tapi Cesc merasa perlu memberitahu mereka, yah, hantu muda itu memang sangat peduli pada manusia, toh akhirnya dia mendapat teman yang juga mendukungnya, Aku—tentu saja, Math, Darren, dan Dween” Kata Dann bersemangat.
“Cesc pernah menghina manusia didepanku, dia bilang kami—manusia terlalu gampang mati, kupikir dia membenci manusia” Aku memutar ulang percakapan pertama kami waktu itu, saat dia hampir membunuhku.
“Dia tidak benar-benar membencinya, dia hanya ingin mendapat efek dramatis—kurasa, untuk segera mengusirmu dari flat itu” Dann menjelaskan. Aku memutar bola mataku. Yeah, efek yang sangat dramatis.
“Dwight dan Coleen memihak manusia?” Tanyaku bingung. Mereka kan memangsanya?
“Ya, Carla, mereka memihak, well mereka memang membutuhkan darah mereka untuk hidup, tapi mereka memangsa dengan sangat beradab,” Jawab Dann. Bagaimana mungkin memangsa dengan beradab? Aku bersumpah tidak akan mau dimangsa vampir sekalipun vampir yang memangsaku beradab. Aku meringgis.
“Kau tidak mengerti, Carla. Mereka memangsa orang-orang yang memang ditakdirkan mati karena mereka, bukan mebabi-buta, kau sudah diceritakan Cesc tentang alasan keberadaannya kan?” Tanya Dann.
“Ya, dia mati pada waktu dan dengan cara yang salah. Hah? Tunggu dulu!” Aku mengerjap kaget. Mungkinkah, Tuhan menakdirkan seseorang mati karena serangan vampir?!
“Ya, Carla. Itu takdir mereka, Dwight dan Coleen memiliki kemampuan khusus untuk menilai mangsa mereka. Mereka hanya memangsa yang seperti itu” Penjelasan Dann membuat butir-butir keringat dingin merembes dari dahiku.
“Tapi, sebanyak apa orang yang ditakdirkan mati seperti itu?” Tanyaku.
“Cukup banyak menurutku, buktinya sampai sekarang mereka masih menjadi vampir beradab kan?” Kata Danniene. Aku menyiritkan alisku. Ngeri. Bagaimana kalau salah satu orang yang aku kenal ditakdirkan mati ditangan vampir? Tapi orang lain tidak menyadarinya. Bagaimana kalau akulah yang ditakdirkan mati kehabisan darah? Aku lemas, tanganku mengepal dan dingin. Dann menyadari perubahan sikapku.
“Jangan khawatir. Sekalipun kau yang ditakdirkan mati karena vampir, kurasa Cesc tidak akan membiarkannya, dia menyukaimu, sepertinya” Kata Dann sambil tersenyum.
“Menyukaiku?” Tanyaku, kemudian mendengus hampir tertawa.
“Dia tidak punya teman manusia sebelumnya, manusia itu spesial, memiliki berbagai macam emosi yang sudah lama tak dirasakannya, dia tentu tidak ingin kehilangan teman manusianya. Dia menjagamu, setidaknya dari kemungkinan mati dalam waktu dekat ini” Dann tertawa riang, apa kematianku begitu lucu baginya?
“Dwight adalah yang pertama menentang hubungan pertemanan kalian, dia mengatakan pada Cesc, berteman dengan manusia hanya akan melemahkannya, membuatnya rapuh seperti manusia. Emosi-emosi dalam diri manusia sering kali menjatuhkan manusia itu sendiri. Well, menurutku, itu benar” Kata Dann. “Percaya padaku, dia membelamu” Dann menyeringai kepadaku.
“Apa yang dikatakannya?” Tanyaku. Aku penasaran.
“Dia bilang, kau sama sekali berbeda. Mengingatkannya pada masa lalunya sebagai manusia, dia bilang, mungkin dengan mempelajari emosimu, dia lebih bisa menghargai kehidupan abadinya” Kata Dann.
“Hah, aku malah sering tidak bisa mengendalikan emosiku” Jawabku sambil tertawa.

It's About Aaron James Ramsey

first of all....
HAPPY NEW YEEEEAAAAARRRRRR AAAALLLLLLLLL!!!!! WOOTWOOT IM SO FRIKKIN EXITED COZ I SPENT THE NEW YEARS EVE WITH MY BEST FRIENDS!! :d hope you all have a good time too :)

Sekarang gua bermaksud untuk ngebahas sedikit tentang young gunner.

Belakangan ini gua sedang memerhatikan seorang gunner yang penampilannya oke banget pada beberapa match. yap, tepat, udah gua tulis juga di judulnya sih... Aaron Ramsey. gua sangat serius waktu gua nulis 'penampilannya yang oke banget' karena emang, dia SUPER. gua dan beberpa temen Gooner lainnyapun sependapat untuk menyebut dia sebagai 'The Next Cesc Fabregas'. Serius. Cara dia dribbling, umpan-umpannya, akurasi operan dan lain-lainnya emang persis gaya bermain seorang Cesc.
Well, ini sedikit tentang Aaron!!

Aaron James Ramsey lahir di Caerphilly, Wales pada tanggal 26 Desember tahun 1990 (how young!!!) dia sekarang bermain untuk Arsenal sebagai gelandang serang dan sering juga dipasang sebagai fullback.

sebenernya kalo mau baca info lengkapnya sih tinggal buka wikipedia aja, tapi kalo gua lebih suka membahas sedikit tentang pribadi Aaron :)

gua ngerasa dia itu lebih cocok bermain di sayap (?) entah kenapa, gaya permainannya yang menyerang membuat gua berandai-andai bagaimana jadinya kalo Wenger memasangnya di sayap kiri, lalu lebih ketengah diisi sama Cesc dan Arshavin. plus theo walcott. aduuhhh... tapi sepertinya ini hanya akan menjadi andai-andai karena pada kenyataannya Wenger nggak akan pernah memasang skema seperti ini ya? :/

pic:





entah mengapa saya merasa dia jadi terlihat lebih HOT saat rambutnya berantakan (?) apakah ini gara-gara saya kelewat sering melihat Cesc yang selalu tampil rapi (?) entah LOL


Semoga penampilan Aaron kian berkembang seiring frekwensi bermainnya untuk tim inti bertambah. hitung-hitung persiapan untuk masa depan Arsenal saat sang kapten pergi suatu saat nanti.