Kamis, 21 Januari 2010

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 12.

“SURI!!” Pekik Amarilis saat melihat angin keperakan membelit tubuh Suri. Saat ini Amarilis dan Master Zaida telah tiba di padang rumput di belakang gedung sekolah. Keduanya tercengang menyaksikan pemandangan yang tersaji di sana. Angin kencang berpusar dengan hebatnya membantuk pusaran, persis angin topan tornado dalam skala yang lebih kecil.
“Ya Tuhan” Kata Master Zaida sambil membekap mulutnya dengan kedua tangan. Ia sangat menyasal. Ia hanya lengah beberapa saat untuk mengawasi Suri dan beginilah akibatnya. Tubuh Suri tergolek lemah, ia tak sadarkan diri.

Angin sedingin es itu membelit tubuh Suri dan mengangkatnya tinggi ke angkasa. Suri yang tak sadarkan diri terlihat seperti boneka kayu yang putus tali kendalinya.
“Hentikan! Siapapun kau!” Teriak Master Zaida ke arah pusaran angin itu.
Mata Amarilis tertumbuk pada sesosok putih cemerlang yang muncul dari tengah padang rumput. Tepat di bawah pusaran angin yang membelit Suri.
“Master! Lihat!” Seru Amarilis sambil menunjuk ke arah sosok cemerlang itu.
“Apa itu?” Tanya Master Zaida ragu-ragu.
“Mungkinkah itu…” Amarilis ragu-ragu untuk mengutarakan pikirannya. ‘Tak mungkin itu kucing kan?’ Pikirnya dalam hati.
“Kucing?” Kata Master Zaida ragu-ragu. Kucing berbulu putih itu berjalan dengan anggunnya menuju tempat mereka berdiri.

Master Zaida tak yakin apakah itu kucing sungguhan. Ia lalu memejamkan matanya dan mulai menggumamkan mantera khusus untuk melihat yang tak nampak. Amarilis memerhatikan raut wajah Masternya yang berubah secara drastis dan ada kabut berwarna keemasan menyelubungi matanya. Amarilis kembali memandang ke arah kucing berbulu cemerlang itu dan berinisiatif untuk melapalkan mantera yang serupa.
“Ya Tuhan!” Gumam Amarilis saat matanya kini bisa melihat sosok sebenarnya dari binatang cantik itu. Seorang wanita tua berpakaian serba putih. Tapi bukan itu yang membuatnya terbelalak. Wajah wanita itu amat hancur dan buruk rupa.
Rambut keperakannya begitu panjang hingga terseret ke tanah saat ia berjalan. Sebagian rambutnya juga terurai menutupi sebelah wajahnya. Cara berjalannya pun tak sempurna. Terpogoh-pogoh dan tampak kepayahan. Amarilis sering diceritakan oleh teman-teman panti asuhannya tentang legenda hantu-hantu yang menyeramkan, tapi baru kali ini ia benar-benar melihat sosok yang begitu membuat perutnya kram dan dahinya basah oleh keringat dingin.

Wanita tua menyeramkan itu kini hanya berjarak sekitar dua meter dari tempat Amarilis dan Master Zaida terpaku.
“Apa kabar Zaida? Sudah lama sekali kita tak bertemu ya?” Kata wanita itu. Ada dua hal yang membuat Amarilis kembali tercengang. Yang pertama adalah, suara wanita tua buruk rupa ini begitu merdu dan syahdu, seperti suara seorang penyanyi gereja yang usianya tak beda jauh dengannya. Dan yang ke dua adalah, mengapa dia mengenal Master Zaida?
“Sudah kuduga itu kau. Lepaskan dia! dia muridku!” Kata Master Zaida. Perhatian Amarilis kini kembali ke arah Suri yang kini hanya kelihatan kepalanya saja. Tubuhnya seolah telah ditelan oleh pusaran angin itu.
“Oh, sekarang kau bahkan punya murid sendiri ya?” Tanya wanita tua itu.
“SURI!!!” Pekik Amarilis. Ia berharap teriakannya terdengar dan Suri kembali sadarkan diri.

Wanita tua itu menyipitkan matanya, menatap ke arah Master Zaida lekat-lekat. Jelas bukan tatapan penuh rasa bahagia karena bertemu kawan lama., itu adalah tatapan penuh kebencian dan ketidaksukaan. Tiba-tiba angin yang berpusar di sekitar tubuh Suri semakin jelas dan kelihatan memadat.
“Hentikan itu! Kau bisa membunuhnya!” Tuntut Master Zaida sambil menunjuk ke arah pusaran angin. Suasana dinginnya pun terasa sampai ke tulang. Ia tak berani membayangkan sedingin apa yang dirasakan Suri di sana.
“Memang aku ingin membunuhnya kok, anak nakal seperti dia harus dihukum” Kata wanita tua itu penuh kesombongan. Amarilis membelalakkan mata karena terkejut. Suri akan dibunuh wanita ini?!
“Master! Lakukan sesuatu!” Pinta Amarilis dengan panik.

“Kau yang minta!” Kata Master Zaida ke arah wanita tua itu. Seketika langit yang memang sudah tertutup awan kelabu semakin bertambah muram. Hari seolah malam, hanya saja tak ada bulan maupun bintang. Hanya ada kegelapan. Pandangan Amarilis menjadi terbatas, karena matahari tak lagi nampak dan memancarkan sinarnya. Ia seolah tengah berada di dalam sebuah kamar gelap tak berujung. Ia tak lagi bisa melihat Suri yang masih terjebak di dalam pusaran angin yang membekukan itu. Namun ia masih bisa melihat Master Zaida yang tubuhnya kini terselubung cahaya keemasan, berpendar dengan frekwensi yang aneh. Begitu juga dengan wanita tua dengan wajah buruk rupa. Mereka sama-sama terselubung pendar-pendar aneh. Amarilis yakin ini adalah bagian dari sihir tingkat tinggi yang ia dan Suri ingin kuasai secepatnya. Jantung Amarilis berdegup kencang saat cahaya yang berpendar di antara Master Zaida dan wanita tua itu semakin bertambah terang setiap detiknya, hingga terasa sangat menyilaukan mata Amarilis. Dengan refleks ia menutup matanya dengan lengan dan langsung mundur beberapa langkah dari kedua orang itu. Yang terlihat olehnya hanyalah cahaya menyilaukan—ledakan cahaya dan bau-bauan aneh, segala macam bau, dari yang sangat busuk sampai yang begitu manis namun memuakkan.
***

“Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi, Zaida. Di tempat ini lagi!” Kata wanita tua itu kepada Master Zaida. Wanita tua itu menghadapkan telapak tangannya ke udara, dan gumpalan cahaya seolah keluar dari dalam tubuhnya melalui telapak tangannya.
Master Zaida melakukan hal serupa, dan tanpa pikir panjang ia langsung melepaskan gumpalan cahaya itu ke arah wanita tua berwajah buruk rupa. Cahaya itu langsung bergerak sangat cepat ke arah wanita tua dan tepat mengenai lengannya. Cahaya itu berubah menjadi lendir hijau menjijikkan dan berbau busuk.
“Agghh!!!” Pekik wanita tua itu saat lendir yang menempel di tangannya terasa amat panas membakar kulit keriputnya.
Wanita itu langsung menyambarkan puluhan kilat ke arah Master Zaida sambil menjauh, dan salah satunya berhasil mengenai tubuh Master Zaida. Serangan kilat itu memang tak melukai tubuh bagian luar Master Zaida, namun auranya merasuki tubuh dan menyengat di dalam. Master Zaida terbatuk beberapa kali dan darah segar mengalir dari dalam mulutnya. Master Zaida melap sisi bibirnya dari bakas darah dan mengeluarkan tongkat sihirnya secara perlahan dari dalam jubah panjangnya. Ia lebih ahli dalam menggunakan tongkat daripada wanita ini, kawan lamanya yang ia tahu benar. Wanita tu melihat dengan jelas benda apa yang sedang dipegang oleh Master Zaida dan terbelalak. Ia tak lagi punya tongkat sihir sejak dihukum oleh pemerintahan sihir karena melanggar pasal berat. Dan ia tahu benar bakat Master Zaida dalam menggunakan tongkat.
“Buang benda itu jauh-jauh Zaida! Ayo kita bertarung secara adil” Tantang wanita tua itu.
“Sayang sekali, aku tak begitu suka sportifitas” Kata Master Zaida sambil mengayunkan tongkatnya ke depan dan melapalkan mantera tingkat tinggi. Seketika ledakan cahaya kehijauan terasa membutakan mata.
***

Langit gelap perlahan memudar. Amarilis kembali dapat melihat sekelilingnya, meski belum sempurna.
“Suri!!” Jeritnya saat didapatinya Suri yang masih tak sadarkan diri sedang meluncur dengan kecepatan tinggi menuju bumi kala angin yang membelit tubuhnya memudar.
Dengan sigap ia mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku jubah seragamnya dan melapalkan mantera untuk membuat tubuh Suri jatuh dengan lembut ke atas tanah. Amarilis berlari ke arah padang rumput dan menangkap tubuh Suri yang hampir menyentuh tanah.
Ia sangat terkejut karena tubuh Suri terasa sangat dingin dan pakaiannya tercoreng di sana-sini. Ia takut wanita tua itu benar-benar telah membunuh Suri.
“Suri!!! Sadarlah, kumohon!!” Kata Amarilis sambil mengguncang-guncangkan tubuh Suri untuk menyadarkannya, namun tak ada tanda-tanda Suri telah sadarkan diri. Amarilis yang panik langsung menggosokkan telapak tangannya di lengan Suri yang terasa membeku, berharap ia bisa membuat tubuh Suri menghangat.
Master Zaida menghampirinya dan langsung menggendong Suri.
“Ayo Amarilis, kita harus segera pergi dari sini sebelum penyihir tua itu sadar!” Seru Master Zaida sambil mempercepat langkahnya. Amarilis menurut dan sambil berlari, ia memerhatikan sosok kucing putih cantik itu sedang tergeletak tak sadarkan diri di dekat pohon cheddar.

:to be continued:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar