Kamis, 31 Mei 2012

Another Love Story 18

First of all.....

Ternyata saya ketagihan nulis di POV nya Dani....

HAHAHAHAHA enjoy!

Ulang Tahun
(Dani's POV)


Kadang, kebahagian datang karena hal hal kecil. Yang sebenarnya tidak diperhitungkan.
Kebersamaan dengan orang-orang yang kita sayangi salah satunya. Saat kau sangat sibuk sampai sulit sekali untuk berkumpul bersama keluarga, baru akan terasa betapa berharganya waktu-waktu tertentu dalam satu tahun. Seperti natal, malam tahun baru, atau dalam kasusku, hari ulang tahun.

Semuanya ada di sini. Ayah, ibu, Eric, Yvette, Mr. Puig, dan gadis pujaanku Carla. Mereka semua adalah bagian hidupku. Sekedar mengobrol bersama, makan, tertawa, membicarakan masa lalu (di bagian ini sebenarnya ibuku menceritakan kekonyolan yang pernah aku lakukan saat masih kecil) tapi melihat semuanya menikmati waktu (dengan menertawakan aku) dan ditambah melihat Carla bisa mengobrol dengan santai bersama keluargaku rasanya menyenangkan sekali.

Sampai tanpa terasa jam di dinding sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Pergantian hari menjadi hari ulang tahunku. Ibuku bergegas mengeluarkan cake dari dalam kotaknya dan Eric menyalakan lilin. Angka dua puluh satu itu berpendar ringan dan semuanya langsung menyanyikan lagu Feliz Cumpleanos. Dan memintaku untuk membuat harapan. Apa lagi yang aku harapkan? Semua yang kuinginkan ada di ruangan ini. Akhirnya kuputuskan untuk mengucap: "Semoga semua yang kucintai diberi kebahagian" dalam hati dan meniup lilin hingga padam. Sorak sorai keluargaku terdengar begitu meriah padahal mereka hanya berlima. Ibuku langsung menghampiri dan memeluk tubuhku erat-erat.
"Selamat Ulang Tahun, sayang" Katanya yang kemudian mengecup kedua pipiku. "Waktu cepat sekali berlalu, kau sudah benar-benar besar sekarang!" Katanya sekali lagi dan kali ini tanpa sadar air mata menitik turun dari sudut matanya. Aku mengulurkan jari untuk menghapus air mata wanita paling aku cintai di dunia. "I will always be your little boy mom..." Bisikku sambil mengecup pipinya. Ibuku tersenyum dan memelukku sekali lagi.

Ayahku berikutnya, mengucapkan selamat dan menepuk-nepuk punggungku. Diikuti Eric dan Mr. Puig yang juga memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Yvette yang selanjutnya bergelayutan di leherku dan mengecup pipiku berkali-kali. Aku mencubit kedua pipinya untuk mengentikan ke-hectic-an nya. Semuanya tertawa melihat tingkah kami.
Carla jadi yang terakhir yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. "Selamat Ulang Tahun Dani" Katanya sambil menjulurkan lengannya untuk memelukku, yang tentu saja aku sambut dengan senang hati. "Terima kasih, Cantik" Jawabku sambil mengangkat tubuhnya sedikit dambil memeluknya lebih erat baru kemudian melepaskan pelukannya. Carla menguecup kedua pipiku. Ah malam yang indah.

Setelah mengobrol sedikit dan memotong beberapa slice cake ulang tahunku (tidak ada yang benar-benar menghabiskan bagiannya karena sebelumnya sudah makan banyak sekali) semuanya berpamitan untuk bersiap tidur. Carla, Yvette dan ibuku memindahkan piring dan perlengkapan makan lainnya ke dapur yang akan dicuci besok, sementara aku dan eric memutuskan untuk mandi terlebih dahulu (jangan salah, kami ke kamar mandi yang berbeda kok). Ayahku sepertinya langsung masuk kamar dan tertidur, sementara Mr. Puig berpamitan untuk pulang.

Keluar dari kamar mandi aku mendapati Carla sedang melihat-lihat foto yang terpajang di dalam kamarku. Di dinding dan di meja dekat laptop. Kebanyakan foto diambil selama aku membalap, dengan latar paddock atau sirkuit, foto keluargaku, dan yah, seperti yang bisa kalian tebak, tentu saja ada foto Carla di salah satunya. Itu foto kencan pertamaku dengannya. Carla tersenyum memandangi foto yang terbingkai itu sampai tak sadar aku sudah berada di sisinya.
"Hey" Sapaku. Carla langsung meletakkan kembali foto itu di tempatnya.
"Oh," Katanya agak terkejut. Kenapa dia begitu canggung? "Uhh.... Dani, boleh kugunakan kamar mandimu? Aku tak akan bisa tidur kalau belum mandi" Tanya Carla "Yah tentu saja. Jangan seperti orang asing begitu" Jawabku. Carla tersenyum sambil berjalan ke arah kopornya, membukanya perlahan-lahan, mengambil pakaian dan perlengkapan mandinya, kemudian menutupnya kembali cepat-cepat. Aku hanya bisa menaikkan alis melihatnya.

"Kalau mau dipindahkan ke lemari, punyaku tidak terlalu penuh kok" Kataku sambil duduk di depan laptop dan menghidupkannya.
"Trims" Sahutnya kemudian kudengar pintu kamar mandi tertutup.
Aku membuka fan mail ku dan mendapati inbox emailku penuh dengan email ucapan selamat ulang tahun dari para fansku. Sebagian berupa kartu ucapan, ada juga yang mengirimkan foto hasil kreasi, kumpulan foto-fotoku diedit sedemikian rupa jadi bagus sekali dan bahkan ada juga yang mengirimkan link ke video yang juga dibuat spesial untuk ulang tahunku. Fans-fans luar biasa.

"Dani," Panggil Carla dari arah belakangku. Aku menolehkan wajah ke arahnya.
"Ya?" Tanyaku. Aku mendapati wajahnya terlihat sedikit gugup. Aku memutuskan untuk menutup laptopku dan menghampirinya. Kuraih wajahnya dengan kedua tanganku dan kukecup pipinya. "Ada apa? Belum ingin tidur?" Tanyaku. Carla menggeleng ringan.
"Aku.... punya sesuatu.... hadiah ulang tahun untukmu" Katanya perlahan. "tapi aku tak tahu kau akan suka atau tidak" Aku tersenyum dibuatnya. Aku ingin sekali mengatakan kalau dia tidak perlu memberiku apa-apa, tapi aku tidak mau merusak suasana manis ini.
"Boleh aku mendapat hadiahku sekarang?" Tanyaku jahil.
"Tunggu sebentar" Katanya yang kemudian bergegas ke arah kopornya, membukanya cepat-cepat dan mengelurkan kotak sebesar genggaman tangan dari dalam kopornya. Inikah alasan tadi dia sangat terburu-buru menutup kopornya?

Carla menghampiriku sambil menggenggam kotak itu. Pandangan kami bertemu. "Semoga kau suka" Katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya dan menerima kotak yang semula digenggamnya erat. Membuka kotak itu perlahan dan mengeluarkan isinya: sebuah kalung dengan plat perak seukuran ibu jariku dengan ukiran huruf 'D' dihiasi sulur-sulur yang rapih. "Balik platnya," Kata Carla lembut.
Aku tak bisa berekspresi saking terkagumnya.
Happy B Day Daniel! Semoga Tuhan dan segala Kebaikan-Nya selalu menyertaimu. Dan semoga kita bisa terus bersama selamanya. Aku menyayangimu, C.

"Aku ingin kau memakainya, jadi walaupun kita sering berpisah jauh kau tetap ingat padaku" Katanya sambil tersenyum.
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya menatapi plat perak berkilau itu seksama, meresapi kata-kata yang terukir di permukaanya.
"Tapi kalau kau tidak suka, aku tak memaksa kau memakainya..." Tidak, tidak. Dia salah sangka. Mana mungkin aku tidak suka. Aku menggelengkan kepala dengan senyuman lebar. Mangalungkan kalung itu di leherku dan mengecup plat peraknya. Mengampiri gadis pujaanku, dia harus tahu betapa aku menyakuai hadiah ulang tahunku.

Aku merengkuh wajah nya dan merekatkan jarak tubuh kami. "Oh, Carla" bisikku di telinganya sebelum akhirnya aku menciumnya, perlahan, menunjukkan kepadanya betapa aku sangat bersyukur memilikinya.
Carla melingkarkan satu lengannya di leherku, dan satunya menggapai pipiku untuk menghentikan ciumanku.
"Apa ini artinya kau suka hadiahnya?" Tanya Carla sambil menggigit bibir bawahnya yang memerah. Aku mengulurkan ibu jariku untuk membebaskan bibirnya dari gigitannya. Itu bagianku. Aku tak sedikitpun menjawab pertanyaannya melainkan kembali menciumnya, memeluknya lebih erat ke tubuhku.

Happy Birthday to me...

Rabu, 28 Maret 2012

FanFiction: That Day (One Shot)

First of all...
Mau ngucapin terima kasih yang sebesar besarnya buat semua orang yang mensuport saya dalam menulis; friends, friends of a friend,those who I barely know, my ex, and also my current crush LOL

One shot ini menceritakan kisah awal mula pertemuan Daniel dan Carla.
Enjoy!


"Dani..! Cepat sedikit dong" Suara ibuku terdengar tidak sabaran. Dibarengi suara langkah kaki yang mendekati pintu kamarku.
"5 menit" Sahutku. Kemudian langkah ibuku berhenti dan berbalik arah. Pasti sekarang menuju kamar Eric, adikku.
Aku mematikan komputer dan langsung mengambil sunglasses dari laci. Terakhir kali kami pergi memancing bersama sekeluarga adalah liburan musim panas saat aku kelas sebelas. Itu tiga tahun yang lalu.

Saat aku tiba di ruang tengah ayahku dan Mr. Puig, mentor yang saat ini sudah dianggap sebagai bagian dari keluargaku sedang sibuk mempak peralatan memancing. Mereka terlihat begitu asyik sampai tak menyadari aku ikut membantu mengemas beberapa peralatan.
Sepuluh menit kemudian kami sudah di dalam mobil menuju pantai.
"Dani, kemarin, well semalam Amber menelpon lagi kau tahu? Kelihatannya dia benar-benar menyesal" Kata ibuku. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Oh mom, kupikir sekarang kita sedang liburan?" Sahutku malas malasan.
"Oh maaf sayang, tapi kau yakin tidak mau memperbaikinya? Memberi ia kesempatan kedua?" Tanya Ibuku lagi yang hanya kujawab dengan gelengan kepala. Buatku, penghianat, semenyesal apapun dia, tetap penghianat. Perbuatan paling kelam di mataku. Aku melirik ke arah adikku yang rupanya sudah sejak tadi memerhatikan perubahan wajahku.
"Yah, setidaknya dulu aku sempat memperingatimu kan?" Katanya sambil tersenyum jahil. Sejak awal Eric memang tidak menyukai Amber dan berkali-kali menghampiriku hanya untuk mengatakan kalau Amber tidak baik untukku. Aku tersenyum "Harusnya aku mendengarkanmu eh?" Kataku.
Eric tertawa. "Nanti biar aku saja yang carikan kau pacar, oke?" Akupun ikut tertawa mendengarnya.

Setelah satu jam lebih perjalanan akhirnya kami tiba di tempat penyewaan boat memancing. Tempat yang cukup ramai, mengingat saat ini sedang musim pancing. Disana Yvette, sahabatku sedari kecil sudah menanti kami.
Bajunya yang berwarna kuning terang dengan celana pendek putih benar-benar silau di bawah paparan matahari musim panas yang terik, membuatnya mudah ditemukan.
"Dani!" Serunya sambil berlari ke arahku dan langsung memelukku erat-erat.
"Hey pirang" Sahutku. Yvette paling penci dipanggil 'pirang'. Dan benar saja, aku langsung dihadiahi pukulan telak si dada.
"OUCH!" Kataku sambil menekan bagian yang baru saja dipukulnya.
"Sudah kubilang jangan panggil aku pirang! Itu terdengar bodoh sekali! Uhh!" Omelnya. Meski sudah bertahun-tahun lamanya sifat kami tetap tidak berubah. Dia seperti adik perempuan di keluargaku, yang memang cuma ada anak laki-laki saja.
Saat kami tertawa dan bercanda di depan toko penyewaan boat, ayahku dan Mr. Puig sedang berada di dalam toko memastikan boat pesanan kami. Bangunan yang dikelilingi kaca itu membuat aku bisa melihat keseluruhan isi toko.

Tepat di ujung toko, seperti meja kasir ayahku dan Mr. Puig terlihat bercakap cakap dengan pria gemuk bertopi dan seragam berwarna biru tua dengan gambar logo tempat ini di bagian lengannya. Di sisi lain juga ada pengunjung yang sedang melihat-lihat etalase berisi perlengkapan memancing yang juga dijual di tempat ini. Tepat disisi satunya aku mendapati dua orang berseragam sama dengan pria gemuk yang sedang mengobrol dengan ayahku. Mereka sedang melihatku. Yang satu wanita dengan rambut berwarna gelap diikat ekor kuda dan yang satunya laki-laki dengan postur lebih tinggi dari si wanita menggunakan topi yang sama dengan pria gemuk di sana. Tanpa sengaja pandangan kami bertemu dan kedua pegawai tempat ini langsung mengalihkan pandangannya ke sisi yang berlawanan sehingga sekarang aku hanya melihat punggung mereka. Aku hanya mengangkat bahuku.
Dibilang sudah biasa, yah aku memang sudah biasa diperhatikan orang-orang yang tidak ku kenal.

Diluar dugaan si wanita membalikkan badannya dan menyambut tatapanku dan tersenyum. Aku cukup terkejut menanggapi perubahan sikapnya, dan juga, saat tersenyum begitu entah bagaimana aku mendapati dirinya...cantik.
Ternyata sekali lagi aku dibuat kaget karena si wanita ternyata berjalan ke luar toko dan menghampiriku. Senyumnya masih di sana namun aku juga melihat raut yang berbeda dari wajahnya.
"Em...hai?" Sapanya.
"Hai?" Balasku bingung. Dia berdiri beberapa langkah di hadapanku. Kemudian dia mengeluarkan sebuah notes dari sakunya.
"Kamu...Daniel yang pembalap itu kan?" Tanyanya ragu.
"Yah, aku orangnya" Jawabku. Kemudian dia menghela napas lega dan tertawa ringan tanpa sadar senyumku melebar, hampir tertawa bwersamanya. Mata kami bertemu lagi. Matanya bagus sekali, berkilap.
"Aku sempat takut salah tadi" Katanya. "Boleh minta tanda tanganmu?" Tanyanya lembut. Senyumku semakin lebar, aku yakin wajahku pasti terlihat bodoh sekarang.
"Ya, tentu" Jawabku sambil menerima notes dan pena darinya. Entah bagaimana aku tak bisa beranjak dari matanya. Sampai aku harus menggelengkan kepala beberapa kali untuk mengingat dia sedang meminta tanda tanganku. "Eh...Namamu?" Tanyaku sambil menggoreskan tanda tanganku di lembaran kertas.
"Oh, itu bukan untukku, untuk guruku yang sedang sakit, dia penggemarmu. Tolong tulis 'Get well soon Mr. Mattias' di bawahnya?" Katanya. Aku mengikuti apa yang diucapkannya sambil tersenyum.
"Bukan....maksudku, namamu? Boleh aku tahu?" Tanyaku. Dia kelihatan bingung.
"Uh... Carla" Jawabnya akhirnya. Carla. Carla. Aku mengembalikan notes nya.
"Carla," Kataku. Dia, Carla kembali menatapku kemudian mengalihkan pandangannya ke notes yang baru saja aku tanda tangani dan tak ketinggalan Get well soon Mr. Mattias-nya. Carla tersenyum memerhatikan notes di genggamannya.
"Sempurna" Gumamnya. "Terima kasih banyak! Aku yakin guruku pasti senang sekali" Katanya. "Bye," Katanya kemudian. Aku hanya bisa tersenyum bodoh sambil mengangguk. "See you" Gumamku ringan saat dia sudah kembali masuk ke dalam toko. Yah, see you Carla.
Aku pun tak mengerti, tapi aku yakin akan bertemu dengannya lagi nanti.

Selasa, 06 Maret 2012

Fan Fiction: Another Love Story 17

Pulang

Diluar dugaanku ternyata aku 'betah' berada di sini. Kupikir tempat ini akan agak 'horor' pada malam hari, namun kenyataannya sunggung berbanding terbalik. Bintang-bintang bersinar dengan cantiknya diatas sana, tersa begitu dekat. Cahaya mereka turun menerpa bunga-bunga yang tumbuh di belakang kastil, membuat kelopak mereka berpendar indah, beraneka warna. Seperti melihat pelangi, namun ini lebih berfariasi warnan dan karena pantulannya dari mahkota bunga, membuat mereka lebih mirip lampu bulat berwarna yang ditebar di padang rumput. Manis sekali. Tak heran Coleen sangat mencintai tempat ini.

Malam ini tepat malam ke enam aku tinggal di sini. Banyak sekali yang Coleen ceritakan kepadaku. Tentang Dwight yang betapa sesungguhnya adalah sosok yang penyayang dan menyenangkan--mungkin kepadanya, iya. Tidak buatku. Dan tentang Cesc. Yah, tentangnya yang jadi begitu 'berbeda', begitu 'hidup' setelah bertemu denganku. Dan Coleen, tidak sama sekali menyinggung mengenai alasan utama mengenai aku berada di sini. Tentang 'serangan' atau sejenisnya, sama sekali tak dibicarakannya. Aku tak mengerti mungkin memang 'itu' adalah urusan mereka dan aku yang cuma manusia ini tak perlu banyak tahu, entahlah. Aku sendiri juga tidak mau terlalu memaksa. Buatku, untuk mengetahui 'keberadaan' mereka saja sudah luar biasa.

Aku juga bercerita tentang Dani. Bagaimana pertemuan pertama kami yang sangat 'biasa' saja, saat aku sadar aku memerhatikannya lebih daripada aku memerhatikan orang lain disekitarku. Dan juga, saat dia memintaku untuk jadi pacarnya. Coleen menyukai ekspresiku saat percerita. Dia kerap menyentuhkan jemari lentiknya ke pipiku saat aku tersipu. Persis yang dilakukan Cesc. Yah, mereka kan sama-sama sudah mati dan tidak bisa tersipu. Bercerita tentang Dani membuat aku jadi merindukannya, apalagi ulang tahun Dani yang sudah di depan mata. Aku sempat berpikir apakah aku sudah akan dipulangkan setidaknya di hari ulang tahun Dani. Coleen selalu menenangkanku dan berkata 'Tenang saja, kalau Cesc tidak mau memulangkanmu, aku yang akan melakukannya!'

"Coleen?" Panggilku.
"Ya? Kau perlu sesuatu?"
"Ehm, ini sudah hampir satu minggu lamanya aku berada disini, bukannya tidak betah, tidak sungguh aku suka sekali kastilmu ini tapi... Kau tahu, ini bukan tempatku" kataku berterus terang. Setelah ngobrol banyak dengannya aku menjadi lebih akrab dan bisa lebih terbuka bersamanya. Dan kurasa waktuku sudah cukup disini. Aku mau pulang, aku kangen 'hidupku'
"Oh... Ya, tentu Carla. Tapi kita harus menunggu Dwight dan Cesc tentu saja. Dwight yang bilang sendiri padaku, semuanya baik baik saja dan mungkin kau bisa pulang" Jelas Coleen.
"Dwight bilang sendiri padamu?" Tanyaku bingung.
"Oh, ya maaf aku lupa bilang. Kami, vampire memiliki 'ikatan' yang sanagat kuat terhadap pasangannya, kau tahu, semacam telepati" Kata Coleen sambil tersenyum.
"Oh..." Jawabku. Pasti asyik sekali. Mereka bahkan tidak perlu telepon.
"Semuanya sudah baik-baik saja, begitu kata Dwight"
"Ulang tahun Dani...besok, dan aku tidak ingin melewatkannya"
"Oh, ya... Tentu Carla. Aku mengerti perasaanmu" Katanya sambil menggenggam jemariku.
"Trims" jawabku.

Coleen memberi tahuku kalau Cesc dan Dwight sudah meng-iya-kan dan menyuruhku membereskan barang-barangku. Saat aku sudah berada di ruang depan, tak sabar untuk segera pulang Dwight sudah berada disana bersama dengan Coleen, berpelukan. Membuatku semakin kangen Dani.
"Mana Cesc?" Tanyaku.
"Masih di tempat yang jauh" Jawaban Dwight benar-benar tidak menjawab pertanyaanku. Tapi dari raut wajahnya yang menurutku, tetap menyebalkan itu mengisyaratkanku untuk tidak bertanya lebih jauh. Dan aku menurutinya.

Setelah mereka melepas kangen Dwight lah yang akan mengantarku pulang. Kami berjalan keluar pekarangan kastil yang indah ini. Jalan yang sama saat aku pertama kali masuk.
Aku menolehkan kepalaku sekali lagi, menyrap sebanyak mungkin gambar kastil ini di memori otakku, mungkin aku tak akan kesini lagi.

"Kemari" Kata Dwight singkat sambil mengulurkan tangannya. Aku meraih tangannya. Dwight menatapku sesaat dengan dahi yang berkerut.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Kalau bukan Cesc yang minta, aku tak akan mau repot mengantarmu kau tahu?" Katanya ketus. Sontak aku langsung sebal.
"Aku tak pernah minta kau untuk mengatarku. Coleen sendiri yang bilang kalau kau tidak mau dia bersedia!" Tantangku.
"Berisik. Kau sudah cukup merepotkan Coleen dengan tinggal disini
Oke? Jangan minta yang aneh-aneh" Jawabnya.
Aku sudah sangat marah dan ingin sekali mengeluarkan unek-unekku tapi sebisa mungkin aku menahannya. Setidaknya sampai dia benar-benar membawaku ke London. Aku tak mau ambil resiko dia menelantarkanku di antah-berantah.

"Pegang yang erat, tutup matamu" kata Dwight. Aku menurut. Dan seperti saat pertama, kepalaku terasa sangat pusing dan tubuhku seolah melayang. Aku mencengkram tangan Dwight seerat mungkin. Aku tak tahu apakah itu bisa membuatnya kesakitan atau tidak.
Seketika udara yang masuk ke paru-paruku terasa berbeda. Lebih berat, lebih lembap. Dan saat itu juga aku membuka mata dan, benar saja, aku dan Dwight sudah berada di tengah kota London. Terima kasih Tuhan.

"Aku akan mengantarmu sampai apartemen pacarmu" Kata Dwight.
"Tidak usah, aku bisa sendiri" Jawabku.
"Heh, dengar ya. Asal tahu saja akupun sebenarnya tidak mau,
Ok? Ini juga permintaan Cesc. Jangan banyak omong" Sekali lagi aku menahan diri untuk tidak meneriakinya. Sebal. Seperti yang diinginkannya, aku tidak banyak omong dan menurut saja. Sampai akhirnya kami tiba di apartemen Dani. Dan Dwight benar-benar mengantarku sampai depan pintu. Sampai depan pintu!

Sebelum aku sempat menekan tombol bell apartemen Dani Dwight menarik tanganku dan berkata, "Dengar, kau tinggal di sini sampai Cesc menjemputmu dan berkata kau bisa pulang, oke?" Kata Dwight
"Kenapa?" Tanyaku bingung. Masa aku tidak boleh pulang ke flatku sendiri? Apa-apaan?
"Sudah kubilang jangan banyak tanya. Ini untuk keamananmu sendiri" Kata Dwight yang kemudian menekan tombol bell. Aku mengerutkan dahi sambil menatapnya. Dia menatapku balik sambil menaikkan alisnya. Tetap dengan raut ekspresi wajahnya
yang menyebalkan.
Aku benci Dwight.

Tidak sampai sedetik pintu apartemen dani terubuka dan muncullah Eric. Adik Dani.
"Eric!" Seruku yang langsung disambutnya dengan pelukan.
"Astaga Carla, sudah lama sekali tak bertemu!" Katanya. Aku dan Eric seumuran dan dia benar-benar manganggapku seperti temannya. Sejak aku pindah ke London kami tidak pernah mengobrol lagi bahkan melalui telepon.
"Siapa tamunya Eric?" Suara Dani menggema dari dalam ruangan. Suara yang sangat familiar di telingaku. Suara yang tidak aku dengar hampir satu minggu ini, suara orang yang paling aku cintai.
"Coba kesini dan lihat sendiri" Kata Eric dengan nada suara menggoda. Kemudian suara langkah kaki Datanga mendekat dan, muncullah dari balik pintu ruangan lain Daniku. Dani-ku.

Matanya terbelalak kaget mendapati sosokku. Aku menyambut tatapannya dengan senyuman lebar.
"Carla!" Serunya sambil berlari dan menabrakku, memelukku erat, erat sekali.
"Hai" Kataku.
"Hai? Hai kau bilang?" Katanya sambil melepas pelukannya dan merengkuh pipiku dengan kedua tangannya. "Tidak mengangkat telepon, tidak meneleponku balik dan tidak ada satupun SMS ku yang kau balas! Astaga selama satu minggu dan kau bilang Hai?" Kata Dani cepat.
"Kau tahu, dia sempat berpikir kau memang 'sengaja' meninggalkannya! Well, siapa juga yang betah jadi pacarnya kan-- OUCH!" Sebelum Eric menyelesaikan kalimatnya Dani keburu meninju lengannya. Dan itu membuatku tertawa. Eric langsung lari ke dalam ruangan untuk menghindari tinju Dani lainnya.
"Kau bersama seseorang, Carla?" Tanya Dani. Astaga aku hampir melupakan Dwight.
"Oh, yaampun, maaf. Dani perkenalkan, ini Dwight. Pacarnya Coleen, kau masih ingat Coleen kan? Err... Dwight menjemput kami di...bandara dan dia mengantarku segala ke sini" Kataku agak terbata.
"Oh, ya. Tentu. Terimakasih sudah mengantar Carla. Senang bertemu denganmu" Kata Dani dengan sopan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tapi tak disambut oleh Dwight.
Aku melihat wajah Dwight untuk menegurnya agar menjabat tangan Dani, tapi yang aku dapati cukup mengagetkanku. Wajah Dwight berubah seratus delapan puluh derajat. Dari wajahnya yang cuek dan agak menyebalkan jadi kaku dan pucat. Lebih pucat dari wajahnya yang memang pucat.
"A...aku harus pergi" Katanya mendadak, dan kemudian langsung berjalan cepat ke arah lift. Aku dan Dani dibuat terbengong sesaat.
Dani memalingkan wajahnya padaku dengan ekspresi penuh tanya namun akupun sama bingungnya dengan dirinya.

Untuk mencairkan suasana yang aneh ini aku mnegcup pipinya dan perhatiannya otomatis langsung kembali kepadaku.
"Jadi kau tidak mempersilakan tamumu masuk, Dani?" Tanyaku sambil melipat lenganku di depan dada.
"Oh, astaga! Maafkan aku!" Kata Dani yang langsung merebut tas yang sedang aku bawa dan menarik koporku dari depan pintu menuju ke dalam.

Apartemennya sepi, tak ada tanda-tanda keluarganya. Hanya ada Eric yang sedang asik memindah-mindah channel TV dengan remot kontrol. Dani menghilang sebentar ke salah satu ruangan untuk meletakkan barang-barangku kemudian kembali kenghampiriku dan mengecup pipiku. Aku tersenyum dibuatnya.
"Kau haus? Ingin minum sesuatu?" Tanya Dani lembut sambil menarikku ke dapur. Sesampainya didapur bukannya membuatkanku minuman, Dani langsung mengaitkan lengannya di tubuhku, memelukku erat dan mendaratkan kecupannya di bibirku.
"Aku kangen sekali" Katanya disela-sela kecupan.
"I miss you too" sahutku.
"Ini bukan berarti kita tidak akan membahas kau yang menghilang dan tidak bisa dihubungi itu ya" Katanya menaikkan alisnya. Aku tersenyum menanggapi tingkahnya.
"Kemana yang lainnya?" Tanyaku.
"Yah, Mama dan Yvette sedang jalan-jalan sebentar dan ayahku dibawa Mr. Puig untuk melihat motor baru yang akan kupakai musim balap depan" Jawabnya Dani mengarahkan bibirnya ke rahangku. Akupun mempererat jarak diantara kami. Oh, betapa hangat pelukannya.

"Yvette juga disini?" Tanyaku malas-malasan. Dani terkekeh mendengarnya.
"Sampai kapan baru kau bisa menerimanya sebagai bagian dari keluargaku?" Tanya Dani. Mungkin tidak akan pernah, jawabku dalam hati.
"Maaf" Kataku.
"Buat apa minta maaf?" Tanya Dani. Aku hanya terdiam menikmati pelukannya. Dani pun sepertinya paham dan hanya terdiam memelukku, membelai bagian belakang kepalaku dengan lembut.
"So... Kenapa tidak bisa dihubungi?" Tanya Dani. "Aku cemas, kau tahu?"
"Ketinggalan charger?" Jawabku asal. Dani menghela napas mendengarnya.
"Alasan apa itu Carla?" Tanya Dani sambil melepas pelukannya.
"Ide Coleen, katanya aku memerlukan sedikit liburan, tanpa materi kuliah, tanpa gadget, pokoknya benar-benar hanya aku saja dan oh alamnya Dani, pemandangannya benar-benar bikin relax" Jawabku. Entah darimana aku mendapatkan jawaban itu tapi kurasa aku mulai pandai berbohong.
"Hmm..." Sahut Dani sambil memainkan ujung rambutku dengan jarinya. Dani menghela napas.
"Kau kan bisa pergi bersamaku...yah, sudahlah, yang terpenting kau sudah di sini" Katanya sambil mengecup dahiku. "Dan kurasa aku tak mau melihatmu pergi lagi dengan Coleen"
Ya, kuharap aku juga tak akan pergi kemanapun dengan 'mereka'. Kuharap kehidupanku jadi normal lagi.
"Kiss me now" Aku tak ingin Dani membahas tentang Coleen lebih jauh lagi.

Selasa, 16 Agustus 2011

berharap bisa nulis lagi :')

I just want to finish what I started!!!!
Semoga bisa nyelesain cerita yang udah terbengkalai selama berbulan-bulan ini!!!!

Minggu, 21 November 2010

update setelah sekian lama ngga update

yaoloh, fanfic2 gue terbengkalai..... maaf ya readers, saya memang bukan penulis yang baik........

anyway, ada alasannya kok, sebenernya gue ngga punya waktu luang sebanyak yang gue punya dulu, soalnyaaaaaa gue udah kerja sekarang! yipppeeeyyy!
seneng, bisa nyari duit sendiri, mandiri dan punya banyak temen baru. tapi, ya, capek (tentunya) dan yang paling gua sesalkan adalah berkurangnya waktu senggang gue, yang biasa gue gunakan buat nulis *sigh*

tapi, tapi, tapi... bukan berarti gue bakalan berhenti gitu aja. karena, faktanya, gue tetep pengen nulis! nulis, nulis dan nulis sepertinya udah jadi satu bagian dari diri gue. wish me luck ya, di pekerjaan dan di dunia nulis nulis ini! kisses!

FanFiction: Another Love Story 16

Kastil
“Lihat, dia siuman” Terdengar olehku suara samar-samar, suara seorang wanita yang ku kenal, terasa sangat familier di telingaku.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali dan merasakan pandanganku kembali jernih, pendengarankupun menajam.
“Sykurlah” Kata suara yang satu lagi. Suara wanita juga. Lebih muda dan sangat merdu.
“Dann? Coleen?” Tanyaku heran saat kedua sosok itu tertangkap pandanganku. Kenapa ada mereka? Aku melarikan pandanganku ke sekelilingku. Ruangan apa ini? Cat berwarna crème yang sedikit bernoda dimakan usia, perabotan kayu usang, dan sebuah rak buku menjulang tinggi penuh terisi berbagai macam buku, juga pencahayaannya yang remang… jelas ini bukan kamarku… bukan flatku. “Dimana ini?” Tanyaku seraya bangkit dari tempat tidur.
“Carla, tenangkan dulu dirimu” Kata Dann di sebelahku. Tangannya menggenggam pundakku. Dann kemudian mengambil secangkir teh hangat dan membantuku meminumnya. Rasanya menyenangkan, aroma cammomile.
“Apa kau ingat sesuatu? Sebelum kau jatuh pingsan?” Tanya Coleen dengan suara lembut. Aku mengerutkan alis dan mencoba berkonsentrasi. Aku merasa lebih seperti baru bangun tidur ketimbang pingsan. Aku sudah sering sekali jatuh pingsan dan tahu seperti apa rasanya. Tapi yang kurasakan kali ini benar-benar seperti saat baru bangun tidur.
“Ehm… aku sedang di dapur bersama Cesc… kami ngobrol…” Kataku. Perlahan-lahan semua terasa jelas di kepalaku. “lalu tiba-tiba seperti ada sesuatu yang dilihat Cesc, dan udara di sekelilingku terasa aneh, menekan dengan kuat… dia memintaku menunggunya, dia pergi” Jelasku perlahan dan kilasan peristiwa itu terasa berkelebat di depan mataku.
“Lalu aku… Astaga! Daniel!! Dimana dia?!” Aku baru ingat akan melihat keadaan Dani saat tiba-tiba kesadaranku lepas. Aku melompat dari tempat tidur menatap Coleen dan Dann.
“Dia baik-baik saja, hanya kau yang terpengaruh serangan itu. Dia masih tertidur nyenyak saat kami membawamu kemari” Jelas Dann sambil kembali menggenggam pundakku.
“Kemari? Ini di mana? Sudah berapa lama aku pingsan? Yang tadi itu sebenarnya apa? Dan kenapa kalian…” Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku minta untuk dituntaskan. Namun belum sempat aku menyelesaikan seluruh pertanyaanku, Dann kembali mengguncang tubuhku.
“Carla! Sudah kubilang tenang dulu!” Seru Dann.
“Kami tentu akan menjelaskannya satu persatu kepadamu, tenang saja.” Kata Coleen. Aku mengangguk lemah dan kembali bersandar pada bantal yang empuk.
“Yang pertama, aku cukup kaget mengapa kau bisa ikut terkena imbas dari serangan tadi… tapi karena kau ‘masih hidup’, kau baik-baik saja—selain tanganmu yang sejak awal sudah diperban. Jadi itu bukan masalah lagi” Papar Coleen.
“Lanjutkan,” Pintaku.
“Yah, kau pingsan… tidak lama, satu sampai dua jam… dari saat aku mengambilmu di flat itu. Sekarang jam satu siang. Aku membawamu ke kedai Dann, ini kamar bawah tanahnya” Kata Coleen lagi. Aku membelalakkan mata saat mendengar kalimatnya yang terakhir. Tapi aku tak heran, aku sudah banyak sekali mendengar yang seperti ini. Ruang bawah tanah tak lagi terdengar angker olehku. Tapi dimana pintu masuknya? Aku tak pernah melihat ada pintu aneh di lantai kedai Dann saat bekerja, juga tangga yang mengarah ke bawah. Aku baru sadar ternyata memang tidak ada pintu masuk sama sekali, setelah menjelajahi dinding kamar ini dengan penglihatanku. Tak ada pintu… bahkan jendela pun tak ada. Ruangan persegi panjang dengan luas sekitar delapan kali lima meter, hanya ada meja tulis, sebuah tempat tidur—yang kutempati, lemari dan rak buku.
“Oke.., kalau begitu aku harus kembali ke flatku! Dani mungkin sudah bangun dan dia pasti khawatir jika aku tak ada disana. Kau bisa jelaskan sisanya lain waktu, atau akan kutanyakan saja pada Cesc dan… bagaimana caranya keluar dari tempat ini?” Kataku. Tapi tak ada yang menjawab. Coleen menatapku dengan alis bertaut. Dann hanya berdiri mematung di samping ranjang. “Apa?” Tanyaku memecah kesunyian.
“Hmmm, aku ragu kau bisa kembali ke sana… maafkan aku, tapi kau sebaiknya tetap di sini sampai Cesc kembali dan menjelaskan detilnya. Dia sendiri yang memintaku menjagamu selama dia pergi” Kata Coleen perlahan.
“Apa maksudmu? Memangnya Cesc pergi kemana? Kenapa aku perlu penjagaan? Oh, Coleen! Dani akan sangat cemas kalau aku tak kembali ke sana!” Kataku sambil merabai dinding terdekatku, siapa tahu ada pintu rahasia.
“Karena kau terkena serangannya, makanya kau butuh perlindungan, Carla” Desah Coleen. Tiba-tiba aku merasa ada yang berbeda.
“Se… serangan apa? Siapa yang menyerangku?” Tanyaku saat kurasakan sesuatu yang berbeda itu mulai jelas terasa. Yang itu tadi hanya dirasakan olehku? “kenapa aku?”
“Justru itu, seharusnya kau tidak merasakannya sama sekali, tapi kenyataannya kau malah terkena serangannya—telak, sampai kau pingsan. Itu aneh, tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena itulah Cesc, Dwight dan Math pergi untuk mencari tahu. Oh, dan Darren belum ada kabar sampai sekarang… kuharap dia baik-baik saja…. Cesc memintaku menjagamu selama dia pergi, kurasa itu bukan ide yang buruk. Dan akan jadi buruk kalau kau berkeliaran dengan bebas seperti tak pernah terjadi apa-apa” Jelas Coleen.
“Aku tidak mengerti…” Kurasakan otakku tak mampu mencerna kata-katanya. Ada apa sebenarnya? Kenapa Coleen dan Dann kelihatan begini serius?
“Begini saja, aku akan menemanimu pulang, menemui pacarmu, setelah itu baru kita pergi. Kau setuju?” Tawar Coleen setelah ia kelihatan menimbang-nimbang.
“Pergi?” Tanyaku bingung. Kenapa aku harus pergi? Aku masih sangat tidak mengerti akan peristiwa yang begitu tiba-tiba ini.
“Ya. Keberadaanmu harus disamarkan” Kata Coleen. “Setelah semuanya jelas, aku akan menceritakan yang lebih detil untukmu, aku janji” Sepertinya dia memahami keadaanku yang super bingung.
“Tutup matamu,” Pinta Dann. Akupun menutup mataku. Kurasakan jemari dingin menggenggam tanganku. Jari-jari Coleen?
Seketika aku merasa melayang. Aku merasakan udara di sekitarku berputar dan mengangkat tubuhku. Rasanya aku pernah merasakan ini… benar! Rasanya persis sama seperti saat Cesc membawaku berteleport pagi ini. Apa saat ini aku juga sedang berteleport? Tapi ada yang berbeda… wanginya. Ah, lebih tepat bau. Aku mencium bau busuknya yang menyengat, membuat kepalaku pusing dan perutku mual.
Tidak seperti saat bersama Cesc—yang memancarkan aroma sirup maple yang manis dan menyenangkan, kali ini malah wangi belerang yang memuakkan yang kucium. Tak tahan rasanya. Ingin segera menyudahi ini semua dan menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya.
“Carla? Buka matamu, kita sudah sampai” Kata Coleen lembut. Dengan segera aku membuka mataku. Samar-samar aku masih bisa mencium aroma belerang itu. Aku cukup terkejut karena ternyata kami sedang berada di dalam flatku. Padahal rasanya tak sampai satu menit aku menutup mataku.
“Wow,” Hanya itu yang mampu kuucapkan saking syoknya. Coleen hanya tersenyum menanggapinya. “apa kau yang melakukannya?” Tanyaku.
“Bukan, aku tak bisa melakukannya. Itu Dann” Kata Coleen sambil melepaskan genggaman tangannya di jemariku. Jarinya dingin, hanya saja tak sedingin jemari Cesc.
“Ooh” Responku. Kalau begitu bau belerang itu berasal dari Dann. Apa setiap ‘makhluk’ memancarkan wangi—bau yang berbeda?
“Sepertinya pacarmu masih tidur” Kata Coleen sambil menatap pintu kamarku.
“Oh, syukurlah. Ehm, aku permisi masuk ke dalam, err… duduklah, anggap saja rumah sendiri… well, dan sepertinya aku tak punya suguhan yang cocok untukmu di kulkasku…” Kataku bingung. Ini adalah kali pertama aku berduaan saja dengan. Vampir. Anehnya aku sama sekali tak merasa takut padanya. Malah perasaan nyaman yang kurasakan, dia seperti kakakku sendiri—yang luarbiasa lebih cantik. Beda sekali dengan kesan pertama yang kudapatkan dari Dwight. Oke dia memang menyebalkan.
“Oh, hahaha… tidak perlu repot, aku sudah makan kok” Kata Coleen sambil merebahkan tubuh rampingnya di sofaku. Aku memaksakan senyuman mengembang di bibirku, mengingat makanan jenis apa yang sudah dikonsumsinya.
Aku segera berjalan ke arah kamarku dan meninggalkan Coleen sendirian. Kutemui Dani sedang berbaring di kasurku, tertidur dengan lelap. Satu lengannya terlipat di depan dadanya sementara yang lainnya terjulur sampai melewati tempat tidur. Aku tersenyum memandangi wajah tidurnya yang tenang dan menenangkan. Dengan perlahan aku duduk di sisi tempat tidurku, tak ingin membuat guncangan dan membangunkannya.
Syukurlah dia tidak apa-apa. Syukurlah hanya aku yang merasakan serangan aneh yang tadi itu. Walaupun aku masih belum mengerti apa sebenarnya yang tadi itu—gelombang udara aneh, tapi ini pasti ada hubungannya dengan kedekatanku pada makhluk-makhluk-yang-bukan-manusia. Aku tak ingin Dani ikut-ikut merasakan keganjilan yang kurasakan selama aku mengenal Cesc—dan teman-temannya. Hantu tampan baik hati, penyihir, juga vampir, dan apakah mimpi anehku—yang terus berulang, tentang orang-orang berjubah juga termasuk? Aku tak ingin Dani mengetahui sisi kehidupanku yang ini. Dalam pandangannya aku hanyalah mahasiswi biasa, cewek biasa-biasa saja. Kurasa lebih baik begitu.
“Carla…” Gumam Dani dalam tidurnya.
Eh? Apakan dia memimpikan aku?
Aku tersenyum saat ia menggumamkan namaku sekali lagi. Kebahagiaan tiba-tiba membuncah di dadaku. Aku ingin tahu apa yang sedang diimpikannya. Aku sedang apa di mimpinya ya? Aku juga ingin sekali memimpikan Dani. Kalau saja mimpi-mimpiku tak dipenuhi oleh tempat aneh dan yang lain-lainnya itu.
Aku meletakkan tanganku di atas tangannya yang terlipat di atas dada, merasakan teksturnya, ukurannya, dan kehangatannya. Mataku kembali ke wajah tidurnya yang indah. Aku mengulurkan jemariku ke arah wajahnya, membelainya lembut.
Ya Tuhan aku sangat mencintai orang ini.
Aku menggigit bibir bawahku karena tak sanggup menahan pesonanya, pancaran kemurnian dan ketulusan dari wajah tidurnya.
“Carla?” Kata Dani saat matanya terbuka. Dia bangun.
“Aku membangunkanmu lagi ya?” Tanyaku.
“Oh… aku pikir aku berimpi, atau tadi memang aku sedang memimpikanmu ya?” Kata Dani dambil menggosok matanya. Ternyata benar tadi dia memimpikan aku? Dani lalu melihat ke jam di tangannya. Senyuman di wajahku kembali terkembang.
“Wow, aku tidur nyenyak sekali,” Katanya takjub. Dani kemudian beranjak duduk di atas tempat tidurku, melipat kakinya. Aku menggeser posisi dudukku untuk berdekatan dengannya. Gerakanku ini disambut tangannya yang terbuka, memintaku menyurukkan tubuhku ke dalam pelukannya. Tentu saja aku melakukannya. Dani memelukku dengan lembut, mengecup pucuk kepalaku. Tapi aku lebih suka dia melakukannya di tempat lain. Maka aku memutar wajahku untuk menyentuhkan bibirnya ke bibirku. Aku bisa merasakan Dani tersenyum di tengah ciuman kami.
Aku hampir saja melupakan Coleen—atau memang aku sudah melupakannya? Kalau dia tidak memanggilku.
“Carla?” Suara lembutnya yang memang sangat enak di dengar menyebutkan namaku. Seketika Dani menghentikan ciumannya.
“Siapa?” Tanya Dani bingung sambil menatap mataku.
“Eh… temanku. Datang saat kau masih tidur tadi” Jawabku. “tunggu sebentar,” Kataku kepada Coleen di ruangan sebelah sambil bangkit dari pelukan Dani. Aku kemudian berjalan ke arah pintu dan segera menuju tempat Coleen berada. Dani membuntutiku dari belakang.
Coleen berdiri dari duduknya saat melihat aku dan Dani datang.
“Maaf,” Kataku dengan wajah yang memerah. Aku merasa dia tahu apa yang terjadi di kamarku barusan.
“Hai,” Sapa Dani sambil tersenyum ke arah Coleen.
“Hai, kau Daniel? Namaku Coleen,” Kata Coleen sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut Dani.
“Ya, aku Daniel. Panggil Dani saja,” Kata Dani,
“Ehm, apa Carla sudah bilang padamu?” Tanya Coleen. Aku menatap Coleen dengan bingung. Coleen langsung menarik lenganku dan merangkulku dengan akrab, seolah-olah kami sudah berteman lama. Atau memang itu kesan yang ingin di tampilkannya?
“Bilang? Soal apa?” Tanya Dani sambil mengerutkan alis.
“Well, aku dan Carla akan pergi ke… Belgia. Ke rumah nenekku. Carla pernah janji untuk menemaniku menjenguk nenekku.” Jelas Coleen. Aku menatapnya bingung. Belgia?
“Oh ya? Kau tak bilang apa-apa tentang ini?” Kata Dani sambil menatapku. Aku juga tidak tahu Daniel! jeritku dalam hati.
“Err… aku baru mau bilang tadi…” Jawabku asal.
“Yep, kalau begitu sekalian saja, Carla pamit sekarang kalau begitu. Eh, apa kau sudah berkemas?” Tanya Coleen. Sambil melayangkan tatapan aneh kepadaku.
“Eh, belum…” Jawabku.
“Oh, Carla! Ya sudah, kubantu kau berkemas ya,” Kata Coleen sambil melenggang ke arah kamarku. Menyeretku. Dani mengikuti kami.
Aku mengambil tas koporku dan beberapa potong pakaian dari dalam lemari, sementara Coleen merapikannya di dalam kopor.
“Ehm, kapan kalian berangkat?” Tanya Dani.
“Nanti sore” Jawab Coleen segera. Cepat sekali?! Aku tak bisa berkata apa-apa. Ini sepenuhnya ide Coleen dan aku takut menghancurkannya.
“Ya Tuhan, nanti sore?!” kata Dani takjub. “berapa lama?” Tanya Dani lagi.
“Beberapa hari saja kok” Lagi-lagi Coleen yang menjawab. beberapa hari itu berapa lama? Seminggu? Lama sekali? Kuliahku bagaimana? Ulang tahun Dani? Ingin sekali aku meneriakkan itu pada Coleen. Kalau masalah hantu-hantuan ini menghancurkan program beasiswaku aku tak akan mengampuninya.
“Lama sekali?” Tanya Dani. Aku tahu sebenarnya pertanyaan itu ditujukan padaku. dia sedang libur dari balapnya dan aku tahu ia ingin aku menemaninya. Aku lalu berjalan ke kamar mandi untuk membereskan perlengkapan mandiku dan memasukkannya ke dalam sebuah tas kecil. Setelah selesai aku menghampiri Coleen dan memberikan tas itu padanya.
“Beraktinglah sedikit supaya dia tidak curiga” Bisiknya saat aku berjongkok di sampingnya untuk membersekan sisa barang bawaanku.
Setelah selesai mambantuku berkemas. Coleen lalu berpamitan. Aku tahu dia tidak benar-benar pergi. Pasti dia bersembunyi di suatu tempat di gedung ini. Tinggal aku berdua Dani sekarang. Benar-benar tidak nyaman. Karena akulah yang harus berbohong padanya sekarang.
“Kenapa mendadak sekali?” Tanya Dani. Saat kami berduaan saja di ruang tengah.
“Tidak mendadak kok, kami sudah merencanakannya sejak lama.” Jawabku. Aku lalu duduk di sofa hijau lumutku. Aku harus benar-benar tenang untuk berbohong dengan baik.
“Tapi kenapa aku tidak diberi tahu?” Tanya Dani.
“Aku saja hampir lupa… hampir lupa kalau kami berangkat hari ini” Jawabku asal. “kau tidak suka aku pergi?” Tanyaku. Dani lalu menyusulku dan duduk di sebelahku.
“Bukan begitu… hanya saja… terlalu tiba-tiba,” Kata Dani. “yah, aku tak punya kuasa penuh untuk melarangmu sih…” Kata Dani sambil meraih pinggangku untuk memeluku. Aku menyandarkan punggungku di dadanya. “lain kali bilanglah lebih awal, aku merasa… kau adalah tanggung jawabku. Kau mengerti kan?” Kata Dani. Aku sungguh berharap tidak akan ada yang lain kali. Aku mengangguk. aku merasakan jemari tangannya di wajahku, membelaiku lembut. Lalu turun ke leher dan pundakku.
“Kau marah ya?” Tanyaku.
“Entahlah. Kurasa tidak juga. Hanya kaget saat tahu kau harus pergi nanti sore, padahal keluargaku akan datang dan kita bisa bersenang-senang bersama” Kata Dani.
“Titipkan salam untuk mereka” Kataku. Dani hanya diam saja. Ugh, suasana ini menyebalkan. Aku lalu bangkit dan memutar tubuhku agar menghadapnya.
“Kau marah,” Kataku dengan suara setengah merajuk, kuharap ini ampuh menggodanya. Dani tersenyum melihat tingkahku.
“Mana mungkin” Katanya sambil menggenggam wajahku dengan kedua tangannya. Dia mendekatkan wajahnya dan menciumku. Selalu menyenangkan berciuman dengannya. Aku menggapai lehernya, mengalungkan lenganku di lehernya, membalas kecupannya.
“Jaga dirimu, jangan melakukan hal yang aneh-aneh” Bisiknya sambil mengecup pipi dan telingaku.
“Hal aneh?” Tanyaku sambil tertawa.
“Melopat dari tebing? mengejar banteng?” Jawab Dani dan kami tertawa bersama. Syukurlah suasana membaik.
“Ugh padahal aku libur beberapa hari ini dan ingin bersenang-senang dengan kau dan keluargaku… telepon aku sesering mungkin,” Pintanya.
“Iya,” Jawabku. “setelah aku pulang kita kan masih bisa berduaan,” Kataku sambil menarik wajahnya yang tenggelam di leherku. Melihat wajahnya lekat-lekat. “Kurasa sebaiknya kau bersiap-siap ke bandara” Kataku. Dan Dani langsung melihat ke arah jam tangannya.
“Kau benar. Kenapa waktu jadi singkat sekali saat sedang bersama denganmu?” Kata Dani yang kurespon dengan tawa. “kapan pesawatmu berangkat? Perlu kuantar?” Tanya Dani sambil memakai kembali jaketnya.
“Tak usah, aku bersama Coleen. Well, dia yang mengatur urusan tiket dan semuanya, aku hanya tahu jadi.” Jawabku. Dani mengangguk-angguk. Sepertinya dia tak heran karena aku memang tidak suka mengurus dokumen-dokumen birokrasi dan teman-temannya itu.
“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu.” Kata Dani sambil mendaratkan kecupan mesranya di dahiku. Aku tersenyum dan mengantarnya ke pintu depan. Setelah saling melambaikan tangan, dia segera menuju tangga dan bergegas turun. Aku masuk dan menutup pintu, menghela napas panjang karena perasaan lega aku tak harus berbohong lagi di depan Dani. Baru saja aku berjalan dua langkah pintu di belakangku terbuka lagi. Coleen.
“Ayo, kita pergi” Katanya dengan wajah yang tanpa ekspresi.
“Sekarang?” Tanyaku. Coleen menjawabnya dengan nyelonong ke kamarku dan mengambil koporku. “biarkan aku makan dulu, oke?” Usulku. Sudah hampir jam dua dan aku belum makan siang.
“Kau bisa makan di kedai Dann. Ke sanalah kita akan pergi” Coleen lalu menggenggam tanganku yang diperban. Ia juga menyerahkan koporku ke tanganku yang satu lagi. Ia lalu merogoh dalam-dalam saku jaketnya dan mengeluarkan segenggam serbuk hitam berkilauan. Ia menjatuhkan seruk itu ke lantai dan seketka asap putih muncul dari serbuk itu.
“Pejamkan matamu, dan hirup asapnya dalam-dalam” Perintahnya. Aku tak berani membantah.
***
Setelah asapnya menghilang, ternyata kami sudah tiba di kedai Dann. Aku langsung disuguhi seporsi pasta dengan saus carbonara. Coleen mengambil alih kopor dari tanganku dan membawanya. suasananya benar-benar seperti ketika kau akan pergi ke perkemahan pramuka untuk pertama kalinya. Disuguhi makanan porsi besar, dan kau menurut untuk menghabiskannya karena khawatr kau tidak akan bisa makan dengan layak di perkemahan. Well, setidaknya itulah yang aku rasakan.
“Makanlah,” Kata Dann sambil tersenyum. Ia meletakkan segelas jus jeruk di samping piring pasta. Aku mengangguk, segera duduk di sebuah kursi kayu dan mulai makan. Dann kemudian menghampiri Coleen yang sudah kembali dan mereka terlibat perbincangan serius. Aku tak bisa mendengar apa yang sedang diperbincangkan oleh mereka tapi aku bersumpah melihat Dann sedang menangis walau sekilas. Aku mengerutkan dahi. Apa situasinya memang serius?
Aku mengalihkan pandanganku ke piring di hadapanku. Kenapa aku jadi terseret jauh ke dalam persoalan mereka ini?
“Carla, cepat selesaikan makananmu, kita harus bergegas” Kata Coleen yang tiba-tiba muncul. Tapi dia sendirian. Dann sudah pergi entah kemana dan kapan.
“Kemana?” Tanyaku.
“Tempatku” Jawabnya singkat. Aku menyuapkan dua sendok penuh pasta itu untuk menyelesaikannya, mengunyah cepat-cepat dan menelannya. Aku meneguk jus jeruk juga dengan sesegera mungkin. Aku berharap masih bisa bertemu makanan layak seperti ini lagi nanti saat bersama Coleen—mengingat perbedaan makanan kami. Coleen menantiku dengan sabar dan kembali mengulurkan tangannya ke arahku. Yang segera kusambut setelah bangkit dari dudukku.
“Apakah ini ada hubungannya dengan hal yang kalian bicarakan di flatku waktu itu?” Tiba-tiba aku teringat saat pertama kali aku mengenal orang-orang ini. Saat itu mereka membicarakan, serangan, perbatasan Eropa dan yang segala macamnya itu.
“Ya” Jawabnya singakat sambil kembali menjatuhkan serbuk hitam ke lantai. “dan sekarang ‘serangan’ itu sedang berlangsung” Setelah mendengar jawabannya entah mengapa aku merasa semakin was-was.
“Aku tak seharusnya terlibat” Tuntutku. Aku manusia normal.
“Aku juga berpendapat demikian. Cesc dan yang lainnya juga berpikiran seperti itu. Karena itulah ini memerlukan penyelidikan, dan selama itu, kau akan butuh perlindungan kalau-kalau serangan itu datang lagi. Kau mengerti?” Tak ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali menurut.
***

“Wow” Sebutku tertahan. Aku memutar tubuhku sekali lagi. Pemandangan yang sungguh berbeda tersaji di hadapanku. Sebuah kastil tua, yang seluruh bangunannya terbuat dari batu alami berdiri dengan megahnya di hadapanku, tidak begitu besar, tapi benar-benar cantik. Dan taman yang mengelilingi sisa pandanganku menguarkan wangi aneka bunga yang menyenangkan. Ini bukan pertama kalinya aku melihat kastil secara langsung. Tapi kastil ini terlihat jauh dari kesan megah, ini lebih mungil, anggun, dan manis.
“Lewat sini” Kata Coleen sambil menunjukkan jalan setapak yang membelah taman cantik ini yang sisi-sisi jalannya ditumbuhi ratusan tangkai crysant berbagai warna, lurus menuju pintu masuk kastil.
“Ini… di mana?” Tanyaku. Apakah saat ini aku masih di Inggris?
“Rahasia. Maaf ya aku tak bisa beri tahu, ini tempat tinggal rahasiaku dan Dwight!” Kata Coleen dengan nada menggodaku. “tenang saja Carla! Kita masih di bumi kok, aku tak membawamu ke alam ghaib atau sejenisnya!” Kata Coleen yang menyadari perubahan raut wajahku saat dia bilang ‘tempat tinggal rahasia’
“Memangnya alam ghaib itu ada?” Tanyaku takjub. Coleen hanya tertawa renyah menanggapi pertanyaanku. Bahkan tawanya terdengar luar biasa merdu di telingaku.
Kami kemudian memasuki kastil itu. Dibalik pintu kayu yang besar dan terlihat berat ini tersaji sebuah ruangan besar tak bersiku. Dinding-dindingnya oval, melengkung membentuk kesan luas. Ditengahnya ada sebuah meja kayu ek yang klasik. Aku tak berani menanyakan sejak kapan meja itu ada di sana karena yang pasti sudah lama sekali. Jendela dengan mosaik besar-besar beraneka warna memberikan penerangan sempurna karena cahanya matahari dapat masuk langsung ke tempat ini. Dinding-dinding di sekitarnya dilapisi permadani hias yang cantik-cantik. Di atasnya tersaji gambar—seperti ilustrasi yang saling bersambung antara permadani satu dengan yang lainnya, seperti memang sengaja dibuat.
“Sebelah sini,” Katanya dari arah sisi ruangan yang terdapat tangga melengkung. Aku tertegun melihat pemandangan didepanku. Coleen berdiri dengan anggunnya di anak tangga, rambut pirang strawberrynya menggelayut lembut di pundaknya. senyuman manisnya mengembang dengan sempurna. Oke dia memang cocok sekali tinggal di tempat ini. Dia benar-benar terlihat seperti putri raja. Tapi entah mengapa aku agak tidak rela karena bayangan Dwight yang muncul sebagai pangerannya.
Aku mengkutinya menaiki anak tangga menuju lantai selanjutnya, mengangkat koporku perlahan. setelah mencapai puncak anak tangga, kami berjalan di sebuah lorong panjang. Sambil terus memandangi dinding-dinding batu di sekitarku. Penerangan di tempat ini hanyalah obor-obor yang digantung di dinding setiap dua meter. Aku benar-benar merasa sedang terdampar di abad pertengahan.
“Yang ini kamarmu. Emm… kuharap kau tidak keberatan tinggal di sini?” Tanya Coleen, kurasa dia mendapati aku yang melongo memandangi setiap inci kastilnya.
“Tempat ini luar biasa!” Komentarku akhirnya. Coleen mengembangkan senyuman dan mengucapkan terimakasih.
“Dwight menghadiahkannya untukku” Katanya lembut. Oke, menurutku Dani yang membelikanku VW sudah keterlaluan, tapi begitu mendengar Coleen mengatakannya barusan, aku jadi berpikir Dani hanya memberikanku sebatang mawar. Kami memasuki ruangan yang disebutnya sebagai kamarku. Dan aku, saat itu juga mematung karena pemandangan didepanku yang luar biasa.
Ruangan oval itu tertata sangat rapi. Sebuah ranjang kayu besar dengan empat pilar di setiap sudutnya dilapisi sprei warna merah maroon yang anggun, serasi dengan tirai-tirai yang menggelayut di setiap sisi tempat tidur. Dinding di hadapanku hanya dilapisi kaca besar melengkung mengikuti bentuk ruangan ini, menyajikan pemandangan taman bunga yang luar biasa indah. Dua buah kursi kayu dan sebuah meja kecil tepat diletakan di depan dinding kaca, sudut yang sempurna untuk menikmati indahnya hamparan bunga. Sebuah lemari kayu yang tak terlalu besar mengisi sisi dekat pintu masuk. Dan sebuah buffet kayu yang kelihatan sangat solid melengkung di sisa sisi kamar cantik ini. Diatasnya sebuah vas kristal besar dengan tangkai-tangkai bunga yang cantik memberikan kesan yang luar biasa dalam untukku. Tempat ini sempurna.
“Wow” Kataku.
“Kau suka?” Tanya Coleen.
“Ini… luar biasa indah” Coleen tersenyum puas mendengarnya.
“Trims, well, aku ada di bawah kalau kau perlu sesuatu… oh, kamar mandinya tepat di seberang ruangan ini oke?” Kata Coleen.
“Ya” Jawabku. kemudian dia pergi dan menutup pintunya meninggalkanku sendirian di dalam kamar indah ini. aku meletakan koporku di atas ranjang dan berjalan ke arah jendela besar. Aku menarik kursinya dan duduk menikmati indahnya bunga-bunga yang terhampar di bawah. Aku memalingkan wajah ke arah pintu dan membayangkan sosok Cesc berdiri mematung disana sambil melipat kedua lengannya di depan dada, menatapku sambil tersenyum. Ditambah Cesc, kamar ini akan sempurna.

Selasa, 21 September 2010

FanFiction: Another Love Story 13, 14, 15

MEMBAYAR keabsenan gua sebulan lalu, spesial di postingan kali ini gua langsung post 3 chapter Another Love Story !!!!!! ENJOY!!!

Olie dan Aaron

“Keberatan tidak kalau aku mengajak sepupuku?” Tanya Olie saat kami tiba di tempat parkir kampusku. Hari ini kami sudah janjian untuk pergi belanja bersama, sekalian mencari hadiah untuk Dani. Hanya hari ini aku lenggang. Aku sudah minta izin cuti pada Dann dua hari. Hari ini dan lusa. Hari ini untuk pergi belanja dengan Olie dan lusa adalah menepati janjiku pada Dani untuk menghadiri balapannya. Hari berlalu cepat sekali. Tak terasa ulang tahun Dani tinggal menghitung hari.
Olie menunjuk ke arah Aaron yang sedang berdiri mematung di sudut bangunan.
“Dia tidak akan mengganggu kok,” Kata Olie. Aku tersenyum pasrah.
“Oke saja” Jawabku. Sebenarnya aku tidak terlalu kenal Aaron, tapi karena dia sepupunya Olie, kurasa tidak apa-apa. Seminggu ini aku kian akrab saja dengan Olie. Menurutku orangnya sangat menyenangkan dan super ceria… oh, dan stylish. Aku seperti sedang duduk bersama super model setiap harinya. Tubuhnya yang tinggi ramping kadang membuatku minder. Olie tersenyum senang dan segera memanggil Aaron untuk segera menghampiri kami.
“Dia pak supirnya” Jelas Olie saat Aaron tiba di antara kami.
“Hai, Carla” Sapa Aaron sambil mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya.
“Hai” Sapaku. Kemudian kami segera menaiki BMW hitam milik Olie¬—atau Aaron aku tidak tahu. Hari ini aku memang sengaja tidak membawa si-biru karena Olie manawarkan diri untuk mengantarku pulang sekalian setelah selesai belanja nanti.
“VW Golf-mu keren sekali Carla” Kata Aaron ditengah perjalanan kami menuju salah satu plaza terbesar di London. Aku tersenyum.
“Trims, aku tidak tahu dia punya banyak penggemar. Akan kusampaikan salammu nanti” Candaku.
“Haha, tentu saja, tipe itu kan yang paling ditunggu-tunggu musim ini” Kata Aaron.
“Masa?” Aku tidak tahu sama sekali soal yang begini.
“Ya, masa kau tidak tahu? Aku sedang membujuk ayahku untuk belikan aku satu dan keesokan paginya aku sudah melihatmu memarkirkannya tepat disamping mobil ini” Lanjut Aaron. Entah sejak kapan aku jadi terjebak di obrolan anak-anak orang kaya macam mereka.
“Kurasa BMW-mu baik-baik saja. Kenapa kau mau VW itu?” Komentarku.
“Well, karena kurasa ayahku tidak akan berikan aku sebuah Lamborghini, tepatnya” Ralatnya. Aku mengangguk sambil memutar bola mataku. Tentu saja. Apa yang ada di pikiran seorang ayah kalau membelikan anak umur delapan belas tahun sebuah Lamborghini? “aku sebenarnya tertarik dengan mobil sport tapi entah mengapa aku langsung jatuh cinta pada mobilmu Carla” Candanya.
Aku melirik Olie yang sedang asyik membolak-balik halaman sebuah majalah fashion terkemuka. Dan sesekali bergumam senang karena item yang diincarnya keluar hari ini. Well, kalau dari keseluruhan penampilannya dia memang terlihat sangat modis dan pakaian yang dikenakannya jelas bukan keluaran brand murah.
“Hey, Carla. Kurasa aku perlu sedikit merubah gayamu” Kata Olie setelah selesai melihat-lihat majalahnya. Matanya menjelajahi diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Hah?” Aku melongo. Memangnya apa yang salah dengan penampilanku? Celana jeans, t-shirt dan jaketku tidak jelek. Jaket ini kubeli tahun lalu dan harganya juga tidak murah. Sneakers ku juga bersih kok. Bukannya gaya anak umur delapan belas itu memang begini ya?
“Memangnya kau tidak bosan pakai jeans dan t-shirt terus?” Tanya Olie.
“Biasa saja” Jawabku jujur. Jeans dan t-shirt adalah pakaian ternyaman didunia.
“Maksudku, tampil cantik saat ke kampus kan tidak melanggar hukum” Kata Olie lagi.
“Well, aku punya sih pakaian yang lebih layak dibandingkan t-shirtku, tapi kan lebih nyaman pakai t-shirt” Sahutku saat kupahami maksud kata-katanya. Aku punya kok beberapa pasang pakaian ‘layak’.
“Itu karena kau tidak biasa. Biasakan dong, oh ya, satu lagi! Warna kulitmu membuat iri semua gadis oke? Berdandanlah sedikit” Kata Olie sambil menarikku keluar dari mobilnya.
“Kulit?” Aku mengerutkan dahi tak mengerti.
“Maksudku, kulit orang dari tempat tropis memang cantik sekali! Kau kan orang Spanyol” Jelas Olie sambil menggandeng tanganku memasuki mall sementara Aaron pergi untuk memarkirkan mobil. Seperti bukan pertama kali bagi Aaron menemani Olie belanja, tahu-tahu dia sudah menunggu di depan sebuah toko pakaian. Kemudian kami masuk dan Olie langsung memilihkanku beberapa atasan yang cantik-cantik.
“Lihat kan? Kau bahkan cocok dipasangankan dengan semua warna!” Keluhnya sambil menenteng beberapa pakaian di tangan kirinya.
“Err… trims” Kataku pelan. Bukankah niat awalnya adalah mencari kado untuk Dani? Aku dipaksanya mencoba beberapa pakaian, dan tahu-tahu dia sudah membelikan pakaian yang dinilainya cocok untukku.
“Pakailah Senin besok!” Katanya sambil menyerahkan dua tas kertas berisi pakaian padaku.
“Kau tidak perlu membelikanku segala” Keluhku.
“Ssssttt…! Jangan begitu! Aku senang bisa berteman denganmu Carla! Aku jadi lebih bisa serius memahami pelajaran setelah duduk denganmu, jangan perhitungkan ini, oke?” Katanya. Oh, tidak. ‘Dani’ yang lain. Kemudian kami masuk ke sebuah gerai kecantikan, dan tanpa mendapat izin yang jelas dariku, aku langsung di seret ke sebuah kursi dan aku didandani. Rambut dan wajahku diolah seperti adonan cake.
“Jangan potong rambutku!” Tak sengaja aku membentak seorang cewek penata rambut dan ia kelihatan kaget.
“Err… maaf, maksudku, tolong biarkan saja rambutku panjang” Ralatku sambil meminta maaf. Si cewek itu tersenyum ramah.
“Tenang saja, hanya akan kurapikan sedikit. Aku janji tdak kan memotong habis rambutmu” Katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya. Aku ingat Dani pernah bilang dia menyukai rambut panjangku, sejak saat itu aku tak pernah melakukan perubahan besar pada rambutku. Aku memerhatikan si penata rambutku bekerja. Rambutku di cuci bersih, kemudian dirapikan potongannya. Aku melirik ke arah Olie yang tersenyum jahil ke arahku. Ia sedang menerima treatment yang berbeda denganku. Aku lantas mengalihkan perhatianku ke arah Aaron yang dengan sabar menunggu kami sambil mengutak-atik console game portable-nya. Aku heran bagaimana mungkin dia bisa tahan dan menunggu? Pandangan mataku kembali ke cermin di depanku. Cewek penata rambut itu sedang asyik me-roll rambutku, membuatnya sedikit bergelombang dan agak keriting di bagian bawahnya. Kurasa pekerjaannya bagus juga. Padahal kutaksir usianya tak beda jauh dariku.
Setelah selesai, Olie menyuruhku mengganti pakaianku dengan salah satu pakaian yang tadi dibelikannya untukku. Aku memandangi diriku di cermin besar. Sebuah atasan tak berlengan warna kuning cream dengan renda-renda di bahu, lalu celana panjang hitam yang yang pas sekali dengan kakiku, aku juga memerhatikan gaya rambutku yang baru. Juga make-up minimalis yang melapisi wajahku. Ternyata aku tidak jelek kok. Aku jadi takjub sendiri melihat perubahan penampilanku. Aku benar-benar tidak jelek. Mungkin benar juga kata-kata Olie. Aku hanya melupakan penampilanku. Seharusnya aku lebih rajin merias diri. Maksudku, penampilan seperti ini pantas juga untuk ke kampus. Dan lebih pantas untuk berdiri di samping Dani.
“Oh, Carla! Kau luar biasa!” Kata Olie saat aku keluar dari ruang ganti dengan diriku yang baru. Aaron tersenyum manis mamandangiku. Aku jadi salah tingkah.
“Eh, trims. Ini kan hasil kerjamu” Kataku. Aku memandangi Olie yang masih menatapku dengan mata berbinar-binar. “dan si cewek penata rambut itu” Kataku sambil memalingkan wajah ke arah si penata rambutku. Dia memandang ke arahku dan dengan spontan aku melambaikan tangan padanya, berterimakasih karena hasil kerjanya yang luar biasa. Dia membalasnya dengan gerakan membungkuk. Aku memerhatikan diriku di cermin sekali lagi, dan mencuri pandang ke arah Olie dan Aaron lewat cermin di depanku. Dengan penampilan baruku ini aku jadi terlihat serasi dengan mereka.
“Kalau aku cowok, aku pasti sudah melamarmu saat ini juga, Carla!” Kata Olie kemudian. Tiba-tiba kilat serasa menyambar kepalaku. Mendengar kata-kata Olie barusan aku langsung teringat tujuan awalku pergi dengan Olie!
“Astaga! Aku melupakan hadiah untuk Dani!” Kataku panik.
“Tenang saja, Carla! Aku tidak lupa kok, dan kita membawa seorang cowok di sini. Kita kan bisa minta pendapat Aaron!” Kata-kata Olie dan senyuman di wajah Aaron seolah menyiram rasa panikku dengan air es. Aku menghela napas lega.
Kami berjalan bersama ke sebuah toko pernak-pernik. Ada berbagai macam barang di sini. Mulai elektronik sampai perhiasan kecil. Aku banyak memberi info tentang Dani kepada mereka tanpa membocorkan identitas asli Dani.
“Hmmm… cowok sporty ya…” Gumam Olie sambil berjalan pelan memerhatikan setiap benda yang dilaluinya.
“Tidak terlalu sporty kok,” Ralatku. Kami kembali berkeliling toko sambil mengamati setiap etalase yang ada di sekitar kami. Aku sudah memutari seisi toko dan tak menemukan apapun.
“Berikan ini saja” Tiba-tiba Aaron muncul membawa sebuah kalung dengan plat perak persegi panjang sebagai liontinnya. “cowok sporty tidak suka benda yang merepotkan” Komentarnya sambil menyerahkan kalung itu ke tanganku. Aku memerhatikan benda itu dengan seksama. Sebuah rantai panjang dan plat perak yang polos. Apa tidak terlalu sederhana? “di sudut sana ada jasa untuk mengukirkan kata-kata pada plat itu. Kau bisa tuliskan ucapan ulang tahun atau semacamnya. Dan pacarmu bisa membawa benda itu kemana-mana. Benar-benar simpel” Jelas Aaron. Aku memandangi Aaron dengan takjub. Dia seperti memberikan penerangan padaku.
“Astaga! Kau jenius! Terimakasih Aaron!” Seruku sambil mengepal plat perak itu di tanganku. Memang tujuan awalku adalah agar hadiahku ini bisa dibawa Dani kemanapun dia pergi. Ini dia! Olie menaikkan tangannya, mengajak kami ber-hi-five. Kemudian kami bergegas menuju ke sudut toko, tempat pengukiran plat perak seukuran dua jari itu. Ada seorang pria paruh baya yang bertugas mengukir plat itu.
“Menurutmu aku harus tulis apa?” Mendadak kebingungan besar kembali melanda kepalaku saat pria ramah itu memberikanku secarik kertas kosong yang harus kuisi untuk dibuat ukiran.
“Curahkan saja perasaanmu” Saran Olie. Yang benar saja. Mana cukup plat kecil begini.
“Ucapkan selamat ulang tahun, lalu doa untuknya. Jadikan ini sebagai kartu ucapan saja, aku berani bertaruh dia akan membacanya setiap malam” Aaron seperti malaikat malam ini. Lagi-lagi ia memberikan ide briliannya. Aku baru mengenalnya siang ini dan dia benar-benar seperti mukjizat. Akhirnya kuputuskan untuk menuliskan:
‘Happy B Day Daniel! Semoga Tuhan dan segala kebaikan-Nya selalu menyertaimu. Dan semoga kita bisa bersama selamanya.
Aku menyayangimu,
C.’
pada bagian belakang, dan di depannya kuminta diukirkan huruf ‘D’ besar dengan beberapa sulur artistik yang cantik. Aku tersenyum puas memandangi hasil ukiran yang cantik itu.
***

“Hentikan, Carla! Kau sudah memandangi kalung itu selama kita makan malam!” Protes Olie dalam perjalanan pulang kami. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan.
“Maaf, maaf… habisnya kalung ini cantik sekali sih… eh, terimakasih ya Aaron, aku tidak akan melupakan jasamu” Kataku. Aku kemudian memasukkan kembali kalung itu ke dalam kotaknya dan menyimpannya dalam tasku.
“Aku hanya memberi ide” Kata Aaron merendah.
“Ide brillian” Tambahku. “Eh, stop di sini saja” Kataku saat kami hampir sampai gedung flatku.
“Lho? Sudah sampai ya?” Tanya Olie sambil melihat ke arah jendela.
“Belum, sampai di sini saja mengantarku. Kalau masuk lebih dalam lagi kalian harus memutar cukup jauh karena jalannya satu arah” Jelasku sambil memastikan semua barang belanjaanku sudah ku genggam.
“Bye, Carla!” Kata Olie dar dalam mobilnya. Ia menjulurkan kepalanya ke luar jendela.
“Bye, terimakasih untuk hari ini!” Sahutku. Kusaksikan mobilnya melaju dan kian cepat. Aku memutar tubuhku dan berjalan pelan-pelan menyusuri jalan menuju flatku karena barang bawaanku lumayan banyak.

“Carla?” Suara Cesc menggema di dalam flatku saat aku masuk.
“Ya?” Tanyaku bingung.
“Kalau bukan karena auramu aku yakin itu bukan kau” Kata Cesc yang kemudian muncul di hadapanku. Wajahnya dihiasi rona takjub, namun kemudian tersenyum.
“Jangan berlebihan!” Kataku.
“Well, kau berubah” Katanya sambil mengikutiku masuk ke dalam kamar. Aku mendesah dan menjatuhan semua tas-tas belanjaanku ke atas kasur dan mulai membukanya satu-persatu. Aku menemukan seperangkat kosmetik khusus remaja, lengkap dengan alat penata rambut. Ada alat catok, roll rambut, hair dryer dan benda-benda lain yang aku tidak tahu nama dan fungsinya. Bahkan ada buku manual penggunaannya segala! Astaga, Olie benar-benar ingin aku berdandan.
Aku membuka tas kedua yang berisi baju-baju dan beberapa celana. Aku lantas memerhatikan label harga yang masih menggelayut di kerah salah satu top berwarna hijau. Aku hanya bisa menelan ludah melihat angkanya. Olie pasti sangat kaya sampai membelikan aku ini semua. Cesc duduk di sebelahku dan asyik mengamati aku yang sejak tadi membongkar-bongkar total empat tas kertas besar-besar.
“Hmmm… eh…” Cesc memulai percakapan.
“Bukan aku! Ingat teman baruku yang bernama Olie? Dia yang belikan aku semuanya. Aku tahu kau pasti beranggapan dia sudah gila karena membelikanku semua ini, yeah, kalau aku sih, tidak mungkin menghabiskan uangku untuk kosmetik-kosmetk ini” Potongku.
“Oh… hmm, lagipula bukan itu yang mau kukatakan” Kata Cesc.
“Eh? Kupikir kau mau menanyakan dari mana aku mendapatkan ini semua?” Kataku.
“Aku sudah tahu ini pasti ulah temanmu yang modis itu” Cesc terkekeh.
“Yeah, tentu. Siapa lagi?” Kataku sambil tersenyum.
“Aku cuma mau bilang kau… ternyata pantas juga dengan gaya seperti itu” Kata Cesc sambil tersenyum. Aku menatapnya dan tidak menemukan tanda ia sedang meledekku. “Well, kau memang kelihatan lebih nyaman dengan pakaianmu yang biasanya, tapi kau cantik dengan dandanan seperti itu, Carla” Kata Cesc lagi. Aku langsung merasakan darahku mengalir ke wajahku.
“Hentikan! Jangan memujiku begitu” Kataku sambil memalingkan wajah karena aku sadar pasti wajahku sudah memerah dibuatnya. Cesc menghampiriku dan berlutut di hadapanku sehingga wajah kami sejajar. Dia merengkuh wajahku dengan kedua tangan dinginnya.
“Wajahmu memerah lagi. favoritku” Katanya meledek sambil menyunggingkan senyuman khasnya. Kontan wajahku jadi semakin memerah bagai kepiting rebus.
“Ugh! Kau menyebalkan” Kataku sambil menepis tangannya, yang kemudian disambut tawa renyahnya. Lama-lama dia jadi seperti Dani. Menggodaku terus-terusan. Mana mungkin wajahku tidak memerah kalau diperlakukan seperti itu? Aku kemudian bangkit dan merapikan semua belanjaanku. Menggantung semua baju baruku di lemari, dan menjejalkan peralatan make-up baruku di meja panjang di sudut kamar. Aku kemudian mengambil handuk dan bersiap mandi.
“Keluar sana, aku mau mandi” Kataku kepada Cesc yang sedang asyik berbaring di kasurku.
“Aku masih mau di sini, tenang saja, aku tidak akan mengintip kok” Katanya tanpa memalingkan wajahnya dari langit-langit kamarku. Aku mengerutkan dahi dan memandang ke arahnya. “Aku serius! Aku kan hantu, aku tidak bisa macam-macam padamu!” Katanya.
“Tapi kan kau… nyata… maksudku, aku bisa menyentuhmu, kau bisa menyentuhku juga” Jelasku.
“Oh, ayolah Carla! Kalau aku ingin macam-macam kepadamu kenapa tidak kulakukan sejak awal saja saat belum mengenalmu? Aku bukan hantu mesum!” Katanya sambil memalingkan wajahnya ke arahku.
“Aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu” Kataku.
“Tapi kau memang melakukannya” Sahut Cesc sambil bangkit dari tempat tidurku, berjalan ke arah pintu dan menghilang. Oh, oke, kurasa aku baru saja membuatnya tersinggung. Aku lantas mengunci pintu kamarku—hal yang sama sekali tak berguna mengingat dengan siapa aku tinggal. Well, setidaknya aku hanya ingin memastikan batasan-batasan di antara kami sebagai roommate. Kurasa hal yang wajar aku menyuruhnya keluar. Iya kan?
“Cesc?” Panggilku. “oh, ayolah. Kau tidak ngembek kan?” Tanyaku pada ruangan kamar yang kosong. Tak ada jawaban dan aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sejak kapan di jadi konyol begini? Selesai mandi aku mengenakan kimono handuk berwarna putih dan berjalan ke dapur. Tempat favoritnya—entah apa alasannya, dia selalu ada di dapur, walaupun dia bisa saja ada di mana-mana.

“Cesc?” Panggilku sekali lagi. Aku menghadap sudut dapur tempat biasa dia muncul, dan dia memang benar-benar muncul.
“Apa?” Tantangnya.
“Oh, ya ampun! Kau ngambek ya?” Tanyaku tak percaya. Teman hantuku ngambek. Bagus sekali.
“Tidak” Jawabnya. Dengan ekspresi tak jelas. Cesc menghampiriku dan merengkuh wajahku. Tangannya dingin seperti biasa, dan terasa makin dingin di atas kulit wajahku yang masih lembab. Tapi aku sama sekali tidak terganggu. Malah sebaliknya, aku sangat menikmati saat jemari dinginnya menempel di kulitku.
“Apa?” Tanyaku setelah beberapa detik lamanya ia hanya memandangi kedua mataku.
“Kau pasti tidak akan mengusir dia keluar seperti kau mengusirku” Katanya.
“Dia? Dani? Aku memang tidak pernah mengusirnya karena dia pasti akan keluar dengan sendirinya” Sahutku. “memangnya salah kalau aku memintamu keluar?” Tanyaku.
“Tidak. Itu tidak salah. Kau gadis baik, aku menghormatimu” Kata Cesc sambil masih menggenggam wajahku erat. Ia memandangi sekujur wajahku.
“Kupukir kau ngambek” Kataku.
“Kan sudah kubilang tidak” Jawabnya sambil terkekeh. Dia membelai wajahku lembut. Apa-apaan sih dia?
“Kau tahu? Ekspresimu kadang membingungkan aku” Kataku jujur sambil meletakan tanganku di atas punggung tangannya. Cesc tersenyum mendengarnya.
“Kau sudah makan malam?” Tanyanya. Aku mengangguk ringan.
“Hari ini Olie mentraktirku seharian” Jawabku.
“Baguslah, karena aku tidak mau melihat wajah pucatmu besok pagi” Katanya. Aku tertawa kecil. “Sudah malam, tidurlah” Katanya sambil mendaratkan kecupannya di dahiku. Aku tersenyum. Dia benar-benar memerhatikan aku. Ini pertama kalinya ada seseorang yang begitu memerhatikan aku selan Dani dan keluargaku.
“Trims, kau baik sekali pak hantu” Kataku. Kami tertawa bersama. Cesc kemudian melingkarkan lengannya di punggungku dan membopongku ke dalam kamar.
“Hentikan ah! Aku kan bukan bayi!” Desakku, Cesc hanya terkekeh menanggapinya. Dia lalu membarinkanku di tempat tidur.
“Tidurlah yang nyenyak, tuan puteri” Katanya sambil menarik selimut hingga sebatas dada.
“Kau tahu? Kau mulai seperti Dani” Ledekku.
“Well, aku memang berharap aku dirinya” Katanya sambil duduk di pinggir tempat tidurku. Pernyataannya membuatku kembali bangkit dan duduk di sampingnya.
“Jangan bilang kau fan-nya” Tanyaku setengah hati. Kalau memang iya, aku harus memberi selamat pada Dani karena dia begitu tenar sampai kalangan hantupun menggemarinya. Oh dan penyihir. Aku hampir lupa Dann juga fan-nya.
“Bukan, aku tidak terlalu suka balap” Jawabnya sambil tertawa. “sebenarnya aku fan-mu lho” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Hah. Kau meledekku ya? Tapi tadi kau bilang kau berharap kau dirinya?” Tanyaku.
“Ya, aku memang berharap aku dirinya. Dalam beberapa hal” Jawabnya sambil memalingkan wajahnya ke arahku.
“Apa saja?” Tanyaku penasaran. Cesc menghela napas panjang—walaupun aku tidak tahu pasti apakah dia benar-benar bernapas atau tidak.
“Yang pertama, dia hidup. Yang kedua karena dia sangat beruntung” Desahnya sambil kembali merengkuh wajahku lembut.
“Beruntung?” Tanyaku. Memangnya Dani seberuntung itu? Oke dia memang ngetop dan berprestasi. Cesc kembali mengecup pipiku. Dia kemudian mengembalikan pandangan lembutnya ke arahku.
“Sangat beruntung. Karena dia memilikimu” Jawabnya tulus. “kalau saja aku bisa memilikimu, Carla. Kau sangat spesial” Katanya. Aku hanya terperangah mendengar kata-katanya. Aku bahkan tdak pernah merasa diriku spesial. Aku jadi merasa dia sedang melamarku.
“Aku tak tahu aku begitu” Sahutku jujur.
“Kau spesial. Kau manusia pertama yang tak takut padaku, itu keren. Lalu, kau berusaha bernegosiasi denganku soal tempat tinggal, itu dua kali lipat lebih keren” Aku tertawa mendengarnya. Aku keren katanya? “dan yang terakhir, kau membuatku… well, setidaknya kau membuatku merasakan aku seperti hidup kembali, menjadi remaja seusiaku, menyukai seorang gadis” Rampungnya. “boleh aku meminta satu hal padamu?” Tanya Cesc kemudian. Cesc menyukaiku?
“Apa?” Balasku bertanya. Cesc menatapku dengan serius. Aku membalas tatapannya. Ada rasa iba mengaliri hatiku. Tentu saja, karena dia mati disaat remaja. Tentu saja dia pasti memendam keinginan untuk memiliki seseorang yang spesial. Tapi bukan berarti aku harus berpacaran dengannya kan? Maksudku, aku sudah punya pacar, aku sangat mencintai pacarku dan… Cesc hantu.
“Selagi aku hidup, aku belum pernah mencium gadis yang aku sukai, karena sebelum aku berhasil menemukannya, aku keburu mati” Jawabnya sambil terkekeh. Kemudian kembali menatapku dengan serius. “boleh aku menciummu?” Tanya Cesc. Aku mengerutkan dahi.
“Kau sudah menciumku dua kali hari ini” Jawabku. Cesc mendengus sambil tersenyum.
“Bukan… aku ingin menciummu, seperti dia menciummu” Jawabnya. Aku membelalakkan mata. Tapi sama sekali tak kuasa mengucapkan penolakkan. Kenapa sih Cesc menyebut Dani dengan ‘dia’. Cesc masih terpaku didepanku, menanti jawabanku. “kau boleh menolakku kok Carla, aku tidak memaksa” Katanya. Bukannya aku ingin menolaknya, maksudku, kalau aku membiarkannya mencium bibirku… apakah ini bisa disebut perselingkuhan? Tapi ini bukan karena cinta, ini hanya karena… aku memberinya kesempatan mencium seorang gadis, yang belum pernah dilakukannya semasa hidup. Ya, benar. Dan lagi, aku cukup penasaran, seperti apa rasanya berciuman dengan hantu? Hantu tampan? Daniel, aku mencintaimu. Aku hanya ingin… aku ingin apa? ugh! Daniel pokoknya aku hanya mencintaimu.
Aku menatapnya. Mengigit bibir bawahku. Aku benar-benar grogi. Persis seperti saat pertama kalinya Dani meminta izin untuk menciumku. Cesc hanya terdiam, seolah membiarkanku—memberiku kesempatan untuk berpikir. Aku menghela napas panjang.
“Kau boleh… menciumku…” Kataku akhirnya. Cesc tersenyum dan menatapku lembut. Ia membelai pipiku pengan punggung tangannya. Jantungku berdegup kencang saat wajah tampannya semakin dekat dengan wajahku. Entah sejak kapan aku kembali merasakan aroma manis sirup maple menguar di udara. Jarum jam serasa berhenti berdetik saat bibirnya menempel di bibirku. Dingin adalah kesan pertama yang kurasa. Cesc menyangga kepalaku dengan tangannya. Sedetik kemudian dia mulai mencium bibirku dengan mesra. Ciumannya begitu intens dan lembut. Bibir dinginnya melumat bibirku dengan perlahan. Tanpa sadar aku menggapai wajahnya dengan kedua tanganku. Menggenggamnya lembut. Aku membalas ciumannya. Sensasi berbeda benar-benar kurasakan. Ciumannya benar-benar berbeda dengan Dani. Aku tidak dapat mendefinisikan perbedaanya, hanya bisa kurasakan. Ini mungkin terdengar gila, tapi aku menyukainya. Cesc melepaskan ciumannya saat napasku mulai tak karuan. Dia menatapku lembut. Aku membalas tatapannya. Aku tak tahu seperti apa wajahku sekarang. Kemudian dia tersenyum dan kembali mengecup pipiku.
“Kau harus tidur Nona, ini sudah larut” Bisiknya di telingaku sambil membaringkan kembali tubuhku. “terimakasih, Carla” Katanya tulus. Wajahku pasti memerah sekarang. “wajahmu memerah lagi, favoritku” Katanya sambil terkekeh. Aku kemudian menarik selimutku hingga menutupi wajahku.
“Ugh!” Desahku. Aku hanya mendengar tawa renyahnya tanpa mampu melihat wujudnya. Gila! Aku pasti sudah gila! Yang benar saja… aku baru saja berciuman dengan hantu dan aku menikmatinya. Daniel aku mencintaimu. Maaf.

Aku terbangun di pagi harinya karena mimpi burukku. Lagi-lagi mimpi itu. Ada padang rumput gelap, Cesc, Dween, dan aku. Oke, kali ini bonus Dani. Aku juga tidak mengerti apa yang dilakukan Dani di sana. Kurasakan dahiku basah karena keringat. Napasku juga tidak beraturan.
“Carla? Kau sakit?” Tanya sosok tampan yang sudak tak asing lagi di mataku. Cesc menghampiriku. Ia membelai wajahku dengan tangan dinginnya. Oh, nyamannya.
“Sedikit kepanasan?” Jawabku asal. Kurasa aku sebaiknya tak usah menceritakan mimpi anehku yang terus berulang-ulang setiap malamya hingga aku jadi bosan sendiri. Aku menggapai tangannya dan meletakkannya di atas dahiku. Kurasa aku benar-benar tidak butuh air conditioner kalau ada dia. Cesc menatapku lembut. Ia mengulurkan tangannya yang lain untuk merengkuh tubuhku. Aku menyurukkan kepalaku di dada bidangnya. Aura dingin tubuhnya langsung melingkupi tubuhku yang panas. Nyaman.
“Harusnya kau bilang, aku bisa memelukmu semalaman kalau kau mau” Katanya lembut. Aku tersenyum mendengarnya. “tapi aneh juga ya, kau ini. Di luar sana sedang dingin lho” Lanjutnya.
“Yeah, mungkin tubuhku memang aneh” Jawabku sambil terkekeh dan melepaskan dekapannya. “aku sudah tidak kepanasan, trims” Kataku kemudian. Nanti aku malah jadi flu dibuatnya. Cesc lalu bangkit dari tempat tidurku dan mengulurkan tangan.
“Apa?” Tanyaku.
“Kurasa ini saatnya kau sarapan, nona” Jawabnya. Aku hanya terkekeh dan menggapai tangannya. Aku berusaha untuk tidak memikirkan ciuman kami semalam, dan kuharap berhasil.



Sirkuit

“Carla? Rambutmu…?” Dani terperangah melihat rambut baruku. Persis Abbey dan Dann kemarin. Hari ini aku akan menepati janjiku untuk menemani Dani balap.
Aku mengerti ekspresi Dani, karena selama Dani berpacaran denganku, aku memang tidak pernah merubah tatanan rambutku secara drastis seperti sekarang—hanya kubiarkan panjang begitu saja. Aku mengenakan sweater ber turtleneck dengan celana hitam yang dibelikan Olie tempo hari.
“Apa? Aku jelek ya?” Tanyaku. Sambil mengunci pintu flatku. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan aku harus ikut dengannya ke sirkuit balap.
“Ngaco! Kau cantik sekali!” Kata Dani sambil merengkuh pipiku.
“Oh, jadi sebelum ini aku jelek ya?” Candaku sambil merajuk. Aku paling suka menggoda Dani dengan cara ini.
“Bukan itu maksudku, Carla. Kau selalu cantik di mataku” Katanya. Aku tertawa dan menggenggam tangannya.
“Jadi kita langsung ke sirkuit? Apa tidak terlalu pagi?” Tanyaku saat Dani menghidupkan mesin mobilnya
“Memang terlalu pagi untuk penonton biasa, tapi penonton spesial sepertimu sih, jelas tidak” Kata Dani sambil menyerahkan sebuah kalung dengan data identitasku, semacam nametag. Ada fotoku segala. Dari mana dia dapat foto ini? Ah, tidak usah kutanyakan, tidak begitu penting. Namaku tercetak dengan hutuf tebal, di bagian bawahnya ada huruf besar-besar bertuliskan VVIP INVITED GUEST. Wow, VVIP? Aku terus memerhatikan nametag itu hingga Dani merengkuh wajahku dan memalingkannya ke arahnya.
“Aku lebih suka kau memandangiku daripada kartu bodoh itu, Sayang” Desah Dani sambil mulai mencium bibirku dengan mesra. Hal yang mengingatkanku akan ciuman Cesc tempo hari. Jantungku berdegup kencang tatkala aku malah semakin menyadari perbedaan ciuman yang kurasakan saat Dani menciumku. Aku sudah berusaha keras untuk menyingkirkan bayangan saat aku berciuman dengan Cesc beberapa hari ini dan berhasil, ditambah lagi Cesc memang tidak mengungkitnya. Tapi saat ini, semuanya justru seolah melompat keluar dari kepalaku. Bibir Cesc yang dingin dan wangi sirup maple yang manis, jelas tak akan kudapatkan dari manusia hidup seperti Dani. Tak terasa aku malah mengabaikan ciuman Dani dan berkonsentrasi untuk mengenyahkan bayangan Cesc yang sedang menciumku, bibir dinginnya yang lembut dan rasa manis sirup maple... Aku tak seharusnya terbayang orang lain saat sedang bersama Dani. Dani melepaskan ciumannya dan kembali menjalankan mobilnya. Ternyata tadi itu berhenti karena lampu merah.
“Ada apa Carla? Kenapa kau kaku sekali?” Tanya Dani. Ternyata dia menyadari kepasifanku. Aku mengigit bibir bawahku karena gugup. Apa yang harus kukatakan? Tiba-tiba saja aku merasa bersalah padanya. Aku benar-benar merasa sedang berselingkuh saat ini, yang sebenarnya tidak. Aku tidak berselingkuh kan? Oh! Ini menjengkelkan.
“Maaf, aku hanya… kaget” Jawabku. Aku meliriknya dan Dani sedang memandangiku dengan sudut matanya. Aku memutar otak untuk mencari alasan “kau tidak pernah menciumku di tempat umum” Lanjutku.
“Kita masih di dalam mobil, Carla” Katanya sambil mengelus pipiku. Dani tersenyum saat menyadari wajahku yang memerah. Jalanan yang mengarah ke selatan masih sepi sehingga kami sampai dalam waktu singkat. Tempat parkir khusus terletak agak di dalam dan masuk ke sebuah terowongan panjang. Dani mematikan mesin mobilnya dan melepas seatbelt. Sisa perjalan tadi aku benar-benar hanya memikirkan satu hal. Bagaimana mungkin aku membayangkan ciuman Cesc? Padahal beberapa hari kemarin aku sukses menyimpanya di dasar kepalaku. Dan kenapa saat sedang berciuman dengan Dani?
“Carla, kau baik-baik saja kan?” Tanya Dani yang menyadari aku sedang melamun. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku dan mengamati sekujur wajahku.
“Aku tidak apa-apa kok…” Jawabku sambil mengelus pipinya dan tersenyum. Ia kemudian tersenyum dan membantuku melepas seatbeltku. Aku menahan tangannya saat ia bengkit. Kuperhatikan parkiran itu sangat sepi dan hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. “mau cium aku sekali lagi? Maaf tadi aku mengacuhkanmu” Kataku. Dani tersenyum dan menempelkan bibirnya di bibirku. Bayangan Cesc muncul lagi, namun sebelum bayangan itu semakin jelas dan menebal, buru-buru kuenyahkan dan kutindih dengan bayangan lain, bayangan Dani. Kekasihku.
“Aku seperti sedang berciuman dengan patung tadi” Bisiknya di telingaku. Tangan Dani membelai wajahku lembut.
“Maaf…” Jawabku. “aku janji tidak akan terjadi lagi” Kataku. Tapi itu terdengar seperti aku-lah yang sedang meyakinkan diriku sendiri. Dani terkekeh.
“Kau seperti sedang memikirkan hal lain” Katanya sambil mengecup daguku. “aku salute, bagaimana kau bisa melakukannya? Kalau aku, pasti sudah lupa segala-galanya saat menciummu” Aku Dani. Aku tersenyum. Kalau kukatakan apa yang kupikirkan aku tak yakin Dani akan percaya dan akan menganggap aku sudah gila. “ayo, kau tahu aku bisa saja menghabiskan sisa hari ini dengan berciuman denganmu kalau tidak harus balapan” Katanya sambil membuka pintu mobilnya. Aku tertawa mendengar pernyataannya sambil mengalungkan nametag di leherku. Dani memberikanku kaca mata hitamnya.
“Untuk apa?” Tanyaku. Dani merebutnya kembali dan memakaikannya untukku.
“Di sana akan banyak sekali wartawan dan kamera, setidaknya ini bisa membantumu menghindari tatapan mereka secara langsung” Kata Dani.
“Yang kau maksud mungkin menghindari ‘sorotan kamera’ secara langsung?” Tanyaku.
“Yeah,” Jawabnya sambil menahan tawa. Ia lalu menyisipkan jarinya di sela-sela jariku. Aku meremas tangannya lembut. Oke, aku siap menghadapi segala jenis kamera.
***

Aku diajak berjalan-jalan berkeliling area sirkuit oleh Dani dengan skuter matic. Ini adalah pertama kalinya Dani memboncengku naik motor. Ya, dia memang pembalap tapi ia hampir tidak pernah naik motor di luar sirkuit. Aku tahu ia punya sebuah sepeda motor tapi hanya sesekali dikendarainya. Itupun disimpannya di rumah orang tuanya di Barcelona. Aku memeluk pinggangnya, menyandarkan tubuhku ke punggungnya. Aneh juga, karena biasanya aku memeluk tubuh bagian depannya. Tapi begini ternyata sangat nyaman.
“Tidak perlu pegangan seerat itu, Carla. Aku tidak sedang menantangmu kebut-kebutan” Kata Dani sambil memelankan laju skuternya agar bisa ngobrol denganku, bisa kudengar tawanya.
“Biar saja” Kataku sambil mempererat pelukanku di pinggangnya. Kami memutari sirkuit dan menikmati pemandangan sekitar sirkuit yang hijau dan menyegarkan. Sesekali kami menemui para petugas sirkuit yang melambaikan tangannya ke arah Dani—jelas, mana mungkin ke arahku. Juga beberpa juru foto yang menjepret kami. Aku yakin salah satu dari hasil jepretan itu akan sampai ke tangan fan Dani, meng-uploadnya ke sebuah forum dan mendiskusikannya sepanjang minggu. Oh indahnya.
Sesekali Dani menjelaskan hal-hal kecil tentang balap dan juga tentang sirkuit ini di tengan perjalanan. Laju motornya membuat rambutku tertiup angin pagi yang cukup dingin. Setelah memutari sirkuit, Dani menjalankan motornya ke arah belakang sirkuit, tempat truk-truk besar pengangkut perlengkapan balap diparkir. Warna-warna mencolok membuat truk-truk raksasa itu meriah, seperti sedang dipajang khusus untuk festival. Dani mengambil race suitenya di salah satu truk besar. Aku mengekor di belakangnya. Lalu ada seorang pria yang menyapanya. Kelihatannya seseorang yang bekerja di truk ini. Terlihat dari kemeja yang dikenakannya, sewarna dengan logo di sisi truk.
“Hey! Daniel!” Sapanya penuh senyum. “Kau harus menangkan seri ini!” Katanya ceria sambil menepuk punggung Dani. Kelihatannya mereka sudah saling kenal. Karena Dani tidak mungkin bersikap ramah pada orang yang tidak dikenalnya.
“Aku akan berusaha semampuku” Kata Dani.
“Yeah, kau harus! Kita bisa berpesta nanti malam. Maksudku, kalau kau memenangkan seri ini, kau akan langsung jadi juara dunia!” Kata pria itu antusias. Hah? Bukannya seri masih tersisa beberapa? Kenapa dia bilang Dani bisa langsung di nobatkan menjadi juara dunia? Ugh! Kurasa ketololanku soal balap benar-benar parah. Tapi ini keterlaluan. Aku bahkan tidak tahu Dani sudah sedekat itu dengan titel juara.
“Eh, apa gadis itu bersamamu…?” Kata pria itu menyadari keberadaanku.
“Oh, maaf kau belum sempat bertemu dengannya… Carla, kemari. Kenalkan, ini Anton, dia bekerja di sini. Well, dia temanku. Nah Anton, ini Carla, pacarku” Dani memperkenalkan kami. Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku yang disambut hangat olehnya.
“Hai, senang bertemu denganmu” Kataku.
“Hai, Carla. Akhirnya bisa bertemu! Dani selalu membicarakanmu, dan jadi semakin parah kalau dia mabuk—Hey, Dani. Kenapa baru sekarang kau membawanya?” Kata Anton masih sambil menjabat tanganku. Aku membelalakkan mata mendengarnya. Ucapan macam apa yang mungkin keluar dari mulut orang yang mabuk? Dani menarik tanganku.
“Karena kau pasti akan langsung naksir padanya” Ledek Dani. Kami tertawa bersama dan Dani langsung menyeretku keluar truk.
“Okay, aku tak tahu kau suka mabuk-mabukan” Sindirku.
“Tidak seburuk yang kau bayangkan Carla, kami hanya keluar bersama setelah balap dan minum, tidak mabuk-mabukan seperti orang patah hati oke?” Kata Dani sembil tertawa.
“Dan aku khawatir kau membicarakan kejelekanku saat mabuk” Sahutku sambil melipat lenganku di depan dada.
“Oh Carla! Aku yakin hanya membicarakan yang bagus-bagus saja walau mabuk, dan aku hanya bicara dengannya, jangan khawatir, kau tahu kan aku tak mudah dekat dengan orang?” Aku mengangguk sebagai respon. Dia hampir sama sepertiku, malah lebih parah, karena Dani sangat, luar biasa dingin pada orang lain. Dia bahkan jarang sekali tersenyum, berbanding terbalik saat dia sedang bersamaku. Dan, Dani bukan tipe pemabuk yang besar mulut, jadi kurasa dia tak bicarakan yang aneh-aneh tentangku.
Sesuai perkataannya, Dani memang tidak mudah dekat dengan orang lain. Aku pernah membaca posting di forum fansnya dan mereka mencintai sifat Dani yang seperti itu, menjulukinya ‘ice man’ dan meng-upload foto-foto candid wajah Dani yang selalu serius, datar dan tanpa senyum. Tapi mereka langsung menggantinya jadi ‘cute little spaniard’ saat mereka meng-upload video Dani saat memenangkan race dan berdiri di podium, tersenyum puas dengan mata berbinar. Hah.
Aku meraih plastik yang berisi race-suit, sarung tangan dan sepatu balap yang tadi diambilnya dari dalam truk, dan kupeluk erat di dadaku sementara Dani memutar sepeda motornya. Aku sudah tidak sabar melihatnya memakai perlengkapan balapnya.
“Maaf ya, aku bahkan tidak tahu seri ini begitu penting untuk titel juaramu” Kataku ditengah perjalanan kami kembali ke paddock. Itukah alasan yang membuatnya begitu ngotot ingin mengajakku menonton balapnya hari ini? Oh, aku benar-benar tolol.
“Itu tidak penting Carla, yang penting adalah kau ada di sini sehingga bisa melihatku memenangkan gelarnya. Aku janji akan memenangkan gelar tahun ini untukmu” Katanya.
“Kau sudah memenangkannya juga untukku tahun lalu, masa kau mau memberikannya lagi untukku sih?” Aku jadi teringat peristiwa tahun lalu saat Dani menyatakan perasaannya dengan piala juara seri terakhirnya.
“Tak terasa sudah hampir setahun ya?” Kata Dani sambil memelankan laju motornya. Aku tersenyum. Sudah hampir setahun kami bersama-sama. Aku tersenyum.
“Daniel, aku mencintaimu” Kataku dari balik punggungnya dan mempererat dekapanku walau laju motor matic ini tak seberapa cepat.
“Aku tahu bagaimana aku mencintaimu” Balasnya.
***

Dani duduk sambil memandngi kertas-kertas data balapan sambil berdiskusi dengan beberapa staf timnya. Menggunakan bahasa-bahasa balap yang tak begitu kupahami. Paddock yang didominasi warna biru itu mendadak ramai menjelang balap dimulai. Suasana paddock cukup terkesan serius dan semuanya dilakukan dengan sangat cepat, tepat. Namun aku tak memungkiri suasana nyaman dan akrab di tempat kecil ini. Saat pekerjaan mereka dirasa cukup, merekapun mulai membicarakan hal-hal ringan yang terjadi beberapa hari teakhir, termasuk keanehan Dani saat menyamar. Ternyata para kru juga sependapat denganku. Cara menyamar Dani itu sangat buruk dan malah menegaskan bahwa dirinya sedang menyamar. Mereka saling memberi komentar tentang cara menyamar yang baik. Suasana nyaman di dalam paddock, yang tadinya kukira akan sangat kaku dan serius. Aku sudah seperti berkawan lama dengan para kru yang baru kukenal hari ini dan sambutan mereka kepadaku juga sangat baik. Kurasa aku memang seharusnya punya teman lebih banyak.
Dani memberiku sepasang ear-buds saat suara mesin motor mulai menggema tanda balap segara dimulai. Aku memasang keduanya di telingaku. Cukup meredam suara bising walau aku masih cukup terganggu dengan derunya. Melihat Dani mengenakan race suitnya membuatku tersipu sendiri. Dia jadi sangat berbeda saat mengenakan baju balap itu. Terlihat lebih… gagah. Juga sorot matanya yang fokus dan serius, cukup mengalihkan perhatianku dari bisingnya arena paddock.
“Carla, mau jadi umbrella girl-ku?” Tanya Dani dan menyadarkanku dari lamunan. Dia berlutut di depanku yang sedang duduk di kursi lipat hingga wajah kami sejajar.
“Hah? Apa? Maksudku, bukannya kau tidak pernah didampingi umbrella girl?” Tanyaku.
“Memang tidak, menurutku umbrella girl kan tak lantas membuatmu menang” Jawab Dani. Pada awalnya, kupikir dia tak menggunakan umbrella girl karena takut aku cemburu, tapi setelah kuselidiki di forum-forum fansnya di internet, ternyata Dani memang tidak pernah didampingi umbrella girl selama karier balap profesionalnya. Memang aku saja yang ge-er. “tapi berhubung ada kau, aku akan senang sekali didampingimu sampai ke tengah sirkuit” Kata Dani. Aku mengerutkan dahi. Menjadi umbrella girl berarti tersorot kamera yang akan menyiarkan gambarmu ke seluruh dunia. Aku mengalihkan pandanganku ke luar paddock, beberapa umbrella girl berjalan dengan pakaian minim dan make-up tebal sambil mengobrol. Aku mengernyitkan dahi dibuatnya. Kalau Olie yang menjadi umbrella girl mungkin masih pantas. Nah kalau aku?
“Dani, kurasa aku… err… kau tidak marah kan?” Kataku. Aku jelas kalah seksi dan kalah cantik dari mereka. Tinggiku badanku juga tidak sebanding.
“Oh, ayolah, Carla… sekali ini saja” Bujuk Dani dengan wajah memelas, membuatku merasa tak enak hati. Aku menghela napas dan mengambil kaca mata hitam di atas meja kecil di sampingku, lalu mengenakannya.
“Oke, sekali ini saja ya?” Hitung-hitung menyemangatinya agar bisa menang seri ini. Dani tersenyum lebar sambil merengkuh wajahku.
“Umbrella girl tercantik yang pernah kutemui” Katanya.
“Cih, jangan merayuku dengan kata-kata itu lagi, oke?” Dani terkekeh mendengarnya. Dani kemudian bangkit dan mengenakan helmetnya. Mr Puig menyerahkan sebuah payung berwarna biru dengan strip putih kepadaku.
“Hari ini spesial. Gelar juara hampir pasti di tangan dan didampingi umbrella girl pribadi” Godanya. Aku tersenyum tersipu.
Aku memerhatikan para kru sibuk melakukan semacam final check untuk motor Dani saat tiba-tiba Dani datang menghampiriku dan membuka helmetnya.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Aku lupa jimat keberuntungannya” Katanya sambil merengkuh wajahku dan mencium bibirku. Aku membalas ciumannya. Ciuman yang singkat tapi berarti banyak.
“Semoga benar-benar membawa keberuntungan” Kataku saat Dani mengenakan helmetnya lagi.
“Pasti” Jawabnya yakin.

***

Sorak sorai dan teriakan bahagia membahana di seisi paddock. Balapan baru saja berakhir dan Dani memenangkannya. Itu berarti, titel juara dunia praktis dalam genggamannya meski seri masih tersisa dua. Mr Puig memelukku erat dan tak henti-hentinya bersorak sorai. Semua kru juga menggila dengan melempar kertas-kertas. Akupun jadi terbawa suasana dan ikut bersorak senang. Balapan tadi memang cukup menegangkan. Karena pertarungan sengit antara Dani yang menunggangi motor biru dengan si pembalap bermotor hitam berlangsung hingga lap terakhir. Di lap terkhir itulah Dani berhasil merebut kembali posisinya yang sempat direbut lawannya itu pada lap ke sembilan belas.
“Ayo Carla! Ikut ke podium!” Ajak Mr Puig sambil menggenggam tanganku. Kami berlari pelan sambil tetap bergandengan tangan. Kalau sedang seperti ini kami berdua jadi seperti ayah dan anak. Yah, karena kukira usianya tak beda dengan ayahku, tapi jangan tanyakan semangatnya, kurasa ia lebih bersemangat dibanding anak sepuluh tahun. Sepanjang jalan menuju podium banyak sekali para pendukung Dani yang sudah berkumpul dan menepuk-nepuk ringan punggung Mr Puig, dan bahkan ada juga yang menepuk punggungku. Kami sampai di sisi tempat parkir motor-motor para juara dan segera berkumpul di belakang papan pembatas. Beberapa saat kemudian Dani datang dengan motornya, dengan dibantu beberapa kru, ia langsung melompat ke arah kami setelah memarkir motornya. Mr. Puig langsung menyambutnya dengan pelukan dan tak henti-hentinya meneriakkan kata ‘Selamat!’ Dani juga memeluk para kru-kru yang lain. Dani lalu melepas helmetnya. Rambutnya agak basah oleh keringat, namun pancaran sinar matanya dan ekspresi wajahnya tak menggambarkan kelelahan sama sekali. Ia bahagia, tentu saja.
“Carla!” Serunya sambil memelukku erat.
“Selamat, Dani!” Ucapku dan membalas pelukannya. Aku melingkarkan lenganku dan memeluknya erat. Aku bisa merasakan tekstur race suitnya yang tebal melapisi tubuh Dani.
“Untukmu, Sayang” Bisiknya di telingaku. Beberapa orang yang tidak kukenal datang menghampiri kami dan disambut Dani dengan pelukan. Suasana sangat meriah di sekitarku. Aku tidak pernah berada pada situasi se-ramai ini dan dikelilingi orang-orang yang tidak ku kenal. Pesta terramai yang pernah kudatangi adalah pesta kelulusan SMU. Oke, konyol, tapi begitulah keadaannya. Sorak sorai penuh kebahagiaan membahana dari segala sisi. Wajah Dani yang ceria dan bersinar solah menjadi magnet keramaian. Segala juru foto dan kamera-kamera televisi langsung mengerumuninya dan berebut ingin mewawancarai Dani. Salah seorang keamanan langsung memanggil rekannya dengan semacam walkie talkie untuk menertibkan keadaan dan membawa Dani memasuki sebuah pintu di dekat podium.
Beberapa saat kemudian Dani sudah berdiri di atas podium sambil melambaikan tangan. Podiumnya berada di sebuah atap bangunan yang pintu masuknya dilalaui Dani dengan petugas keamanan tadi. Jaraknya tidak terlalu tinggi, hingga kami bisa melihat dengan jelas prosesi podiumnya. Momen inilah yang paling mengharukan untukku dan untuk semua pendukung Dani kurasa. Disaat lagu kebangsaan kami diputarkan. Kibaran bendera yang ditiup angin, suasana hening yang khidmat, juga sensasi menggebu dalam hati. Tak terasa aku menitikkan air mata. Aku memerhatikan Dani. Semua orang disana memerhatikan Dani. Dialah pusat dunia hari ini. Ia melambaikan tangannya ke arah kami sesaat setelah lagu kebangsaan kami selesai dikumandangkan. Aku bisa merasakan dia sedang melihatku. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar ia menatapku, yang jelas pendanganku tak pernah berpindah darinya. Beberapa pendukung Dani sengaja mencat wajah mereka dengan tinta biru, berpakaian serba biru dan membawa bendera besar-besar bertuliskan nama Dani. Mereka mulai merangsek masuk area podium. Perlahan tapi pasti, tempat itu jadi dipadati ratusan pendukung Dani. Para petugas keamanan agak kerepotan menghalau para pendukung yang kian bertambah jumlahnya. Suasana semakin tak terkendali saat Dani menerima piala dan melakukan wine celebration. Para pendukung Dani mulai menerobos masuk ke area kru dan Mr Puig langsung menarikku menghindari keramaian. Ia menggenggam tanganku erat dan membawaku menerobos beberapa petugas sirkuit dan masuk ke sebuah bangunan di sisi lain podium. Menerobos keramaian ternyata bukan hal mudah. Beberapa kali kami terhimpit oleh petugas keamanan yang berusaha membuka jalan untuk kami dan kakiku juga sempat terinjak beberapa kali. Sayang sekali, padahal aku masih ingin melihat Dani di atas podium. Aku bersedia kok berdesak-desakan sedikit dengan para fans Dani.
Kurasakan sedikit nyeri pada tanganku saat kami sampai di sebuah ruangan bersama dengan pra kru yang lain. Mereka jadi ribut sendiri membahas kelakuan para fans yang mulai tak beradab.
“Astaga Carla, apa aku menarik tanganmu terlalu keras?” Tanya Mr Puig saat mendapatiku menggenggam pergelangan tanganku sendiri.
“Err… tidak kok, aku baik-baik saja” Dustaku.
“Coba kemarikan, biar kulihat… Dani tidak akan memaafkan aku jika aku mematahkan tanganmu Sayang” Candanya. Aku langsung mengulurkan tangan kananku kepadanya sambil tertawa. Dia benar-benar seperti ayahku. Mr Puig meluruskan tanganku dan mulai meraba pergelanganku. Aku mendesis nyeri saat ia menekan sisi pergelangan tanganku.
“Oh, kau terkilir,” Desahnya.
“Kukira juga begitu” Jawabku.
“Hey, bawa Robert ke sini, Carla terkilir” Kata Mr Puig pada para kru.
“Aku saja” Kata salah seorang di antara mereka. Oh tidak, aku sudah merepotkan banyak orang, dan siapa Robert? Aku kan hanya terkilir. Jangan bilang pria yang bernama Robert itu adalah dokter spesialis tulang yang terkenal. Aku mengernyitkan dahi membayangkan aku harus diangkut dengan ambulans hanya karena pergelangan tangan yang terkilir.
“Tunggu sebentar, Carla” Kata Mr. Puig sambil beranjak meninggalkanku. Ia mengambil sebuah kursi lipat dan memersilahkan aku untuk duduk. Dia bahkan melap alas kursinya lebih dulu. Aku tidak tahu kalau Mr Puig bisa seramah ini. Maksudku, aku memang belum pernah terlibat pembicaraan akrab dengannya selama ini. Salah seorang kru membawakaknku sebotol air mineral, dia bahkan melepaskan segelnya segala untukku.
“Minumlah” Katanya ramah.
“Oh, aku bisa ambil sendiri. Tolong jangan repot-repot begini” Kataku dengan nada tak enak. Mr Puig menghampiriku dan membimbingku untuk duduk.
“Tidak repot, Carla. Saa sekali. Kau tamu kehormatan hari ini, jadi harus diperlakukan baik juga. Dani kan jarang sekali membawamu ikut. Karena biasanya hanya ayahnya yang ikut ke paddock. Terima kasih sudah datang. Kau tahu? Suasana hari ini begitu berbeda karena ada kau” Jelasnya. “lagipula aku sudah mencederai tanganmu” Lanjutnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya. Apa kehadiranku begitu memberi pengaruh? Ah, kurasa Mr Puig hanya sedang bermanis-manis saja denganku. Tapi aku menghargainya.
“Aku harusnya berterima kasih karena Anda sudah membawa saya keluar dari serbuan penonton diluar sana” Kataku.
“Ya, sudah tugasku” Jawabnya. “Oh, ya… jangan terlalu resmi begitu, memangnya aku terlihat setua itu ya?” Tanya Mr Puig yang disambut gelak tawa para kru lainnya. Aku juga jadi ikut tertawa dan melupakan sedikit rasa sakit di pergelangan tanganku.
“Tidak, kurasa kau jauh lebih tampan dari Dani” Candaku.



Serangan

“Apa tanganmu masih sakit?” Tanya Dani. Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju flatku. Aku melirik jam tangannya dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku tidak tahu kalau ia dan semua pembalap baru bisa pulang setelah melakukan serangkaian sesi yang tidak disiarkan di TV. Dan itu benar-benar lama. Sesi wawancara, tes motor, wawancara lagi setelah tes, konferensi pers, sesi foto, bla bla bla. Suasana kemenangan yang tadi sangat kunikmati jadi menguap begitu saja. Well, mungkin hanya aku yang merasakannya karena kru-kru yang lain tetap bersorak-sorai selama sesi.
“Oh, ya ampun Dani, kau sudah delapan kali menanyakannya dan jawabanku untuk yang ke delapan kalinya adalah; aku baik-baik saja” Jawabku dengan sedikit kesal.
“Kau kelihatan lelah” Desahnya. Ia mengulurkan tangannya dan membelai pipiku. Ya, dia benar. Aku ngantuk sekali.
“Aku ngantuk” Jawabku.
“Izinkan aku memberi perutmu asupan makanan terlebih dahulu sebelum kubiarkan kau tidur lelap” Katanya saat kami mulai memasuki sebuah kompleks apartemen. Kami berjalan beriringan menuju sebuah restoran di lantai paling atas sebuah gedung apartemen.
Lagi-lagi restoran mewah yang mejanya besar-besar dan dengan penerangan remang dan warna-warna lembut. Aku sempat ingin protes dan memintanya memabawaku ke Mc.D namun kuurungkan karena aku sudah ngantuk sekali. Aku meninta Dani memesankan makanan untukku, dan dia tak berkata macam-macam namun langsung memilihkan makanan untukku. Mataku terlalu berat untuk kugunakan membaca nama-nama makanan di buku menu yang besar dan tebal itu.
Setelah makannannya datang, aku segera meraih sendok tanpa menghiraukan nyeri di pergelangan tanganku, menghabiskan porsiku dan merebahkan kepalaku di meja. Kurasakan tangan Dani mengelus rambutku.
“Maaf karena membuatmu jadi lelah sekali hari ini” Katanya lembut. Aku meraih tangannya dan meremasnya lembut.
“Aku hanya ngantuk” Kataku lemas. Entah apa lagi yang terjadi setelahnya namun kurasa aku sudah tertidur di atas meja restoran malam ini.
***

Padang gelap, bulan penuh dengan pendar keperakan, dan orang-orang berjubah panjang.
Entah sudah berapa kali aku memimpikan hal ini. Aku mulai bosan. Ayolah, masa mimpiku ini-ini terus? Apakah mimpi orang lain juga berulang-ulang sepertiku? Kenapa aku tak memimpikan Dani? Ugh!
“Selamat pagi Nona” Sapa suara yang sudah tak asing lagi bagiku. Cesc.
“Cesc?” Gumamku. Kesadaranku pun semakin berkumpul. Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Cahaya matahari yang masuk menerobos di sela-sela gordyn menyilaukanku.
“Ya?” Jawabnya. Aku bangkit dan beranjak duduk di atas tempat tidurku. Cesc menjawabnya dengan duduk di sampingku. Tunggu dulu. Bukannya semalam aku sedang bersama Dani?
“Mana Dani?” Tanyaku.
“Dia hanya mengantarmu pulang lalu pergi” Jawab Cesc sambil menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahku. Tangannya yang dingin seolah mengalirkan sulutan listrik di atas kulitku. Tanpa sengaja aku bergidik karena rasa dingin yang tiba-tiba.
“Maaf” Katanya sambil menarik tangannya kembali. Aku meraih tangannya kembali dan meletakkannya di pipiku. Disentuh olehnya pagi ini adalah hal yang menyenagkan. Aku memejamkan mata menikmati suhu tangan Cesc. Hingga tiba-tiba kusadari rasa nyeri di pergelangan tanganku. Pergelangan tanganku seolah berdenyut-denyut dan rasanya ngilu sekali.
“Eh? Kau baik-baik saja?” Tanya Cesc sambil meraih tanganku yang sakit. Suhu tubuhnya yang dingin secara ajaib mengurangi rasa sakit di tanganku.
“Keberatan tidak kalau kau menggenggam tanganku seharian ini?” Tanyaku.
“Hah?” Wajah tampannya mengisyaratkan kebingungan.
“Tanganku terkilir dan rasanya nyeri sekli. Tapi kau baru saja membuatnya baikan” Jelasku.
“Aku tak lakukan apapun” Katanya.
“Kau menyentuhnya” Kataku lagi.
“Hmm?”
“Suhu tubuhmu membuat rasa sakitnya mereda”
“Oh” Cesc kemudian tersenyum dan kembali menggenggam tanganku. Aku menghela napas panjang dan menikmati rasa sakit itu perlahan-lahan pergi.
“Benar-benar menghilangkan sakit?” Tanya Cesc dengan suara tak percaya.
“He eh” Jawabku sambil tetap memejamkan mata. Sensasi dingin di tanganku benar-benar membuatku relaks. Sampai aku merasakan sentuhan dingin lainnya menjalari kulit wajahku. Aku membuka mata perlaan. Ternyata itu tangannya yang lain. Jari telunjuk dan tengahnya menelusuri pelipis hingga ke rahangku. Dengan refleks aku meraih tangan dinginnya dengan satu tanganku, sementara tangan kananku masih dalam genganggamannya. Cesc tersenyum memandangiku. Aku membalas senyumannya.
“Bagaimana rasanya?” Tanya Cesc.
“Luar biasa lebih baik” Jawabku yakn saat kurasakan pergelangan tanganku tak sakit lagi.
“Kupkir semalam kau sakit saat dia menggendongmu pulang” Kata Cesc sambil meletakkan kedua tangnnya di pipiku. Ia mengecup dahiku lembut. “Terus terang saja… aku panik” Desisnya di telingaku. Aku melonggarkan jarak di antara kami agar aku bisa melihat kedua matanya yang merah membara. Indah. Aku cukup heran akan bias pesonanya yang tak kunjung pudar meski aku sudah bersamanya setiap hari. Dia tetap terlihat luar biasa untukku.
“Aku hanya mengantuk… dan aku tertidur di meja restoran. Konyol ya?” Tanyaku sambil tertawa. Cesc tersenyum manis menanggapinya. Jemarinya masih menelusuri lekuk wajahku. Tatapan matanya yang lembut sangat menentramkan. Dan membius. Aku terus terpaku pada kedua matanya hingga tak kusadari wajahnya kian dekat ke wajahku. Perlahan tapi pasti Cesc kembali menempelkan bibirnya di bibirku. Kami berciuman lagi. Ah. Aku tak tahu apakah ini benar atau salah. Tapi… aku sama sekali tak kuasa menolaknya. Ciumannya kali ini semakin mempertegas perbedaan antara ciumannya yang lembut dan manis dengan ciuman Dani yang intens dan membakar. Manisnya sirup maple meresapi indera perasaku. Juga hawa dingin yang menguar di sekitar tubuhnya yang terasa masuk ke dalam paru-paruku. Aku menyukainya. Bukan berarti aku tidak menyukai ciuman Dani, bukan. Bagiku saat berciuman dengan Dani adalah hal terindah yang mungkin bisa kubayangkan dalam hidupku. Tapi ciuman Cesc begitu…
“Carla,” Desahnya sambil melepaskan kecupannya. Aku menatap kedua matanya lekat-lekat. Aku ingin sekali mempertegas semuanya. Sebagian dari diriku menolak ini dan sebagian lainnya menyukainya. Sebagian diriku yang menolak merasa aku sedang mengkhianati Dani dan sebagian diriku yang lain membantahnya; Cesc bukan manusia.
“Sebenarnya… kita ini… apa?” Tanyaku.
“Aku tidak mengerti pertanyaanmu” Jawab Cesc.
“Kau menciumku”
“Ya”
“Kau tahu, yang seperti ini namanya ‘friend with benefits’” Istilah yang banyak digunakan orang yang tidak ingin memiliki ikatan emosional yang lebih dari teman tapi memiliki hubungan fisik. Teman tapi mesra? Benarkah hubunganku dengan Cesc jadi seperti itu? Tapi aku sudah punya pacar? Apa aku berselingkuh?
“Tidak ada yang seperti itu disaat aku masih hidup kau tahu?” Sahut Cesc. Dia kembali menyentuhkan bibirnya di bibirku.
“Aku merasa seperti sedang berselingkuh” Ucapku di sela ciumannya. Aku ingin tahu apakah dia pernah memikirkan aku dan Dani. Dan apa yang dilakukannya dapat memengaruhi hubunganku dengan Dani.
“Kau tidak berselingkuh Carla” Jawabnya. “aku tak benar-benar ada. Dan aku juga tidak berusaha mengambilmu darinya” Aku menghela napas dan memejamkan mata. Cesc menyandarkan dahinya di dahiku.
“Aku hanya ingin… merasakan yang belum pernah kurasakan… aku ingin… memiliki seseorang yang kusayangi…” Cesc tak melanjutkan kalimatnya. “berhentilah beranggapan kalau kau berselingkuh Carla. Kau mencintai dia, itu sudah jelas” Aku tak berselingkuh, Ya. Aku mencintai Dani lebih dari apapun di dunia ini, Ya. Aku tak menginginkan orang lain untuk mencintaiku selain Dani, Ya.
“Kumohon ijinkan aku menyayangimu seperti yang dia lakukan kepadamu Carla, aku tak meminta kau membalasnya, aku hanya ingin kau menerimanya” Bisik Cesc. Aku mengangguk ringan. Perasaanku tetap terasa sama mengganjalnya. Aku tak berselingkuh. Fakta itu membuat beban di kepalaku terangkat. Tapi sekaligus membuat aku terus berpikir. Apakah ini tidak apa-apa? Tidak hanya untuk Dani, tapi untukku? Dan untuk Cesc juga. Kami terdiam beberapa saat.
“Kau harus sarapan” Aku mengangguk. Hanya dia yang tahu tentang jadwal makanku yang tak boleh lompat. Untuk alasan penyakitku tentu saja. Dani tidak tahu dan aku tidak berencana untuk memberitahunya. Aku tidak ingin merepotkannya lebih dari yang sudah. Aku juga sudah berpesan pada ibuku untuk tidak bercerita tentang sakit lambungku yang konyol dan aneh ini.
“Ya” Jawabku lemah. Cesc mengecupi daguku beberapa kali sambil menarikku bangkit dari tempat tidur. Ia melingkarkan lengannya di pinggangku.
“Hey, aku mau coba sesuatu” Katanya. Jelas sekali dia sedang mencoba memperbaiki mood.
“Apa?”
“Pejamkan matamu” Pintanya. Tanpa banyak tanya aku langsung memejamkan mataku. Sedetik kemudian kurasakan tubuhku seperti melayang dan udara di sekitarku bergerak. Aku juga mencium wangi manis sirup maple samar di udara di sekitarku. Kejadian yang hanya sepersekian detik. Hampir tak terasa.
“Sekarang buka matamu” Kata Cesc lembut. Perlahan kubuka mataku dan aku mendapati wajahnya dihadapanku.
“Apa?” Tanyaku bingung.
“Kau tidak sadar kita ada dimana?” Tanya Cesc sambl terkekeh. Dengan sigap aku langsung memalingkan wajahku dari wajah sempurnanya dan menyaksikan bahwa kami berdua sedang berada di dapur. Tunggu dulu… bukannya tadi kami masih berada di dalam kamar?
“Apa yang kau lakukan?!” Tanyaku spontan. Cesc mengembangkan senyuman khasnya.
“Waktu itu kau pernah bilang ingin berteleport sepertiku… yah, karena kau masih hidup, aku tak bisa mengajarkannya, makanya kubawa kau berteleport saja. Bagaimana rasanya?” Tanya Cesc sambil berjalan ke arah kursi yang biasa di tempatinya saat sedang menemaniku sarapan—kalau tidak ada Dani.
“Hampir tak terasa… tapi bagaimana mungkin aku juga bisa berteleport?!” Aku masih takjub dengan peristiwa yang baru saja aku alami. Ini tentu bukanlah pengalaman yang bisa dirasakan semua orang di dunia.
“Ya, karena hanya dari kamarmu ke dapur tentu saja tidak akan terlalu terasa… well, aku melingkupi auramu dengan auraku, simpel, membawa ragamu membaur dengan serpihanku. Apa kau mengerti?” Kata Cesc.
“Err… tidak juga…” Jawabu jujur.
“Yah, aku tahu kau pasti tidak akan mengerti. Ledeknya sambil kembali mengecup daguku. Cesc kembali mengarahkan bibirnya ke bibirku. Ini tidak wajar. Kenapa aku sama sekali tidak merasa janggal dan asing saat Cesc hendak menciumku? Saat kami kembali berciuman tiba-tiba kudengar suara handphoneku berdering. Refleks, aku melonjak saking kagetnya. Cesc tertawa melihat aku yang panik dan langsung memburu ke arah kamarku untuk menjawab telepon yang masuk. Oke. Kenapa aku berdebar-debar begini? Apakah karena aku baru saja berciuman dengan Cesc? Tapi kenapa telat sekali? Harusnya kan aku berdebar-debar saat berciuman bukan sesudahnya. Jangan bilang aku merasa bersalah akan ciumannya yang manis itu. Aku benar-benar bisa jadi gila. Aku langsung menyambar tas tempat handphoneku berada, tapi aku malah melupakan kondisi tanganku yang masih terkilir.
“Aw!!” Pekikku saat aku mencoba mengambil handphone dengan tangan kananku yang sakit. Sial! Sial! Sakit sekali!
“Kau baik-baik saja?” Tanya Cesc yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Aku mengacuhkan pertanyaan Cesc dan langsung terfokus pada nama di layar handphoneku. Dengan tangan kiri, kuraih handphoneku dan menekan tombol ‘JAWAB’
“Hallo” Jawabku sambil meringgis menahan sakit.
“Astaga Carla… kenapa lama sekali kau mengangkatnya?” Suara Dani terdengar jengkel. Dia paling tidak suka kalau aku telat menjawab teleponnya. Memangnya dia lupa kalau tanganku sedang cedera?
“Maaf… tanganku…” Desisku. Cesc yang sedari tadi memerhatikan tanpa dikomando langsung melingkarkan jemarinya di pergelangan tanganku. Dia tahu aku kesakitan.
“Oh!! Ya Tuhan kau baik-baik saja? Apa masih sakit?” Dari nada bicaranya kentara sekali dia lupa akan tanganku.
“Ya… aku tidak apa-apa…” Jawabku saat kurasakan suhu dingin tangannya sekali lagi meredam rasa nyeri di tanganku.
“Aku kesana sekarang Carla” Kata Dani. Terdengar olehku ia menyalakan mesin mobilnya.
“Aku sudah baikan kok Dani…” Aku tidak bohong. Walaupun rasa sakitnya masih terasa.
“Akan kubawa kau ke dokter oke? Tunggu aku” Katanya Dani dan sambungan teleponnya putus. Aku mendesah ringan sambil melemparkan handphoneku ke atas tempat tidur.
“Dia benar. Kau harus dibawa ke dokter, Carla” Kata Cesc.
Tak sampai lima belas menit Dani sudah sampai di flatku. Cesc membantuku membukakan pintu untuk Dani, dan kemudian lenyap. Aku mempersilakan Dani masuk sementara aku meminta waktu untuk mandi sebentar.
“Kau yakin kau bisa mandi dengan tangan seperti itu?” Tanya Dani.
“Aku baik-baik saja. Mungkin akan sedikit kerepotan tapi aku kan punya dua tangan oke?” Jawabku.
“Yah, kalau kau butuh bantuan, tinggal panggil aku saja” Kata Dani sambil menyeringai jahil yang kubalas hanya dengan juluran lidah meledeknya.
Ternyata benar, cukup menyebalkan mandi dengan kondisi sebelah tangan nyeri bila terbentur. Aku membutuhkan waktu dua kali lipat dari waktu biasa aku mandi sambil sesekali meringgis nyeri saat sedang berpakaian. Ketika aku sudah berpakaian lengkap dan berjalan ke arah ruang tengah, aku malah menemukan Dani sedang tertidur nyenyak di sofa hijau lumutku, setengah berbaring.
Apakah aku begitu lama sampai ia tertidur karena menungguku? Atau dia masih capek karena race kemarin? Kurasa dia memang kelelahan. Ekspresi wajahnya saat tidurlah yang menjawab pertanyaanku.
Aku menyentuhkan tanganku yang tidak sakit di pipinya yang terlihat, membelainya selembut yang kubisa. Tapi ternyata Dani malah terbangun dengan sigap.
“Astaga aku ketiduran!” Katanya sambil bangkit. “Sudah berapa lama?” Tanya Dani sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
“Tidak se-lama itu kok, tidurlah lagi, kau pasti kelelahan” Kataku lembut sambil mendorong tubuhnya ke arah sofa.
“Aku baik-baik saja Carla… apa kau sudah siap? Ayo kita pergi?” Ajak Dani.
“Tidurlah dulu satu atau dua jam, setelah itu baru kita pergi” Pintaku. Wajahnya yang kelelahan begitu membuatku tak tega.
“Astaga, aku baik-baik saja, kita ke dokter, setelah itu aku akan tidur seharian ini. Setuju?” Tawarnya.
“Oke,” Jawabku. Dani tersenyum puas dan segera bangkit dari sofa. Segera beranjak pergi ke dokter.
***
“Harusnya memang dibebat sejak awal, maaf ya, Robert biasa menangani pasien laki-laki –dan atlet, jelas berbeda sekali untukmu” Kata Dani saat kami kembali ke flatku. Aku menggenggam pergelangan tanganku yang dibebat ketat. Rasanya aneh. Balutan perban ini begitu ketat di tanganku. “apakah masih terasa nyeri?” Tanya Dani.
“Tidak, pain-killernya ampuh kurasa. Aku harusnya beli obat sialan itu di apotek” Kataku setengah mengumpat. Tanganku benar-benar tidak terasa sakit sama sekali. Dani tertawa mendengarnya.
“Butuh resep dokter untuk membeli obat-obatan semacam itu,” Kata Dani. Dia tetap kelihatan lelah walau sedang tertawa begitu. Tadi dia sempat memberi tahuku rencana kedatangan orang tuanya sore ini. Keluarganya akan tinggal di London bersama dengannya untuk merayakan gelar juara dunia Dani dan sekaligus hari ulang tahunnya minggu depan. Itu berarti dia mungkin tidak akan punya kesempatan untuk tidur siang setelah orang tuanya tiba. Aku melirik jam di dinding, masih jam sebelas. Kalau tidak salah tadi dia bilang pesawat orang tuanya baru akan tiba sekitar pukul tiga.
“Kau sudah janji padaku untuk tidur setelah mengantarku ke dokter,” Kataku sambil menyisipkan jari tanganku di rambutnya.
“Ya, kurasa aku memang butuh tidur. Boleh pinjam kamarmu?” Tanya Dani.
“Tentu, tidurlah yang nyenyak tuan juara-dunia” Kataku sambil mengecup pipinya. Dani tersenyum dan membalas kecupanku. Dani kemudian melepas jaketnya dan melemparkannya ke atas sofaku, mengeluarkan dompet, handphone dan kunci mobilnya dari saku jeansnya dan meletakannya di atas meja. Hanya jam tangannya yang masih melekat di pergelangannya. Aku tahu betul kebiasaannya yang satu ini. Dani hampir tak pernah melepaskan jam tanganya. Tiba-tiba aku terbayang akan hadiah ulang tahunku untuknya—ulang tahunnya tinggal hitungan hari, dan tak sabar rasanya melihat kalung pemberianku tetap bergelantungan di lehernya meski dia sedang terlelap.
Dani tersenyum padaku sebelum masuk kedalam kamar dan menutup pintunya. Kelihatan sekali dia memang membutuhkan ruang untuknya sendiri tanpa pengganggu.
Aku kemudian berjalan ke dapur untuk merapikan piring dan gelas bekas sarapanku. Dan menemui Cesc.
“Hei” Sapanya seraya menampakkan diri padaku.
“Hai” Jawabku sambil memindahkan piring dan gelas ke bak cuci piring.
“Tanganmu?” Tanya Cesc.
“Baikan. Mereka memberiku pain killer” Jawabku sambil menyabuni piring dan gelasku dengan hati-hati, agar tak membasahi perban cokelatku.
“Dia sudah tidur… lelap sekali” Kata Cesc. Aku tahu yang dimaksudkannya adalah Dani. Sepertinya aku harus terbiasa dengan kata ‘dia’
“Dia kelelahan,” Komentarku.
“Aku menyaksikannya di TV kemarin. Well, dia keren juga” Sahut Cesc.
“Hah?” Responku sambil menatapnya.
“Apa?”
“Kau menonton TV?” Tanyaku takjub.
“Hey, walaupun sudah mati aku tidak boleh ketinggalan jaman!” Jawabnya.
“Kau lucu” Kataku sambil tertawa.
“Trims, tidak pernah dengar hantu menonton TV sebelumnya? Well, aku suka menonton TV. Menyenangkan rasanya melihat dunia berkembang dari waktu ke waktu dan aku bisa menyaksikan semuanya—perkembangannya” Jelas Cesc.
“Acara apa yang kau tonton?” Tanyaku sambil menyelesaikan membilas piringku dengan air bersih. Kemudian mengeringkan tanganku. Kenyataan bahwa Cesc suka menonton tv cukup menghiburku.
“Hmm… banyak. Apa saja sebenarnya. Berita, olah raga, kadang-kadang drama… Eh?!!” Kata-kata Cesc terpotong dan raut wajahnya berubah. Drastis.
“Ada apa?” Tanyaku dengan refleks. Dan mengikuti arah pandangannya, ke arah ruang tengah. Wajah Cesc masih kaku dan kulihat otot rahangnya mengejang. Seperti ada seseorang—atau sesuatu yang datang tanpa diundang. Suasana berubah. Aku dapat merasakannya. Semacam gelombang yang begitu besar menerpaku. Tidak ada rasa sakit sama sekali, tapi tekanan, seperti udara di sekitarku memadat. Lalu setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang semua terasa kembali ke keadaan awal. Aku melirik Cesc dengan perasaan takjub. Aku yakin Cesc juga merasakannya, karena rahangnya mengatup dengan kuat saat gelombang ke dua datang.
“Carla, tunggulah di sini. Aku segera kembali” Kata Cesc dan kemudian dia lenyap.
Ada apa sebenarnya? Dan sampai kapan aku harus menunggu di sini? Apa ini berhubungan dengan dunia gaibnya? Kepanikan mulai menyelimutiku.
Datang lagi. Gelombang ke tiga. Aku mengernyitkan alis karena kurasakan gelombang ke tiga ini lebih berat dan tebal.
“Dani!” Tiba-tiba aku teringat Daniel yang sedang tertidur di kamarku. Apa dia juga merasakannya? Tanpa pikir panjang aku segera berlari menuju kamarku.
Disaat aku baru beranjak beberapa langkah gelombang ke empat datang dan menerpa tubuhku. Lebih kuat. Seperti ada sesuatu yang menabrakku dari belakang. Dan kemudian semuanya gelap.
:tbc:


Author's Note
SURPRISE SURPRISE!!!!!
3 chapter di atas semoga membayar sebulan tanpa update :P
agak gantung sih ending chapter 15, kan biar seru :P
gua ingin mengomentari sedikit tentang hubungan cesc dan carla yang semai gak jelas,
di sini cesc mulai menyedari bahwa perasaannya kepada carla melebihi 'teman satu kamar' biasa dan begitu juga carla yang meski berperang melawan batinnya, ia tahu bahwa ia juga merasakan sesuatu yang berbeda terhadap cesc AWWWWWW bahasa gua shitnetron banget yakaaannn hehehe
sampai bertemu di chapter berikutnya!!!!