Selasa, 21 September 2010

FanFiction: Another Love Story 13, 14, 15

MEMBAYAR keabsenan gua sebulan lalu, spesial di postingan kali ini gua langsung post 3 chapter Another Love Story !!!!!! ENJOY!!!

Olie dan Aaron

“Keberatan tidak kalau aku mengajak sepupuku?” Tanya Olie saat kami tiba di tempat parkir kampusku. Hari ini kami sudah janjian untuk pergi belanja bersama, sekalian mencari hadiah untuk Dani. Hanya hari ini aku lenggang. Aku sudah minta izin cuti pada Dann dua hari. Hari ini dan lusa. Hari ini untuk pergi belanja dengan Olie dan lusa adalah menepati janjiku pada Dani untuk menghadiri balapannya. Hari berlalu cepat sekali. Tak terasa ulang tahun Dani tinggal menghitung hari.
Olie menunjuk ke arah Aaron yang sedang berdiri mematung di sudut bangunan.
“Dia tidak akan mengganggu kok,” Kata Olie. Aku tersenyum pasrah.
“Oke saja” Jawabku. Sebenarnya aku tidak terlalu kenal Aaron, tapi karena dia sepupunya Olie, kurasa tidak apa-apa. Seminggu ini aku kian akrab saja dengan Olie. Menurutku orangnya sangat menyenangkan dan super ceria… oh, dan stylish. Aku seperti sedang duduk bersama super model setiap harinya. Tubuhnya yang tinggi ramping kadang membuatku minder. Olie tersenyum senang dan segera memanggil Aaron untuk segera menghampiri kami.
“Dia pak supirnya” Jelas Olie saat Aaron tiba di antara kami.
“Hai, Carla” Sapa Aaron sambil mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya.
“Hai” Sapaku. Kemudian kami segera menaiki BMW hitam milik Olie¬—atau Aaron aku tidak tahu. Hari ini aku memang sengaja tidak membawa si-biru karena Olie manawarkan diri untuk mengantarku pulang sekalian setelah selesai belanja nanti.
“VW Golf-mu keren sekali Carla” Kata Aaron ditengah perjalanan kami menuju salah satu plaza terbesar di London. Aku tersenyum.
“Trims, aku tidak tahu dia punya banyak penggemar. Akan kusampaikan salammu nanti” Candaku.
“Haha, tentu saja, tipe itu kan yang paling ditunggu-tunggu musim ini” Kata Aaron.
“Masa?” Aku tidak tahu sama sekali soal yang begini.
“Ya, masa kau tidak tahu? Aku sedang membujuk ayahku untuk belikan aku satu dan keesokan paginya aku sudah melihatmu memarkirkannya tepat disamping mobil ini” Lanjut Aaron. Entah sejak kapan aku jadi terjebak di obrolan anak-anak orang kaya macam mereka.
“Kurasa BMW-mu baik-baik saja. Kenapa kau mau VW itu?” Komentarku.
“Well, karena kurasa ayahku tidak akan berikan aku sebuah Lamborghini, tepatnya” Ralatnya. Aku mengangguk sambil memutar bola mataku. Tentu saja. Apa yang ada di pikiran seorang ayah kalau membelikan anak umur delapan belas tahun sebuah Lamborghini? “aku sebenarnya tertarik dengan mobil sport tapi entah mengapa aku langsung jatuh cinta pada mobilmu Carla” Candanya.
Aku melirik Olie yang sedang asyik membolak-balik halaman sebuah majalah fashion terkemuka. Dan sesekali bergumam senang karena item yang diincarnya keluar hari ini. Well, kalau dari keseluruhan penampilannya dia memang terlihat sangat modis dan pakaian yang dikenakannya jelas bukan keluaran brand murah.
“Hey, Carla. Kurasa aku perlu sedikit merubah gayamu” Kata Olie setelah selesai melihat-lihat majalahnya. Matanya menjelajahi diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Hah?” Aku melongo. Memangnya apa yang salah dengan penampilanku? Celana jeans, t-shirt dan jaketku tidak jelek. Jaket ini kubeli tahun lalu dan harganya juga tidak murah. Sneakers ku juga bersih kok. Bukannya gaya anak umur delapan belas itu memang begini ya?
“Memangnya kau tidak bosan pakai jeans dan t-shirt terus?” Tanya Olie.
“Biasa saja” Jawabku jujur. Jeans dan t-shirt adalah pakaian ternyaman didunia.
“Maksudku, tampil cantik saat ke kampus kan tidak melanggar hukum” Kata Olie lagi.
“Well, aku punya sih pakaian yang lebih layak dibandingkan t-shirtku, tapi kan lebih nyaman pakai t-shirt” Sahutku saat kupahami maksud kata-katanya. Aku punya kok beberapa pasang pakaian ‘layak’.
“Itu karena kau tidak biasa. Biasakan dong, oh ya, satu lagi! Warna kulitmu membuat iri semua gadis oke? Berdandanlah sedikit” Kata Olie sambil menarikku keluar dari mobilnya.
“Kulit?” Aku mengerutkan dahi tak mengerti.
“Maksudku, kulit orang dari tempat tropis memang cantik sekali! Kau kan orang Spanyol” Jelas Olie sambil menggandeng tanganku memasuki mall sementara Aaron pergi untuk memarkirkan mobil. Seperti bukan pertama kali bagi Aaron menemani Olie belanja, tahu-tahu dia sudah menunggu di depan sebuah toko pakaian. Kemudian kami masuk dan Olie langsung memilihkanku beberapa atasan yang cantik-cantik.
“Lihat kan? Kau bahkan cocok dipasangankan dengan semua warna!” Keluhnya sambil menenteng beberapa pakaian di tangan kirinya.
“Err… trims” Kataku pelan. Bukankah niat awalnya adalah mencari kado untuk Dani? Aku dipaksanya mencoba beberapa pakaian, dan tahu-tahu dia sudah membelikan pakaian yang dinilainya cocok untukku.
“Pakailah Senin besok!” Katanya sambil menyerahkan dua tas kertas berisi pakaian padaku.
“Kau tidak perlu membelikanku segala” Keluhku.
“Ssssttt…! Jangan begitu! Aku senang bisa berteman denganmu Carla! Aku jadi lebih bisa serius memahami pelajaran setelah duduk denganmu, jangan perhitungkan ini, oke?” Katanya. Oh, tidak. ‘Dani’ yang lain. Kemudian kami masuk ke sebuah gerai kecantikan, dan tanpa mendapat izin yang jelas dariku, aku langsung di seret ke sebuah kursi dan aku didandani. Rambut dan wajahku diolah seperti adonan cake.
“Jangan potong rambutku!” Tak sengaja aku membentak seorang cewek penata rambut dan ia kelihatan kaget.
“Err… maaf, maksudku, tolong biarkan saja rambutku panjang” Ralatku sambil meminta maaf. Si cewek itu tersenyum ramah.
“Tenang saja, hanya akan kurapikan sedikit. Aku janji tdak kan memotong habis rambutmu” Katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya. Aku ingat Dani pernah bilang dia menyukai rambut panjangku, sejak saat itu aku tak pernah melakukan perubahan besar pada rambutku. Aku memerhatikan si penata rambutku bekerja. Rambutku di cuci bersih, kemudian dirapikan potongannya. Aku melirik ke arah Olie yang tersenyum jahil ke arahku. Ia sedang menerima treatment yang berbeda denganku. Aku lantas mengalihkan perhatianku ke arah Aaron yang dengan sabar menunggu kami sambil mengutak-atik console game portable-nya. Aku heran bagaimana mungkin dia bisa tahan dan menunggu? Pandangan mataku kembali ke cermin di depanku. Cewek penata rambut itu sedang asyik me-roll rambutku, membuatnya sedikit bergelombang dan agak keriting di bagian bawahnya. Kurasa pekerjaannya bagus juga. Padahal kutaksir usianya tak beda jauh dariku.
Setelah selesai, Olie menyuruhku mengganti pakaianku dengan salah satu pakaian yang tadi dibelikannya untukku. Aku memandangi diriku di cermin besar. Sebuah atasan tak berlengan warna kuning cream dengan renda-renda di bahu, lalu celana panjang hitam yang yang pas sekali dengan kakiku, aku juga memerhatikan gaya rambutku yang baru. Juga make-up minimalis yang melapisi wajahku. Ternyata aku tidak jelek kok. Aku jadi takjub sendiri melihat perubahan penampilanku. Aku benar-benar tidak jelek. Mungkin benar juga kata-kata Olie. Aku hanya melupakan penampilanku. Seharusnya aku lebih rajin merias diri. Maksudku, penampilan seperti ini pantas juga untuk ke kampus. Dan lebih pantas untuk berdiri di samping Dani.
“Oh, Carla! Kau luar biasa!” Kata Olie saat aku keluar dari ruang ganti dengan diriku yang baru. Aaron tersenyum manis mamandangiku. Aku jadi salah tingkah.
“Eh, trims. Ini kan hasil kerjamu” Kataku. Aku memandangi Olie yang masih menatapku dengan mata berbinar-binar. “dan si cewek penata rambut itu” Kataku sambil memalingkan wajah ke arah si penata rambutku. Dia memandang ke arahku dan dengan spontan aku melambaikan tangan padanya, berterimakasih karena hasil kerjanya yang luar biasa. Dia membalasnya dengan gerakan membungkuk. Aku memerhatikan diriku di cermin sekali lagi, dan mencuri pandang ke arah Olie dan Aaron lewat cermin di depanku. Dengan penampilan baruku ini aku jadi terlihat serasi dengan mereka.
“Kalau aku cowok, aku pasti sudah melamarmu saat ini juga, Carla!” Kata Olie kemudian. Tiba-tiba kilat serasa menyambar kepalaku. Mendengar kata-kata Olie barusan aku langsung teringat tujuan awalku pergi dengan Olie!
“Astaga! Aku melupakan hadiah untuk Dani!” Kataku panik.
“Tenang saja, Carla! Aku tidak lupa kok, dan kita membawa seorang cowok di sini. Kita kan bisa minta pendapat Aaron!” Kata-kata Olie dan senyuman di wajah Aaron seolah menyiram rasa panikku dengan air es. Aku menghela napas lega.
Kami berjalan bersama ke sebuah toko pernak-pernik. Ada berbagai macam barang di sini. Mulai elektronik sampai perhiasan kecil. Aku banyak memberi info tentang Dani kepada mereka tanpa membocorkan identitas asli Dani.
“Hmmm… cowok sporty ya…” Gumam Olie sambil berjalan pelan memerhatikan setiap benda yang dilaluinya.
“Tidak terlalu sporty kok,” Ralatku. Kami kembali berkeliling toko sambil mengamati setiap etalase yang ada di sekitar kami. Aku sudah memutari seisi toko dan tak menemukan apapun.
“Berikan ini saja” Tiba-tiba Aaron muncul membawa sebuah kalung dengan plat perak persegi panjang sebagai liontinnya. “cowok sporty tidak suka benda yang merepotkan” Komentarnya sambil menyerahkan kalung itu ke tanganku. Aku memerhatikan benda itu dengan seksama. Sebuah rantai panjang dan plat perak yang polos. Apa tidak terlalu sederhana? “di sudut sana ada jasa untuk mengukirkan kata-kata pada plat itu. Kau bisa tuliskan ucapan ulang tahun atau semacamnya. Dan pacarmu bisa membawa benda itu kemana-mana. Benar-benar simpel” Jelas Aaron. Aku memandangi Aaron dengan takjub. Dia seperti memberikan penerangan padaku.
“Astaga! Kau jenius! Terimakasih Aaron!” Seruku sambil mengepal plat perak itu di tanganku. Memang tujuan awalku adalah agar hadiahku ini bisa dibawa Dani kemanapun dia pergi. Ini dia! Olie menaikkan tangannya, mengajak kami ber-hi-five. Kemudian kami bergegas menuju ke sudut toko, tempat pengukiran plat perak seukuran dua jari itu. Ada seorang pria paruh baya yang bertugas mengukir plat itu.
“Menurutmu aku harus tulis apa?” Mendadak kebingungan besar kembali melanda kepalaku saat pria ramah itu memberikanku secarik kertas kosong yang harus kuisi untuk dibuat ukiran.
“Curahkan saja perasaanmu” Saran Olie. Yang benar saja. Mana cukup plat kecil begini.
“Ucapkan selamat ulang tahun, lalu doa untuknya. Jadikan ini sebagai kartu ucapan saja, aku berani bertaruh dia akan membacanya setiap malam” Aaron seperti malaikat malam ini. Lagi-lagi ia memberikan ide briliannya. Aku baru mengenalnya siang ini dan dia benar-benar seperti mukjizat. Akhirnya kuputuskan untuk menuliskan:
‘Happy B Day Daniel! Semoga Tuhan dan segala kebaikan-Nya selalu menyertaimu. Dan semoga kita bisa bersama selamanya.
Aku menyayangimu,
C.’
pada bagian belakang, dan di depannya kuminta diukirkan huruf ‘D’ besar dengan beberapa sulur artistik yang cantik. Aku tersenyum puas memandangi hasil ukiran yang cantik itu.
***

“Hentikan, Carla! Kau sudah memandangi kalung itu selama kita makan malam!” Protes Olie dalam perjalanan pulang kami. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan.
“Maaf, maaf… habisnya kalung ini cantik sekali sih… eh, terimakasih ya Aaron, aku tidak akan melupakan jasamu” Kataku. Aku kemudian memasukkan kembali kalung itu ke dalam kotaknya dan menyimpannya dalam tasku.
“Aku hanya memberi ide” Kata Aaron merendah.
“Ide brillian” Tambahku. “Eh, stop di sini saja” Kataku saat kami hampir sampai gedung flatku.
“Lho? Sudah sampai ya?” Tanya Olie sambil melihat ke arah jendela.
“Belum, sampai di sini saja mengantarku. Kalau masuk lebih dalam lagi kalian harus memutar cukup jauh karena jalannya satu arah” Jelasku sambil memastikan semua barang belanjaanku sudah ku genggam.
“Bye, Carla!” Kata Olie dar dalam mobilnya. Ia menjulurkan kepalanya ke luar jendela.
“Bye, terimakasih untuk hari ini!” Sahutku. Kusaksikan mobilnya melaju dan kian cepat. Aku memutar tubuhku dan berjalan pelan-pelan menyusuri jalan menuju flatku karena barang bawaanku lumayan banyak.

“Carla?” Suara Cesc menggema di dalam flatku saat aku masuk.
“Ya?” Tanyaku bingung.
“Kalau bukan karena auramu aku yakin itu bukan kau” Kata Cesc yang kemudian muncul di hadapanku. Wajahnya dihiasi rona takjub, namun kemudian tersenyum.
“Jangan berlebihan!” Kataku.
“Well, kau berubah” Katanya sambil mengikutiku masuk ke dalam kamar. Aku mendesah dan menjatuhan semua tas-tas belanjaanku ke atas kasur dan mulai membukanya satu-persatu. Aku menemukan seperangkat kosmetik khusus remaja, lengkap dengan alat penata rambut. Ada alat catok, roll rambut, hair dryer dan benda-benda lain yang aku tidak tahu nama dan fungsinya. Bahkan ada buku manual penggunaannya segala! Astaga, Olie benar-benar ingin aku berdandan.
Aku membuka tas kedua yang berisi baju-baju dan beberapa celana. Aku lantas memerhatikan label harga yang masih menggelayut di kerah salah satu top berwarna hijau. Aku hanya bisa menelan ludah melihat angkanya. Olie pasti sangat kaya sampai membelikan aku ini semua. Cesc duduk di sebelahku dan asyik mengamati aku yang sejak tadi membongkar-bongkar total empat tas kertas besar-besar.
“Hmmm… eh…” Cesc memulai percakapan.
“Bukan aku! Ingat teman baruku yang bernama Olie? Dia yang belikan aku semuanya. Aku tahu kau pasti beranggapan dia sudah gila karena membelikanku semua ini, yeah, kalau aku sih, tidak mungkin menghabiskan uangku untuk kosmetik-kosmetk ini” Potongku.
“Oh… hmm, lagipula bukan itu yang mau kukatakan” Kata Cesc.
“Eh? Kupikir kau mau menanyakan dari mana aku mendapatkan ini semua?” Kataku.
“Aku sudah tahu ini pasti ulah temanmu yang modis itu” Cesc terkekeh.
“Yeah, tentu. Siapa lagi?” Kataku sambil tersenyum.
“Aku cuma mau bilang kau… ternyata pantas juga dengan gaya seperti itu” Kata Cesc sambil tersenyum. Aku menatapnya dan tidak menemukan tanda ia sedang meledekku. “Well, kau memang kelihatan lebih nyaman dengan pakaianmu yang biasanya, tapi kau cantik dengan dandanan seperti itu, Carla” Kata Cesc lagi. Aku langsung merasakan darahku mengalir ke wajahku.
“Hentikan! Jangan memujiku begitu” Kataku sambil memalingkan wajah karena aku sadar pasti wajahku sudah memerah dibuatnya. Cesc menghampiriku dan berlutut di hadapanku sehingga wajah kami sejajar. Dia merengkuh wajahku dengan kedua tangan dinginnya.
“Wajahmu memerah lagi. favoritku” Katanya meledek sambil menyunggingkan senyuman khasnya. Kontan wajahku jadi semakin memerah bagai kepiting rebus.
“Ugh! Kau menyebalkan” Kataku sambil menepis tangannya, yang kemudian disambut tawa renyahnya. Lama-lama dia jadi seperti Dani. Menggodaku terus-terusan. Mana mungkin wajahku tidak memerah kalau diperlakukan seperti itu? Aku kemudian bangkit dan merapikan semua belanjaanku. Menggantung semua baju baruku di lemari, dan menjejalkan peralatan make-up baruku di meja panjang di sudut kamar. Aku kemudian mengambil handuk dan bersiap mandi.
“Keluar sana, aku mau mandi” Kataku kepada Cesc yang sedang asyik berbaring di kasurku.
“Aku masih mau di sini, tenang saja, aku tidak akan mengintip kok” Katanya tanpa memalingkan wajahnya dari langit-langit kamarku. Aku mengerutkan dahi dan memandang ke arahnya. “Aku serius! Aku kan hantu, aku tidak bisa macam-macam padamu!” Katanya.
“Tapi kan kau… nyata… maksudku, aku bisa menyentuhmu, kau bisa menyentuhku juga” Jelasku.
“Oh, ayolah Carla! Kalau aku ingin macam-macam kepadamu kenapa tidak kulakukan sejak awal saja saat belum mengenalmu? Aku bukan hantu mesum!” Katanya sambil memalingkan wajahnya ke arahku.
“Aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu” Kataku.
“Tapi kau memang melakukannya” Sahut Cesc sambil bangkit dari tempat tidurku, berjalan ke arah pintu dan menghilang. Oh, oke, kurasa aku baru saja membuatnya tersinggung. Aku lantas mengunci pintu kamarku—hal yang sama sekali tak berguna mengingat dengan siapa aku tinggal. Well, setidaknya aku hanya ingin memastikan batasan-batasan di antara kami sebagai roommate. Kurasa hal yang wajar aku menyuruhnya keluar. Iya kan?
“Cesc?” Panggilku. “oh, ayolah. Kau tidak ngembek kan?” Tanyaku pada ruangan kamar yang kosong. Tak ada jawaban dan aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sejak kapan di jadi konyol begini? Selesai mandi aku mengenakan kimono handuk berwarna putih dan berjalan ke dapur. Tempat favoritnya—entah apa alasannya, dia selalu ada di dapur, walaupun dia bisa saja ada di mana-mana.

“Cesc?” Panggilku sekali lagi. Aku menghadap sudut dapur tempat biasa dia muncul, dan dia memang benar-benar muncul.
“Apa?” Tantangnya.
“Oh, ya ampun! Kau ngambek ya?” Tanyaku tak percaya. Teman hantuku ngambek. Bagus sekali.
“Tidak” Jawabnya. Dengan ekspresi tak jelas. Cesc menghampiriku dan merengkuh wajahku. Tangannya dingin seperti biasa, dan terasa makin dingin di atas kulit wajahku yang masih lembab. Tapi aku sama sekali tidak terganggu. Malah sebaliknya, aku sangat menikmati saat jemari dinginnya menempel di kulitku.
“Apa?” Tanyaku setelah beberapa detik lamanya ia hanya memandangi kedua mataku.
“Kau pasti tidak akan mengusir dia keluar seperti kau mengusirku” Katanya.
“Dia? Dani? Aku memang tidak pernah mengusirnya karena dia pasti akan keluar dengan sendirinya” Sahutku. “memangnya salah kalau aku memintamu keluar?” Tanyaku.
“Tidak. Itu tidak salah. Kau gadis baik, aku menghormatimu” Kata Cesc sambil masih menggenggam wajahku erat. Ia memandangi sekujur wajahku.
“Kupukir kau ngambek” Kataku.
“Kan sudah kubilang tidak” Jawabnya sambil terkekeh. Dia membelai wajahku lembut. Apa-apaan sih dia?
“Kau tahu? Ekspresimu kadang membingungkan aku” Kataku jujur sambil meletakan tanganku di atas punggung tangannya. Cesc tersenyum mendengarnya.
“Kau sudah makan malam?” Tanyanya. Aku mengangguk ringan.
“Hari ini Olie mentraktirku seharian” Jawabku.
“Baguslah, karena aku tidak mau melihat wajah pucatmu besok pagi” Katanya. Aku tertawa kecil. “Sudah malam, tidurlah” Katanya sambil mendaratkan kecupannya di dahiku. Aku tersenyum. Dia benar-benar memerhatikan aku. Ini pertama kalinya ada seseorang yang begitu memerhatikan aku selan Dani dan keluargaku.
“Trims, kau baik sekali pak hantu” Kataku. Kami tertawa bersama. Cesc kemudian melingkarkan lengannya di punggungku dan membopongku ke dalam kamar.
“Hentikan ah! Aku kan bukan bayi!” Desakku, Cesc hanya terkekeh menanggapinya. Dia lalu membarinkanku di tempat tidur.
“Tidurlah yang nyenyak, tuan puteri” Katanya sambil menarik selimut hingga sebatas dada.
“Kau tahu? Kau mulai seperti Dani” Ledekku.
“Well, aku memang berharap aku dirinya” Katanya sambil duduk di pinggir tempat tidurku. Pernyataannya membuatku kembali bangkit dan duduk di sampingnya.
“Jangan bilang kau fan-nya” Tanyaku setengah hati. Kalau memang iya, aku harus memberi selamat pada Dani karena dia begitu tenar sampai kalangan hantupun menggemarinya. Oh dan penyihir. Aku hampir lupa Dann juga fan-nya.
“Bukan, aku tidak terlalu suka balap” Jawabnya sambil tertawa. “sebenarnya aku fan-mu lho” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Hah. Kau meledekku ya? Tapi tadi kau bilang kau berharap kau dirinya?” Tanyaku.
“Ya, aku memang berharap aku dirinya. Dalam beberapa hal” Jawabnya sambil memalingkan wajahnya ke arahku.
“Apa saja?” Tanyaku penasaran. Cesc menghela napas panjang—walaupun aku tidak tahu pasti apakah dia benar-benar bernapas atau tidak.
“Yang pertama, dia hidup. Yang kedua karena dia sangat beruntung” Desahnya sambil kembali merengkuh wajahku lembut.
“Beruntung?” Tanyaku. Memangnya Dani seberuntung itu? Oke dia memang ngetop dan berprestasi. Cesc kembali mengecup pipiku. Dia kemudian mengembalikan pandangan lembutnya ke arahku.
“Sangat beruntung. Karena dia memilikimu” Jawabnya tulus. “kalau saja aku bisa memilikimu, Carla. Kau sangat spesial” Katanya. Aku hanya terperangah mendengar kata-katanya. Aku bahkan tdak pernah merasa diriku spesial. Aku jadi merasa dia sedang melamarku.
“Aku tak tahu aku begitu” Sahutku jujur.
“Kau spesial. Kau manusia pertama yang tak takut padaku, itu keren. Lalu, kau berusaha bernegosiasi denganku soal tempat tinggal, itu dua kali lipat lebih keren” Aku tertawa mendengarnya. Aku keren katanya? “dan yang terakhir, kau membuatku… well, setidaknya kau membuatku merasakan aku seperti hidup kembali, menjadi remaja seusiaku, menyukai seorang gadis” Rampungnya. “boleh aku meminta satu hal padamu?” Tanya Cesc kemudian. Cesc menyukaiku?
“Apa?” Balasku bertanya. Cesc menatapku dengan serius. Aku membalas tatapannya. Ada rasa iba mengaliri hatiku. Tentu saja, karena dia mati disaat remaja. Tentu saja dia pasti memendam keinginan untuk memiliki seseorang yang spesial. Tapi bukan berarti aku harus berpacaran dengannya kan? Maksudku, aku sudah punya pacar, aku sangat mencintai pacarku dan… Cesc hantu.
“Selagi aku hidup, aku belum pernah mencium gadis yang aku sukai, karena sebelum aku berhasil menemukannya, aku keburu mati” Jawabnya sambil terkekeh. Kemudian kembali menatapku dengan serius. “boleh aku menciummu?” Tanya Cesc. Aku mengerutkan dahi.
“Kau sudah menciumku dua kali hari ini” Jawabku. Cesc mendengus sambil tersenyum.
“Bukan… aku ingin menciummu, seperti dia menciummu” Jawabnya. Aku membelalakkan mata. Tapi sama sekali tak kuasa mengucapkan penolakkan. Kenapa sih Cesc menyebut Dani dengan ‘dia’. Cesc masih terpaku didepanku, menanti jawabanku. “kau boleh menolakku kok Carla, aku tidak memaksa” Katanya. Bukannya aku ingin menolaknya, maksudku, kalau aku membiarkannya mencium bibirku… apakah ini bisa disebut perselingkuhan? Tapi ini bukan karena cinta, ini hanya karena… aku memberinya kesempatan mencium seorang gadis, yang belum pernah dilakukannya semasa hidup. Ya, benar. Dan lagi, aku cukup penasaran, seperti apa rasanya berciuman dengan hantu? Hantu tampan? Daniel, aku mencintaimu. Aku hanya ingin… aku ingin apa? ugh! Daniel pokoknya aku hanya mencintaimu.
Aku menatapnya. Mengigit bibir bawahku. Aku benar-benar grogi. Persis seperti saat pertama kalinya Dani meminta izin untuk menciumku. Cesc hanya terdiam, seolah membiarkanku—memberiku kesempatan untuk berpikir. Aku menghela napas panjang.
“Kau boleh… menciumku…” Kataku akhirnya. Cesc tersenyum dan menatapku lembut. Ia membelai pipiku pengan punggung tangannya. Jantungku berdegup kencang saat wajah tampannya semakin dekat dengan wajahku. Entah sejak kapan aku kembali merasakan aroma manis sirup maple menguar di udara. Jarum jam serasa berhenti berdetik saat bibirnya menempel di bibirku. Dingin adalah kesan pertama yang kurasa. Cesc menyangga kepalaku dengan tangannya. Sedetik kemudian dia mulai mencium bibirku dengan mesra. Ciumannya begitu intens dan lembut. Bibir dinginnya melumat bibirku dengan perlahan. Tanpa sadar aku menggapai wajahnya dengan kedua tanganku. Menggenggamnya lembut. Aku membalas ciumannya. Sensasi berbeda benar-benar kurasakan. Ciumannya benar-benar berbeda dengan Dani. Aku tidak dapat mendefinisikan perbedaanya, hanya bisa kurasakan. Ini mungkin terdengar gila, tapi aku menyukainya. Cesc melepaskan ciumannya saat napasku mulai tak karuan. Dia menatapku lembut. Aku membalas tatapannya. Aku tak tahu seperti apa wajahku sekarang. Kemudian dia tersenyum dan kembali mengecup pipiku.
“Kau harus tidur Nona, ini sudah larut” Bisiknya di telingaku sambil membaringkan kembali tubuhku. “terimakasih, Carla” Katanya tulus. Wajahku pasti memerah sekarang. “wajahmu memerah lagi, favoritku” Katanya sambil terkekeh. Aku kemudian menarik selimutku hingga menutupi wajahku.
“Ugh!” Desahku. Aku hanya mendengar tawa renyahnya tanpa mampu melihat wujudnya. Gila! Aku pasti sudah gila! Yang benar saja… aku baru saja berciuman dengan hantu dan aku menikmatinya. Daniel aku mencintaimu. Maaf.

Aku terbangun di pagi harinya karena mimpi burukku. Lagi-lagi mimpi itu. Ada padang rumput gelap, Cesc, Dween, dan aku. Oke, kali ini bonus Dani. Aku juga tidak mengerti apa yang dilakukan Dani di sana. Kurasakan dahiku basah karena keringat. Napasku juga tidak beraturan.
“Carla? Kau sakit?” Tanya sosok tampan yang sudak tak asing lagi di mataku. Cesc menghampiriku. Ia membelai wajahku dengan tangan dinginnya. Oh, nyamannya.
“Sedikit kepanasan?” Jawabku asal. Kurasa aku sebaiknya tak usah menceritakan mimpi anehku yang terus berulang-ulang setiap malamya hingga aku jadi bosan sendiri. Aku menggapai tangannya dan meletakkannya di atas dahiku. Kurasa aku benar-benar tidak butuh air conditioner kalau ada dia. Cesc menatapku lembut. Ia mengulurkan tangannya yang lain untuk merengkuh tubuhku. Aku menyurukkan kepalaku di dada bidangnya. Aura dingin tubuhnya langsung melingkupi tubuhku yang panas. Nyaman.
“Harusnya kau bilang, aku bisa memelukmu semalaman kalau kau mau” Katanya lembut. Aku tersenyum mendengarnya. “tapi aneh juga ya, kau ini. Di luar sana sedang dingin lho” Lanjutnya.
“Yeah, mungkin tubuhku memang aneh” Jawabku sambil terkekeh dan melepaskan dekapannya. “aku sudah tidak kepanasan, trims” Kataku kemudian. Nanti aku malah jadi flu dibuatnya. Cesc lalu bangkit dari tempat tidurku dan mengulurkan tangan.
“Apa?” Tanyaku.
“Kurasa ini saatnya kau sarapan, nona” Jawabnya. Aku hanya terkekeh dan menggapai tangannya. Aku berusaha untuk tidak memikirkan ciuman kami semalam, dan kuharap berhasil.



Sirkuit

“Carla? Rambutmu…?” Dani terperangah melihat rambut baruku. Persis Abbey dan Dann kemarin. Hari ini aku akan menepati janjiku untuk menemani Dani balap.
Aku mengerti ekspresi Dani, karena selama Dani berpacaran denganku, aku memang tidak pernah merubah tatanan rambutku secara drastis seperti sekarang—hanya kubiarkan panjang begitu saja. Aku mengenakan sweater ber turtleneck dengan celana hitam yang dibelikan Olie tempo hari.
“Apa? Aku jelek ya?” Tanyaku. Sambil mengunci pintu flatku. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan aku harus ikut dengannya ke sirkuit balap.
“Ngaco! Kau cantik sekali!” Kata Dani sambil merengkuh pipiku.
“Oh, jadi sebelum ini aku jelek ya?” Candaku sambil merajuk. Aku paling suka menggoda Dani dengan cara ini.
“Bukan itu maksudku, Carla. Kau selalu cantik di mataku” Katanya. Aku tertawa dan menggenggam tangannya.
“Jadi kita langsung ke sirkuit? Apa tidak terlalu pagi?” Tanyaku saat Dani menghidupkan mesin mobilnya
“Memang terlalu pagi untuk penonton biasa, tapi penonton spesial sepertimu sih, jelas tidak” Kata Dani sambil menyerahkan sebuah kalung dengan data identitasku, semacam nametag. Ada fotoku segala. Dari mana dia dapat foto ini? Ah, tidak usah kutanyakan, tidak begitu penting. Namaku tercetak dengan hutuf tebal, di bagian bawahnya ada huruf besar-besar bertuliskan VVIP INVITED GUEST. Wow, VVIP? Aku terus memerhatikan nametag itu hingga Dani merengkuh wajahku dan memalingkannya ke arahnya.
“Aku lebih suka kau memandangiku daripada kartu bodoh itu, Sayang” Desah Dani sambil mulai mencium bibirku dengan mesra. Hal yang mengingatkanku akan ciuman Cesc tempo hari. Jantungku berdegup kencang tatkala aku malah semakin menyadari perbedaan ciuman yang kurasakan saat Dani menciumku. Aku sudah berusaha keras untuk menyingkirkan bayangan saat aku berciuman dengan Cesc beberapa hari ini dan berhasil, ditambah lagi Cesc memang tidak mengungkitnya. Tapi saat ini, semuanya justru seolah melompat keluar dari kepalaku. Bibir Cesc yang dingin dan wangi sirup maple yang manis, jelas tak akan kudapatkan dari manusia hidup seperti Dani. Tak terasa aku malah mengabaikan ciuman Dani dan berkonsentrasi untuk mengenyahkan bayangan Cesc yang sedang menciumku, bibir dinginnya yang lembut dan rasa manis sirup maple... Aku tak seharusnya terbayang orang lain saat sedang bersama Dani. Dani melepaskan ciumannya dan kembali menjalankan mobilnya. Ternyata tadi itu berhenti karena lampu merah.
“Ada apa Carla? Kenapa kau kaku sekali?” Tanya Dani. Ternyata dia menyadari kepasifanku. Aku mengigit bibir bawahku karena gugup. Apa yang harus kukatakan? Tiba-tiba saja aku merasa bersalah padanya. Aku benar-benar merasa sedang berselingkuh saat ini, yang sebenarnya tidak. Aku tidak berselingkuh kan? Oh! Ini menjengkelkan.
“Maaf, aku hanya… kaget” Jawabku. Aku meliriknya dan Dani sedang memandangiku dengan sudut matanya. Aku memutar otak untuk mencari alasan “kau tidak pernah menciumku di tempat umum” Lanjutku.
“Kita masih di dalam mobil, Carla” Katanya sambil mengelus pipiku. Dani tersenyum saat menyadari wajahku yang memerah. Jalanan yang mengarah ke selatan masih sepi sehingga kami sampai dalam waktu singkat. Tempat parkir khusus terletak agak di dalam dan masuk ke sebuah terowongan panjang. Dani mematikan mesin mobilnya dan melepas seatbelt. Sisa perjalan tadi aku benar-benar hanya memikirkan satu hal. Bagaimana mungkin aku membayangkan ciuman Cesc? Padahal beberapa hari kemarin aku sukses menyimpanya di dasar kepalaku. Dan kenapa saat sedang berciuman dengan Dani?
“Carla, kau baik-baik saja kan?” Tanya Dani yang menyadari aku sedang melamun. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku dan mengamati sekujur wajahku.
“Aku tidak apa-apa kok…” Jawabku sambil mengelus pipinya dan tersenyum. Ia kemudian tersenyum dan membantuku melepas seatbeltku. Aku menahan tangannya saat ia bengkit. Kuperhatikan parkiran itu sangat sepi dan hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. “mau cium aku sekali lagi? Maaf tadi aku mengacuhkanmu” Kataku. Dani tersenyum dan menempelkan bibirnya di bibirku. Bayangan Cesc muncul lagi, namun sebelum bayangan itu semakin jelas dan menebal, buru-buru kuenyahkan dan kutindih dengan bayangan lain, bayangan Dani. Kekasihku.
“Aku seperti sedang berciuman dengan patung tadi” Bisiknya di telingaku. Tangan Dani membelai wajahku lembut.
“Maaf…” Jawabku. “aku janji tidak akan terjadi lagi” Kataku. Tapi itu terdengar seperti aku-lah yang sedang meyakinkan diriku sendiri. Dani terkekeh.
“Kau seperti sedang memikirkan hal lain” Katanya sambil mengecup daguku. “aku salute, bagaimana kau bisa melakukannya? Kalau aku, pasti sudah lupa segala-galanya saat menciummu” Aku Dani. Aku tersenyum. Kalau kukatakan apa yang kupikirkan aku tak yakin Dani akan percaya dan akan menganggap aku sudah gila. “ayo, kau tahu aku bisa saja menghabiskan sisa hari ini dengan berciuman denganmu kalau tidak harus balapan” Katanya sambil membuka pintu mobilnya. Aku tertawa mendengar pernyataannya sambil mengalungkan nametag di leherku. Dani memberikanku kaca mata hitamnya.
“Untuk apa?” Tanyaku. Dani merebutnya kembali dan memakaikannya untukku.
“Di sana akan banyak sekali wartawan dan kamera, setidaknya ini bisa membantumu menghindari tatapan mereka secara langsung” Kata Dani.
“Yang kau maksud mungkin menghindari ‘sorotan kamera’ secara langsung?” Tanyaku.
“Yeah,” Jawabnya sambil menahan tawa. Ia lalu menyisipkan jarinya di sela-sela jariku. Aku meremas tangannya lembut. Oke, aku siap menghadapi segala jenis kamera.
***

Aku diajak berjalan-jalan berkeliling area sirkuit oleh Dani dengan skuter matic. Ini adalah pertama kalinya Dani memboncengku naik motor. Ya, dia memang pembalap tapi ia hampir tidak pernah naik motor di luar sirkuit. Aku tahu ia punya sebuah sepeda motor tapi hanya sesekali dikendarainya. Itupun disimpannya di rumah orang tuanya di Barcelona. Aku memeluk pinggangnya, menyandarkan tubuhku ke punggungnya. Aneh juga, karena biasanya aku memeluk tubuh bagian depannya. Tapi begini ternyata sangat nyaman.
“Tidak perlu pegangan seerat itu, Carla. Aku tidak sedang menantangmu kebut-kebutan” Kata Dani sambil memelankan laju skuternya agar bisa ngobrol denganku, bisa kudengar tawanya.
“Biar saja” Kataku sambil mempererat pelukanku di pinggangnya. Kami memutari sirkuit dan menikmati pemandangan sekitar sirkuit yang hijau dan menyegarkan. Sesekali kami menemui para petugas sirkuit yang melambaikan tangannya ke arah Dani—jelas, mana mungkin ke arahku. Juga beberpa juru foto yang menjepret kami. Aku yakin salah satu dari hasil jepretan itu akan sampai ke tangan fan Dani, meng-uploadnya ke sebuah forum dan mendiskusikannya sepanjang minggu. Oh indahnya.
Sesekali Dani menjelaskan hal-hal kecil tentang balap dan juga tentang sirkuit ini di tengan perjalanan. Laju motornya membuat rambutku tertiup angin pagi yang cukup dingin. Setelah memutari sirkuit, Dani menjalankan motornya ke arah belakang sirkuit, tempat truk-truk besar pengangkut perlengkapan balap diparkir. Warna-warna mencolok membuat truk-truk raksasa itu meriah, seperti sedang dipajang khusus untuk festival. Dani mengambil race suitenya di salah satu truk besar. Aku mengekor di belakangnya. Lalu ada seorang pria yang menyapanya. Kelihatannya seseorang yang bekerja di truk ini. Terlihat dari kemeja yang dikenakannya, sewarna dengan logo di sisi truk.
“Hey! Daniel!” Sapanya penuh senyum. “Kau harus menangkan seri ini!” Katanya ceria sambil menepuk punggung Dani. Kelihatannya mereka sudah saling kenal. Karena Dani tidak mungkin bersikap ramah pada orang yang tidak dikenalnya.
“Aku akan berusaha semampuku” Kata Dani.
“Yeah, kau harus! Kita bisa berpesta nanti malam. Maksudku, kalau kau memenangkan seri ini, kau akan langsung jadi juara dunia!” Kata pria itu antusias. Hah? Bukannya seri masih tersisa beberapa? Kenapa dia bilang Dani bisa langsung di nobatkan menjadi juara dunia? Ugh! Kurasa ketololanku soal balap benar-benar parah. Tapi ini keterlaluan. Aku bahkan tidak tahu Dani sudah sedekat itu dengan titel juara.
“Eh, apa gadis itu bersamamu…?” Kata pria itu menyadari keberadaanku.
“Oh, maaf kau belum sempat bertemu dengannya… Carla, kemari. Kenalkan, ini Anton, dia bekerja di sini. Well, dia temanku. Nah Anton, ini Carla, pacarku” Dani memperkenalkan kami. Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku yang disambut hangat olehnya.
“Hai, senang bertemu denganmu” Kataku.
“Hai, Carla. Akhirnya bisa bertemu! Dani selalu membicarakanmu, dan jadi semakin parah kalau dia mabuk—Hey, Dani. Kenapa baru sekarang kau membawanya?” Kata Anton masih sambil menjabat tanganku. Aku membelalakkan mata mendengarnya. Ucapan macam apa yang mungkin keluar dari mulut orang yang mabuk? Dani menarik tanganku.
“Karena kau pasti akan langsung naksir padanya” Ledek Dani. Kami tertawa bersama dan Dani langsung menyeretku keluar truk.
“Okay, aku tak tahu kau suka mabuk-mabukan” Sindirku.
“Tidak seburuk yang kau bayangkan Carla, kami hanya keluar bersama setelah balap dan minum, tidak mabuk-mabukan seperti orang patah hati oke?” Kata Dani sembil tertawa.
“Dan aku khawatir kau membicarakan kejelekanku saat mabuk” Sahutku sambil melipat lenganku di depan dada.
“Oh Carla! Aku yakin hanya membicarakan yang bagus-bagus saja walau mabuk, dan aku hanya bicara dengannya, jangan khawatir, kau tahu kan aku tak mudah dekat dengan orang?” Aku mengangguk sebagai respon. Dia hampir sama sepertiku, malah lebih parah, karena Dani sangat, luar biasa dingin pada orang lain. Dia bahkan jarang sekali tersenyum, berbanding terbalik saat dia sedang bersamaku. Dan, Dani bukan tipe pemabuk yang besar mulut, jadi kurasa dia tak bicarakan yang aneh-aneh tentangku.
Sesuai perkataannya, Dani memang tidak mudah dekat dengan orang lain. Aku pernah membaca posting di forum fansnya dan mereka mencintai sifat Dani yang seperti itu, menjulukinya ‘ice man’ dan meng-upload foto-foto candid wajah Dani yang selalu serius, datar dan tanpa senyum. Tapi mereka langsung menggantinya jadi ‘cute little spaniard’ saat mereka meng-upload video Dani saat memenangkan race dan berdiri di podium, tersenyum puas dengan mata berbinar. Hah.
Aku meraih plastik yang berisi race-suit, sarung tangan dan sepatu balap yang tadi diambilnya dari dalam truk, dan kupeluk erat di dadaku sementara Dani memutar sepeda motornya. Aku sudah tidak sabar melihatnya memakai perlengkapan balapnya.
“Maaf ya, aku bahkan tidak tahu seri ini begitu penting untuk titel juaramu” Kataku ditengah perjalanan kami kembali ke paddock. Itukah alasan yang membuatnya begitu ngotot ingin mengajakku menonton balapnya hari ini? Oh, aku benar-benar tolol.
“Itu tidak penting Carla, yang penting adalah kau ada di sini sehingga bisa melihatku memenangkan gelarnya. Aku janji akan memenangkan gelar tahun ini untukmu” Katanya.
“Kau sudah memenangkannya juga untukku tahun lalu, masa kau mau memberikannya lagi untukku sih?” Aku jadi teringat peristiwa tahun lalu saat Dani menyatakan perasaannya dengan piala juara seri terakhirnya.
“Tak terasa sudah hampir setahun ya?” Kata Dani sambil memelankan laju motornya. Aku tersenyum. Sudah hampir setahun kami bersama-sama. Aku tersenyum.
“Daniel, aku mencintaimu” Kataku dari balik punggungnya dan mempererat dekapanku walau laju motor matic ini tak seberapa cepat.
“Aku tahu bagaimana aku mencintaimu” Balasnya.
***

Dani duduk sambil memandngi kertas-kertas data balapan sambil berdiskusi dengan beberapa staf timnya. Menggunakan bahasa-bahasa balap yang tak begitu kupahami. Paddock yang didominasi warna biru itu mendadak ramai menjelang balap dimulai. Suasana paddock cukup terkesan serius dan semuanya dilakukan dengan sangat cepat, tepat. Namun aku tak memungkiri suasana nyaman dan akrab di tempat kecil ini. Saat pekerjaan mereka dirasa cukup, merekapun mulai membicarakan hal-hal ringan yang terjadi beberapa hari teakhir, termasuk keanehan Dani saat menyamar. Ternyata para kru juga sependapat denganku. Cara menyamar Dani itu sangat buruk dan malah menegaskan bahwa dirinya sedang menyamar. Mereka saling memberi komentar tentang cara menyamar yang baik. Suasana nyaman di dalam paddock, yang tadinya kukira akan sangat kaku dan serius. Aku sudah seperti berkawan lama dengan para kru yang baru kukenal hari ini dan sambutan mereka kepadaku juga sangat baik. Kurasa aku memang seharusnya punya teman lebih banyak.
Dani memberiku sepasang ear-buds saat suara mesin motor mulai menggema tanda balap segara dimulai. Aku memasang keduanya di telingaku. Cukup meredam suara bising walau aku masih cukup terganggu dengan derunya. Melihat Dani mengenakan race suitnya membuatku tersipu sendiri. Dia jadi sangat berbeda saat mengenakan baju balap itu. Terlihat lebih… gagah. Juga sorot matanya yang fokus dan serius, cukup mengalihkan perhatianku dari bisingnya arena paddock.
“Carla, mau jadi umbrella girl-ku?” Tanya Dani dan menyadarkanku dari lamunan. Dia berlutut di depanku yang sedang duduk di kursi lipat hingga wajah kami sejajar.
“Hah? Apa? Maksudku, bukannya kau tidak pernah didampingi umbrella girl?” Tanyaku.
“Memang tidak, menurutku umbrella girl kan tak lantas membuatmu menang” Jawab Dani. Pada awalnya, kupikir dia tak menggunakan umbrella girl karena takut aku cemburu, tapi setelah kuselidiki di forum-forum fansnya di internet, ternyata Dani memang tidak pernah didampingi umbrella girl selama karier balap profesionalnya. Memang aku saja yang ge-er. “tapi berhubung ada kau, aku akan senang sekali didampingimu sampai ke tengah sirkuit” Kata Dani. Aku mengerutkan dahi. Menjadi umbrella girl berarti tersorot kamera yang akan menyiarkan gambarmu ke seluruh dunia. Aku mengalihkan pandanganku ke luar paddock, beberapa umbrella girl berjalan dengan pakaian minim dan make-up tebal sambil mengobrol. Aku mengernyitkan dahi dibuatnya. Kalau Olie yang menjadi umbrella girl mungkin masih pantas. Nah kalau aku?
“Dani, kurasa aku… err… kau tidak marah kan?” Kataku. Aku jelas kalah seksi dan kalah cantik dari mereka. Tinggiku badanku juga tidak sebanding.
“Oh, ayolah, Carla… sekali ini saja” Bujuk Dani dengan wajah memelas, membuatku merasa tak enak hati. Aku menghela napas dan mengambil kaca mata hitam di atas meja kecil di sampingku, lalu mengenakannya.
“Oke, sekali ini saja ya?” Hitung-hitung menyemangatinya agar bisa menang seri ini. Dani tersenyum lebar sambil merengkuh wajahku.
“Umbrella girl tercantik yang pernah kutemui” Katanya.
“Cih, jangan merayuku dengan kata-kata itu lagi, oke?” Dani terkekeh mendengarnya. Dani kemudian bangkit dan mengenakan helmetnya. Mr Puig menyerahkan sebuah payung berwarna biru dengan strip putih kepadaku.
“Hari ini spesial. Gelar juara hampir pasti di tangan dan didampingi umbrella girl pribadi” Godanya. Aku tersenyum tersipu.
Aku memerhatikan para kru sibuk melakukan semacam final check untuk motor Dani saat tiba-tiba Dani datang menghampiriku dan membuka helmetnya.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Aku lupa jimat keberuntungannya” Katanya sambil merengkuh wajahku dan mencium bibirku. Aku membalas ciumannya. Ciuman yang singkat tapi berarti banyak.
“Semoga benar-benar membawa keberuntungan” Kataku saat Dani mengenakan helmetnya lagi.
“Pasti” Jawabnya yakin.

***

Sorak sorai dan teriakan bahagia membahana di seisi paddock. Balapan baru saja berakhir dan Dani memenangkannya. Itu berarti, titel juara dunia praktis dalam genggamannya meski seri masih tersisa dua. Mr Puig memelukku erat dan tak henti-hentinya bersorak sorai. Semua kru juga menggila dengan melempar kertas-kertas. Akupun jadi terbawa suasana dan ikut bersorak senang. Balapan tadi memang cukup menegangkan. Karena pertarungan sengit antara Dani yang menunggangi motor biru dengan si pembalap bermotor hitam berlangsung hingga lap terakhir. Di lap terkhir itulah Dani berhasil merebut kembali posisinya yang sempat direbut lawannya itu pada lap ke sembilan belas.
“Ayo Carla! Ikut ke podium!” Ajak Mr Puig sambil menggenggam tanganku. Kami berlari pelan sambil tetap bergandengan tangan. Kalau sedang seperti ini kami berdua jadi seperti ayah dan anak. Yah, karena kukira usianya tak beda dengan ayahku, tapi jangan tanyakan semangatnya, kurasa ia lebih bersemangat dibanding anak sepuluh tahun. Sepanjang jalan menuju podium banyak sekali para pendukung Dani yang sudah berkumpul dan menepuk-nepuk ringan punggung Mr Puig, dan bahkan ada juga yang menepuk punggungku. Kami sampai di sisi tempat parkir motor-motor para juara dan segera berkumpul di belakang papan pembatas. Beberapa saat kemudian Dani datang dengan motornya, dengan dibantu beberapa kru, ia langsung melompat ke arah kami setelah memarkir motornya. Mr. Puig langsung menyambutnya dengan pelukan dan tak henti-hentinya meneriakkan kata ‘Selamat!’ Dani juga memeluk para kru-kru yang lain. Dani lalu melepas helmetnya. Rambutnya agak basah oleh keringat, namun pancaran sinar matanya dan ekspresi wajahnya tak menggambarkan kelelahan sama sekali. Ia bahagia, tentu saja.
“Carla!” Serunya sambil memelukku erat.
“Selamat, Dani!” Ucapku dan membalas pelukannya. Aku melingkarkan lenganku dan memeluknya erat. Aku bisa merasakan tekstur race suitnya yang tebal melapisi tubuh Dani.
“Untukmu, Sayang” Bisiknya di telingaku. Beberapa orang yang tidak kukenal datang menghampiri kami dan disambut Dani dengan pelukan. Suasana sangat meriah di sekitarku. Aku tidak pernah berada pada situasi se-ramai ini dan dikelilingi orang-orang yang tidak ku kenal. Pesta terramai yang pernah kudatangi adalah pesta kelulusan SMU. Oke, konyol, tapi begitulah keadaannya. Sorak sorai penuh kebahagiaan membahana dari segala sisi. Wajah Dani yang ceria dan bersinar solah menjadi magnet keramaian. Segala juru foto dan kamera-kamera televisi langsung mengerumuninya dan berebut ingin mewawancarai Dani. Salah seorang keamanan langsung memanggil rekannya dengan semacam walkie talkie untuk menertibkan keadaan dan membawa Dani memasuki sebuah pintu di dekat podium.
Beberapa saat kemudian Dani sudah berdiri di atas podium sambil melambaikan tangan. Podiumnya berada di sebuah atap bangunan yang pintu masuknya dilalaui Dani dengan petugas keamanan tadi. Jaraknya tidak terlalu tinggi, hingga kami bisa melihat dengan jelas prosesi podiumnya. Momen inilah yang paling mengharukan untukku dan untuk semua pendukung Dani kurasa. Disaat lagu kebangsaan kami diputarkan. Kibaran bendera yang ditiup angin, suasana hening yang khidmat, juga sensasi menggebu dalam hati. Tak terasa aku menitikkan air mata. Aku memerhatikan Dani. Semua orang disana memerhatikan Dani. Dialah pusat dunia hari ini. Ia melambaikan tangannya ke arah kami sesaat setelah lagu kebangsaan kami selesai dikumandangkan. Aku bisa merasakan dia sedang melihatku. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar ia menatapku, yang jelas pendanganku tak pernah berpindah darinya. Beberapa pendukung Dani sengaja mencat wajah mereka dengan tinta biru, berpakaian serba biru dan membawa bendera besar-besar bertuliskan nama Dani. Mereka mulai merangsek masuk area podium. Perlahan tapi pasti, tempat itu jadi dipadati ratusan pendukung Dani. Para petugas keamanan agak kerepotan menghalau para pendukung yang kian bertambah jumlahnya. Suasana semakin tak terkendali saat Dani menerima piala dan melakukan wine celebration. Para pendukung Dani mulai menerobos masuk ke area kru dan Mr Puig langsung menarikku menghindari keramaian. Ia menggenggam tanganku erat dan membawaku menerobos beberapa petugas sirkuit dan masuk ke sebuah bangunan di sisi lain podium. Menerobos keramaian ternyata bukan hal mudah. Beberapa kali kami terhimpit oleh petugas keamanan yang berusaha membuka jalan untuk kami dan kakiku juga sempat terinjak beberapa kali. Sayang sekali, padahal aku masih ingin melihat Dani di atas podium. Aku bersedia kok berdesak-desakan sedikit dengan para fans Dani.
Kurasakan sedikit nyeri pada tanganku saat kami sampai di sebuah ruangan bersama dengan pra kru yang lain. Mereka jadi ribut sendiri membahas kelakuan para fans yang mulai tak beradab.
“Astaga Carla, apa aku menarik tanganmu terlalu keras?” Tanya Mr Puig saat mendapatiku menggenggam pergelangan tanganku sendiri.
“Err… tidak kok, aku baik-baik saja” Dustaku.
“Coba kemarikan, biar kulihat… Dani tidak akan memaafkan aku jika aku mematahkan tanganmu Sayang” Candanya. Aku langsung mengulurkan tangan kananku kepadanya sambil tertawa. Dia benar-benar seperti ayahku. Mr Puig meluruskan tanganku dan mulai meraba pergelanganku. Aku mendesis nyeri saat ia menekan sisi pergelangan tanganku.
“Oh, kau terkilir,” Desahnya.
“Kukira juga begitu” Jawabku.
“Hey, bawa Robert ke sini, Carla terkilir” Kata Mr Puig pada para kru.
“Aku saja” Kata salah seorang di antara mereka. Oh tidak, aku sudah merepotkan banyak orang, dan siapa Robert? Aku kan hanya terkilir. Jangan bilang pria yang bernama Robert itu adalah dokter spesialis tulang yang terkenal. Aku mengernyitkan dahi membayangkan aku harus diangkut dengan ambulans hanya karena pergelangan tangan yang terkilir.
“Tunggu sebentar, Carla” Kata Mr. Puig sambil beranjak meninggalkanku. Ia mengambil sebuah kursi lipat dan memersilahkan aku untuk duduk. Dia bahkan melap alas kursinya lebih dulu. Aku tidak tahu kalau Mr Puig bisa seramah ini. Maksudku, aku memang belum pernah terlibat pembicaraan akrab dengannya selama ini. Salah seorang kru membawakaknku sebotol air mineral, dia bahkan melepaskan segelnya segala untukku.
“Minumlah” Katanya ramah.
“Oh, aku bisa ambil sendiri. Tolong jangan repot-repot begini” Kataku dengan nada tak enak. Mr Puig menghampiriku dan membimbingku untuk duduk.
“Tidak repot, Carla. Saa sekali. Kau tamu kehormatan hari ini, jadi harus diperlakukan baik juga. Dani kan jarang sekali membawamu ikut. Karena biasanya hanya ayahnya yang ikut ke paddock. Terima kasih sudah datang. Kau tahu? Suasana hari ini begitu berbeda karena ada kau” Jelasnya. “lagipula aku sudah mencederai tanganmu” Lanjutnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya. Apa kehadiranku begitu memberi pengaruh? Ah, kurasa Mr Puig hanya sedang bermanis-manis saja denganku. Tapi aku menghargainya.
“Aku harusnya berterima kasih karena Anda sudah membawa saya keluar dari serbuan penonton diluar sana” Kataku.
“Ya, sudah tugasku” Jawabnya. “Oh, ya… jangan terlalu resmi begitu, memangnya aku terlihat setua itu ya?” Tanya Mr Puig yang disambut gelak tawa para kru lainnya. Aku juga jadi ikut tertawa dan melupakan sedikit rasa sakit di pergelangan tanganku.
“Tidak, kurasa kau jauh lebih tampan dari Dani” Candaku.



Serangan

“Apa tanganmu masih sakit?” Tanya Dani. Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju flatku. Aku melirik jam tangannya dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku tidak tahu kalau ia dan semua pembalap baru bisa pulang setelah melakukan serangkaian sesi yang tidak disiarkan di TV. Dan itu benar-benar lama. Sesi wawancara, tes motor, wawancara lagi setelah tes, konferensi pers, sesi foto, bla bla bla. Suasana kemenangan yang tadi sangat kunikmati jadi menguap begitu saja. Well, mungkin hanya aku yang merasakannya karena kru-kru yang lain tetap bersorak-sorai selama sesi.
“Oh, ya ampun Dani, kau sudah delapan kali menanyakannya dan jawabanku untuk yang ke delapan kalinya adalah; aku baik-baik saja” Jawabku dengan sedikit kesal.
“Kau kelihatan lelah” Desahnya. Ia mengulurkan tangannya dan membelai pipiku. Ya, dia benar. Aku ngantuk sekali.
“Aku ngantuk” Jawabku.
“Izinkan aku memberi perutmu asupan makanan terlebih dahulu sebelum kubiarkan kau tidur lelap” Katanya saat kami mulai memasuki sebuah kompleks apartemen. Kami berjalan beriringan menuju sebuah restoran di lantai paling atas sebuah gedung apartemen.
Lagi-lagi restoran mewah yang mejanya besar-besar dan dengan penerangan remang dan warna-warna lembut. Aku sempat ingin protes dan memintanya memabawaku ke Mc.D namun kuurungkan karena aku sudah ngantuk sekali. Aku meninta Dani memesankan makanan untukku, dan dia tak berkata macam-macam namun langsung memilihkan makanan untukku. Mataku terlalu berat untuk kugunakan membaca nama-nama makanan di buku menu yang besar dan tebal itu.
Setelah makannannya datang, aku segera meraih sendok tanpa menghiraukan nyeri di pergelangan tanganku, menghabiskan porsiku dan merebahkan kepalaku di meja. Kurasakan tangan Dani mengelus rambutku.
“Maaf karena membuatmu jadi lelah sekali hari ini” Katanya lembut. Aku meraih tangannya dan meremasnya lembut.
“Aku hanya ngantuk” Kataku lemas. Entah apa lagi yang terjadi setelahnya namun kurasa aku sudah tertidur di atas meja restoran malam ini.
***

Padang gelap, bulan penuh dengan pendar keperakan, dan orang-orang berjubah panjang.
Entah sudah berapa kali aku memimpikan hal ini. Aku mulai bosan. Ayolah, masa mimpiku ini-ini terus? Apakah mimpi orang lain juga berulang-ulang sepertiku? Kenapa aku tak memimpikan Dani? Ugh!
“Selamat pagi Nona” Sapa suara yang sudah tak asing lagi bagiku. Cesc.
“Cesc?” Gumamku. Kesadaranku pun semakin berkumpul. Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Cahaya matahari yang masuk menerobos di sela-sela gordyn menyilaukanku.
“Ya?” Jawabnya. Aku bangkit dan beranjak duduk di atas tempat tidurku. Cesc menjawabnya dengan duduk di sampingku. Tunggu dulu. Bukannya semalam aku sedang bersama Dani?
“Mana Dani?” Tanyaku.
“Dia hanya mengantarmu pulang lalu pergi” Jawab Cesc sambil menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahku. Tangannya yang dingin seolah mengalirkan sulutan listrik di atas kulitku. Tanpa sengaja aku bergidik karena rasa dingin yang tiba-tiba.
“Maaf” Katanya sambil menarik tangannya kembali. Aku meraih tangannya kembali dan meletakkannya di pipiku. Disentuh olehnya pagi ini adalah hal yang menyenagkan. Aku memejamkan mata menikmati suhu tangan Cesc. Hingga tiba-tiba kusadari rasa nyeri di pergelangan tanganku. Pergelangan tanganku seolah berdenyut-denyut dan rasanya ngilu sekali.
“Eh? Kau baik-baik saja?” Tanya Cesc sambil meraih tanganku yang sakit. Suhu tubuhnya yang dingin secara ajaib mengurangi rasa sakit di tanganku.
“Keberatan tidak kalau kau menggenggam tanganku seharian ini?” Tanyaku.
“Hah?” Wajah tampannya mengisyaratkan kebingungan.
“Tanganku terkilir dan rasanya nyeri sekli. Tapi kau baru saja membuatnya baikan” Jelasku.
“Aku tak lakukan apapun” Katanya.
“Kau menyentuhnya” Kataku lagi.
“Hmm?”
“Suhu tubuhmu membuat rasa sakitnya mereda”
“Oh” Cesc kemudian tersenyum dan kembali menggenggam tanganku. Aku menghela napas panjang dan menikmati rasa sakit itu perlahan-lahan pergi.
“Benar-benar menghilangkan sakit?” Tanya Cesc dengan suara tak percaya.
“He eh” Jawabku sambil tetap memejamkan mata. Sensasi dingin di tanganku benar-benar membuatku relaks. Sampai aku merasakan sentuhan dingin lainnya menjalari kulit wajahku. Aku membuka mata perlaan. Ternyata itu tangannya yang lain. Jari telunjuk dan tengahnya menelusuri pelipis hingga ke rahangku. Dengan refleks aku meraih tangan dinginnya dengan satu tanganku, sementara tangan kananku masih dalam genganggamannya. Cesc tersenyum memandangiku. Aku membalas senyumannya.
“Bagaimana rasanya?” Tanya Cesc.
“Luar biasa lebih baik” Jawabku yakn saat kurasakan pergelangan tanganku tak sakit lagi.
“Kupkir semalam kau sakit saat dia menggendongmu pulang” Kata Cesc sambil meletakkan kedua tangnnya di pipiku. Ia mengecup dahiku lembut. “Terus terang saja… aku panik” Desisnya di telingaku. Aku melonggarkan jarak di antara kami agar aku bisa melihat kedua matanya yang merah membara. Indah. Aku cukup heran akan bias pesonanya yang tak kunjung pudar meski aku sudah bersamanya setiap hari. Dia tetap terlihat luar biasa untukku.
“Aku hanya mengantuk… dan aku tertidur di meja restoran. Konyol ya?” Tanyaku sambil tertawa. Cesc tersenyum manis menanggapinya. Jemarinya masih menelusuri lekuk wajahku. Tatapan matanya yang lembut sangat menentramkan. Dan membius. Aku terus terpaku pada kedua matanya hingga tak kusadari wajahnya kian dekat ke wajahku. Perlahan tapi pasti Cesc kembali menempelkan bibirnya di bibirku. Kami berciuman lagi. Ah. Aku tak tahu apakah ini benar atau salah. Tapi… aku sama sekali tak kuasa menolaknya. Ciumannya kali ini semakin mempertegas perbedaan antara ciumannya yang lembut dan manis dengan ciuman Dani yang intens dan membakar. Manisnya sirup maple meresapi indera perasaku. Juga hawa dingin yang menguar di sekitar tubuhnya yang terasa masuk ke dalam paru-paruku. Aku menyukainya. Bukan berarti aku tidak menyukai ciuman Dani, bukan. Bagiku saat berciuman dengan Dani adalah hal terindah yang mungkin bisa kubayangkan dalam hidupku. Tapi ciuman Cesc begitu…
“Carla,” Desahnya sambil melepaskan kecupannya. Aku menatap kedua matanya lekat-lekat. Aku ingin sekali mempertegas semuanya. Sebagian dari diriku menolak ini dan sebagian lainnya menyukainya. Sebagian diriku yang menolak merasa aku sedang mengkhianati Dani dan sebagian diriku yang lain membantahnya; Cesc bukan manusia.
“Sebenarnya… kita ini… apa?” Tanyaku.
“Aku tidak mengerti pertanyaanmu” Jawab Cesc.
“Kau menciumku”
“Ya”
“Kau tahu, yang seperti ini namanya ‘friend with benefits’” Istilah yang banyak digunakan orang yang tidak ingin memiliki ikatan emosional yang lebih dari teman tapi memiliki hubungan fisik. Teman tapi mesra? Benarkah hubunganku dengan Cesc jadi seperti itu? Tapi aku sudah punya pacar? Apa aku berselingkuh?
“Tidak ada yang seperti itu disaat aku masih hidup kau tahu?” Sahut Cesc. Dia kembali menyentuhkan bibirnya di bibirku.
“Aku merasa seperti sedang berselingkuh” Ucapku di sela ciumannya. Aku ingin tahu apakah dia pernah memikirkan aku dan Dani. Dan apa yang dilakukannya dapat memengaruhi hubunganku dengan Dani.
“Kau tidak berselingkuh Carla” Jawabnya. “aku tak benar-benar ada. Dan aku juga tidak berusaha mengambilmu darinya” Aku menghela napas dan memejamkan mata. Cesc menyandarkan dahinya di dahiku.
“Aku hanya ingin… merasakan yang belum pernah kurasakan… aku ingin… memiliki seseorang yang kusayangi…” Cesc tak melanjutkan kalimatnya. “berhentilah beranggapan kalau kau berselingkuh Carla. Kau mencintai dia, itu sudah jelas” Aku tak berselingkuh, Ya. Aku mencintai Dani lebih dari apapun di dunia ini, Ya. Aku tak menginginkan orang lain untuk mencintaiku selain Dani, Ya.
“Kumohon ijinkan aku menyayangimu seperti yang dia lakukan kepadamu Carla, aku tak meminta kau membalasnya, aku hanya ingin kau menerimanya” Bisik Cesc. Aku mengangguk ringan. Perasaanku tetap terasa sama mengganjalnya. Aku tak berselingkuh. Fakta itu membuat beban di kepalaku terangkat. Tapi sekaligus membuat aku terus berpikir. Apakah ini tidak apa-apa? Tidak hanya untuk Dani, tapi untukku? Dan untuk Cesc juga. Kami terdiam beberapa saat.
“Kau harus sarapan” Aku mengangguk. Hanya dia yang tahu tentang jadwal makanku yang tak boleh lompat. Untuk alasan penyakitku tentu saja. Dani tidak tahu dan aku tidak berencana untuk memberitahunya. Aku tidak ingin merepotkannya lebih dari yang sudah. Aku juga sudah berpesan pada ibuku untuk tidak bercerita tentang sakit lambungku yang konyol dan aneh ini.
“Ya” Jawabku lemah. Cesc mengecupi daguku beberapa kali sambil menarikku bangkit dari tempat tidur. Ia melingkarkan lengannya di pinggangku.
“Hey, aku mau coba sesuatu” Katanya. Jelas sekali dia sedang mencoba memperbaiki mood.
“Apa?”
“Pejamkan matamu” Pintanya. Tanpa banyak tanya aku langsung memejamkan mataku. Sedetik kemudian kurasakan tubuhku seperti melayang dan udara di sekitarku bergerak. Aku juga mencium wangi manis sirup maple samar di udara di sekitarku. Kejadian yang hanya sepersekian detik. Hampir tak terasa.
“Sekarang buka matamu” Kata Cesc lembut. Perlahan kubuka mataku dan aku mendapati wajahnya dihadapanku.
“Apa?” Tanyaku bingung.
“Kau tidak sadar kita ada dimana?” Tanya Cesc sambl terkekeh. Dengan sigap aku langsung memalingkan wajahku dari wajah sempurnanya dan menyaksikan bahwa kami berdua sedang berada di dapur. Tunggu dulu… bukannya tadi kami masih berada di dalam kamar?
“Apa yang kau lakukan?!” Tanyaku spontan. Cesc mengembangkan senyuman khasnya.
“Waktu itu kau pernah bilang ingin berteleport sepertiku… yah, karena kau masih hidup, aku tak bisa mengajarkannya, makanya kubawa kau berteleport saja. Bagaimana rasanya?” Tanya Cesc sambil berjalan ke arah kursi yang biasa di tempatinya saat sedang menemaniku sarapan—kalau tidak ada Dani.
“Hampir tak terasa… tapi bagaimana mungkin aku juga bisa berteleport?!” Aku masih takjub dengan peristiwa yang baru saja aku alami. Ini tentu bukanlah pengalaman yang bisa dirasakan semua orang di dunia.
“Ya, karena hanya dari kamarmu ke dapur tentu saja tidak akan terlalu terasa… well, aku melingkupi auramu dengan auraku, simpel, membawa ragamu membaur dengan serpihanku. Apa kau mengerti?” Kata Cesc.
“Err… tidak juga…” Jawabu jujur.
“Yah, aku tahu kau pasti tidak akan mengerti. Ledeknya sambil kembali mengecup daguku. Cesc kembali mengarahkan bibirnya ke bibirku. Ini tidak wajar. Kenapa aku sama sekali tidak merasa janggal dan asing saat Cesc hendak menciumku? Saat kami kembali berciuman tiba-tiba kudengar suara handphoneku berdering. Refleks, aku melonjak saking kagetnya. Cesc tertawa melihat aku yang panik dan langsung memburu ke arah kamarku untuk menjawab telepon yang masuk. Oke. Kenapa aku berdebar-debar begini? Apakah karena aku baru saja berciuman dengan Cesc? Tapi kenapa telat sekali? Harusnya kan aku berdebar-debar saat berciuman bukan sesudahnya. Jangan bilang aku merasa bersalah akan ciumannya yang manis itu. Aku benar-benar bisa jadi gila. Aku langsung menyambar tas tempat handphoneku berada, tapi aku malah melupakan kondisi tanganku yang masih terkilir.
“Aw!!” Pekikku saat aku mencoba mengambil handphone dengan tangan kananku yang sakit. Sial! Sial! Sakit sekali!
“Kau baik-baik saja?” Tanya Cesc yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Aku mengacuhkan pertanyaan Cesc dan langsung terfokus pada nama di layar handphoneku. Dengan tangan kiri, kuraih handphoneku dan menekan tombol ‘JAWAB’
“Hallo” Jawabku sambil meringgis menahan sakit.
“Astaga Carla… kenapa lama sekali kau mengangkatnya?” Suara Dani terdengar jengkel. Dia paling tidak suka kalau aku telat menjawab teleponnya. Memangnya dia lupa kalau tanganku sedang cedera?
“Maaf… tanganku…” Desisku. Cesc yang sedari tadi memerhatikan tanpa dikomando langsung melingkarkan jemarinya di pergelangan tanganku. Dia tahu aku kesakitan.
“Oh!! Ya Tuhan kau baik-baik saja? Apa masih sakit?” Dari nada bicaranya kentara sekali dia lupa akan tanganku.
“Ya… aku tidak apa-apa…” Jawabku saat kurasakan suhu dingin tangannya sekali lagi meredam rasa nyeri di tanganku.
“Aku kesana sekarang Carla” Kata Dani. Terdengar olehku ia menyalakan mesin mobilnya.
“Aku sudah baikan kok Dani…” Aku tidak bohong. Walaupun rasa sakitnya masih terasa.
“Akan kubawa kau ke dokter oke? Tunggu aku” Katanya Dani dan sambungan teleponnya putus. Aku mendesah ringan sambil melemparkan handphoneku ke atas tempat tidur.
“Dia benar. Kau harus dibawa ke dokter, Carla” Kata Cesc.
Tak sampai lima belas menit Dani sudah sampai di flatku. Cesc membantuku membukakan pintu untuk Dani, dan kemudian lenyap. Aku mempersilakan Dani masuk sementara aku meminta waktu untuk mandi sebentar.
“Kau yakin kau bisa mandi dengan tangan seperti itu?” Tanya Dani.
“Aku baik-baik saja. Mungkin akan sedikit kerepotan tapi aku kan punya dua tangan oke?” Jawabku.
“Yah, kalau kau butuh bantuan, tinggal panggil aku saja” Kata Dani sambil menyeringai jahil yang kubalas hanya dengan juluran lidah meledeknya.
Ternyata benar, cukup menyebalkan mandi dengan kondisi sebelah tangan nyeri bila terbentur. Aku membutuhkan waktu dua kali lipat dari waktu biasa aku mandi sambil sesekali meringgis nyeri saat sedang berpakaian. Ketika aku sudah berpakaian lengkap dan berjalan ke arah ruang tengah, aku malah menemukan Dani sedang tertidur nyenyak di sofa hijau lumutku, setengah berbaring.
Apakah aku begitu lama sampai ia tertidur karena menungguku? Atau dia masih capek karena race kemarin? Kurasa dia memang kelelahan. Ekspresi wajahnya saat tidurlah yang menjawab pertanyaanku.
Aku menyentuhkan tanganku yang tidak sakit di pipinya yang terlihat, membelainya selembut yang kubisa. Tapi ternyata Dani malah terbangun dengan sigap.
“Astaga aku ketiduran!” Katanya sambil bangkit. “Sudah berapa lama?” Tanya Dani sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
“Tidak se-lama itu kok, tidurlah lagi, kau pasti kelelahan” Kataku lembut sambil mendorong tubuhnya ke arah sofa.
“Aku baik-baik saja Carla… apa kau sudah siap? Ayo kita pergi?” Ajak Dani.
“Tidurlah dulu satu atau dua jam, setelah itu baru kita pergi” Pintaku. Wajahnya yang kelelahan begitu membuatku tak tega.
“Astaga, aku baik-baik saja, kita ke dokter, setelah itu aku akan tidur seharian ini. Setuju?” Tawarnya.
“Oke,” Jawabku. Dani tersenyum puas dan segera bangkit dari sofa. Segera beranjak pergi ke dokter.
***
“Harusnya memang dibebat sejak awal, maaf ya, Robert biasa menangani pasien laki-laki –dan atlet, jelas berbeda sekali untukmu” Kata Dani saat kami kembali ke flatku. Aku menggenggam pergelangan tanganku yang dibebat ketat. Rasanya aneh. Balutan perban ini begitu ketat di tanganku. “apakah masih terasa nyeri?” Tanya Dani.
“Tidak, pain-killernya ampuh kurasa. Aku harusnya beli obat sialan itu di apotek” Kataku setengah mengumpat. Tanganku benar-benar tidak terasa sakit sama sekali. Dani tertawa mendengarnya.
“Butuh resep dokter untuk membeli obat-obatan semacam itu,” Kata Dani. Dia tetap kelihatan lelah walau sedang tertawa begitu. Tadi dia sempat memberi tahuku rencana kedatangan orang tuanya sore ini. Keluarganya akan tinggal di London bersama dengannya untuk merayakan gelar juara dunia Dani dan sekaligus hari ulang tahunnya minggu depan. Itu berarti dia mungkin tidak akan punya kesempatan untuk tidur siang setelah orang tuanya tiba. Aku melirik jam di dinding, masih jam sebelas. Kalau tidak salah tadi dia bilang pesawat orang tuanya baru akan tiba sekitar pukul tiga.
“Kau sudah janji padaku untuk tidur setelah mengantarku ke dokter,” Kataku sambil menyisipkan jari tanganku di rambutnya.
“Ya, kurasa aku memang butuh tidur. Boleh pinjam kamarmu?” Tanya Dani.
“Tentu, tidurlah yang nyenyak tuan juara-dunia” Kataku sambil mengecup pipinya. Dani tersenyum dan membalas kecupanku. Dani kemudian melepas jaketnya dan melemparkannya ke atas sofaku, mengeluarkan dompet, handphone dan kunci mobilnya dari saku jeansnya dan meletakannya di atas meja. Hanya jam tangannya yang masih melekat di pergelangannya. Aku tahu betul kebiasaannya yang satu ini. Dani hampir tak pernah melepaskan jam tanganya. Tiba-tiba aku terbayang akan hadiah ulang tahunku untuknya—ulang tahunnya tinggal hitungan hari, dan tak sabar rasanya melihat kalung pemberianku tetap bergelantungan di lehernya meski dia sedang terlelap.
Dani tersenyum padaku sebelum masuk kedalam kamar dan menutup pintunya. Kelihatan sekali dia memang membutuhkan ruang untuknya sendiri tanpa pengganggu.
Aku kemudian berjalan ke dapur untuk merapikan piring dan gelas bekas sarapanku. Dan menemui Cesc.
“Hei” Sapanya seraya menampakkan diri padaku.
“Hai” Jawabku sambil memindahkan piring dan gelas ke bak cuci piring.
“Tanganmu?” Tanya Cesc.
“Baikan. Mereka memberiku pain killer” Jawabku sambil menyabuni piring dan gelasku dengan hati-hati, agar tak membasahi perban cokelatku.
“Dia sudah tidur… lelap sekali” Kata Cesc. Aku tahu yang dimaksudkannya adalah Dani. Sepertinya aku harus terbiasa dengan kata ‘dia’
“Dia kelelahan,” Komentarku.
“Aku menyaksikannya di TV kemarin. Well, dia keren juga” Sahut Cesc.
“Hah?” Responku sambil menatapnya.
“Apa?”
“Kau menonton TV?” Tanyaku takjub.
“Hey, walaupun sudah mati aku tidak boleh ketinggalan jaman!” Jawabnya.
“Kau lucu” Kataku sambil tertawa.
“Trims, tidak pernah dengar hantu menonton TV sebelumnya? Well, aku suka menonton TV. Menyenangkan rasanya melihat dunia berkembang dari waktu ke waktu dan aku bisa menyaksikan semuanya—perkembangannya” Jelas Cesc.
“Acara apa yang kau tonton?” Tanyaku sambil menyelesaikan membilas piringku dengan air bersih. Kemudian mengeringkan tanganku. Kenyataan bahwa Cesc suka menonton tv cukup menghiburku.
“Hmm… banyak. Apa saja sebenarnya. Berita, olah raga, kadang-kadang drama… Eh?!!” Kata-kata Cesc terpotong dan raut wajahnya berubah. Drastis.
“Ada apa?” Tanyaku dengan refleks. Dan mengikuti arah pandangannya, ke arah ruang tengah. Wajah Cesc masih kaku dan kulihat otot rahangnya mengejang. Seperti ada seseorang—atau sesuatu yang datang tanpa diundang. Suasana berubah. Aku dapat merasakannya. Semacam gelombang yang begitu besar menerpaku. Tidak ada rasa sakit sama sekali, tapi tekanan, seperti udara di sekitarku memadat. Lalu setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang semua terasa kembali ke keadaan awal. Aku melirik Cesc dengan perasaan takjub. Aku yakin Cesc juga merasakannya, karena rahangnya mengatup dengan kuat saat gelombang ke dua datang.
“Carla, tunggulah di sini. Aku segera kembali” Kata Cesc dan kemudian dia lenyap.
Ada apa sebenarnya? Dan sampai kapan aku harus menunggu di sini? Apa ini berhubungan dengan dunia gaibnya? Kepanikan mulai menyelimutiku.
Datang lagi. Gelombang ke tiga. Aku mengernyitkan alis karena kurasakan gelombang ke tiga ini lebih berat dan tebal.
“Dani!” Tiba-tiba aku teringat Daniel yang sedang tertidur di kamarku. Apa dia juga merasakannya? Tanpa pikir panjang aku segera berlari menuju kamarku.
Disaat aku baru beranjak beberapa langkah gelombang ke empat datang dan menerpa tubuhku. Lebih kuat. Seperti ada sesuatu yang menabrakku dari belakang. Dan kemudian semuanya gelap.
:tbc:


Author's Note
SURPRISE SURPRISE!!!!!
3 chapter di atas semoga membayar sebulan tanpa update :P
agak gantung sih ending chapter 15, kan biar seru :P
gua ingin mengomentari sedikit tentang hubungan cesc dan carla yang semai gak jelas,
di sini cesc mulai menyedari bahwa perasaannya kepada carla melebihi 'teman satu kamar' biasa dan begitu juga carla yang meski berperang melawan batinnya, ia tahu bahwa ia juga merasakan sesuatu yang berbeda terhadap cesc AWWWWWW bahasa gua shitnetron banget yakaaannn hehehe
sampai bertemu di chapter berikutnya!!!!

Fanfiction: The Lion's Call

Keterangan usia karakter:
Peter Pevensie: 17
Susan Pevensie: 16
Edmund Pevensie: 14
Lucy Pevensie: 12
Nuria Harewood: 16

Disclaimer: semua yang berhubungan dengan Narnia adalah milik C S Lewis :)

Chapter 7

“King Nain!” Sapa Peter saat menjupai raja Archenland itu. Beberapa tahun pasti sudah berlalu karena wajah King Nain terlihat lebih tua dari terakhir kali Peter menemuinya.
“Astaga! High King Peter? King Edmund?” Nuria memerhatikan ketiganya terlihat akrab dan mengobrol dengan penuh senyum. Sekali lagi dia merasa terasing dibuatnya.

Setelah beberapa saat terlibat perbincangan, dengan King Nain, ketiganya menerima jamuan makan, dan kemudian dipersilakan menempati sebuah tenda yang lumayan besar dibandingkan tenda-tenda prajurit. Tiga buah dipan berlapiskan matras terjejer di sisi kanan dalam ruang tenda.
“Kau kelihatan lelah, berbaringlah” Kata Edmund kepada Nuria yang dibalasnya dengan anggukan. dikelilingi banyak sekali orang asing, mendengarkan mereka membicarakan hal-hal yang sama sekali tak dimengertinya memang membuat kepala Nuria sedikit pusing. Edmund kemudian menghampiri kakaknya yang sedang duduk termenung di sisi lain tenda. Menurut penuturan King Nain, masa kepemimpinan King Caspian telah berlangsung selama tiga tahun, yang berarti, sudah tiga tahun waktu Narnia semenjak para Pevensie kembali ke dunia manusia. Dan tepat di tahun ketiga sepeninggal Pevensie bersaudara, seorang Tisroc Calormen (Tisroc adalah sebutan untuk penguasa dalam bahasa bangsa Calormen) menyatakan peperangan pada Archenland. Alasannya. Yang sampai sekarang tidak dimengerti Peter, bangsa Calormen ingin merebut kekuasaan atas kerajaan Archenland.
Memang satu tahun terakhir ini, masih menurut King Nain, Calormen sedang ditimpa musibah yang tak berkesudahan, badai pasir yang datang ke wilayah mereka menjadi berpuluh-puluh kali lebih kuat dari yang biasanya, kekeringan melanda dimana-mana, dan ikan-ikan seperti menjauhi perairan mereka. Dalam kepanikan itu, Tisroc Calormen mengirim sebuah surat resmi kepada Archenland, meminta bantuan untuk mengirimkan bahan makanan dan air ke Calormen. Bukannya Archenland tidak membantu, mereka sudah mengirimkan bantuan makanan, bahkan Narnia yang letaknya lebih jauh ke Utara pun ikut mengirimkan bantuan ke Calormen. Namun, perjalanan ke Calormen yang sangat berat; padang pasir bersuhu ekstrem, rute yang membingungkan, membuat beberapa kelompok pengirim bantuan tak samapai ke Calormen. Tisroc Calormen menganggap ini sebuah penghinaan, membunuh para kelompok pengantar bantuan yang tersisa dan menyatakan perang terhadap Archenland.

“Yang tidak kumengerti Ed,” Kata Peter saat menyadari adik laki-lakinya sudah duduk di kursi kayu di sebelahnya. “bisa-bisanya Calormen menyatakan perang ditengah keadaan mereka yang sebenarnya sudah krisis”
“Kurasa Pete, well, ini hanya dugaanku saja. King Nain tak menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada kita” Pernyataan Edmund membuat Peter terbelalak.
“Maksudmu, King Nain membohongiku?”
“Aku tidak bilang dia berbohong Pete. aku merasa dia hanya tak menceritakannya secara lengkap, seperti ada yang sengaja disembunyikannya. Mungkin terdengar konyol, tapi aku bisa merasakannya” Aku Edmind. Peter menatap adiknya lekat-lekat.
“Itu mungkin saja… mungkin saja dia memang tak menceritakan semuanya, dia punya hak untuk itu. Maksudku, ini konflik kerajaannya dengan kerajaan lain, dia berhak memberikan keterangan palsu kepada pihak yang sama sekali tak terlibat seperti kita, itu bukan masalah”
“Akan jadi masalah Pete…” Edmund memberi kesimpulan. “kalau keterangan palsu itu digunakan untuk mendapatkan dukungan dari kita” Peter menolehkan wajahnya ke arah Edmund, mencermati setiap kata yang baru saja diucapkan saudara laki-lakinya. Ia tak bisa berargumen, pernyataan Edmund terlalu masuk akal. Prajurit perang Narnia memang dikenal sangat kuat. Bisa saja King Nain memprovokasi mereka berdua, memempatkan seolah-olah Calormen yang salah, untuk mendapat tambahan kekuatan dari Narnia.
“Tapi… Archenland berhubungan baik dengan Narnia….aku tak habis pikir kalau King Nain benar melakukannya” Peter menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Itu kan hanya dugaanku saja” Edmund menambahkan. “kurasa Pete, kita lebih baik tak berlama-lama di sini… kita harus secepatnya pergi ke Narnia. Aku akan lebih mempercayai seekor faun Narnia dibandingkan seluruh pasukan di perkemahan ini”
“Kau benar” Peter menyetujui saran adik laki-lakinya.

Nuria mendengar pembicaraan kedua Pevensie sambil berbaring di atas dipan beralaskan matras.
“Kita akan pergi?” Tanya Nuria. Ia merasa sangat rileks dengan posisi berbaringnya saat ini dan tidak merasa perlu untuk bangkit hanya demi berbicara dengan Peter dan Edmund. Walaupun mereka berdua raja sekalipun.
“Ya, kuputuskan memang sebaiknya begitu” Jawab Peter.
“Tapi kukira kita baru saja sampai….” Desah Nuria, ia tahu suaranya itu hanya terdengar olehnya saking pelannya. Ia memejamkan mata meresapi perasaan nyaman saat berbaring di matras saat ini. Ia tahu ia tak mungkin tidur di atas matras dalam perjalanan menuju Narnia. ia merasakan ada bayangan seseorang disisinya, dengan spontan Nuria membuka matanya, ternyata itu Edmund.
“Peter tidak bermaksud kita harus pergi ‘sekarang’ kok! Kita harus tetap terlihat normal, setidaknya aku tahu hari ini pasukan Archenland memang berencana melanjutkan perjalanan pulangnya. Kita ikut mereka, lalu berpamitan di tengah jalan dan melanjutkan perjalanan bertiga ke Narnia” Kata Edmund sambil membaringkan tubuhnya di atas dipan matras di samping Nuria.
“Lalu kita harus melakukan apa agar tetap terlihat ‘normal’?” Tanya Nuria. dia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.
“Kurasa tidur sebentar sebelum jam makan siang terdengar ‘normal’” Kata Edmund sambil menyeringai. Nuria mengembangkan senyuman di wajahnya.
“Kupikir kau akan menyuruhku memakai pakaian kuno supaya terlihat ‘normal’” Dan mereka tertawa kecil bersama.

:tbc:

A/N
first of all
i want to say sorry for late update :(
dan! gua juga minta maaf karena di chapter sebelumnya gua salah menulis nama raja Archenland orz
harusnya King Nain bukan King Nian.
sooo sooorrrryyyy for that!

Senin, 13 September 2010

happy ied!

YAY IDUL FITRIII!!!
akhirnya datang juga ini hari, dan, gua akan mulai menulis lagi BESOK ;)