Senin, 30 November 2009

Fan Fiction: Another Love Story 4.

Pertemuan

Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat bangun. Aku kaget karena aku masih berada dalam pelukkan Dani. Mimpikah aku? Atau dia memang masih disini? Aku bangkit dan terduduk di kasurku. Manandangi sosok yang masih terlelap didepan mataku. Aku tersenyum geli memandang wajah tidurnya yang polos. Ini pertama kalinya aku melihat Dani sedang tidur. Bahkan disaat tidurpun, wajah khasnya tak berkurang. Aku membelai pipinya yang tampak dengan punggung tanganku, kemudian aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Aku mengikat rambutku ekor kuda asal-asalan saat berjalan. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku akan membuat sarapan. Apa ya? Ah, beberapa pancakes sederhana saja. Aku tersenyum sendiri saat mulai mengocok adonan dengan mixer. Aku menyadari perbedaan ukuran tepung dan gula yang aku gunakan. “Seperti pengantin baru saja,” Gumamku dalam hati. Biasanya aku hanya membuat porsi untukku sendiri, tapi kali ini ada yang akan sarapan bersamaku. Daniel, dan masih tertidur lelap dikamarku. Benar-benar seperti pengantin baru.

“Selamat pagi,” Sapa Francesc, yang langsung—begitu saja muncul dihadapanku. Aku melonjak kaget.membuat sendok-sendok yang sedang aku genggam jatuh berdentingan dengan suara ribut.
“Francesc!” Aku berusaha marah, tapi suaraku malah terdengar aneh.
“Kupikir kau sudah terbiasa dengan keberadaanku” Ujarnya sambil membantuku memunguti sendok sendok yang jatuh berserakan dilantai. Untung bukan piring yang sedang aku pegang.
“Setidaknya, cobalah muncul dengan cara yang lebih perlahan” Gumamku.
“Memangnya kau mau melihat aku muncul perlahan? Kepala terlebih dahulu, berterbangan tanpa tubuh? Aku bisa saja sih melakukannya kalau kau mau” Katanya. Membayangkannya saja perutku langsung kram.
“Sesukamu sajalah” Ujarku kesal sambil merebut sendok-sendok dalam genggamannya. Tak sengaja aku menyentuh jemarinya. Aku terkesiap dan langsung membelalak menatap matanya. Tangannya dingin sekali. Francesc hanya tersenyum melihat ekspresiku.
“Omong-omong, aku harap kau punya acara hingga sore ini dengan pacarmu, mungkin? Bukankah manusia suka pergi berkencan di hari Sabtu?” Ujar Francesc sambil berjalan menjauhiku. Berjalan kearah meja bundar, menarik salah satu kursi dan duduk diatasnya.
“Sore ini?” Aku mengklarifikasi. Aku mengingat-ingat rencanaku hari ini. Aku memang akan pergi ke sebuah toserba di sekitar Ashburton Grove. Aku sudah diterima untuk bekerja part time di sana. Dan hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Gajinya juga lumayan untuk meringankan biaya hidupku disini. Pemiliknya adalah sepasang suami-isteri paruh baya yang ramah dan baik hati, Danniene dan Mathieu Willis. Aku rasa usia mereka tidak terpaut jauh dengan kedua orang tuaku. Aku bekerja sehari penuh pada week-end dan seusai jam kuliah pada week-day. Tentu saja aku tidak memberitahu Dani mengenai hal ini. Dia pasti akan melarangku. Dan berusaha keras membujukku menerima uang-uangnya.
“Ya,” Jawabnya singkat.
“Memangnya ada apa sore ini?” Aku penasaran. Francesc terdiam sejenak. Sorot matanya tidak yakin.
“Mengingat tempat ini tempat tinggal bersama… Aku, ingin menggunakan tempat ini sore nanti” Jelasnya. Aku menyadari penekanan berlebih pada kata ‘tempat tinggal bersama’ yang diucapnya.
“Memangnya kau mau melakukan apa? Sebagai flat-mate mu, aku rasa aku berhak tahu” Balasku kembali menekankan beberapa kata seperti yang dilakukannya. Francesc kembali melayangkan tatapan tidak yakinnya kepadaku, sementara aku mulai menata piring di meja di hadapannya. Aku menyilangkan tangan di dada, balas menatapnya.
“Terkadang kau… jadi sangat cerdik. Baiklah. Aku memang akan melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi tidak sendirian” Jelasnya.
“Tidak sendirian? Maksudmu, kau akan mengundang teman-temanmu?” Aku menayakannya kaget.
“Persis” Senyum menyungging di sudut bibirnya.
“Kau akan membawa hantu-hantu ke rumahku? Yang benar saja! Aku tidak mau melihat yang lain lagi” Protesku.
“Ingatkan ini tempat tinggal bersama? Kau boleh mengundang tamu-mu untuk datang begitu juga aku” Kelaknya. Tentu saja aku akan menyetujuinya jika tamunya manusia.
“Lagipula mereka yang datang bukan dari jenisku—setidaknya beberapa, karena itu aku memintamu pergi sore ini” Tambahnya. Aku kembali membelalak. Kali ini karena ngeri. Bukan dari jenisnya. Itu berarti ada jenis yang lain. Tapi apa?
“Bukan dari jenismu?” Nada suaraku tidak jelas. Francesc mengangguk lambat-lambat. Meng-iya-kan. Aku menelan ludah. Aku meresapi informasi yang baru saja aku dapatkan. Bukan dari jenisnya—yang rupawan dan berbentuk manusia normal. Itu berarti hantu yang sesungguhnya? Yang ada di film horror?
“Lalu jenis apa?” Tanyaku. Meskipun takut, tapi rasa penasaran menguasai otakku. Francesc tersenyum kagum. Mungkin ia mengagumi sikapku yang terlihat biasa saja bersinggungan dengan dunianya.
“Nanti saja kuberi tahu detilnya. Pacarmu sudah bangun” Sahutnya, kemudian sekejap saja dia sudah menghilang.

Aku berusaha sebisaku untuk bersikap wajar. Aku meletakan potongan potongan pan cakes di atas piring datar dan menuang dua gelas susu hangat.
“Selamat pagi,” Sapaku kepada Dani yang berjalan ke arahku. Ia merengkuh pinggangku dan memelukku lembut.
“Selamat pagi” Jawabnya. “Bagaimana tidurmu samalam?” Tanya Dani kepadaku. Aku langsung merasakan perbedaan suasana yang drastis. Pertanyaan Dani adalah pertanyaan normal dan wajar ditanyakan pada pagi hari, berbeda dengan percakapanku barusan dengan Francesc.
“Sempurna. Kau sendiri bagaimana?” Tanyaku sambil melepas pelukannya dan menata gelas susu.
“Tidur malam terindah yang pernah aku alami” Jawabnya sambil duduk di kursi yang tadi di duduki Francesc. Agak aneh melihatnya duduk di kursi itu. Karena baru saja sesuatu yang bukan manusia duduk di kursi yang sama. Tapi aku terus berusaha bersikap wajar. Sewajar mungkin. Membayangkan nanti sore tidak ada pertemuan hantu-hantu di tempat ini.
“Aku membuat pancakes, kuharap kau suka” Kataku sambil menghidangkan seporsi pancakes untuknya.
“Siapa sih yang tidak suka pancakes?” Guraunya. Aku tersenyum sambil duduk di seberang meja. Kami mulai melahap pancakes kami. Ditengah tengah sarapan kami, Dani memandang jam tangannya yang sejak semalam tak pernah lepas dari pergelangan tangannya.
“Aku harus pulang ke apartemenku, Mr Puig akan menemuiku disana siang ini” Jelas Dani.
“Oh, aku juga ingin pergi ke toserba di Ashburton Grove jam sepuluh” Aku jadi teringat. Dani kelihatan tidak curiga sama sekali. Syukurlah.
“Kalau begitu akan ku antar” Sarannya.
“Tidak usah, aku bisa naik bus. Lagipula apartemenmu berlawanan arah” Aku berusaha menghalanginya mengantarku. Aku takut dia tahu kalau aku bekerja disana.
“Jangan mempersempit waktu dengan berdebat Carla, aku akan mengantarmu ke Ashburton, lalu kembali ke apartemanku tepat waktu, Ok?” Desak Dani. Aku tidak bisa membantah. Aku harap dia hanya mengantarku sampai pinggir jalan.
Setelah selesai sarapan aku langsung bergegas mandi dan berpakaian, menguncir rambutku ekor kuda—kali ini lebih rapi, lalu merias wajahku tipis-tipis—karena aku tidak suka ber make-up, lagi pula jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Aku lantas mengunci pintu flatku dan bergegas turun ke bawah. Dani sudah menungguku di dalam mobilnya yang mengilap diterpa sinar mentari pagi yang hangat.
Perjalanan ke Ashburton dari flatku ternyata memakan waktu tak sampai dua puluh menit dengan mobil. Dani mengantarku sampai depan toko—sesuai dengan dugaanku, dan tidak sesuai dengan harapanku. Sebuah plang neon bertuliskan “Ashburton Shop” tepat ada di atap toko.
“Tokonya masih tutup, Carla” Kata Dani memandang papan bertuliskan ‘TUTUP’ di pintu toko.
“Oh, ya. Memang, ini memang belum jam buka toko. Aku kenal dengan pemiliknya, tenang saja” Jawabku kikuk. Aku tidak tahu apakah aku terlihat sedang berbohong sekarang.
“Baru satu bulan disini, kau sudah mengenal seorang pemilik toko. Kau mungkin saja mengenal semua orang di London dalam dua tahun” Canda Dani.
“Aku tidak tertarik punya banyak teman, kau tahu kan? Oh, sudahlah. Kau harus pergi ke apartemenmu kan? Sampai jumpa” kataku buru-buru sambil berusaha membuka pintu mobilnya, tapi ternyata dikunci. Dani kemudian menarik tanganku.
“Setelah ini aku akan langsung kembali ke Perancis” Katanya. Aku kaget, kupikir di akan lebih lama di sini.
“Oh,” Aku paling tidak suka membicarakan perpisahan. Walaupun aku tahu ini kan cuma perpisahan semantara. Dan sangat singkat. Ya, aku konyol. Aku tahu itu.
“Tiga hari lagi aku juga kembali kok, race berikutnya di sini, tidak usah repot-repot merindukan aku” Katanya sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya sambil menunduk.
“Jaga dirimu, Carla” Sambungnya sambil mengecup keningku.
“Harusnya aku yang bilang begitu kan?” Kataku sambil mengecup pipinya. Dani tertawa dan membukakan pintu mobilnya untukku.
“Bye,” Sahutku sambil menutup pintu mobilnya. Menunggu sampai mobilnya—kilau keperakannya tak terlihat mata lagi saat mencapai belokan jalan lengang. Kemudian aku memasuki toko itu. Mr dan Mrs Willis sedang membereskan beberapa pamflet di depan mesin kasir.
“Selamat Pagi” Sapaku kepada mereka. Senyum mengembang di wajah keduanya, membuat mereka semakin terlihat bersahabat. Danniene adalah seorang wanita bertubuh agak gemuk dan berambut pirang sebahu. Tingginya tidak lebih tinggi dariku. Tapi untuk wanita seusianya, tubuhnya terlihat sanagat ideal. Sementara Mathieu lebih tinggi dari Danniene. Rambutnya hitam tebal, hanya saja warna keperakan mulai tampak di rambut pendeknya yang tertata rapih. Dia menggunakan kacamata berantai yang dikalungkan di lehernya. Celana golf kotak-kotaknya sedikit mencolok dimataku.
“Selamat datang, Carla. Toko buka setengah jam lagi” Kata Mathieu Willis sambil meletakan tumpukan pamflet terakhir.
“Apakah aku datang terlambat?” Tanyaku.
“Oh, tidak Sayang, kau datang tepat waktu. Seperti yang aku katakana kepadamu waktu itu, akhir pekan jam sepuluh” Sahut Danniene sambil membimbingku memasuki toko. Aku merasakan aura yang berbeda. Aku mulai bekerja hari ini, tapi mereka berdua terasa sudah seperti keluargaku sendiri. Danniene menceritakan tentang anak tunggalnya, yang sekarang sedang bekerja di Amerika, tentang toko ini, juga tentang pernikahannya dengan Mathieu. Dia bercerita banyak sekali, tapi entah mengapa aku tidak merasa bosan. Aku menyimak ceritanya dengan baik dan terkadang mengajukan pertanyaan. Sementara Mathieu lebih banyak diam sambil membaca buku.
Toko ini bisa dibilang unik. Toko terbagi menjadi dua bagian. Selain ada barang-barang keperluan sehari-hari di sisi kanan toko, ada juga sebuah kedai kopi mungil di sisi kiri bangunan. Saat makan siang, biasanya kedai kopi dipenuhi pengunjung. Aku hampir lupa ada seorang lagi yang bekerja disini selain aku. Namanya Abigail. Pelanggan dan juga tentunya, Mr dan Mrs Willis biasa memanggilnya Abbey—begitu yang aku dengar dari Danniene. Dan hal lain yang kuketahui tentang dia, dia masih SMA. Danniene bilang ia ber-home schooling sejak kecil dan Danniene mengenal orang tua Abbey dengan baik, makanya Abbey bisa bekerja di kedainya. Dia cewek yang cukup manis menurutku. Rambut pirangnya dipotong pendek dan sikapnya tomboy. Abbey dan aku yang akan mengurus kedai kopi ini, sementara Mr dan Mrs Willis yang mengurus toserbanya. Tak kusangka seluruh cakes yang dijual di toko ini adalah kreasi Abbey. Memang mengejutkan ternyata dia pintar memasak dibalik sikap cueknya. Abbey adalah seorang gadis yang pendiam. Sangat diam. Aku sampai bingung bagaimana cara mengajaknya berbincang. Dia hanya bicara saat ada yang memesan makanan—dan itu hanya untuk keperluan pesanan pelanggan. Sementara disaat kedai sedang sepi, dia menghabiskan waktu mendengarkan lagu dari iPodnya di sudut kedai. Aku mendapatinya mencuri pandang kearahku beberapa kali. Danniene mengatakan padaku agar tidak usah terlalu memikirkan Abbey di hari pertamaku ini, cepat atau lambat kami juga akan banyak mengobrol. Kata Danniene, dia memang kurang bersahabat dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi aku tidak bisa memastikan seberapa cepat—seberapa lambat waktunya.
“Kau suka memasak kan?” Tanya Danniene disela-sela ceritanya. Saat aku meng-iya-kan dia langsung dengan antusias mengeluarkan beberapa buku resep dari laci meja kasirnya, dan memintaku mempraktekan di rumah beberapa menu yang ada di buku itu.
Jam masih menunjukkan pukul lima saat Danniene terlihat merapikan toserbanya. Ada apa? Bukankah toko ini baru akan tutup jam delapan nanti?
“Hari ini toko tutup lebih awal, Danniene lupa memberi tahumu tadi” Pernyataan Abbey seolah menjawab pertanyaan di kepalaku. Tunggu dulu, Abbey baru saja bicara kepadaku!
“Sebaiknya kau membantuku kan?” Kata Abbey lagi sambil menunjuk cangkir-cangkir berbagai ukuran yang harus dibereskan. Dia menatapku sebentar kemudian berjalan ke arah etalase berisi cakes yang belum sempat terjual hari ini.
“Oh, ya! Tentu” Jawabku kikuk, menata cangkir-cangkir bersih itu ke dalam lemari kayu di dapur. Setelah selesai menutup toko, Abbey sudah menghilang entah kemana. Aku bahkan tidak bisa memperkirakan sejak kapan dia pergi.
“Hari ini kami harus pergi menemui teman lama, maaf aku lupa memberi tahumu pagi ini, sepertinya aku terlalu asyik bercerita” Jelas Danniene saat aku meletakkan celemek cuci piring diatas meja.
“Tenang saja Carla, aku tidak akan memotong gajimu karena toko hari ini tutup lebih awal” Kata Mathieu kepadaku. Kami tertawa bersama. Dan aku akhirnya berpamitan untuk segera kembali ke flatku. Hari pertamaku bekerja tidak terlalu buruk. Pemilik toko yang ramah, rekan kerja yang pendiam—setidaknya aku tidak perlu banyak bicara, juga pelanggan yang menyenangkan. Rata-rata pelanggan yang datang di kedai itu adalah pekerja kantoran yang sedang istirahat makan siang atau yang menikmati kopi di sore hari. Pekerjaanya juga tidak terlalu berat, apalagi aku bekerja dengan banyak cakes yang lezat-lezat. Menyenagkan sekali bisa bekerja dengan hal yang kau sukai kan?

Aku memutar pegangan pintu dan masuk ke dalam flatku. Lho? Tunggu dulu. Rasanya tadi pagi aku sudah menguncinya? Apakah aku begitu ceroboh sampai lupa mengunci pintu? Tapi aku yakin sudah menguncinya sebelum berangkat. Aku terus mengingat-ingat kejadian tadi pagi sampai tiba-tiba Francesc muncul dengan sekejap didepanku.
“Kupikir kita sudah sepakat tentang sore ini?” Tanyanya dingin setengah membentak. Dengan tatapan tajam, dingin dan sebersit rasa tidak suka.
“Sore ini?” Tanyaku ling lung. Mendadak aku teringat akan percakapan singkat kami pagi tadi, mengenai sore ini. “Ah!” aku meneriakannya saat teringat secara spontan.
“A… aku benar-benar lupa” Jawabku jujur. Wajahnya terlihat melunak saat aku megatakannya. Dia menghela napas—aku kaget apakah sebenarnya dia bernapas, dan melipat lengannya di dada.
“Aku mencium manusia, Cesc?” Tanya suara dari arah ruang tengah. Mendadak aku merinding. Bulu kudukku meremang, menyadari ternyata bukan hanya aku dan Francesc yang ada di sini. Aku baru teringat akan teman-temannya yang datang sore ini. Aku menatap Francesc cemas. Jantungku berdegup kencang. Makhluk apa yang baru saja bicara itu?
“Tidak apa-apa” Katanya kepadaku saat melihat perubahan sikapku. Apa maksudnya ‘tidak apa-apa’? Tiba-tiba sesosok makhluk yang juga berpenampilan manusia normal muncul dari arah ruang tengah. Laki-laki normal. Menghampiri aku dan Francesc. Aku cukup lega wujudnya juga manusia. Wajahnya putih pucat—beberpa tingkat lebih pucat dari Francesc. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna gelap yang di gulung sampai ke siku. Rambutnya hitam pekat dan sedikit berantakan, membuat wajahnya kelihatan semakin putih. Matanya sangat tajam menatapku. Iris matanya gelap dan mencekam. Rasa sesak yang dulu aku rasakan saat pertama kali bertemu Francesc seolah siap menyapaku kembali.
“Ini ya, manusia yang tinggal bersamamu?” Tanya cowok itu masih menatapku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mematung bersandar pada pintu masuk sementara keringat dingin terus bercucuran dari dahiku. Cowok pucat itu masih menatapku garang membuat degupan jantungku semakin liar. Anehnya, dia juga mengernyitkan hidung tidak suka. Apakah aku akan dibunuh kali ini? Karena baru saja mengganggu pertemuan mereka?
“Jangan ganggu dia!” Perintah Francesc pada cowok itu, dan cowok itu langsung mengalihkan pandangannya pada Francesc. Menekuk bibirnya kebawah lalu mengangkat alis sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aku tidak melakukan apa-apa?” Katanya cuek.
“Itu menakutinya, bodoh!” Francesc kemudian menarik tanganku. Aku tersentak saat tangannya yang sedingin es situ menggenggam pergelangan tanganku. Ini pertama kalinya kami bersentuhan secara disengaja. Dan sensasi aneh menjalari tubuhku. Tangannya begitu dingin. Saking dinginnya, aku merasakan sumsum tulangku ikut tersengat hawa dingin tangannya. Ia menyeret masuk aku ke dalam kamar dan melepaskan genggamannya yang membeku. Aku langsung menggenggam pergelangan tanganku dengan tangan satunya, berusaha menghangatkan pergelangan tanganku yang seolah mati rasa karena hawa dingin yang menyengat.
“Kau diam di sini saja, Ok? Oh, dan maaf soal itu” Kata Francesc sambil menatap lenganku. Aku masih terdiam membisu. Berusaha duduk di kasurku. Jantungku masih berdegup kencang tak karuan, membuat aku sulit bernapas. Aku menghela napas panjang berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku masih bingung bagaimana sebenarnya posisiku di sini. Amankah? Berada di sekitar teman-teman Francesc—yang jelas-jelas bukan manusia? Tapi setidaknya aku tahu Francesc tidak akan melukaiku dan tidak akan membiarkan salah satu temannya melukaiku. Iya kan?
“Yang itu tadi temanku dari Birmingham” Jelas Francesc. “Wajar kalau kau punya insting untuk ‘takut’ padanya, karena dia memang bukan dari jenisku. Dia dari jenis yang… bisa dibilang tidak akrab dengan manusia” Kata Francesc sambil tersenyum. Aku menyipitkan mata menatapnya.
“Apa maksudmu tentang insting ‘takut’ku? Jenis yang tidak akrab dengan manusia?” Tanyaku dengan suara masih gemetar saat debaran jantungku mulai mereda. Tapi bulu kudukku masih meremang. Keringat dingin juga belum berhenti megalir di pelipisku. Lagi-lagi mulutku melontarkan pertanyaan tanpa sempat kupikurkan terlebih dahulu saking penasarannya. Padahal aku tidak yakin apakah aku cukup berani untuk mengetahui jawabannya.
“Aku rasa… ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan seseorang yang sedang ada di ruang sebelah” Francesc berkelit dan berjalan menuju sudut kamarku. Memandangku berkali-kali tidak yakin. Aku rasa dia menimbang-nimbang apakah akan memberitahuku—atau yang lebih ektrem, memperkenalkan temannya kepadaku atau tidak. Apa yang disembunyikannya? Berapa banyak sebenarnya jenis-jenis makhluk bukan manusia yang dia maksud? Dari raut wajahnya aku tahu dia sudah mengambil keputusan untuk tidak memberitahuku, tidak sekarang.
“Tenang saja nona, aku tidak akan membiarkan satupun dari teman-temanku mencelakaimu” Katanya sambil tersenyum jahil kemudian lenyap. Dia seperti sedang mempermainkan aku yang ketakutan. Aku meringkuk di tempat tidurku lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. Mataku membelalak dalam gelapnya ruang dibawah selimut. Aku benar-benar tidak menyangka akan terjebak dalam situasi begini. Dikelilingi para makhluk yang bukan manusia. Yang diantaranya mungkin akan mengancam keselamatanku.

Aku berusaha menghilangkan pikiran bahwa di ruang sebelah sedang ada pertemuan antara makhluk bukan manusia. Tapi itu semakin sulit kulakukan saat aku mendengar semakin banyak suara dari ruang tengah. Bukan hanya suara Francesc yang begitu merdu dan lembut, juga suara teman dari Birminghamnya yang tadi aku temui. Tapi aku juga mendengar dua suara lagi. Yang satu wanita dengan suara yang indah menggema dan suara laki-laki yang lebih rendah dan berat. Aku memejamkan mata dan berusaha mengabaikan apa yang sedang mereka diskusikan, memang kedengarannya serius sekali, tapi aku sama sekali tidak bisa mendengarnya karena panik. Aku terus berusaha untuk tidak mendengarkan sampai aku mendengar suara yang sungguh tidak asing lagi. Dan aku lagsung membelalak ngeri mendengarnya.
“Maaf kami terlambat” Sapa Danniene terdengar riang di ruang sebelah.
“Kalian tahu kan, kami tidak bisa bepergian dengan mudah seperti kalian?” Suara Mathieu menyusul di belakangnya. Aku hampir saja menjerit histeris saat mendengar sepasang suara yang aku kenali itu. Sebagian otakku memerintahkanku untuk keluar kamar dan memastikan apakah sumber sepasang suara itu benar-benar Danniene dan Mathieu dan sebagian otakku yang lain memberitahuku bahwa mungkin saja itu bukan mereka. Akal sehatku mengikuti perintah sebagian otakku yang memintaku tetap bertahan di kamar. Lagipula itu pasti bukan Danniene dan Mathieu. Mereka sehat-sehat saja sesaat sebelum aku pulang. Tidak mungkin mereka bagian dari hantu-hantu temannya Francesc yang datang hari ini. Tidak mungkin.
“Tidak masalah, Danniene. Kalian memang harus pintar-pintar membaur dengan manusia. Aku juga sih. Eh, kudengar kalian membuka sebuah toko?” Sahut suara cowok yang tadi aku temui.
“Oh, Hello Dwight! Astaga sudah lama sekali aku tidak melihat vampir di London. Ya, kami memanag membuka sebuah kedai, mampirlah kapan-kapan” Sapa Danniene kepada cowok itu. Vampir katanya? Astaga! Cowok yang baru aku temui tadi itu Vampir? Darah terasa surut dari kepalaku. Perutku mual dan tanganku basah. Kupikir vampir itu tidak ada! Inikah maksud dari perkataan Francesc tentang instingku untuk takut kepadanya? Karena dia bukan dari jenis yang akrab dengan manusia. Bagaimana mungkin mereka akrab dengan manusia? Mereka kan memangsanya! Aku kembali gemetaran. Kalau saja hantu yang aku temui di flat ini adalah Dwight—yang vampir, dan bukan Francesc. Aku pasti sudah mati kehabisan darah.

***
“Ah, Coleen!” Sapa Mathieu kepada seseorang di ruangan itu. Yang aku yakini adalah si cewek bersuara indah.
“Kau masih mengingatku rupanya” Sahut Coleen ramah. Suaranya sangat merdu dan enak didengar.
“Aku tak menyangka kau juga datang, Mr Fletcher” Suara Mathieu berubah sedikit lebih formal saat menyapa seseorang lagi.
“Jangan begitu, panggil aku Darren saja. Cesc yang mengundangku, katanya penting. Makanya aku datang” Kata suara yang lebih berat dibandingkan dengan suara yang lain bahkan Mathieu yang suaranya cukup berwibawa menurutku, tidak ada apa-apanya. Dari aksennya aku yakin dia sudah hidup sejak abad pertengahan.
“Oh, sungguh reuni yang menyenangkan!” Kata Mathieu. Rasa penasaran kembali bergejolak liar di dalam dadaku. Ingin sekali rasanya melihat sosok mereka. Terlebih lagi, aku ingin memastikan apakah itu benar-benar Danniene dan Mathieu yang baru saja aku temui di toko satu jam yang lalu. Aku memasang telinga lekat-lekat. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi mana yang kenyataan ,mana yang bukan. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
“Sepasang penyihir legendaris tak pantas rasanya memanggil nama belakangku hanya karena aku lebih tua” Kata pria bernama Darren. Penyihir? Siapa? Sepasang penyihir katanya? Apakah yang dia maksud adalah Danniene dan Methieu? Bohong! Mereka sungguh manusia biasa. Mereka Normal-normal saja. Tidak mungkin mereka penyihir legendaris yang dimaksudkan Darren.
“Sepertinya teman manusiamu sedang mencuri dengar pembicaraan kita, Cesc. Apakah sebaiknya tidak sekalian saja kau bawa kemari? Aku syok setengah mati saat Dwight yang vampir itu mengetahui aku sedang mendengarkan percakapan mereka.
“Teman manusia?” Suara Danniene langsung berubah panik saat Dwight memberitahu ada manusia di flat ini. Seolah-olah dia takut penyamarannya sebagai manusia normal terancam terbongkar.
“Apa maksudmu teman manusia?” Bentak Mathieu. Sepertinya hanya Danniene dan Mathieu yang baru tahu tentang keberadaanku. Karena Coleen dan Darren tak bereaksi.
“Aku juga kaget Cesc berteman dengan manusia. Cewek lagi” Kata Coleen jengkel. Solah-olah yang dilakukan Francesc adalah kelainan.
“Dia tidak buruk kok” Aku cukup kaget mendengar pembelaan Francesc.
“Bawa dia kemari, Cesc. Itu yang terbaik. Dia sudah bersinggungan dengan dunia kita. Tidak ada gunanya berpura-pura dia tidak tahu” Sahut Darren bijak. Oh, tidak. Aku akan dibawa ketengah-tengah penyihir, vampir dan hantu yang jenisnya aku tidak tahu. Keringat dingin kembali meluncur di sekitar wajahku. Perutku terasa kram. Tiba-tiba suasana hening sejenak. Seperempat detik kemudian Francesc sudah berada di sisi tempat tidurku.
“Mereka memintamu bergabung. Maaf, tapi aku tidak bisa menolak” Kata Francesc sambil menyingkirkan selimut yang meneyelubungi tubuhku. Aku menatapnya, seolah memohon agar aku dikeluarkan saja dari tempat ini.
“Aku berjanji kau akan baik-baik saja” Katanya sambil menarik tanganku, setengah menyeretku kearah ruang tengah. Disanalah mereka semua berkumpul.
Dwight bediri bersandar di dinding sambil melipat kedua tangannya di dada. Memandangku dengan tatapan kosong. Di susut ruangan lain aku melihat sesosok wanita cantik berambut pirang kemerahan. Aku mengira-ngira usia manusianya sekitar dua puluh tahunan. Pasti itulah Coleen—yang bersuara merdu. Disampingnya ada seorang pria yang mengenakan stelan jas abad pertengahan yang kuno. Anehnya… dia tidak berwarna. Sosoknya hitam-putih dan hampir transparan. Aku juga mendapati kakinya tidak menyentuh lantai. Dia tersenyum ramah sambil membungkukkan tubuhnya kearahku seraya memberi hormat—khas gaya abad pertengahan. Aku bingung harus bersikap bagaimana. Jantungku masih berdetak tak karuan.
“Astaga, Carla!” Aku mendengar suara Danniene terkaget saat melihat siapakah teman manusia Francesc sebenarnya. Ternyata pendengaranku tidak salah. Itu benar-benar Danniene dan Mathieu. Bahkan mereka masih mengenakan pakaian yang tadi. Aku hampir saja roboh karena kakiku terasa lemas sekali sebelum Francesc menahan tubuhku dengan tangannya yang sedingin es itu. Dia mendudukkanku di sofa. Aku menunduk dan memegangi kepalaku dengan kedua tangan. Kepalaku terasa berat sekali.
“Kau mengenal gadis ini Danniene?” Tanya Darren bingung.
“Tentu, dia bekerja untukku di kedai!” Jawab Danniene antusias, namun tetap tak beranjak dari tempatnya di sisi kanan Darren. Mathieu juga sama kagetnya dengan Danniene.
Francesc menatap bingung kearah Danniene kemudian ke arahku. Aku membalas tatapan matanya. Sedetik kemudian tatapan matanya melunak.
“Pacarmu pasti marah sekali kalau tahu kau bekerja” katanya sambil merebahkan diri disampingku.
“Baiklah, aku sudah membawanya ke sini. Kita mulai saja langsung ke pokok masalah” Kata Francesc kemudian. Aku kembali membenamkan wajah di kedua tanganku. Ingin rasanya aku terjun keluar jendela saking paniknya berada satu ruangan dengan mereka semua. Aku yakin air mataku mulai menggenang sekarang. Aku merasakan ada seseorang lagi yang duduk di sampingku. Aku menoleh perlahan untuk memastikan. Aku harap bukan si vampir haus darah yang kulihat. Ternyata itu Danniene. Aku bingung harus berlaku apa. Aku syok setengah mati menyadari kehidupanku dikelilingi sosok-sosok gaib ini. Aku menyesal dulu pernah berharap bisa bertemu hantu. Aku menyesal dulu aku begitu antusias ingin melihat Francesc.
“Jangan panik, Carla. Aku juga manusia sepertimu kok. Kau bukan satu-satunya manusia disini. Walaupun aku cukup syok saat tahu kau berteman dengan hantu” Kata Danniene seraya meletakan satu tangannya di bahuku. Tiba-tiba gelombang ketenangan menghampiriku. Degup jantungku kembali beraturan. Kepanikan yang melanda otakku berangsur lenyap. Aku memandang Danniene.
“Kau manusia?” Tanyaku ragu-ragu.
“Ya, tentu saja aku manusia. Sama sepertimu” Jawab Danniene sambil tersenyum.
“Kukira kalian penyihir?” Tanyaku.
“Well, penyihir juga manusia. Kami memang manusia yang kebetulan menguasai sihir” Jelas Danniene sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku cukup lega ternyata Danniene dan suaminya manusia sungguhan. Setidaknya bukan cuma aku makhluk asing yang hadir di pertemuan aneh ini.
“Bisa tidak kita mulai sekarang?” Tanya Dwight dengan nada jengkel.
“Aku sudah mulai bosan. Kalian tahu kan? Kalau bosan biasanya aku mudah lapar?” Dwight menyeringai kearahku. Aku membelalak ngeri kearahnya. Karena dia tidak mungkin menyuruhku membuatkan makanan normal untuknya kalau dia lapar.
“Dwight!” Bentak Francesc.
“Hey, aku cuma bercanda kok! Aku sudah makan saat perjalanan ke tempat ini” Katanya. “Tanya saja Coleen. Dia yang membereskan sisanya” Jelas Dwight. Aku bergidik ngeri membayangkan apa yang sudah Dwight dan Coleen lakukan sebelum tiba di tempat ini.
“Sudahlah, Dwight. Kau malah membuatnya semakin parah” Keluh Francesc.
“Baiklah, sebenarnya. Alasan aku mengundang kalian semua ke tempat ini” Francesc berdeham berkali-kali.
“Kalian tahu kan, dia sudah menduduki Himalaya?” Tanya Francesc akhirnya. Dia? Dia siapa? Siapa yang menduduki Himalaya? “Kurasa Eropa sasaran berikutnya. Well, dia harus terus lari kan?” Katanya kemudian. Suasana hening mencekik. Rasanya ada sesuatu yang mereka takuti datang. Tapi apa?
“Kurasa kita bisa menghalaunya dari Eropa kalau semua bersatu” Kata Francesc.
“Sulit sekali untuk bersatu kau tahu itu. Eropa sangat luas!” Desak Dwight. “Apa lagi mereka yang di Timur. Sangat menjengkelkan!” Maki Dwight kemudian.
“Tapi patut dicoba” Kata Mathieu kemudian. “Meskipun kalian tidak bisa berharap banyak partisipan dari golongan kami,” Mathieu melanjutkan.
“Bisa mendapatkan kalian berdua saja sudah hebat” Darren berkata seraya mengangguk setuju.
“Kami kan cinta Inggris” Kata Danniene sambil tersenyum penuh arti.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka diskusikan. Terlalu banyak kata ganti yang tidak aku ketahui. Lagipula, siapa yang mau menduduki Eropa?
“Temanmu bingung, Cesc” Kata Dwight dengan cuek. “Dia bilang, terlalu banyak kata ganti yang kita gunakan, dan siapa sih yang mau menduduki Eropa?” Kata Dwight mengutip isi pikiranku. Aku membelalak kaget ke arah Dwight. Dia baru saja membaca pikiranku!
“Ya, kaget Calra?” Tanya Dwight menjawab pertanyaan di kepalaku sambil menyeringai sinis. Aku menolehkan wajah ke arah Francesc, menatapnya bingung sekaligus panik. Francesc menyiritkan dahi, membuat kedua alisnya bertautan. Dia menatapku penuh iba.
“Bisakah kau tidak membuatnya semakin panik?” Kata Francesc ke arah Dwight.
“Sepertinya sulit, sudah lama sekali tidak ada manusia yang mengetahui identitasku. Asyik sekali bermain-main dengan manusia ya, kau membuatku iri Cesc” Katanya sambil memandangku. Francesc menggeleng-geleng tanda tak setuju.
“Jangan hiraukan dia, Carla” Kata Francesc sambil menyentuh punggung tanganku. Tangannya yang sedingin espun tak terasa sama sekali karena tanganku sendiri serasa membeku. Sekarang aku—bahkan di dalam pikiranku sendiri sudah tidak aman.
Setelah perundingan yamg sama sekali tidak aku mengerti, tentang kawasan-kawasan Eropa dan Himalaya, Danniene, Mathieu, dan Darren berpamitan. Darren—yang transparan, menghilang begitu saja tak berbekas. Sementara Danniene dan Mathieu yang manusia—meskipun tidak normal, pergi dengan cara normal. Sebelum keluar dari pintupun mereka sempat berkata sampai jumpa besok di toko. Aku malah tidak yakin apakah aku akan kembali lagi ke toko yang pemiliknya adalah sepasang penyihir itu. Tanganku masih terasa dingin dan basah walau keadaanku sudah tidak se-parah tadi. Tapi satu ruangan dengan vampir—Dwight dan Coleen masih ada di sini untuk melanjutkan diskusinya dengan Francesc, memang tidak lebih baik. Tapi kenyataannya, Dwight malah bermain-main dengan isi kepalaku saat Francesc dan Coleen berbicara serius.
“Hmm… kau sudah punya pacar ya? Daniel?” Tanya Dwight sambil menyeringai senang. Aku membelakakan mata kearahnya—dia duduk tepat di depanku. Menyeringai senang sambil terus memandangku.
“Hmm… tampan juga. Pacar pertamamu?” Jengkel karena dia seenaknya membeberkan isi kepalaku. Aku melipat kedua lenganku, menatapnya sinis. Apakah dia tidak diajarkan sopan santun?
“Jangan marah, aku hanya sedang lihat-lihat saja” Katanya diselingi tawa. Lalu mengikutiku—melipat kedua lengan di dadanya. Dia masih menatapku. Tatapan aneh, sambil sesekali mngernyitkan hidung.
“Kau—pikiranmu sangat menarik, mau bergabung denganku?” Kata Dwight dengan penegasan di setiap katanya, kemudian dia beranjak duduk di sebelahku.
“TIDAK!”
Aku tidak sempat berpikir tentang maksud kata-katanya sampai Francesc tiba-tiba berteriak dan menubruk Dwight, mendorongnya sampai ke dinding. Dan sekejap kemudian sudah kembali dan berdiri tepat di depanku.
“Jangan macam-macam!” Bentaknya kepada Dwight yang terduduk di lantai akibat hantaman Francesc. Aku langsung panik dan berdiri.
“Ada apa? Apa yang kau lakukan?” Tanyaku panik. Mereka berkelahi? Tapi kenapa? Francesc hanya diam, tak sama sekali menggubris pertanyaanku. Dia masih menatap lurus Dwight yang kemudian berdiri.
“Aku hanya bercanda, Cesc! Kau terlalu berlebihan menaggapinya. Aku sudah bilang kan, aku sudah makan,” Kata Dwight.
“Kau yang memintaku menaggapi ini dengan serius” Sahut Francesc dingin.
“Sudah, cukup Cesc! Dwight, berhentilah bermain-main!” Bentak Coleen dengan suara tinggi. Wajahnya terkesan galak, namun tetap cantik. Aku memandang Coleen dan Dwight bergantian. Sementara posisi tubuh Francesc—Cesc mulai rileks. Ekspresi Dwight tidak berubah sejak awal. Tetap menyeringai jail. Cesc berbalik dan menatapku lekat-lekat. Wajahnya serius sekali. Iris matanya yang merah seakan berkobar menyala-nyala. Aku balas menatapnya dengan bingung.
“Dwight tidak akan melukai Carla, benar kan Dwight?” Tanya Coleen memastikan.
“Tentu, sudah aku katakan aku hanya bercanda. Lagipula sejak kapan kau memerdulikan manusia sih?” Tanya Dwight ditengah-tengah pengakuannya. Cesc melindungiku? Dari apa? Serangan vampir? Aku bahkan tidak tahu Dwight hendak menyerangku tadi. Aku menatap Dwight, Coleen dan Cesc bergantian. Cesc memejamkan mata, berhenti menatapku dengan serius. Kembali menghadap Coleen dan Dwight. Menundukkan kepala sebentar dan berjalan kearah keduanya.
“Ya, kau benar, aku tidak pernah begini sebelumnya. Aku percaya padamu. Maafkan aku Dwight,” Kata Cesc, Dwight hanya tersenum. Sekilas Cesc menatapku, tatapanya lirih.
“Sudah larut Carla, tidurlah” Cesc mengatakannya saat masih memunggungiku. Aku memilih menurutinya. Tak mau mengambil resiko terlibat dalam perkelahian antara hantu dengan vampir—aku berjalan kearah kamarku perlahan. Sebenarnya aku punya banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa Francesc tiba-tiba menyerang Dwight? Tapi kuputuskan untuk memendamnya—walaupun aku tahu Dwight tahu dengan jelas apa yang sedang ada di kepalaku. Aku naik ke tempat tidur, kembali menyelubungi tubuhku dengan selimut. Aku ragu apakah aku bisa tidur malam ini? Setelah semua kejadian hari ini. Tapi ternyata aku cukup kelelahan dan aku tertidur lebih cepat dari yang aku bayangkan. Aku sempat berharap kejadian yang baru saja menimpaku ini ternyata hanya mimpi sesaat sebelum aku memejamkan mata. Aku masih dapat mendengar pecakapan terakhir mereka sebelum aku benar-benar terlelap.
“Jangan tanya alasanku, Dwight. Aku juga tidak tahu” Suara Cesc mengalun merdu di telingaku. Seperti sedang menina-bobokan aku.
“Baiklah. Aku juga tak berharap kau memikirkannya” Kata Dwight kemudian. “Kuharap hanya sebatas itu ya, Cesc. Hindari hal yang memang tak perlu—tak pantas” Dwight melanjutkan kalimatnya. “Lagipula sejak awal aku sudah keberatan kau tinggal dengan manusia, terlebih dengan dia—dia berbeda. Aku tidak dapat memastikannya sih, tapi jalan pikirannya menarik” Kata-kata Dwight adalah hal terakhir yang aku dengar malam itu.

Fan Fiction: Another Love Story 3.

Daniel

Aku berjalan menelusuri trotoar di depan kampusku. Benar, aku tinggal disini dengan tujuan pendidikan. Aslinya, aku adalah orang Spanyol. Kemudian aku bersikeras untuk kuliah di Inggris Raya ini, memohon pada kedua orang tuaku—yang sangat menentang pada awalnya karena alasan keamananku, agar aku diizinkan pergi ke tempat ini untuk melanjutkan studiku. Setelah perundingan alot—dan juga atas bantuan Daniel, pacarku yang juga tinggal di London, walaupun sekarang dia sedang ada di Perancis untuk kejuaraan balapnya. Keluargaku bukan termasuk keluarga kaya, jadi dua tahun sebelumnya, saat aku masih SMA aku sudah berusaha mengumpulkan uang sendiri dengan bekerja part time, uangnya kemudian aku tabung untuk meringankan biaya pendidikanku nantinya. Lagipula aku memang mendaftar di jalur bea siswa. Tentu saja, Daniel selalu bersikeras untuk membiayai kehidupanku juga pendidikanku, tapi aku selalu menolaknya. Bukan bermaksud untuk sombong, hanya saja aku tidak mau hubungan cinta kami yang selama ini terjalin manis ternoda oleh uang. Aku berusaha sebisaku agar ia tidak mengeluarkan terlalu banyak uang yang didapat dengan mempertaruhkan nyawa di lintasan balap itu untuk membelikanku barang-barang mewah. Sadar ia tidak akan mempan menyogokku dengan uangnya, Daniel malah melakukannya pada orang tuaku. Tentu saja, ibuku yang paling terlihat senang saat Daniel datang berkunjung ke rumahku. Dengan segala bingkisan-bingkisan yang menyertainya.

Cuaca cukup dingin untuk sore hari di bulan Agustus. Ini yang paling aku benci dari London, cuaca yang sangat sangat tidak menentu. Matahari terik kemarin ternyata tidak menjadi pertanda bahwa hari ini akan cerah. Dan aku tidak memakai jaketku, aku meninggalkannya di flat, karena kupikir cuaca tidak akan berubah drastis seperti ini. Aku rindu matahari Spanyol. Aku berjalan ke sebuah halte sembil mendekap erat tubuhku sendiri. Angin sedingin es menerpa kulit wajahku, menyibakkan rambut hitamku yang sepunggung tergerai sepenuhnya ke belakang. Aku harus naik bus dari sini sampai melalui delapan halte berikut, lalu aku masih harus berjalan kaki lagi untuk menuju flatku. Memang jarak flat dan kampusku agak jauh. Ini terjadi karena aku berusaha mencari tepat tinggal yang termurah yang mungkn aku dapatkan. Sekarang aku tahu mengapa harga sewa flatku murah. Francesc. Kurasa aku harus berterimakasih padanya, karena kalau dia tidak ada, mungkin aku tidak bisa menolak uang pemberian Daniel. Oh, kenapa dua hari ini aku terus teringat dia. Wajahnya memang tidak lebih tampan—tapi dia tetap sangat tampan bagiku, dari hantu yang baru aku temui beberapa hari yang lalu, tapi, dia tentu begitu spesial. Alisnya juga tebal, matanya yang begitu berkilauan selalu terlihat indah saat dia menatapku, dan yang selalu membuatku terlupa akan masalah yang sedang menimpaku adalah senyumannya. Sangat menentramkan. Aku heran mengapa dia, yang tampan dan kaya itu—dan pembalap, yang pastinya punya jutaan fans cewek yang cantik-cantik yang dengan sukarela dan akan melakukan apa saja untuk menggantikan posisiku, mau menghabiskan perhatiannya untukku.

Aku lantas tersadar aku sedang merindukannya. Aku merindukan Daniel dan segala kelembutan dan perhatiannya yang hanya tertuju kepadaku, perhatiannya yang membuatku merasa begitu spesial sebagai seorang cewek—yang bisa dibilang biasa-biasa saja—kalau dibandingkan dengan pacarku yang tampan dan terkenal itu. Aku meringgis membayangkan perbedaan kami. Beruntung benar aku memiliki dia. Tak sadar air mataku menggenang dipelupuk mata. Jangan cengeng, Carla! Jangan sekarang! Aku menyeka air mata yang hampir jatuh itu. Aku merindukan Daniel dan aku menginginkannya lebih dari apapun juga saat ini. Sudah hampir dua bulan ini aku tidak bertemu secara langsung dengannya. Minggu ini dia di Perancis, dua minggu yang lalu ada di Malaysia, satu bulan yang lalu dia di China dan satu bulan tiga belas hari yang lalu dia di Amerika. Aku selalu cengeng begini saat merindukannya. Tapi aku tidak mugkin menghubunginya dan memintanya datang, egois benar aku kalau sampai melakukannya. Dia kan sedang di Le Mans untuk persiapan kejuaraan balapnya, pasti dia sedang sangat sibuk sekali. Dia memang meneleponku beberapa kali seminggu tapi bagiku itu tidak cukup. Kupikir dengan keadaan kami yang sama-sama tinggal di London akan mempererat hubungan kami. Karena tahun pertama kami berpacaran sangat berat untukku. Aku tinggal di Spanyol dan di di Inggris. Dia hanya kembali saat kejuaraan seri dan liburan tertentu. Rasanya sangat tidak enak kalau tidak sedang bersamanya.

Aku berusaha membenahi suasana hatiku yang tiba-tiba sangat rapuh saat berjalan menuju flatku. Saat aku sampai disisi gedung flat, aku tidak menyadari ada sebuah Aston Martin bercat silver terparkir anggun didepan gedung. Harusnya aku menyadarinya, tidak mungkin ada mobil mewah terparkir di depan gedung flat yang sederhana ini. Tapi suasana hatiku yang kacau balau tidak megizinkan otakku untuk bekerja dengan benar. Aku langsung bergegas berjalan menuju tangga, meniti satu demi satu anak tangga. Kamarku ada di lantai empat, dan letaknya paling pojok. Saat tiba didepan kamarku, dan berusaha memasukkan kunci ke pintu, aku baru sadar tanganku gemetaran, entah karena dingin atau apa, itu mempersulitku memasukkan kunci dengan benar.
“Oh, sial” Gumamku saat aku malah menjatuhkan kunci sialan itu ke lantai. Saat aku ingin memungutnya, ternyata ada tangan asing yang melakukannya terlebih dahulu dan menyerahkannya kepadaku.
“Terimakasih” sahutku tanpa memalingkan wajah dari kunci di genggamannya. Aku punya dua alasan untuk tidak melihat wajah si pemungut kunci itu, yang pertama, karena aku sedang tidak mood untuk berkenalan dengan tetangga baru dan yang kedua karena aku tidak ingin ia melihat air mata yang kembali menggenang di pelupuk mataku.
“Kau bahkan tidak menyadari kehadiranku” Aku tersentak kaget saat mendengar suaranya, dan itu membuat kunciku jatuh lagi. Daniel memungutnya kembali, aku sangat shock dan tak percaya, dan itu membuat air mata yang sejak tadi aku tahan jatuh berlinangan dipipiku.
“Carla? Astaga kau menangis? Ada apa?” Tangan hangatnya merengkuh wajahku, nyaman sekali. Dia menatapku panik. Apa wajahku terlihat begitu parah? Karena ia kelihatan benar-benar panik sekarang.
“Dani…?” Suaraku parau saat mengucap namanya. Bukankah seharusnya dia masih ada di Perancis sampai setidaknya minggu depan? Dan air mataku semakin deras mengalir.
“Ini aku Sayang, ada apa Carla? Kenapa kau menagis? Dan kau dingin sekali… kau tidak bawa mantelmu?” Dani memelukku erat, membiarkan panas tubuhnya menghangatkan aku.
“Kemarikan kuncimu, kita harus masuk sebelum kau membeku” Dani merebut kunci itu dari genggaman tanganku yang gemeteran dan membukakan pintu untuk kami. Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali, Dani langsung membimbingku masuk sampai ke ruang tengah, kemudian merengkuh tubuhku lebih erat, menggosok-gosokkan telapak tangannya ke lenganku, menghangatkan aku. Ya Tuhan, apa aku sedingin itu? Dia kemudian mengecup keningku dan menyingkirkan rambutku yang basah karena air mata dari wajahku. Dia melepaskan pelukannya untuk merunduk dan menatapku.
“Carla, ada apa?” Wajahnya masih kelihatan panik dan bingung. Aku menggeleng, memberinya isyarat bahwa aku tidak apa-apa. Aku memang baik-baik saja, aku cuma merindukan dia, aku biasanya tidak menunjukkan kecengenganku ini dihadapannya, tapi aku malah tidak dapat menghentikan air mataku saat ia sudah ada disini. Konyol.
“Aku tidak apa-apa” Jawabku sambil bersusah payah meredakan tangisku, dan berhasil.
“Bagaimana mungkin kau tidak apa-apa?” Tanya Dani sambil menyeka air mataku dan menunjukkan jari jarinya yang basah. Aku tertawa lirih sambil berusaha menghentikan tangisan bodohku ini—yang hanya membuat wajah kekasihku pucat.
“Aku merindukanmu bodoh,” Jawabku sambil membelai pipinya. Rona panik lenyap dari wajahnya, digantikan dengan ekspresi aneh. “Terserah kalau kau tidak percaya, aku memang jadi sangat cengeng kalau sedang rindu padamu” Jawabku jujur, aku tahu pasti wajahku sudah memerah, selalu begitu saat aku mengutarakan perasaanku padanya. Tiba-tiba dia tersenyum mengejek dan mengelus rambutku.
“Aku tidak tahu kau begitu” Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil terus membelai pipiku yang lembab. Tatapan lembutnya membuyarkan kegundahan yang tadi menguasaiku.
“Aku memang tidak ingin kau tahu, ini memalukan” Jawabku.
“Aku sudah disini, jangan menangis dan membuatku panik lagi” Bisiknya ditelingaku, aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat dan lembut menerpa leherku, kemudian dia mengecup rahangku. Dani merapatkan tubuhnya ke tubuhku, membuat punggungku semakin rapat bersandar ke dinding. Kecupannya yang hangat dan lembut berjalan menjelajahi dahi dan pipiku, kemudian kembali ke rahangku. Perlakuannya ini selalu membuat jantungku berdetak tak karuan serasa hampir lepas dari tempatnya, napasku juga mulai tidak beraturan. Tangannya merengkuh tanganku dan ia membawanya, mengalungkannya di lehernya, kemudian kedua tangannya meraih pinggangku.
“Carla” Ia membisikkan namaku tepat sesaat sebelum bibirnya menemukan bibirku. Bibirnya bergerak lembut di bibirku, dan tak perlu waktu yang lama, aku mulai terhanyut. Aku merengkuh wajahnya, kemudian menyusupkan jari jariku ke rambutnya. Darah mengalir lebih deras di tubuhku, aku bahkan lupa tadi aku sempat kedinginan. Dani masih terus menempelkan bibirnya di bibirku. Rasa rinduku yang bertumpuk membuatku tidak ingin melepaskan ciumannya sedetikpun, walau aku mulai merasa pening karena tidak bisa bernapas dengan benar. Mendadak ciumannya melambat dan tangannya menempel di pipiku, menahan kepalaku. Dengan mudah dia melepaskan ciumanku. Kemudian dia menatapku sambil menahan tawa.
“Jangan sampai kau mati kehabisan napas, Carla” Katanya menggodaku. Aku cuma bisa merengut dibuatnya. Ia kembali memelukku, membawaku ke dadanya yang bidang dan hangat.
“Aku suka sekali saat kau sedang rindu padaku. Kau bahkan lebih agresif daripada aku” Ejeknya disela-sela tawanya yang renyah, aku tidak bisa menyangkal saat dia mengatakannya, aku hanya diam menikmati pelukannya yang hangat dan nyaman, menikmati kehadirannya. Kemudian Dani melepaskan pelukannya. Aku sedikit memprotes tindakannya dengan erangan yang tak ditanggapinya.
“Kau lapar? Aku lupa aku membawakan sesuatu untuk kita, dan masih ada di mobilku. Tunggulah sebentar” Dia lantas bergegas keluar ruangan, yang terdengar kemudian hanyalah bunyi pintu masuk yang dibuka dan tertutup lagi. Tentu saja, Aston Martin yang terparkir dengan anggunnya didepan sana tadi miliknya. Bodohnya aku tidak menyadarinya.
Tiba-tiba aku merasakan hawa dingin yang mulai tersa familiar dikulitku. Francesc. Sudah tiga hari sejak kemunculannya yang terakhir.
“Dia pacarmu?” Tanya sosok rupawan itu.
Aku merebahkan tubuhku di sofa sambil mengangguk-angguk kecil menjawab pertanyaannya. Rongga dadaku terlalu dipenuhi kebahagiaan hingga tidak mampu berkata-kata.
“Boleh saja kalian bermesraan seperti itu, tapi aku minta jangan yang lebih dari itu” Pernyataannya membuat aku kaget. Dia menyaksikan aku berciuman? Hey, itu kan tidak sopan! “Ingat kan, flat ini tempat tinggal bersama?” Ia mengingatkan aku.
Benar juga, ini tempat tinggal bersama, dan aku sudah berjanji untuk tidak ‘mengganggu’nya.
“Tenang saja, hubunganku dengannya belum sampai tahap yang lebih dari itu kok,” Aku menjawabnya dengan kaku, menyadari makna pernyataanya tadi.
“Bagus, aku tentu tidak ingin melihat yang lebih dari yang tadi itu” Katanya sambil memutar bola matanya. Dia menatapku sekilas.
“Ada apa?” Tanyaku. Francesc tersenyum penuh arti.
“Dia baik, pilihanmu tepat sekali” Aku tidak tahu dari mana ia mendapat kesimpulan itu, padahal bertemu secara langsung saja tidak pernah—dan aku tidak ingin Dani bertemu dengannya, dia pasti langsung menyuruhku pindah kalau tahu tempat ini berhantu. Tapi dilihat dari sorot matanya, terlihat sekali dia sangat yakin dengan kata-katanya.
“Terimakasih, kau juga baik” Kataku jujur, walaupun dia sempat hampir membunuhku, tapi aku tahu sebenarnya dia orang yang baik. Dan dia memang tidak membunuhku kok. Aku tidak tahu bagaimana nasibku kalau hantu yang kutemui disini bukan dia. Aku mungkin sudah tidak ada lagi sekarang.
Dia tersenyum kepadaku kemudian menghilang. “Aku dibunuh orang tahu, itu artinya aku bukan orang baik. Mana mungkin ada orang yang begitu membenciku sampai harus melenyapkan aku kalau aku orang baik kan?” Suara merdunya menggema seantero ruangan.
“Bagiku kau tetap orang baik” Balasku, dan kemudian dia benar benar lenyap. Aku heran kemana perginya dia saat tidak menampakkan diri?

Setelahnya aku mendengar suara yang sama, suara pintu masuk yang terbuka dan, sejurus kemudian suara berdebam tanda pintu ditutup kembali. Dan aku mendapati kekasihku tercinta datang menghampiriku, membawa satu kantung plastik penuh makanan. Aku terbelalak dibuatnya ketika ia mengelurkan satu demi satu kemasan makanan siap saji dan menjajarkannya di meja tamuku. Tacos, sekotak pizza, sepotong short cake strawberry… Terakhir aku melihat dua kotak es krim coklat.
“Astaga Dani, yang benar saja” Bentakku.
“Apa? Kau suka tacos kan? Juga suka pizza dengan pepperoni?” Tuntutnya bingung.
“Bukan itu maksudku! Ini banyak sekali… Benar-benar banyak! Apa kau berpikir kita berdua sanggup menghabiskannya?” Tanyaku.
“Well, aku bingung mau membawakanmu apa—karena banyak sekali makanan yang kau sukai, jadi kubawakan saja semuanya” Jawabannya sungguh membuat aku marah.
“Kau tidak perlu menghabiskan uangmu hanya karena banyak makanan yang kusuka” Sahutku.
“Maafkan aku Carla, aku hanya ingin membawakanmu sesuatu” Balasnya dengan lembut, dan aku dijamin tidak akan bisa melawannya—kelembutannya. Aku menghela napas panjang kemudian berbicara.
“Sudahlah Dan, tidak apa-apa. Maafkan aku” Aku tahu seharusnya aku tidak boleh bersikap begini kepada seseorang yang telah memberiku sesuatu. Tidak sopannya aku.
Keadaan lalu sunyi sejenak. Dani masih duduk membatu di sofa, ekspresinya tak terbaca, menggenggam kantong plastik yang tadi terisi penuh. Aku memutuskan untuk mengambil beberapa piring dan peralatan makan lainnya di dapur.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil piring untuk kita” Kataku.
“Oh, biar aku saja” Jawab Dani seraya menyusulku ke dapur, Manggamit punggung tanganku lembut dan mengecup rambutku. Syukurlah dia tidak marah. Aku mengambil beberapa piring datar, sendok dan garpu, juga sebilah pisau. Dani melongok kedalam lemari esku dan menemukan sebotol besar cola di sana.

“Kau kan seharusnya ada di Perancis” Kataku mendadak teringat dimana seharusnya dia berada. Sekarang kami sedang makan malam bersama. Cukup mewah untukku, karena semua makanan kesukaanku terhidang dimeja kecil ini.
“Itu bukan pertanyaan” Sahutnya ringan sambil menyuap sepotong pizza ke mulutnya.
“Oh okay. Apa yang sedang kau lakukan disini?” Aku meralat pertanyaanku. Sejak kapan sih dia jadi begitu teliti.
“Hmm, aku sedang mengunjungi pacarku yang ternyata begitu kesepian tanpaku” Jawabnya enteng.
“Dani aku serius” Tuntutku.
“Aku juga serius Carla, aku merindukanmu” Jawabnya sambil menatapku.
“Oh, terserah lah” Gumamku kesal sambil menyuap potongan terakhir tacos digenggamanku.
“Hey, sejak kapan kau jadi begitu sensitif?” Tanya Dani sambil tertawa kecil. Aku tahu dia pasti menertawakan tingkahku yang cepat marah.
“Dan kau sejak kapan jadi suka menggodaku?” Tuntutku. Aku juga tahu wajahku pasti langsung memerah kalau dia mulai menatapku atau merayuku, aku juga bingung kenapa aku masih seperti ini. Padahal sudah hampir satu tahun kami bersama.
Dani tertawa renyah dan berkata, “Aku selalu suka menggodamu kok,” Dia masih terus tertawa, dan beberapa saat kemudian tawanya reda dan ia mulai menjelasan kepadaku alasannya berada di sini.
“Balapnya ditunda Sayang, dan karena aku sudah melakukan semua sesi tes, dan kualifikasi, jadi aku meminta izin pada Mr Puig untuk kembali ke London sebentar” Jelasnya padaku. Alberto Puig adalah mentornya. Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya, karena biasanya Mr Puig selalu bersama Dani disetiap kejuaraan.
“Dan alasan sisanya—tentang mengunjungi pacarku karena aku merindukannya, memang benar” Dani melanjutkan tawanya. Aku juga jadi tersipu karena pengakuannya.

Setelah merapikan meja, kami duduk berdampingan sambil menonton TV. Tangan kanannya memeluk pundakku, dan tangan kirinya sibuk memindahkan tombol channel dengan remote control. Sementara aku sibuk menikmati es krim yang tadi dibawanya. Udara dingin di luar sana tak akan menyurutkan rasa cintaku pada es krim coklat.
“Aku heran mengapa Negara ini punya hampir seribu channel, tapi tak satupun acara yang menarik” Gumamnya kesal.
“Matikan saja” Pintaku, dari pada kesal, lebih baik matikan saja kan?
Saat aku memintanya ia malah menemukan channel favoritnya, Star Sports, oh, apa lagi?
“Carla, apa kau tidak berpikir kalau jarak tempat ini dengan kampusmu cukup jauh?” Tanya Dani disela-sela perhatiannya yang tertuju ke layar TV.
“Memang agak jauh” Aku sependapat dengannya, tapi menurutku, selama aku bisa mendapatkan bus, tak jadi masalah. “Tapi ada bus yang melewatinya” Sambungku.
“Dan kau masih harus berjalan lumayan jauh untuk sampai ke sini” Tambah Dani.
“Tidak sejauh itu” Ralatku.
“Ya, tapi kau melakukannya dua kali sehari setiap hari kuliah” Ia meralat balik.
Ya, aku akui, aku memang sedikit capek kalau harus berjalan kaki sejauh itu dua kali sehari, saat berangkat dan pulang kuliah.
“Kau tahu? Sepertinya sebuah city car mungil akan cocok…” Aku tak mengizinkan Dani melanjutkan kata katanya. Oh, dia mulai lagi.
“Kukira kita tidak akan membicarakan uang-uangmu?” Tuntutku sambil melepaskan pelukan tangannya di bahuku dan menatapnya sebal.
“Oh, Carla. Aku kan tidak akan membelikanmu sebuah Porsche atau Bentley…” Dia menggenggam kedua tenganku sambil mengatakannya. Dan menatapku. Oh, bagus sekali! Aku kira dia sudah tahu apa kelemahanku.
“Izinkan aku memberikanmu hadiah Carla, selama ini aku selalu menuruti permintaanmu untuk tidak membelikanmu macam-macam” Dani berkata penuh kelembutan, dan sedikit memelas. Seolah olah dia-lah yang menderita kalau tidak memberiku hadiah.
Aku berpikir sejenak, aku memang membutuhkan kendaraan. Maksudku, sungguh asyik sekali kalau punya kendaraan sendiri. Aku bisa pergi ke kampus tanpa khawatir akan terlambat karena bangun kesiangan. Apakah kali ini aku akan menerima hadiahnya begitu saja? Tentu tidak.
“Kau sedang berpikir? Aku yang akan memberimu mobil tapi kau yang berpikir?” Tanya Dani heran.
Aku menghembuskan napas panjang dan membuat keputusan.
“Baiklah, kau menang. Kurasa aku memang membutuhkannya” Jawabku sebal.
“Kau… baru saja…” Dani kelihatan kaget luar biasa. Ini pertama kalinya aku mengizinkannya memberiku hadiah mahal. Sebuah mobil.
“Dengan syarat” Desakku.
“Baiklah, maksudku, tentu saja! Apa sih syaratmu?” Mendadak Dani jadi bersemangat.
Aku memaksakan otakku mengingat semua merek mobil-mobil mewah yang harganya kelewatan.
“Tidak Porsche, tidak Bentley, tidak Ford, Audi, Chrysler, BMW, Mercedes, Volvo, Aston Martin, dan… Err… Range rover—itu kan namanya? Oh, ya juga Chevrolet, dan Nissan” Tutupku. Yap! Aku rasa aku sudah menyebutkan semua merek mobil mewah.
“Ya ampun Carla! Kau menghabiskan daftarnya! Well, lagipula aku kan tidak mungkin membelikanmu Range Rover! Itu mobil laki-laki” Keluh Dani karena aku menghabiskan deretan mobil mewahnya.
“Itu syaratku, terima atau tidak terserah kau” Sahutku cuek.
Dani kelihatan berpikir keras dan kemudian dia menatap mataku penuh kemenangan. Eh? Apa aku melewatkan sesuatu?
“Aku terima syaratmu, Carla. Tidak akan ada Porsche, Bentley, Ford, Audi, Chrysler, BMW, Mercedes, Volvo, Aston Martin, Range Rover, juga Chevrolet, dan Nissan” Kata Dani mengulangi daftar yang tadi aku syaratkan “Lagi pula aku akan memberimu sebuah…” Dani memenggal kalimatnya disambung cengiran menyebalkan. Jantungku berdebar debar. Takut melewatkan merek mahal lainnya.
“Volks Wagen. Itu tidak ada di daftarmu, artinya sebuah VW Golf akan hadir dibawah sana minggu depan, Carla” Seringai Dani penuh kemenangan.
Oh tidak! Tidak! Aku melewatkan mobil buatan Jerman itu! Aku melewatkan mobil sialan itu! Dan aku tidak mungkin meralat syaratku.
Aku mengerang kalah, dan Dani tertawa penuh kemenangan. Harusnya aku tahu aku pasti kalah, mana mungkin aku yang mahasiswi biasa bisa mengalahkan pengetahuannya tentang otomotif? Maksudku, dia kan memang bekerja untuk otomotif!

“Aku berjanji kau akan menyukainya Carla, VW Golf itu mungil dan cukup simpel, cocok untukmu. Lagipula sudah kupilihkan yang tidak terlalu mahal, VW Golf yang R32 tidak sampai dua puluh lima ribu Pounds” Dani langsung antusias sementara aku merebahkan kepalaku di sofa. Mendadak aku pusing, dia bahkan tahu tipe-tipenya. Aku seharusnya tidak usah mengajukan syarat bodoh itu tadi. Seminggu lagi tumpukan uang dua puluh lima ribu Pounds akan disulap menjadi sebuah mobil di depan flatku. Yang benar saja, bagiku dua puluh lima ribu Puonds itu besar sekali!
“Apakah dua puluh lima ribu itu tidak kelewatan?” Tanyaku, berharap ada VW lain—yang lebih murah yang mungkin ditawarkan Dani padaku.
“Aku sudah menepati syaratmu, jadi tidak ada alasan bagimu untuk menolak ideku” Ia menjawabnya dengan argumen yang sempurna.
Aku mengerang sekali lagi. Dani mendesah dan menghampiri aku yang duduk semakin menjauh darinya. Dia menarikku kembali ke pelukannya.
“Tolong jangan perhitungkan uangku, Carla” Dia baru saja memintaku tidak memperhitungkan dua puluh lima ribu Pounds. Aku hanya diam saja tak menjawab.
“Cinta yang kau berikan kepadaku tak senilai dengan apapun juga” Dani mengecup keningku saat aku masih dalam pelukannya. Aku masih diam membisu, aku tidak tahu harus bicara apa. Lagipula aku mulai merasa ngantuk, aku tidak ingin berdebat dengannya dalam keadaan ngantuk begini. Mudah sekali mengantuk kalau sedang berada di pelukannya yang nyaman dan hangat.
Dani melonggarkan pelukannya dan memandang jam tangannya, aku tahu ini saatnya dia pulang. Jarak apartemennya sekitar empat puluh menit dari flatku—kalau naik mobilnya.
“Sudah larut,” Desahnya.
“Hmm” Aku hanya menggumam.
Dani melepaskan pelukannya dan membelai pipiku dengan punggung tangannya. Tatapan matanya penuh kedamaian. Dan itu membuatku semakin mengantuk. Aku menyurukkan kembali kepalaku ke dadanya, meremas kemejanya di jariku.
“Tinggallah,” Pintaku. “Aku masih ingin bersamamu” Aku memejamkan mata di pelukannya yang nyaman.
Aku tak ingat lagi kelanjutannya. Aku rasa, aku sudah jatuh tertidur dalam pelukannya.

Selasa, 24 November 2009

Manusia = Tukang Kritik

Manusia adalah tukang kritik. Bener gak sih?
Setiap hari dan setiap waktu seorang manusia pasti mengkritik suatu hal dengan alasan yang berbeda-beda. Termasuk gua, tentunya. Ada tukang kritik yang memang mengkritik pada tempatnya a.k.a kritik untuk kebaikan dan dengan alasan yang jelas dan membangun, dan berdasarkan dengan sudut pandang banyak sisi, bukan hanya sudut pandangnya semata. Tapi ada juga orang yang mengkritik suatu hal hanya karena sudut pandang dirinya dengan hal tersebut ga sejalan. Nah kritikus seperti ini jelas bukan kategori kritik untuk kebaikan ya.

Image Hosted by ImageShack.us

Manusia tukang kritik. Ya kan?
Coba aja kita merenung sebentar dan ingat-ingat kejadian kecil di masa lalu.
Pernahkah lo membunyikan kalimat sejenis ini dalam hati?;
"Aduh itu orang dandanannya kelewat mencolok deh, coba vest dan kalung blink-blinknya dilepas, pasti cantik"
Atau
"Gila apa 2009 Jakarta masih banjir aja?? Pemerintah tuh kerjanya ngapain kalo masalah klasik kayak gini aja ga kelar-kelar? Coba mereka..."
Lalu
"Ih, sikapnya kok begitu banget sih? Udah jelek, sadar dong"
dan
"Harusnya tuh... bla bla bla..."

Manusia cenderung mempunyai keinginan untuk merubah segala sesuatu hal disekitarnya menurut cara pandangnya. Ya, karena manusia bukan Tuhan, jadi manusia lebih menunjukkan kecenderungannya itu lewat kritik.

Kritikus. Gila ya? Bahkan ada orang yang pekerjaannya mengkritik.

Anders Celcius, sang jenius pencipta satuan ukur suhu paling populer di dunia, derajat Celcius, sekaligus orang pertama yang bikin termometer Celcius pun pernah jadi korban kritik yang pada akhirnya merubah ciptaannya.
Aslinya, Anders menentukan angka 0 derajat sebagai titik didih air dan 100 derajat untuk titik beku. Lho? Bukannya kebalik ya?
Yes. Tukang kritik berhasil membalikkan fakta.
Setelah Andres meninggal di tahun 1744, banyak orang yang akhirnya mendiskusikan lagi hal ini dan akhirnya ditetapkan kalau titik beku adalah 0 dan titik didih ada di angka 100 derajat Celcius.

Image Hosted by ImageShack.us


Hey! Yang benar aja!
Maksud gua, si jenius Anders Celcius itu lah yang menciptakannya! Yang menemukannya! Suka-suka dia dong mau digimanakan barang temuannya itu? Kenapa seenaknya di ganti-ganti begitu? Apa hanya karena angka 100 lebih besar dari 0? Pas orangnya udah meninggal lagi?
Cih.
Kenapa ga orang-orang iseng ini belajar dan berusaha menemukan atau menciptakan alat baru daripada ngutak-atik penemuan orang?
Dengan kata lan, "Urus aja dirilo sendiri Man!"

Menurut pendapat pribadi gua, sekali lagi, manusia adalah tukang kritik. Ingin segala sesuatunya berjalan sesuai sudut pandangnya.

Sabtu, 21 November 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 10.

"Ulangi lagi! Bagaimana mungkin kau tidak bisa mantera sederhana begini?!" Bentak guru sihir Suri dan Amarilis yang baru. Seorang pria tua dengan janggut panjang melambai.
"Suri, aku kan sudah bilang tentang mantera-mantera dasar!" Bisik Amarilis dari seberang meja.
"Aku kan tidak mungkin menguasainya dalam semalam!" Sahutnya.
Amarilis sebelumnya sudah memberikan buku-buku mantera dasar untuk dipelajari Suri. Bagaimana mungkin penyihir dewasa yang mendaftar di sekolah lanjutan tidak menguasai mantera dasar?

Saat ini mereka sedang berada di dalam kelas pelajaran sihir. Sebuah ruang sumpek dengan barang-barang sihir berjubel di lemari-lemari usang di sepanjang dinding dalam ruangan berbau kayu terbakar itu. Penerangan yang remang semakin membuat kesan muram di ruangan itu.
"Harusnya kita mempersiapkan ini sebelum merubah wujud!" Sesal Suri.
"Oh ya! Bagaimana mungkin kita bisa bersiap-siap sementara otakmu hanya berisi rencana untuk berubah wujud!" Balas Amarilis.
"Diam!!" Bentak pria tua guru baru mereka. "Dengar! Aku tak akan memulai pelajaran jika diantara kalian masih ada yang tidak bisa mantera dasar!" Lanjutnya. Perhatian seisi kelas yang beranggotakan lima belas orang itu langsung tertuju ke arah Suri dan Amarilis. Tatapan mata mereka seolah mengisyaratkan ketidak sukaan mereka akan dua siswa baru ini.
Dengan berat hati Suri kemudian membereskan buku-bukunya dan melangkah keluar kelas.
"Tunggu! Suri! Kau mau kemana?!" Desis Amarilis saat Suri melintasi mejanya. Dengan terburu-buru Amarilis merapikan barang-barangnya dan mengikuti jejak Suri meninggalkan ruang kelas suram itu
.
"Nah! Tidak ada yang perlu diperhatikan! Ayo mulai pelajaran!" Suara pria itu menggema sampai ke lorong di depan kelas.
"Suri! Tunggu!" Panggil Amarilis yang mengejar Suri yang berjalan dengan langkah-langkah cepat.
"Apa?!" Tantangnya.
"Kenapa pergi?" Tanya Amarilis saat ia berhasil menghampiri Suri.
"Kau tanya kenapa?! Mereka menatapku seakan-akan aku ini idiot! Memangnya kau tidak dengar tadi pria itu bilang apa? Dia bilang dia tidak akan mengajar jika masih ada yang tidak menguasai mantera dasar! Jika masih ada AKU! Ah,kau! Kau jenius! Kau hapal semua mantera bahkan mantera yang terpikir olehku saja tidak! Kau harusnya tetap di kelas!" Bentak Suri dengan jengkel.
Amarilis membelalakkan mata karena kaget. Suri tak pernah membentaknya sebelum ini.

"Kenapa kau seperti menyalahkan aku?" Tanya Amarilis.
"Hah? Menyalahkan mu? Kau jenius dan aku menyalahkanmu?" Tanya Suri sinis.
"Nada bicaramu seperti menyalahkanku! Hey, ingat ya! Kau yang memintaku membantumu merubah wujud! Membuatmu dewasa! Aku yang membuat ramuannya sesuai keinginanmu!" Balas Amarilis kesal.
"Ya! Hanya kau yang melakukannya! Aku lupa kau luar biasa jenius! Nah, kenapa kau tidak kembali ke kelas dan belajar sihir tingkat lanjutan bersama dengan para jenius lainnya?!" Bentak Suri sambil menyerahkan buku-buku yang sempat diberikan Amarilis.
"Ya! Kau benar!" Sahut Amarilis kesal sambil memutar tubuhnya dan berjalan cepat-cepat ke arah kelas.
Suri pun berlalu ke arah sebaliknya.

"Sial!" Maki Suri dan menyandarkan dirinya di sebuah pohon cheddar besar yang ada di tengah padang rumput di belakang bangunan sekolahnya. Ia begitu kesal pada dirinya sendiri. Ia menyesal karena begitu terburu-buru mengikuti hawa nafsunya untuk mempelajari sihir lanjutan, padahal tentunya seseorang harus menguasai dasar suatu hal baru bisa mempelajari tingkat lanjutnya.
Ia juga membentak Amarilis tadi.
Tiba-tiba saja ia merasa sendirian. Benar-benar sendirian. Padang rumput itu terlalu sunyi. Tidak ada kicauan burung, dengungan serangga, bahkan hewan-hewan lain yang merumput pun tak ada.

Angin sedingin es berhembus begitu kencang dan tajam. Seolah berusaha menggores kulit wajahnya yang tak tertutup pakaian. Dengan refleks Suri langsung menutupi wajahnya dengan lengannya. Inikah mengapa tak ada seorangpun--sesuatupun di tempat ini? Helaian rumput-rumput berterbangan mengikuti arah angin, karena terpotong tajamnya angin.
Hembusan tajam itu terus bertiup kencang dan semakin kecang, hingga entah setelah berapa lama, anginya berhenti sama sekali. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sama sekali. Aneh.

Belum selesai Suri terheran-heran akan peristiwa tadi, ia dikejutkan oleh kehadiran sosok putih bersinar berkilauan menghampirinya. Sosnk putih itu datang dari arah angin tajam itu datang.
"Kucing?"

:to be continued:

Kamis, 19 November 2009

Cesc, Carlotta, dan Kengirian Gua Terhadap Mereka.

Image Hosted by ImageShack.us

Tahu kapten Arsenal Francesc Fabregas? Untuk penggemar The Gunners pastinya nama ini tidak asing lagi ya.
Pesepakbola berbakat asal Spanyol ini memang sedang hangat-hangatnya dibincangkan karena dua klub raksasa Spanyol, Barcelona dan Real Madrid sedang ngotot mendapatkan jasa Fabregas.

Nah, kali ini gua ga akan ngebahas tentang sepakbola. Tapi lebih ke kehidupan pribadi seorang Cesc.

Cesc memiliki saudari perempuan bernama Carlotta. Lalu, apa hubungannya dengan gua? Gua ga punya hubungan darah dengan mereka (jelas). Hanya satu hal yang mengkaitkan gua dengan dua bersaudara ini, yaitu... Gua IRI sama mereka.

Image Hosted by ImageShack.us


Image Hosted by ImageShack.us

Pertanyaannya adalah, hal apa yang bikin gua iri. Ini alasannya.
1. Carlotta punya kakak, gua ngga.
Dari dulu, gua pengen banget punya kakak, laki-laki, atau perempuan sama saja, yang penting kakak. Yah berhubung gua anak pertama, ga mungkin dipaksain. Oke, gua punya banyak temen yang punya kakak, tapi tetep aja rasa iri gua sama Carlotta tetep lebih besar dibanding sama mereka. Kenapa? Lihat nomor dua ;)

2. Carlotta punya kakak Cesc Fabregas.
Yang satu ini bener-bener bikin gua jealous seribu kali lipat. Dia punya kakak seorang Cesc Fabregas. Hah! Jangan tanya alasannya, seluruh postan gua digabungin jadi satu pun ga akan cukup untuk nulisin betapa gua kagumnya sama Cesc Fabregas. Clear?
Teman-teman terdekat gua juga pasti ngerti bagaimana kata "Cesc Fabregas" dalam kehidupan gua.

Image Hosted by ImageShack.us

3. Hubungan Cesc dan Carlotta.
Mereka itu emang kakak-adik. Itu sudah jelas, tapi hubungan mereka yang luar biasa dekat jelas bikin iri. Gua emang ga punya kakak, tapi gua punya adik. Dua. Tapi hubungan gua dengan adik-adik gua ngga kelihatan seperti kakak-adik. Oke, dimata orang lain mungkin akan kelihatan normal-normal aja, dan cenderung baik. Itu mungkin karena keluarga gua cukup dikenal sebagai keluarga "baik-baik" di mata masyarakat sekitar. Tapi di dalam? Siapa yang tahu?
Nah, balik lagi ke Cesc dan Carlotta. Mereka luar biasa dekat. Lihat aja beberapa foto mereka. Kalo asal foto narsis, semua pasangan kakak-adik di seluruh dunia jelas pernah. Tapi suasana hangat yang ikut terfoto jelas bukan milik semua orang.

Image Hosted by ImageShack.us

Image Hosted by ImageShack.us

Image Hosted by ImageShack.us

Image Hosted by ImageShack.us

Sorot mata mereka, ekspresi wajah, momen-momen bersama... Seolah-olah aura cinta menguar di sekitar mereka.

Image Hosted by ImageShack.us

Image Hosted by ImageShack.us

Gua iri. Sumpah.

Rabu, 18 November 2009

Fan Fiction: Another Love Story 2.

Fakta

Satu minggu berlalu. Tidak ada lagi kejadian bola lampu yang kendur atau meja makan yang bergeser. Aku juga tidak pernah melihat atau bahkan sekedar berbicara dengan Francesc lagi. Dan aku tidak pernah sekalipun berusaha untuk mencarinya, karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggunya. Aku kan tidak tahu batasan antara mengganggu dengan sekedar mengobrol, dalam kamusnya. Tapi aku sudah mulai bosan, dan terlebih, aku merindukan wajah sempurnanya.
“Hmm, kau masih disini kan?” Tanyaku pada sudut dapur. Aku tidak tahu apakah kenyataan ini—bahwa aku sedang tinggal seatap dengan makhluk yang bukan manusia akan mempengaruhi kesehatan jiwaku. Ah, aku tidak peduli, kenyataan yang menunjukkan aku memang sudah tidak waras adalah saat aku terpesona oleh makhluk yang bukan manusia ini, dan itu sudah satu minggu berlalu. Itu artinya sudah satu minggu ini aku gila. Entah untuk alasan apa aku cukup lega saat menyimpulkan aku sudah gila.
“Francesc?” Panggilku.
Mungkin dengan menyimpulkan aku sudah gila—benar-benar gila, dapat mengurangi kesan ganjil yang aku rasakan saat mulai berbicara dengan ruangan kosong, seperti yang kulakukan sekarang. Entah mengapa aku merasa namanya terlalu panjang untuk dipanggil. Apa dia tidak punya nama panggilan yang mudah disebut? Aku memang gila. Lihat kan? Sekarang aku bahkan mempertanyakan apakah dia punaya nama panggilan.
Rasa dingin itu datang lagi. Hanya saja, tidak setajam saat pertama kali. Ini lebih nyaman, walau tidak bisa dibilang menyenangkan dalam arti lain.
“Aku tidak pernah pergi” Jawabnya lembut. Aku terbuai lagi, dengan suaranya yang begitu indah.
“Apakah aku mengganggumu sekarang?” Tanyaku ragu.
“Tidak,” Jawabnya singkat. “Kau sudah cukup diam satu minggu ini” Sambungnya. Sepertinya dia senang aku tak mencarinya seminggu ini. Mendadak sensasi adiktif itu datang. Aku ingin melihatnya.
“Bisa aku… melihatmu lagi?” Tanyaku. Tak ada balasan. Aku mendadak takut, takut menyinggungnya. “Maaf, kalau tidak… tak apa. Aku tak memaksa” Kataku kemudian. Seketika sensasi dingin itu datang lagi dan lebih kuat, hanya saja tidak mencekikku, tidak seperti minggu lalu saat aku merasa aku hampir mati. Rasanya bahkan lebih nyaman dibanding saat aku mendengar suaranya. Dan dia muncul. Didepanku, dan dengan jarak yang sama seperti kemunculannya minggu lalu. Jarak aman kah?
“Sekarang apa?” Tantangnya.
Apa maksudnya? Aku tidak terlalu memerhatikan kata-katanya, aku malah lebih berkonsentrasi untuk menyimak seluk beluk sosok indahnya. Bahunya yang jenjang dan kokoh, aku bahkan sempat berpikir terbuat dari apakah tubuhnya itu? Setahuku, hanya ukiran batu yang bisa se-indah ini. Sangat kokoh, atau apalah. Aku sampai tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Dan wajahnya yang begitu sempurna? Entahlah, kemudian matanya memancarkan sesuatu yang dapat menarikmu ke ruang tanpa sekat dan batas tanpa bisa kembali lagi. Indah, dan benar-benar adiktif. Aku lalu tersadar dari lamunanku yang fana. Aku tentu punya berjuta-juta pertanyaan yang ingin kutuntaskan. Mungkin itu yang dia maksud dari pertanyaannya barusan—saat ia muncul.
“Bisakah kita mengobrol? Atau apa saja istilahnya bagimu” Tanyaku penuh keragu-raguan.
“Kupikir, sebagai ‘teman’ satu flat…” Saat aku ingin mengutarakan alasanku ia menyelanya dengan lembut.
“Yang kau maksud mungkin ‘menginterogasi’ku kan?” Tanya Francesc. Aku kaget, dia menyadari niat tersembunyiku. Menginterogasi. Istilah yang digunakannya seolah-olah aku akan menanyainya pertanyaan tak lazim, membuatnya menjadi sebuah artikel kemudian menjuanya ke surat kabar. Pasti aku akan mendapat cukup uang jika memang itu yang aku lakukan. Otak bagian khusus pemikiran konyol dan ngawur-ku bekarja.
“Tidak apa, tanyakan saja,” Katanya penuh kedamaian. “Aku pun pasti akan bertanya banyak kepada hantu yang kutemui, kalau jadi kau” Sahutnya, ia lalu berjalan melewatiku, kemudian duduk santai disebuah kursi. Tunggu dulu, dia duduk? Kupikir hantu akan menembus benda-benda yang disentuhnya? Kenapa aku merasa selama ini sudah dibodohi oleh film horror?
“Jadi kau… benar-benar hantu?” Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Suasana hening sesaat menyiksaku. Aku jadi merasa telah melontarkan pertanyaan yang salah.
“Tergantung dari definisi hantu yang kau maksud” Dia menjawabnya dengan tenang. Wajahnya tanpa ekspresi.
Aku beranjak dari tempatku sejenak membatu tadi, berjalan kearahnya dan memerhatikannya. Oh, ya amapun, bahkan kakinya menyentuh lantai.
“Apa?” Tanya Francesc, dia sadar aku agak berlebihan memerhatikannya. Dan itu pasti sudah membuatnya tidak nyaman.
“Tidak apa… hanya kaget. Karena definisi hantu menurutku sangat berbeda jauh dengan apa yang aku lihat sekarang” Aku nyerocos membeberkan isi kepalaku sambil memandang kearah kaki-kakinya yang jenjang.
“Oh, itu cuma mitos, tidak semuanya seperti yang manusia ketahui” Dia melihat arah pandanganku. “Begini saja… Siapa tadi namamu? biar aku saja yang menjelaskannya untukmu” Suara lembutnya kembali membiusku. Membuatku ingin mengambil recorder agar aku bisa merekam suaranya yang begitu lembut dan menenangkan.
“Namaku Carla”

Francesc menarik kedua lengan sweaternya hingga sebatas siku, ia menatapku, matanya tajam. Bias merah dari irisnya sungguh terasa menyedot dan manarik narik kesadaranku hingga hapir terlepas dari ragaku. Tatapannya masih sekasar waktu itu. Apakah dia masih tidak merestui kehadiranku? Aku mulai merasa pusing. Oh tidak, jangan menatapku seperti itu!
“Kau kelihatan shock?” Kalimat tanyanya sedikit melunakkan tatapannya yang barusan terkesan galak.
“Aku baik-baik saja… Sungguh.” Aku berbohong. Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Ia menghela napas, kemudian mendasah putus asa. Kenapa? Apa yang mengganggu pikirannya?
“Kau masih ingin menjelaskan padaku?” Tanyaku penasaran, juga was-was.
“Oh, ya tentu…” Jawabnya spontan. “Aku hanya teringat beberapa kejadian dimasa lalu” Lanjutnya mengenang, sekilas tampak rahangnya sedikit mengejang. Aku menunggu dengan sabar. Kulihat ekspresi wajahnya melunak.
“Aku—kami yang sejenisku, sebenarnya hanya jiwa yang melayang tanpa raga” Aku merinding mendengarnya, tanpa raga. Lalu apa yang sedang ada dihadapanku saat ini?
“Kami, pernah hidup. Setidaknya kami menyebut kami ‘pernah’ memiliki raga, lalu kemudian kematian datang, dan jiwa kami—yang terlepas dari raga saat kami mati tidak pergi ke tempat yang benar, dan malah terjebak di dunia manusiamu ini” Ia berusaha menerangkannya dengan ringkas agar aku mengerti, tapi tetap saja aku tidak paham.
“Jiwa kalian… berwujud seperti raga kalian saat masih hidup—saat masih memiliki raga? Maksudku, apakah kau juga seperti ini saat masih hidup?” Pertanyaan pertama karena aku memang ingin tahu, tapi pertanyaan kedua lebih karena rasa tidak percaya sosok sesempurna ini pernah hadir di dunia.
“Kurasa tidak, jiwa atau roh itu tidak berwujud, bisa dikatakan seperti kabut atau asap, atau bola arwah—itu istilah yang manusia berikan untuk kami, tapi dalam kasusku, ya. Ragaku dulu memang seperti yang kau lihat saat ini, aku remaja berusia delapan belas tahun saat aku mati. Karena aku tidak mungkin manampakkan diri pada manusia dan mengusir mereka yang ingin merebut tempat tinggalku—sepertimu, hanya dengan berupa asap atau bola membara yang melayang-layang” Ia menjelaskan sambil meringgis.
“Jadi… kau mengatur sosok yang akan kau tampilkan pada manusia? Padaku?” Tanyaku, masih bingung. Ia mengangguk.
“Hanya pada awal kemunculan kami, kami bisa menentukan bentuk kami. Karena aku tidak punya tujuan apa-apa selain tidak ingin diganggu manusia, tanpa pikir panjang, saat itu aku memutuskan untuk berwujud seperti aku” Jelasnya. “Aku kenal seseorang yang memutuskan untuk berwujud kucing di kehidupannya yang abadi ini” Katanya sambil menyeringai. Penjelasannya mengagetkanku, kucing? Ya Tuhan, berapa banyak hantu yang aku temui tapi aku tidak menyadarinya? Dan aku tidak mengerti mengapa ia menggunakan kata ganti jamak, padahal cuma ada aku dan dia disini. Iya kan? Maksudku, tidak ada hantu lain disini kan? Aku bergidik ngeri membayangkan ternyata flatku ini dihuni berbagai macam hantu. Mulai dari yang rupawan—tapi mematikan seperti dia hingga yang benar-benar menyeramkan seperti yang di film horror. Aku berusaha mengenyahkan khayalan menakutkan dari otakku.
“Tujuan?” Tanyaku bingung. Ia kembali menghela napas.
“Apakah kau tidak berpikir alasan apa yang membuat jiwa kami melayang di dunia manusiamu ini Carla?” Ia bertanya sambil tertawa lirih.
“Aku… tidak tahu” Jawabku jujur.
“Kau tentu tahu bahwa kematian itu sudah ditentukan Tuhan jauh sebelum kita lahir kan?” Ia menatapku memastikan.
“Aku tahu bagian itu” Walaupun aku bukan cewek yang masuk kategori alim, tapi aku tentu cukup mengerti beberapa ajaran agama.
“Alasan mengapa kami disini sangatlah simpel Carla,” Ia mendongakkan kepala menatap langit-langit. “Kami hanya tergelincir, mati pada saat dan dengan cara yang salah” Aku berkonsentrasi meresapi setiap patah kata yang ia ucapkan.
“Kami mati bukan karena takdir yang telah Tuhan siapkan untuk kami, tapi karena ada yang mengakhiri hidup kami. Karenanya, jiwa kami tidak bisa pergi ke tempat yang benar. Karena tempat yang benar itu hanya untuk makhluk hidup yang mati dengan terhormat—yang mati karena memang takdir Tuhan memutuskan ia mati” Aku sudah berusaha keras memahami pernyataannya, tapi aku malah semakin bingung dengan kata-kata yang diucapkannya. Dan dia menyadari hal itu.
“Begini, saat kau belum lahir—saat ibumu mengandungmu, Tuhan memberimu nyawa yang panjangnya sudah Ia tentukan dengan baik, berikut hal-hal lain seperti perjalanan hidupmu nantinya, orang-orang yang akan kau temui, dengan siapa kau akan menikah, dan sebagainya, semua sudah Ia tuliskan untukmu dengan terperinci sampai pada saat kau mati, Ia juga sudah menuliskan kapan dan bagaimana kau akan mati nantinya” Ia menjelaskannya dengan lebih baik sekarang.
“Anggap saja aku, sebenarnya ditakdirkan—ditulis oleh Tuhan bahwa aku akan mati saat umurku lima puluh karena serangan jantung. Tapi apa yang aku alami sekarang?” Tanya Francesc. Matanya awas, menatap setiap perubahan ekspresi wajahku.
“Kau mati saat umurmu delapan belas, tidak seperti yang dituliskan Tuhan untukmu. Itukah maksudmu tentang alasan mengapa jiwamu ada disini? Kau mati bukan pada saat yang seharusnya” Kataku perlahan. Aku mulai menyadari apa yang sedang kami bicarakan.
“Tepat sekali” Ia tersenyum sekilas, senyum kepedihan.
“Kau dibunuh…” Kataku dengan mata membelalak. “Maaf, kata-kataku kasar sekali,” Aku buru-buru minta maaf saat menangkap perubahan ekspresi wajahnya.
“Tidak apa-apa. Kau benar, hidupku diakhiri dengan paksa, bukan karena kehendak Tuhan aku mati. Karena itulah Ia tidak menerimaku untuk kembali ke sisi-Nya—ke tempat yang benar, dan malah terlunta-lunta di dunia manusia ini, entah sampai kapan” Nada kepedihan seolah mengiris hatiku saat mendengar ia menyelesaikan kalimatnya barusan. Aku baru tahu ternyata kehidupan hantu itu tidak enak. Mengapa Tuhan tega sekali tidak menerima jiwa orang-orang yang mati tidak karena takdirnya? Maksudku, ini bukan salah Francesc, mana ada sih orang yang mau dibunuh? Lagi pula dia dibunuh, orang lain yang membunuhnya yang seharusnya mendapat akibatnya, bukan Francesc. Lain halnya kalau dia bunuh diri—memaksakan kematian datang bukan pada waktunya, kalau itu aku baru bisa memerima kalau Tuhan membiarkan dia terlunta-lunta di dunia.
“Ini kan bukan salahmu, Tega sekali Dia?” Entah mengapa aku jadi seperti merasakan penderitaannya.
“Sudahlah, itu sudah tidak jadi permasalahanku, aku sudah memikirkan apa yang ada di kepalamu saat ini selama berpuluh tahun kehidupan hantuku, dan itu toh tidak membuatku lantas masuk surga kan?” Mendadak rona ceria terbersit di wajahnya. Sungguhkah ia sudah tidak memikirkan betapa tega Tuhan padanya? Aku berusaha tidak terhanyut, dia saja sudah tidak memikirkan, masa aku yang bukan siapa-siapa mau sok ikut berdebat betapa tega Tuhan terhadapnya. Mendadak aku teringat akan kalimatnya.
“Tadi kau bilang, kau tidak punya tujuan apa-apa, makanya kau memilih menjadi dirimu, apa maksudnya? Tujuan apa?” Tanyaku. Ia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum sinis.
“Balas dendam,” Seketika jantungku terasa berhenti berdenyut.
“Masa kau tidak ingin balas dendam pada orang yang mengakhiri hidupmu dengan paksa—orang yang telah membuatmu hidup abadi dalam ketidakpastian yang menyesatkan—orang yang telah merenggut masa depanmu?” Nada penuh amarah tergambarkan dengan jelas.
“Kau tidak balas dendam?” Aku shock dengan kata-kataku barusan. Kata-kataku benar-benar seperti menantangnya untuk membalas dendam. Tapi memang benar, ia tidak balas dendam? Sorot matanya nanar, penuh dengan kepedihan dan kebencian yang melebur manjadi satu. Rahangnya kembali mengejang, jari tangannya mengepal dengan kuat, seperti mencengkram sesuatu. Sedetik kemudian dia lenyap, menghilang dari kursi tempat ia duduk, begitu mandadak, begitu tiba-tiba. Membuat aku shock. Oh tidak! Apa aku baru saja melukai perasaannya?
“Francesc?” Aku memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Sial! Kenapa sih aku selalu begini? Aku tidak pernah memikirkan dulu kata-kata yang akan aku ucapkan.
“Maafkan aku, sungguh aku sama sekali tidak bermaksud… memintamu membalas dendam dan mengingatkanmu…” Aku berkata tersendat sendat, dan aku tidak berhasil mengucapkan seluruh kalimat yang ada di kepalaku. Jantungku berdetak kencang, terlalu kencang hingga rasanya seperti mau meledak. Kembali tidak ada jawaban. Aku memutar tubuhku, mencari sosoknya di penjuru ruangan. Aku mulai frustasi. Aku benar-benar takut telah menyakiti perasaanya, tapi hampir disaat yang bersamaan, dia kembali muncul. Disudut ruangan di samping jendela
“Maaf, aku tidak bisa mengandalikan emosiku saat teringat masa laluku” Francesc mengucapkannya perlahan dan hati-hati.
“Tidak! Akulah yang seharusnya minta maaf!” Kelakku yang masih sulit bicara karena degupan jantungku yang tidak beraturan sungguh menyesakkan dada.
“Tidak Carla, kau sepenuhnya benar. Aku juga ingin sekali membalas dendam, kalau aku bisa, sungguh.” Detak jantungku mulai beraturan setelah mendengar pengakuannya.
“Kalau kau bisa…?” Aku mengulangi kata-katanya berupa bisikan. Francesc tersenyum lirih. Memejamkan mata beberapa saat.
“Kalau saja aku tahu siapa yang membunuhku… kalau saja aku bisa melihat wajahnya saat ia membunuhku…” Katanya dengan suara hampir seperti bisikan.
“Kau… Tidak tahu siapa yang melakukannya padamu? Karena itu kau tidak…” aku tidak menyelesaikan kalimatku karena shock. “Jahat sekali…” Hanya itu yang keluar dari mulutku karena shock. Dia bahkan tidak tahu siapa yang membuatnya menjalani kehidupan seperti ini. Francesc menunduk, menatap permukaan lantai yang kosong selama bebarapa detik, lalu kemudian dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Ia diam sejenak saat mata kami bertemu pandang, lalu kemudian tersenyum kepadaku.
“Aku rasa sudah cukup untuk hari ini” Ia berkata akhirnya. Kemudian dia menghilang lagi, sunyi sesaat, kemudian hanya suaranya yang terdengar.
“Terima kasih sudah mendengar ceritaku, selamat malam” Aku masih membatu selama beberapa saat baru bisa menyadari dia sudah pergi. Aku berjalan limbung menuju kamarku. Rasanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan saat ia mencekikku. Saat itu hanya tubuhku—ragaku yang merasakan sakitnya, tapi saat ini yang kurasakan jauh lebih buruk, hati dan jiwaku terasa sakit, seperti luka sayatan yang tersiram air laut. Hanya luka kecil, kurasa, tapi pedihnya menjalari seluruh tubuh, meresap ke tulangku. Aku benar-benar tidak tahu kehidupan ada yang setragis ini.

Aku duduk di sisi tempat tidurku. Menekuk kedua kaki di dada dan memeluknya. Aku termenung sesaat, membiarkan fakta yang baru aku dapatkan meresap ke setiap jaringan syaraf di otakku. Aku memposisikan diriku menjadi dia. Bagaimana jika hal yang terjadi padanya menimpaku. Aku pasti sangat frustasi. Inikah alasan mengapa ia terlihat sangat emosional saat mengenang masa lalunya? Mendadak aku teringat ceritanya. ‘Aku kenal seseorang yang memutuskan untuk berwujud kucing di kehidupannya yang abadi ini’ kalau tujuan menentukan wujud yang dikatakan Francesc adalah balas dendam, lalu apa yang akan dilakukan seekor kucing untuk balas dendam? Mendadak aku penasaran, apa yang terjadi pada orang itu hingga ia memutuskan menjadi kucing?

Tentang Emirates Stadium

Emirates Stadium adalah stadion sepak bola yang terletak di Ashburton Grove di Holloway, London utara, dan merupakan markas utama klub sepak bola Arsenal F.C. sejak Juli 2006. Stadion ini merupakan stadion sepak bola terbesar kedua di kompetisi Liga Utama Inggris setelah Old Trafford dan merupakan terbesar keempat di daratan Inggris setelah Stadion Wembley (London), Old Trafford (Manchester), dan Stadion Millennium (Cardiff).

Stadion ini memiliki kapasitas 60.432 penonton, menggantikan stadion lama Arsenal, Highbury yang telah dipakai Arsenal selama kurang lebih 93 tahun (1913-2006). Pembuatan stadion ini membutuhkan dana kurang lebih sekitar 430 juta poundsterling. Sebelumnya stadion ini bernama Ashburton Grove, tapi dinamai Emirates Stadium karena tim Arsenal mencapai kesepakatan dengan perusahaan penerbangan Emirates untuk mensponsori Arsenal selama 15 tahun.

Image Hosted by ImageShack.us



*sumber: wikipedia, soccer series: canon revolution

Fan Fiction: Another Love Story 1. Cerita ini hanyalah Fiksi dan Khayalan belaka, hanya sebagian tokoh adalah nyata dan benar-benar ada. Tidak ada maksud khusus untuk melecehkan atau mencemarkan nama baik suatu pihak atau tokoh yang terlibat dalam cerita ini.

Prolog.
Surga dan Neraka

Segala sesuatu yang hidup pasti akan mati pada waktunya, aku percaya itu. Walaupun berusaha menghindarinya, kematian akan tetap mendatangimu. Walau berusaha bersembunyi pun, kematian akan menemukanmu. Karena Tuhan sudah menentukan kapan kau akan mati. Dan kau tidak mungkin dapat menolaknya. Itulah yang disebut takdir. Aku meyakini Tuhan menciptakan tiga macam kehidupan. Kehidupan saat kita belum dilahirkan, kehidupan saat kita di lahirkan, dan kehidupan setelah kematian. Kehidupan setelah kematian bagiku berarti surga dan neraka. Sangat simpel, manusia yang semasa hidupnya lebih banyak melakukan dosa daripada berbuat baik akan masuk neraka, dan sebaliknya, manusia yang semasa hidupnya selalu berbuat baik, maka ia akan mendapatkan surga. Aku memang tidak paham bagaimana Tuhan menilai kebaikan manusia, karena menurutku, orang yang baik diamata seseorang pun, pasti pernah dipandang sebaliknya oleh orang lain. Tapi aku percaya penilaian Tuhan tidak mungkin salah, karena dia melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku percaya Tuhan adalah hakim yang paling adil di seluruh jagad raya ini. Dia tidak mungkin memasukkan orang jahat kedalam surga dan meletakkan yang baik di neraka kan? Tidak mungkin.
Aku tetap teguh pada pendapatku tentang tiga macam kehidupan yang sudah diatur Tuhan selama ini, sampai pada suatu saat pendirianku mulai goyah. Saat dimana kehidupan dan kematian terasa tak berbatas. Saat dia datang ke kehidupanku.

Pertemuan Pertama

“Oke, aku sudah cukup sabar sampai saat ini” Aku berkata setengah berteriak. Sedikit membentak malah.
“Setidaknya kau bisa beritahu aku alasanmu mengganguku kan?”. Namaku Carla, aku delapan belas, dan aku sedang berbicara dengan ruangan kosong, setidaknya dari manusia.

Aku baru saja menyewa sebuah flat mungil—kalau tidak ingin dibilang ‘kecil’, dipinggiran kota London Utara. Dan kehidupanku yang baru saja dimulai disini ternyata tidak berjalan seperti yang aku bayangkan. Ada sesuatu—dan aku rasa aku tahu apa itu, di flat ini yang menggangguku.
Tidak ada jawaban. Tentu saja. Maksudku, aku sekarang sedang bicara dengan sesuatu yang aku tidak tahu wujudnya. Hantu kah? Poltergeist? Aku tidak peduli. Sudah satu minggu ini dia menggangguku. Menggeser meja makan juga kursi-kursi saat aku sedang terlelap dimalam hari, mengendurkan semua bola lampu yang ada, jadi aku harus mengencangkannya semuanya sendiri, juga mencabut kabel teleponku, jadi aku harus menyambungkannya terlebih dahulu bila ingin menggunakannya dan ini sudah berlangsung selama tujuh hari. Yang benar saja!
“Bisakah kau hanya memberi tanda bila kau tidak mau bicara—atau mungkin tidak bisa?” Aku kembali seperti bicara dengan ruangan hampa. Aku cukup marah sekarang.
“Sekarang aku bahkan tidak tahu aku sedang bicara dengan siapa” Kataku membentak.
“Apakah aku sudah melakukan hal yang buruk?” Kali ini nada bicaraku seperti orang yang pasrah. Aku juga bingung mengapa mulutku bisa mengeluarkan kata-kata dengan nada seperti itu. Tapi itu benar, apakah aku sudah melakukan hal yang begitu buruk sampai harus ditegur dengan cara seperti ini?

Tiba-tiba saja aura aneh datang menerjang menerpa kulitku. Dingin. Tapi bukan dingin yang membuatmu nyaman seperti saat kau masuk ruangan ber-AC saat musim panas. Ini rasa dingin yang tajam, menusuk-nusuk kulit. Aku mencoba bersikap tenang. Tadi kan aku sendiri yang memintanya datang.

“Maaf,” Tiba-tiba aku mendengar sebuah kata terucap begitu lembut dan merdu, seprti dentingan lonceng yang berirama. Aku mencoba mencari sosok yang membuat suara indah yang sekaligus membuatku bergidik ngeri. Aku tidak menemukan apapun. Hanya pantry kecilku yang remang. Sudut gelap di ujung lorong pantry ini memang cocok untuk kemunculan makhluk-makhluk kasat mata. Setidaknya itu yang aku tahu dari berbagai film horror.
“Kau bahkan tidak takut padaku” Suara indah itu lagi. Menggema di seantero pantryku.
“Itu sungguh penghinaan, kau tahu?” Dan aku masih berkonsentrasi menemukan sumber suara itu. Mencari sosok seperti apa yang mungkin menghasilkan suara selembut itu.
“Baiklah” Kataku spontan. “Aku sudah mendengar suaramu. Sekarang, bolehkan aku melihat sosokmu?” Mataku masih awas. Menanti setiap kemungkinan sosok yang akan muncul.
“Begitu penasaranya kah kau terhadapku?” Aku kembali memutar tubuhku. Dimana sih dia? Aku memang sudah sering melihat berbagai macam hantu atau apalah namanya, baik dari film, atau cerita bergambar di majalah. Tapi tentu saja belum pernah yang secara langsung. Dan ini sangat membuatku antusias. Mungkin terdengar agak aneh, karena sebagian orang tentu berharap tidak ingin bertemu dengan makhluk-makhluk aneh dalam hidup mereka yang singkat.
Rasa dingin yang menyakitkan itu datang lagi, dan lebih keras. Aku menggigit bibir bawahku. Menyiritkan mata, mencoba menahan sensasi aneh yang menjalari sisa kulitku yang tidak tertutup pakaian.
“Hallo,” Sapa seorang cowok yang mengenakan subuah sweater hitam beserta celana panjangnya yang juga hitam.
Dia menyeringai sinis saat menyapaku. Jaraknya hanya skitar satu meter didepanku. Pakaian yang dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Aku memerhatikannya dengan seksama. Maksudku, ini adalah pertama kalinya aku melihat ‘hantu’ dan sosoknya yang rupawan sungguh mengecewakan. Wajah pucatnya sama sekali tidak menakutiku. Kulitnya sangat putih seputih patung batu yang biasa kau temukan di museum. Rambut cokelat tuanya mengilat diterpa remangya lampu pantryku, membuatnya berwarna lebih pirang. Alis matanya gelap dan tebal bagai rajutan yang sempurna—dan sangat indah, juga sepasang matanya yang berwarna merah tua, memancarkan… sesuatu, aku tidak tahu apa itu? Tak sadar mulutku menganga saat menatapnya. Takjub. Aku tidak pernah tahu ada sosok yang begitu sempurna di dunia ini. Sosoknya masih berdiri mematung. Persis lukisan sempurna serafim yang tampan. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Hey, kemana perginya makhluk dengan wajah hancur dan berlumuran darah? Makhluk menakutkan yang mengejarmu dengan membawa pisau dapur yang kotor dengan noda darah? Ini menggelikan.
“Apa?” Ia menatapku bingung, mengerutkan alisanya yang sempurna, membuat sedikit kerutan ekspresi di dahinya yang selicin marmer. Aku kembali menggigit bibir bawahku. Kali ini karena aku terhanyut oleh pesonanya.
“Kau sudah melihatku, kau puas sekarang?” Sosok sempurna itu menatapku tajam. Aku masih terdiam membisu.
“Sekarang, bisakah kau meninggalkan tempat ini? Aku sudah menuruti kemauanmu” Aku masih belum menyadari apa makna dari kata-katanya.
“Ya. Sangat mudah kan? Seperti kedengarannya. Cukup tinggalkan tempat ini, dengan tenang” Tatapannya berubah serius. Tunggu dulu, baru saja dia… mengusirku? Yang benar saja? Ini kan flatku! Setidaknya sampai enam bulan kedepan karena aku baru menyewanya selama itu.
“Aku ragu apakah aku bisa menuruti kemauanmu” Jawabku. Cowok itu menatapku tajam
“Maaf young lady, tapi aku sama sekali tidak memiliki niat untuk berbagi tempat tinggal” Katanya sambil menyunggingkan sedikit senyum meremehkan dari bibirnya. “Terlebih dengan manusia” Tambahnya. Aku menyiritkan dahiku. Mencoba menyingkirkan segala pesonanya yang memabukkan.
“Maaf, dan aku benar-benar tidak berniat pergi. Aku suka tempat ini, dan yang terpenting, aku sudah menyewanya hingga enam bulan kedepan” Aku mencoba menjelaskan. Tentu sangat menggelikan kalau aku harus pindah dari flat yang baru aku tinggali seminggu ini karena alasan, ada ‘hantu’ tampan yang mengusirku? Tidak dalam duniaku.
“Kau tidak ingin pergi?”
“Tidak dengan alasan apapun” Aku tidak membiarkannya berargumen.
“Kau sungguh tidak bermaksud mengatakannya” Seketika setelah menyelesaikan kalimatnya, dia menghilang. Benar-benar hilang. Bahkan berkas sisa-sisa keberadaanya pun tidak ada—walaupun aku tidak yakin bakal ada. Cara dia muncul dan menghilang memang seperti yang kusaksikan di film horror. Begitu cepat, dan sekejap. Dan, rasa dingin—menyakitkan yang melandaku pun lenyap.

Aku tidak berusaha, atau bahkan hanya mencoba untuk menemukannya, seperti tadi. Disaat aku begitu antusias untuk menemukannya. Aku jatuh terududuk lemas dengan kedua lutut tertekuk. Aku shock, bukan karena aku baru saja melihat ‘hantu’ yang begitu rupawan dengan suara selembut satin. Terlebih karena ‘hantu’ yang begitu rupawan itu baru saja mengancamku. Walaupun bahasa yang digunakannya terlalu halus untuk disebut ‘ancaman’. Tapi, tetap saja itu ancaman. Aku tidak tahu aku seharusnya bersikap bagaimana. Haruskah aku takut dan segera mengemasi barang-barangku lalu pergi ke tempat yang sangat jauh hingga ia tak bisa mengikutiku? Atau aku harus memanggil ahli arwah? Ghost buster atau semacamnya agar dia yang pergi dari flat ini?

Tapi otakku yang paling dalam menolak ide yang melintas diatas. Aku tidak mau dan tidak akan pernah melakukannya. Selama ini aku tidak pernah percaya pada cenayang dan semacamnya. Aku hanya percaya pada hal-hal yang dapat dijelaskan dengan logika, bukan hal yang seperti ini. Tapi, baru saja hantu tampan itu meruntuhkan logikaku. Walaupu tak bisa dipungkiri, ada bagian dari otakku yang terkadang selalu membuatku berpikir konyol. Lagipula aku… masih ingin melihatnya. Melihat sosok sempurna yang mungkin hanya bisa kau temukan di karya fiksi. Yang kau harus membayangkannya sendiri dengan imajinasimu untuk mendapatkannya. Entah mengapa bagian otakku yang menolak ide pertama tadi malah memerintahkanku untuk mencarinya. Menemukannya. Melihat kesempurnaan itu lebih lama lagi. Ini terasa seperti zat adiktif. Yang membuatmu kecanduan setelah kesan pertama yang diberikan.
Aku kemudian berdiri. Menata kakiku yang semenit lalu tersa tak bersendi. Aku berjalan kearah ruang tengah, lalu ke kamarku. Dan tidak ada siapapun disana. Bagaimana cara membuatnya muncul?
Tentu bukan dengan menggosokkan tanganmu ke sebuah lampu ajaib. Memanggilnya? Yang benar saja, aku bahkan tidak tahu namanya. Atau bahkan dia tidak punya nama? Untuk kalimat terakhir barusan aku hanya bergurau. Bagaimana mungkin dia tidak punya nama. Bagaimana temannya, kerabatnya atau yang lebih jelas—kalau dia tidak punya keluarga, sebangsanya mengajaknya berbincang? Tentu saja aku tidak percaya ada hantu yang menikah dan melahirkan bayi hantu, jadi tidak mungkin dia punya keluarga.
Aku menyudahi pikiran-pikiran konyol dari kepalaku.

“Hey, kau yang ada di flat ini juga…” Aku mencoba memanggilnya, sebisaku. “Bisakah kau menampakkan dirimu sekali lagi?” Tanyaku dengan kalimat yang ragu.
Aku hanya takut kata-kataku menyinggung perasaanya. Apakah hal buruk yang mungkin terjadi saat kau menyinggung hantu? Paling kau akan dibunuh—itu pun kalau mereka benar-benar bisa membunuh. Aku pernah membaca sebuah artikel di koran, artikel itu menyebutkan bahwa sebenarnya hantu, apapun itu, tidak bisa menyakiti manusia. Aku hanya barharap satu hal. Koran itu tidak asal menampilkan tulisan anak sekolah menengah hanya untuk memenuhi space yang tersisa. Dan tidak ada jawaban, sama seperti saat pertama kalinya aku memintanya muncul.

Aku duduk disebuah kursi diruang tengah. Menghela napas panjang berulang kali. Disaat aku mulai tenang, aku menyadari kejadian apa yang baru saja aku alami. Pertama, aku bertemu ‘hantu’. Kedua, hantu yang aku temui luar biasa tampan, ketampanan yang sangat tidak manusiawi¬—walaupun dia memang bukan manusia. Yang ketiga, dia baru saja mengusirku, dengan ancaman, walaupun dia tidak menyebutkannya secara langsung. Yang ke-empat… aku baru saja menyadari apakah poin yang ke-empat itu. Itu adalah, aku ingin melihatnya lagi.
Hari tak terasa beranjak gelap dan lagi aku harus mengencangkan seluruh bola lampu di flat ini. Setelahnya aku kembali menunggu dalam sunyi. Apakah dia akan menampakkan dirinya lagi? Mungkin tidak sekarang.
“Aku rasa sudah saatnya kau berkemas, nona” suara indah itu lagi, begitu merdu dan syahdu. Bukannya takut aku malah gembira—dalam artian lain tentu saja. Aku bangkit dan memutar tubuhku. Mencarinya, tapi ia tidak ada dimanapun.
“Kau tidak menampakkan diri?”
“Untuk apa?” Tanya suara itu.
Hebat! Sekarang aku sedang mengobrol dengan hantu.
“Aku ingin melihatmu” Jawabku jujur, tentu tidak ada untungnya bicara bohong pada hantu.
“Kau manusia pertama yang mengatakannya” Suara itu begitu renyah dan enak didengar. “Kau tidak takut pada hantu?” Sambungnya.
“Kau sama sekali, tidak menakutkan” Jawabku, dan itu benar.

Tidak ada jawaban setelahnya. Namun tiba-tiba aku merasakan aura dingin itu datang lagi. Tapi begitu kuat hingga aku kembali jatuh terduduk. Sesak. Aura ini seratus kali lebih pekat dari saat pertama kemunculannya. Rasanya seperti terseret pusaran air saat kau berenang di laut—tertarik dengan kuat, tanpa bisa menggapai sesuatu untuk bertahan. Kepalaku terasa berat dan pusing, seluruh benda disekitarku seperti berputar. Rasa sesak itu datang lagi, aku berusaha menghirup udara sebanyak banyaknya, namun hanya sedikit yang bisa mengisi rongga dadaku. Aku panik, aku bisa merasakan seperti ada yang sedang meremas saluran napasku. Ini gawat! Benar-benar gawat!

Aku terbatuk-batuk sambil kedua tanganku terus mencengkram dadaku. Rasa pusing itu semakin menjadi. Keringat dingin bertumpahan di tubuhku. Air mata menggenang dipelupuk mataku, membuat pandanganku yang mulai kabur jadi lebih parah. Seperti ada selaput yang menghalangi mataku. Aku baru sadar ini ulah siapa.

“Kumohon… jangan…” Kataku dengan suara serak dan terputus putus, namun itulah suara terbaik yang bisa aku bunyikan saat ini.
“Kau mau… membunuhku?” Mati, setelah mengucapkannya entah dari mana asalnya, aku jadi terbayang wajah orang yang mungkin akan sedih kalau hantu ini benar membunuhku. Ibuku, ayah… Daniel pacarku, dan… dan aku tidak menemukan wajah orang lain setelahnya. Aku tidak punya saudara kandung. Aku bahkan tidak dekat dengan sepupu-sepupuku. Teman? Aku bisa dibilang tidak memiliki teman—hanya ada beberapa, hanya saja tidak terlalu dekat. Siapa lagi yang akan benar-benar bersedih saat aku mati selain ketiga orang itu? Aku rasa tidak ada.
“Apakah aku menakutkan sekarang?” Tanya suara itu.
Dan dia benar, beginilah harusnya sesosok hatu. Menakutkan—mengancam. Tapi aku tidak benar-benar takut, aku hanya panik dengan kematian yang sebentar lagi datang. Well, kalau memang kehidupan setelah kematian itu benar ada, aku pikir perbuatanku selama hidup—setidaknya sampai saat ini, tidak ada yang spesial. Itu berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada surga, dan selamat datang untuk neraka. Atau aku malah akan bernasib sama dengan hantu tampan yang sekarang sedang mengirimku ke kematian? Menjadi arwah yeng tersesat dalam dunia manusia. Hey, kenapa disaat menegangkan—situasi hidup dan mati begini, aku masih sempat berpikir konyol? Sepertinya rasa sesak yang melandaku tidak mematikan fungsi otakku—setidaknya bagian yang selalu berpikir konyol.

Kepalaku semakin pusing, dan rasa sesak itu benar-benar mencekikku. Dan sekarang mematikan seluruh fungsi otakku. Aku terseret arus kematian terlalu dalam. Hingga kemudian semuanya gelap gulita.

Entah sudah berapa lama, kemudian aku tersadar, aku membuka mataku. Sudah matikah aku? Ternyata jawabannya tidak. Aku masih berada di flatku. Masih ditempat dimana hantu itu mencecikku—setidaknya begitulah rasanya, bahkan tanpa menampakkan dirinya, ia hampir membunuhku. Aku duduk dan menarik napas cepat-cepat. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, merasakan alirannya memenuhi paru-paruku, kemudian menghembuskannya. Aku tidak mati. Kepalaku masih tersa pening tentu saja, tapi aku sadar aku masih hidup. Aku bangkit perlahan. Jam dinding mengingatkan aku waktu saat ini. Pukul 2:30 dini hari. Aku berjalan limbung ke kamarku, dan langsung merebahkan diriku yang masih begitu terasa aneh ke kasur. Sejurus kemudian aku sudah terlelap.

***

Aku merasa lebih baik saat paginya. Aku duduk terdiam ditengah kasurku. Merenung. Kemarin aku hampir saja terbunuh. Ini gila. Maksudku, semua orang tentu pernah hampir tebunuh, tapi hampir dibunuh hantu pasti tidak. Aku menempelkan telapak tanganku di dahi. Kemudian memejamkan mata. Dan suara itu datang lagi.
“Kau yang memintaku melakukan ini. Padahal aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, untuk segera pergi dari tempat ini dengan tenang” Oh, ayolah. Ini bahkan masih terlalu pagi untuk adegan pengusiran?
“Kenapa kau tidak langsung membunuhku? Kalau kau ingin aku benar-benar pergi” Tanyaku kesal. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Aku baru saja minta dibunuh.
“Jangan menantangku” Kata suara itu, kesal. “Kalian manusia terlalu mudah mati” Aku menyiritkan alis mendengarnya. Bukan karena kesal dihina, terlebih pada kata-katanya barusan itu memang benar. Kami—manusia memang gampang mati. Cukup meminum sebotol kecil ekstrak tumbuhan—seperti yang dilakukan Romeo saat menyaksikan istri barunya mati, atau yang lebih mudah, tinggal mengiris urat nadi dan menunggu hingga kehabisan darah. Benar-benar terlalu mudah.
“Mengapa kau begitu ingin aku pergi?” Akhirnya aku menanyakannya. Alasan dia mengusirku.
“Karena ini tempat tinggalku” jawabnya singkat, bahkan terlalu singkat untuk kumengerti. “Aku sudah berada disini sejak dulu, bahkan sebelum orang tuamu dilahirkan” Ia menjelaskan. Penjelasan yang tentu saja membuat aku shock. Makhluk tampan yang begitu sempurna itu, yang wajahnya begitu tanpa cela, bahkan lebih tua dari kakekku.
“Tapi kau terlihat seumur denganku?” Tanyaku pada ruangan kosong.
“Hah, jangan bodoh. Apa yang mungkin terjadi pada hantu? Menjadi tua, lalu mati? Kami bahkan sudah mati” Jawabnya dengan nada jijik.
“Berapa umurmu?” Tanyaku penasaran. Pernyataannya barusan membuat otakku mengirimkan ribuan pertanyaan langsung ke bibirku.
“Aku seumurmu. Delapan belas, saat aku mati tentu saja. Tapi tahun ini aku 134—kalau tidak salah hitung” Jawabnya. Aku tidak menyangka dia mau meladeni pertanyaanku yang begitu tidak pentingnya.
“Wow, kau seabad lebih” Sahutku spontan.
“Apa itu bagus menurutmu? Umurku bahkan tidak akan ada batasnya” Kata suara itu. Benar juga, dia sudah mati dan tidak mungkin mati lagi. Iya kan?
“Boleh aku tahu namamu? Aku Carla. Kau tentu punya nama kan?” Tanyaku.
“Tentu saja, aku juga pernah menjadi makhluk lemah sepertimu—manusia,” Jawabnya jengkel. “Aku… Francesc” Aku lega dia juga punya nama, entah untuk alasan apa lagi aku cukup lega. Namun itu ternyata kelegaan sesaat. Suasana tidak nyaman itu muncul lagi.
“Bisa kau pergi sekarang?” Tanya makhluk tampan itu—Francesc. Kurasa ketidakwarasanku tadi sempat menular padanya sehingga dia mau kuajak berbincang sebentar, tapi sekarang dia sudah sadar dengan tujuan awalnya. Oh, tidak.
“Aku tidak mungkin pindah, aku bahkan tidak punya cukup uang untuk sebulan ini” Aku jujur, uang tabunganku sudah habis untuk membayar uang sewa flat ini. Daniel, pacarku sempat menawarkan diri untuk melunasi pembayaran uang sewa flat ini, dia seorang pembalap—tentu dia punya banyak uang, tapi aku menolaknya. “Dan aku tidak ingin merepotkan orang tuaku lebih berat lagi karena harus mencari tempat tinggal baru untukku kan?” Aku mencoba berdebat dengannya.
“Mengapa kita tidak tinggal berdampingan saja? Kurasa berbagi tempat tinggal tidak buruk” Tawarku. Usulan terbodoh yang pernah aku tawarkan selama hidupku. Tinggal dengan hantu.
“Tidak dengan manusia” Jawabnya ketus.
“Oh, ayolah kumohon… aku bahkan tidak pernah mengganggumu” Kataku “Dan tidak akan pernah” Tambahku. Mendadak suasana tidak nyaman itu lenyap. Begitu juga dengan suaranya. Sunyi sesaat. Dan aku putuskan untuk bertanya.
“Hmm, apa ini berarti kau setuju?” Aku menanti ruangan kosong untuk bicara. Dan penantianku tak sia-sia, setealah beberapa menit ia menjawab.
“Terserah kau saja” Aku tersenyum lebar dibuatnya. “Asalkan kau menepati janjimu untuk tidak menggangguku” Sambungnya.
Oh, yang benar saja, siapa sih yang selama ini mengganggu? Ini gila, aku baru saja memutuskan untuk berbagi tempat tinggal dengan hantu. Benar-benar gila.

Aku bangkit dan berjalan kearah dapur, mengabil sekotak sereal dan menuangkannya ke mangkuk. Aku harus makan. Yang pertama karena aku tidak boleh meninggalkan sarapan karena alasan kesehatan—aku punya penyakit lambung yang buruk, dan yang ke dua karena aku benar-benar lapar. Hari ini aku berencana pergi berbelanja ke sebuah mini market di dekat flatku. Saat hendak mengunci pintu, aku teringat dengan kesepakatan yang baru aku buat dengan seorang hantu tampan.
“Well, kita tinggal bersama sekarang, kuharap kau tidak menyiksaku lagi dengan bola-bola lampu itu, okay?” Kataku kepada ruangan kosong di depan pintu masuk. Menanti sejenak da tidak ada jawaban.
“Ku anggap itu artinya ‘sepakat’” Kataku yang kemudian bergegas keluar dan mengunci pintu. Aku berjalan ke arah barat flatku dengan perasaan mengambang. Apa sih yang baru saja aku lakukan? Tinggal satu flat dengan hantu—yang tampan. Aku mulai memikirkan bagaimana nantinya kehidupanku.