Daniel
Aku berjalan menelusuri trotoar di depan kampusku. Benar, aku tinggal disini dengan tujuan pendidikan. Aslinya, aku adalah orang Spanyol. Kemudian aku bersikeras untuk kuliah di Inggris Raya ini, memohon pada kedua orang tuaku—yang sangat menentang pada awalnya karena alasan keamananku, agar aku diizinkan pergi ke tempat ini untuk melanjutkan studiku. Setelah perundingan alot—dan juga atas bantuan Daniel, pacarku yang juga tinggal di London, walaupun sekarang dia sedang ada di Perancis untuk kejuaraan balapnya. Keluargaku bukan termasuk keluarga kaya, jadi dua tahun sebelumnya, saat aku masih SMA aku sudah berusaha mengumpulkan uang sendiri dengan bekerja part time, uangnya kemudian aku tabung untuk meringankan biaya pendidikanku nantinya. Lagipula aku memang mendaftar di jalur bea siswa. Tentu saja, Daniel selalu bersikeras untuk membiayai kehidupanku juga pendidikanku, tapi aku selalu menolaknya. Bukan bermaksud untuk sombong, hanya saja aku tidak mau hubungan cinta kami yang selama ini terjalin manis ternoda oleh uang. Aku berusaha sebisaku agar ia tidak mengeluarkan terlalu banyak uang yang didapat dengan mempertaruhkan nyawa di lintasan balap itu untuk membelikanku barang-barang mewah. Sadar ia tidak akan mempan menyogokku dengan uangnya, Daniel malah melakukannya pada orang tuaku. Tentu saja, ibuku yang paling terlihat senang saat Daniel datang berkunjung ke rumahku. Dengan segala bingkisan-bingkisan yang menyertainya.
Cuaca cukup dingin untuk sore hari di bulan Agustus. Ini yang paling aku benci dari London, cuaca yang sangat sangat tidak menentu. Matahari terik kemarin ternyata tidak menjadi pertanda bahwa hari ini akan cerah. Dan aku tidak memakai jaketku, aku meninggalkannya di flat, karena kupikir cuaca tidak akan berubah drastis seperti ini. Aku rindu matahari Spanyol. Aku berjalan ke sebuah halte sembil mendekap erat tubuhku sendiri. Angin sedingin es menerpa kulit wajahku, menyibakkan rambut hitamku yang sepunggung tergerai sepenuhnya ke belakang. Aku harus naik bus dari sini sampai melalui delapan halte berikut, lalu aku masih harus berjalan kaki lagi untuk menuju flatku. Memang jarak flat dan kampusku agak jauh. Ini terjadi karena aku berusaha mencari tepat tinggal yang termurah yang mungkn aku dapatkan. Sekarang aku tahu mengapa harga sewa flatku murah. Francesc. Kurasa aku harus berterimakasih padanya, karena kalau dia tidak ada, mungkin aku tidak bisa menolak uang pemberian Daniel. Oh, kenapa dua hari ini aku terus teringat dia. Wajahnya memang tidak lebih tampan—tapi dia tetap sangat tampan bagiku, dari hantu yang baru aku temui beberapa hari yang lalu, tapi, dia tentu begitu spesial. Alisnya juga tebal, matanya yang begitu berkilauan selalu terlihat indah saat dia menatapku, dan yang selalu membuatku terlupa akan masalah yang sedang menimpaku adalah senyumannya. Sangat menentramkan. Aku heran mengapa dia, yang tampan dan kaya itu—dan pembalap, yang pastinya punya jutaan fans cewek yang cantik-cantik yang dengan sukarela dan akan melakukan apa saja untuk menggantikan posisiku, mau menghabiskan perhatiannya untukku.
Aku lantas tersadar aku sedang merindukannya. Aku merindukan Daniel dan segala kelembutan dan perhatiannya yang hanya tertuju kepadaku, perhatiannya yang membuatku merasa begitu spesial sebagai seorang cewek—yang bisa dibilang biasa-biasa saja—kalau dibandingkan dengan pacarku yang tampan dan terkenal itu. Aku meringgis membayangkan perbedaan kami. Beruntung benar aku memiliki dia. Tak sadar air mataku menggenang dipelupuk mata. Jangan cengeng, Carla! Jangan sekarang! Aku menyeka air mata yang hampir jatuh itu. Aku merindukan Daniel dan aku menginginkannya lebih dari apapun juga saat ini. Sudah hampir dua bulan ini aku tidak bertemu secara langsung dengannya. Minggu ini dia di Perancis, dua minggu yang lalu ada di Malaysia, satu bulan yang lalu dia di China dan satu bulan tiga belas hari yang lalu dia di Amerika. Aku selalu cengeng begini saat merindukannya. Tapi aku tidak mugkin menghubunginya dan memintanya datang, egois benar aku kalau sampai melakukannya. Dia kan sedang di Le Mans untuk persiapan kejuaraan balapnya, pasti dia sedang sangat sibuk sekali. Dia memang meneleponku beberapa kali seminggu tapi bagiku itu tidak cukup. Kupikir dengan keadaan kami yang sama-sama tinggal di London akan mempererat hubungan kami. Karena tahun pertama kami berpacaran sangat berat untukku. Aku tinggal di Spanyol dan di di Inggris. Dia hanya kembali saat kejuaraan seri dan liburan tertentu. Rasanya sangat tidak enak kalau tidak sedang bersamanya.
Aku berusaha membenahi suasana hatiku yang tiba-tiba sangat rapuh saat berjalan menuju flatku. Saat aku sampai disisi gedung flat, aku tidak menyadari ada sebuah Aston Martin bercat silver terparkir anggun didepan gedung. Harusnya aku menyadarinya, tidak mungkin ada mobil mewah terparkir di depan gedung flat yang sederhana ini. Tapi suasana hatiku yang kacau balau tidak megizinkan otakku untuk bekerja dengan benar. Aku langsung bergegas berjalan menuju tangga, meniti satu demi satu anak tangga. Kamarku ada di lantai empat, dan letaknya paling pojok. Saat tiba didepan kamarku, dan berusaha memasukkan kunci ke pintu, aku baru sadar tanganku gemetaran, entah karena dingin atau apa, itu mempersulitku memasukkan kunci dengan benar.
“Oh, sial” Gumamku saat aku malah menjatuhkan kunci sialan itu ke lantai. Saat aku ingin memungutnya, ternyata ada tangan asing yang melakukannya terlebih dahulu dan menyerahkannya kepadaku.
“Terimakasih” sahutku tanpa memalingkan wajah dari kunci di genggamannya. Aku punya dua alasan untuk tidak melihat wajah si pemungut kunci itu, yang pertama, karena aku sedang tidak mood untuk berkenalan dengan tetangga baru dan yang kedua karena aku tidak ingin ia melihat air mata yang kembali menggenang di pelupuk mataku.
“Kau bahkan tidak menyadari kehadiranku” Aku tersentak kaget saat mendengar suaranya, dan itu membuat kunciku jatuh lagi. Daniel memungutnya kembali, aku sangat shock dan tak percaya, dan itu membuat air mata yang sejak tadi aku tahan jatuh berlinangan dipipiku.
“Carla? Astaga kau menangis? Ada apa?” Tangan hangatnya merengkuh wajahku, nyaman sekali. Dia menatapku panik. Apa wajahku terlihat begitu parah? Karena ia kelihatan benar-benar panik sekarang.
“Dani…?” Suaraku parau saat mengucap namanya. Bukankah seharusnya dia masih ada di Perancis sampai setidaknya minggu depan? Dan air mataku semakin deras mengalir.
“Ini aku Sayang, ada apa Carla? Kenapa kau menagis? Dan kau dingin sekali… kau tidak bawa mantelmu?” Dani memelukku erat, membiarkan panas tubuhnya menghangatkan aku.
“Kemarikan kuncimu, kita harus masuk sebelum kau membeku” Dani merebut kunci itu dari genggaman tanganku yang gemeteran dan membukakan pintu untuk kami. Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali, Dani langsung membimbingku masuk sampai ke ruang tengah, kemudian merengkuh tubuhku lebih erat, menggosok-gosokkan telapak tangannya ke lenganku, menghangatkan aku. Ya Tuhan, apa aku sedingin itu? Dia kemudian mengecup keningku dan menyingkirkan rambutku yang basah karena air mata dari wajahku. Dia melepaskan pelukannya untuk merunduk dan menatapku.
“Carla, ada apa?” Wajahnya masih kelihatan panik dan bingung. Aku menggeleng, memberinya isyarat bahwa aku tidak apa-apa. Aku memang baik-baik saja, aku cuma merindukan dia, aku biasanya tidak menunjukkan kecengenganku ini dihadapannya, tapi aku malah tidak dapat menghentikan air mataku saat ia sudah ada disini. Konyol.
“Aku tidak apa-apa” Jawabku sambil bersusah payah meredakan tangisku, dan berhasil.
“Bagaimana mungkin kau tidak apa-apa?” Tanya Dani sambil menyeka air mataku dan menunjukkan jari jarinya yang basah. Aku tertawa lirih sambil berusaha menghentikan tangisan bodohku ini—yang hanya membuat wajah kekasihku pucat.
“Aku merindukanmu bodoh,” Jawabku sambil membelai pipinya. Rona panik lenyap dari wajahnya, digantikan dengan ekspresi aneh. “Terserah kalau kau tidak percaya, aku memang jadi sangat cengeng kalau sedang rindu padamu” Jawabku jujur, aku tahu pasti wajahku sudah memerah, selalu begitu saat aku mengutarakan perasaanku padanya. Tiba-tiba dia tersenyum mengejek dan mengelus rambutku.
“Aku tidak tahu kau begitu” Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil terus membelai pipiku yang lembab. Tatapan lembutnya membuyarkan kegundahan yang tadi menguasaiku.
“Aku memang tidak ingin kau tahu, ini memalukan” Jawabku.
“Aku sudah disini, jangan menangis dan membuatku panik lagi” Bisiknya ditelingaku, aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat dan lembut menerpa leherku, kemudian dia mengecup rahangku. Dani merapatkan tubuhnya ke tubuhku, membuat punggungku semakin rapat bersandar ke dinding. Kecupannya yang hangat dan lembut berjalan menjelajahi dahi dan pipiku, kemudian kembali ke rahangku. Perlakuannya ini selalu membuat jantungku berdetak tak karuan serasa hampir lepas dari tempatnya, napasku juga mulai tidak beraturan. Tangannya merengkuh tanganku dan ia membawanya, mengalungkannya di lehernya, kemudian kedua tangannya meraih pinggangku.
“Carla” Ia membisikkan namaku tepat sesaat sebelum bibirnya menemukan bibirku. Bibirnya bergerak lembut di bibirku, dan tak perlu waktu yang lama, aku mulai terhanyut. Aku merengkuh wajahnya, kemudian menyusupkan jari jariku ke rambutnya. Darah mengalir lebih deras di tubuhku, aku bahkan lupa tadi aku sempat kedinginan. Dani masih terus menempelkan bibirnya di bibirku. Rasa rinduku yang bertumpuk membuatku tidak ingin melepaskan ciumannya sedetikpun, walau aku mulai merasa pening karena tidak bisa bernapas dengan benar. Mendadak ciumannya melambat dan tangannya menempel di pipiku, menahan kepalaku. Dengan mudah dia melepaskan ciumanku. Kemudian dia menatapku sambil menahan tawa.
“Jangan sampai kau mati kehabisan napas, Carla” Katanya menggodaku. Aku cuma bisa merengut dibuatnya. Ia kembali memelukku, membawaku ke dadanya yang bidang dan hangat.
“Aku suka sekali saat kau sedang rindu padaku. Kau bahkan lebih agresif daripada aku” Ejeknya disela-sela tawanya yang renyah, aku tidak bisa menyangkal saat dia mengatakannya, aku hanya diam menikmati pelukannya yang hangat dan nyaman, menikmati kehadirannya. Kemudian Dani melepaskan pelukannya. Aku sedikit memprotes tindakannya dengan erangan yang tak ditanggapinya.
“Kau lapar? Aku lupa aku membawakan sesuatu untuk kita, dan masih ada di mobilku. Tunggulah sebentar” Dia lantas bergegas keluar ruangan, yang terdengar kemudian hanyalah bunyi pintu masuk yang dibuka dan tertutup lagi. Tentu saja, Aston Martin yang terparkir dengan anggunnya didepan sana tadi miliknya. Bodohnya aku tidak menyadarinya.
Tiba-tiba aku merasakan hawa dingin yang mulai tersa familiar dikulitku. Francesc. Sudah tiga hari sejak kemunculannya yang terakhir.
“Dia pacarmu?” Tanya sosok rupawan itu.
Aku merebahkan tubuhku di sofa sambil mengangguk-angguk kecil menjawab pertanyaannya. Rongga dadaku terlalu dipenuhi kebahagiaan hingga tidak mampu berkata-kata.
“Boleh saja kalian bermesraan seperti itu, tapi aku minta jangan yang lebih dari itu” Pernyataannya membuat aku kaget. Dia menyaksikan aku berciuman? Hey, itu kan tidak sopan! “Ingat kan, flat ini tempat tinggal bersama?” Ia mengingatkan aku.
Benar juga, ini tempat tinggal bersama, dan aku sudah berjanji untuk tidak ‘mengganggu’nya.
“Tenang saja, hubunganku dengannya belum sampai tahap yang lebih dari itu kok,” Aku menjawabnya dengan kaku, menyadari makna pernyataanya tadi.
“Bagus, aku tentu tidak ingin melihat yang lebih dari yang tadi itu” Katanya sambil memutar bola matanya. Dia menatapku sekilas.
“Ada apa?” Tanyaku. Francesc tersenyum penuh arti.
“Dia baik, pilihanmu tepat sekali” Aku tidak tahu dari mana ia mendapat kesimpulan itu, padahal bertemu secara langsung saja tidak pernah—dan aku tidak ingin Dani bertemu dengannya, dia pasti langsung menyuruhku pindah kalau tahu tempat ini berhantu. Tapi dilihat dari sorot matanya, terlihat sekali dia sangat yakin dengan kata-katanya.
“Terimakasih, kau juga baik” Kataku jujur, walaupun dia sempat hampir membunuhku, tapi aku tahu sebenarnya dia orang yang baik. Dan dia memang tidak membunuhku kok. Aku tidak tahu bagaimana nasibku kalau hantu yang kutemui disini bukan dia. Aku mungkin sudah tidak ada lagi sekarang.
Dia tersenyum kepadaku kemudian menghilang. “Aku dibunuh orang tahu, itu artinya aku bukan orang baik. Mana mungkin ada orang yang begitu membenciku sampai harus melenyapkan aku kalau aku orang baik kan?” Suara merdunya menggema seantero ruangan.
“Bagiku kau tetap orang baik” Balasku, dan kemudian dia benar benar lenyap. Aku heran kemana perginya dia saat tidak menampakkan diri?
Setelahnya aku mendengar suara yang sama, suara pintu masuk yang terbuka dan, sejurus kemudian suara berdebam tanda pintu ditutup kembali. Dan aku mendapati kekasihku tercinta datang menghampiriku, membawa satu kantung plastik penuh makanan. Aku terbelalak dibuatnya ketika ia mengelurkan satu demi satu kemasan makanan siap saji dan menjajarkannya di meja tamuku. Tacos, sekotak pizza, sepotong short cake strawberry… Terakhir aku melihat dua kotak es krim coklat.
“Astaga Dani, yang benar saja” Bentakku.
“Apa? Kau suka tacos kan? Juga suka pizza dengan pepperoni?” Tuntutnya bingung.
“Bukan itu maksudku! Ini banyak sekali… Benar-benar banyak! Apa kau berpikir kita berdua sanggup menghabiskannya?” Tanyaku.
“Well, aku bingung mau membawakanmu apa—karena banyak sekali makanan yang kau sukai, jadi kubawakan saja semuanya” Jawabannya sungguh membuat aku marah.
“Kau tidak perlu menghabiskan uangmu hanya karena banyak makanan yang kusuka” Sahutku.
“Maafkan aku Carla, aku hanya ingin membawakanmu sesuatu” Balasnya dengan lembut, dan aku dijamin tidak akan bisa melawannya—kelembutannya. Aku menghela napas panjang kemudian berbicara.
“Sudahlah Dan, tidak apa-apa. Maafkan aku” Aku tahu seharusnya aku tidak boleh bersikap begini kepada seseorang yang telah memberiku sesuatu. Tidak sopannya aku.
Keadaan lalu sunyi sejenak. Dani masih duduk membatu di sofa, ekspresinya tak terbaca, menggenggam kantong plastik yang tadi terisi penuh. Aku memutuskan untuk mengambil beberapa piring dan peralatan makan lainnya di dapur.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil piring untuk kita” Kataku.
“Oh, biar aku saja” Jawab Dani seraya menyusulku ke dapur, Manggamit punggung tanganku lembut dan mengecup rambutku. Syukurlah dia tidak marah. Aku mengambil beberapa piring datar, sendok dan garpu, juga sebilah pisau. Dani melongok kedalam lemari esku dan menemukan sebotol besar cola di sana.
“Kau kan seharusnya ada di Perancis” Kataku mendadak teringat dimana seharusnya dia berada. Sekarang kami sedang makan malam bersama. Cukup mewah untukku, karena semua makanan kesukaanku terhidang dimeja kecil ini.
“Itu bukan pertanyaan” Sahutnya ringan sambil menyuap sepotong pizza ke mulutnya.
“Oh okay. Apa yang sedang kau lakukan disini?” Aku meralat pertanyaanku. Sejak kapan sih dia jadi begitu teliti.
“Hmm, aku sedang mengunjungi pacarku yang ternyata begitu kesepian tanpaku” Jawabnya enteng.
“Dani aku serius” Tuntutku.
“Aku juga serius Carla, aku merindukanmu” Jawabnya sambil menatapku.
“Oh, terserah lah” Gumamku kesal sambil menyuap potongan terakhir tacos digenggamanku.
“Hey, sejak kapan kau jadi begitu sensitif?” Tanya Dani sambil tertawa kecil. Aku tahu dia pasti menertawakan tingkahku yang cepat marah.
“Dan kau sejak kapan jadi suka menggodaku?” Tuntutku. Aku juga tahu wajahku pasti langsung memerah kalau dia mulai menatapku atau merayuku, aku juga bingung kenapa aku masih seperti ini. Padahal sudah hampir satu tahun kami bersama.
Dani tertawa renyah dan berkata, “Aku selalu suka menggodamu kok,” Dia masih terus tertawa, dan beberapa saat kemudian tawanya reda dan ia mulai menjelasan kepadaku alasannya berada di sini.
“Balapnya ditunda Sayang, dan karena aku sudah melakukan semua sesi tes, dan kualifikasi, jadi aku meminta izin pada Mr Puig untuk kembali ke London sebentar” Jelasnya padaku. Alberto Puig adalah mentornya. Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya, karena biasanya Mr Puig selalu bersama Dani disetiap kejuaraan.
“Dan alasan sisanya—tentang mengunjungi pacarku karena aku merindukannya, memang benar” Dani melanjutkan tawanya. Aku juga jadi tersipu karena pengakuannya.
Setelah merapikan meja, kami duduk berdampingan sambil menonton TV. Tangan kanannya memeluk pundakku, dan tangan kirinya sibuk memindahkan tombol channel dengan remote control. Sementara aku sibuk menikmati es krim yang tadi dibawanya. Udara dingin di luar sana tak akan menyurutkan rasa cintaku pada es krim coklat.
“Aku heran mengapa Negara ini punya hampir seribu channel, tapi tak satupun acara yang menarik” Gumamnya kesal.
“Matikan saja” Pintaku, dari pada kesal, lebih baik matikan saja kan?
Saat aku memintanya ia malah menemukan channel favoritnya, Star Sports, oh, apa lagi?
“Carla, apa kau tidak berpikir kalau jarak tempat ini dengan kampusmu cukup jauh?” Tanya Dani disela-sela perhatiannya yang tertuju ke layar TV.
“Memang agak jauh” Aku sependapat dengannya, tapi menurutku, selama aku bisa mendapatkan bus, tak jadi masalah. “Tapi ada bus yang melewatinya” Sambungku.
“Dan kau masih harus berjalan lumayan jauh untuk sampai ke sini” Tambah Dani.
“Tidak sejauh itu” Ralatku.
“Ya, tapi kau melakukannya dua kali sehari setiap hari kuliah” Ia meralat balik.
Ya, aku akui, aku memang sedikit capek kalau harus berjalan kaki sejauh itu dua kali sehari, saat berangkat dan pulang kuliah.
“Kau tahu? Sepertinya sebuah city car mungil akan cocok…” Aku tak mengizinkan Dani melanjutkan kata katanya. Oh, dia mulai lagi.
“Kukira kita tidak akan membicarakan uang-uangmu?” Tuntutku sambil melepaskan pelukan tangannya di bahuku dan menatapnya sebal.
“Oh, Carla. Aku kan tidak akan membelikanmu sebuah Porsche atau Bentley…” Dia menggenggam kedua tenganku sambil mengatakannya. Dan menatapku. Oh, bagus sekali! Aku kira dia sudah tahu apa kelemahanku.
“Izinkan aku memberikanmu hadiah Carla, selama ini aku selalu menuruti permintaanmu untuk tidak membelikanmu macam-macam” Dani berkata penuh kelembutan, dan sedikit memelas. Seolah olah dia-lah yang menderita kalau tidak memberiku hadiah.
Aku berpikir sejenak, aku memang membutuhkan kendaraan. Maksudku, sungguh asyik sekali kalau punya kendaraan sendiri. Aku bisa pergi ke kampus tanpa khawatir akan terlambat karena bangun kesiangan. Apakah kali ini aku akan menerima hadiahnya begitu saja? Tentu tidak.
“Kau sedang berpikir? Aku yang akan memberimu mobil tapi kau yang berpikir?” Tanya Dani heran.
Aku menghembuskan napas panjang dan membuat keputusan.
“Baiklah, kau menang. Kurasa aku memang membutuhkannya” Jawabku sebal.
“Kau… baru saja…” Dani kelihatan kaget luar biasa. Ini pertama kalinya aku mengizinkannya memberiku hadiah mahal. Sebuah mobil.
“Dengan syarat” Desakku.
“Baiklah, maksudku, tentu saja! Apa sih syaratmu?” Mendadak Dani jadi bersemangat.
Aku memaksakan otakku mengingat semua merek mobil-mobil mewah yang harganya kelewatan.
“Tidak Porsche, tidak Bentley, tidak Ford, Audi, Chrysler, BMW, Mercedes, Volvo, Aston Martin, dan… Err… Range rover—itu kan namanya? Oh, ya juga Chevrolet, dan Nissan” Tutupku. Yap! Aku rasa aku sudah menyebutkan semua merek mobil mewah.
“Ya ampun Carla! Kau menghabiskan daftarnya! Well, lagipula aku kan tidak mungkin membelikanmu Range Rover! Itu mobil laki-laki” Keluh Dani karena aku menghabiskan deretan mobil mewahnya.
“Itu syaratku, terima atau tidak terserah kau” Sahutku cuek.
Dani kelihatan berpikir keras dan kemudian dia menatap mataku penuh kemenangan. Eh? Apa aku melewatkan sesuatu?
“Aku terima syaratmu, Carla. Tidak akan ada Porsche, Bentley, Ford, Audi, Chrysler, BMW, Mercedes, Volvo, Aston Martin, Range Rover, juga Chevrolet, dan Nissan” Kata Dani mengulangi daftar yang tadi aku syaratkan “Lagi pula aku akan memberimu sebuah…” Dani memenggal kalimatnya disambung cengiran menyebalkan. Jantungku berdebar debar. Takut melewatkan merek mahal lainnya.
“Volks Wagen. Itu tidak ada di daftarmu, artinya sebuah VW Golf akan hadir dibawah sana minggu depan, Carla” Seringai Dani penuh kemenangan.
Oh tidak! Tidak! Aku melewatkan mobil buatan Jerman itu! Aku melewatkan mobil sialan itu! Dan aku tidak mungkin meralat syaratku.
Aku mengerang kalah, dan Dani tertawa penuh kemenangan. Harusnya aku tahu aku pasti kalah, mana mungkin aku yang mahasiswi biasa bisa mengalahkan pengetahuannya tentang otomotif? Maksudku, dia kan memang bekerja untuk otomotif!
“Aku berjanji kau akan menyukainya Carla, VW Golf itu mungil dan cukup simpel, cocok untukmu. Lagipula sudah kupilihkan yang tidak terlalu mahal, VW Golf yang R32 tidak sampai dua puluh lima ribu Pounds” Dani langsung antusias sementara aku merebahkan kepalaku di sofa. Mendadak aku pusing, dia bahkan tahu tipe-tipenya. Aku seharusnya tidak usah mengajukan syarat bodoh itu tadi. Seminggu lagi tumpukan uang dua puluh lima ribu Pounds akan disulap menjadi sebuah mobil di depan flatku. Yang benar saja, bagiku dua puluh lima ribu Puonds itu besar sekali!
“Apakah dua puluh lima ribu itu tidak kelewatan?” Tanyaku, berharap ada VW lain—yang lebih murah yang mungkin ditawarkan Dani padaku.
“Aku sudah menepati syaratmu, jadi tidak ada alasan bagimu untuk menolak ideku” Ia menjawabnya dengan argumen yang sempurna.
Aku mengerang sekali lagi. Dani mendesah dan menghampiri aku yang duduk semakin menjauh darinya. Dia menarikku kembali ke pelukannya.
“Tolong jangan perhitungkan uangku, Carla” Dia baru saja memintaku tidak memperhitungkan dua puluh lima ribu Pounds. Aku hanya diam saja tak menjawab.
“Cinta yang kau berikan kepadaku tak senilai dengan apapun juga” Dani mengecup keningku saat aku masih dalam pelukannya. Aku masih diam membisu, aku tidak tahu harus bicara apa. Lagipula aku mulai merasa ngantuk, aku tidak ingin berdebat dengannya dalam keadaan ngantuk begini. Mudah sekali mengantuk kalau sedang berada di pelukannya yang nyaman dan hangat.
Dani melonggarkan pelukannya dan memandang jam tangannya, aku tahu ini saatnya dia pulang. Jarak apartemennya sekitar empat puluh menit dari flatku—kalau naik mobilnya.
“Sudah larut,” Desahnya.
“Hmm” Aku hanya menggumam.
Dani melepaskan pelukannya dan membelai pipiku dengan punggung tangannya. Tatapan matanya penuh kedamaian. Dan itu membuatku semakin mengantuk. Aku menyurukkan kembali kepalaku ke dadanya, meremas kemejanya di jariku.
“Tinggallah,” Pintaku. “Aku masih ingin bersamamu” Aku memejamkan mata di pelukannya yang nyaman.
Aku tak ingat lagi kelanjutannya. Aku rasa, aku sudah jatuh tertidur dalam pelukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar