Prolog.
Surga dan Neraka
Segala sesuatu yang hidup pasti akan mati pada waktunya, aku percaya itu. Walaupun berusaha menghindarinya, kematian akan tetap mendatangimu. Walau berusaha bersembunyi pun, kematian akan menemukanmu. Karena Tuhan sudah menentukan kapan kau akan mati. Dan kau tidak mungkin dapat menolaknya. Itulah yang disebut takdir. Aku meyakini Tuhan menciptakan tiga macam kehidupan. Kehidupan saat kita belum dilahirkan, kehidupan saat kita di lahirkan, dan kehidupan setelah kematian. Kehidupan setelah kematian bagiku berarti surga dan neraka. Sangat simpel, manusia yang semasa hidupnya lebih banyak melakukan dosa daripada berbuat baik akan masuk neraka, dan sebaliknya, manusia yang semasa hidupnya selalu berbuat baik, maka ia akan mendapatkan surga. Aku memang tidak paham bagaimana Tuhan menilai kebaikan manusia, karena menurutku, orang yang baik diamata seseorang pun, pasti pernah dipandang sebaliknya oleh orang lain. Tapi aku percaya penilaian Tuhan tidak mungkin salah, karena dia melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku percaya Tuhan adalah hakim yang paling adil di seluruh jagad raya ini. Dia tidak mungkin memasukkan orang jahat kedalam surga dan meletakkan yang baik di neraka kan? Tidak mungkin.
Aku tetap teguh pada pendapatku tentang tiga macam kehidupan yang sudah diatur Tuhan selama ini, sampai pada suatu saat pendirianku mulai goyah. Saat dimana kehidupan dan kematian terasa tak berbatas. Saat dia datang ke kehidupanku.
Pertemuan Pertama
“Oke, aku sudah cukup sabar sampai saat ini” Aku berkata setengah berteriak. Sedikit membentak malah.
“Setidaknya kau bisa beritahu aku alasanmu mengganguku kan?”. Namaku Carla, aku delapan belas, dan aku sedang berbicara dengan ruangan kosong, setidaknya dari manusia.
Aku baru saja menyewa sebuah flat mungil—kalau tidak ingin dibilang ‘kecil’, dipinggiran kota London Utara. Dan kehidupanku yang baru saja dimulai disini ternyata tidak berjalan seperti yang aku bayangkan. Ada sesuatu—dan aku rasa aku tahu apa itu, di flat ini yang menggangguku.
Tidak ada jawaban. Tentu saja. Maksudku, aku sekarang sedang bicara dengan sesuatu yang aku tidak tahu wujudnya. Hantu kah? Poltergeist? Aku tidak peduli. Sudah satu minggu ini dia menggangguku. Menggeser meja makan juga kursi-kursi saat aku sedang terlelap dimalam hari, mengendurkan semua bola lampu yang ada, jadi aku harus mengencangkannya semuanya sendiri, juga mencabut kabel teleponku, jadi aku harus menyambungkannya terlebih dahulu bila ingin menggunakannya dan ini sudah berlangsung selama tujuh hari. Yang benar saja!
“Bisakah kau hanya memberi tanda bila kau tidak mau bicara—atau mungkin tidak bisa?” Aku kembali seperti bicara dengan ruangan hampa. Aku cukup marah sekarang.
“Sekarang aku bahkan tidak tahu aku sedang bicara dengan siapa” Kataku membentak.
“Apakah aku sudah melakukan hal yang buruk?” Kali ini nada bicaraku seperti orang yang pasrah. Aku juga bingung mengapa mulutku bisa mengeluarkan kata-kata dengan nada seperti itu. Tapi itu benar, apakah aku sudah melakukan hal yang begitu buruk sampai harus ditegur dengan cara seperti ini?
Tiba-tiba saja aura aneh datang menerjang menerpa kulitku. Dingin. Tapi bukan dingin yang membuatmu nyaman seperti saat kau masuk ruangan ber-AC saat musim panas. Ini rasa dingin yang tajam, menusuk-nusuk kulit. Aku mencoba bersikap tenang. Tadi kan aku sendiri yang memintanya datang.
“Maaf,” Tiba-tiba aku mendengar sebuah kata terucap begitu lembut dan merdu, seprti dentingan lonceng yang berirama. Aku mencoba mencari sosok yang membuat suara indah yang sekaligus membuatku bergidik ngeri. Aku tidak menemukan apapun. Hanya pantry kecilku yang remang. Sudut gelap di ujung lorong pantry ini memang cocok untuk kemunculan makhluk-makhluk kasat mata. Setidaknya itu yang aku tahu dari berbagai film horror.
“Kau bahkan tidak takut padaku” Suara indah itu lagi. Menggema di seantero pantryku.
“Itu sungguh penghinaan, kau tahu?” Dan aku masih berkonsentrasi menemukan sumber suara itu. Mencari sosok seperti apa yang mungkin menghasilkan suara selembut itu.
“Baiklah” Kataku spontan. “Aku sudah mendengar suaramu. Sekarang, bolehkan aku melihat sosokmu?” Mataku masih awas. Menanti setiap kemungkinan sosok yang akan muncul.
“Begitu penasaranya kah kau terhadapku?” Aku kembali memutar tubuhku. Dimana sih dia? Aku memang sudah sering melihat berbagai macam hantu atau apalah namanya, baik dari film, atau cerita bergambar di majalah. Tapi tentu saja belum pernah yang secara langsung. Dan ini sangat membuatku antusias. Mungkin terdengar agak aneh, karena sebagian orang tentu berharap tidak ingin bertemu dengan makhluk-makhluk aneh dalam hidup mereka yang singkat.
Rasa dingin yang menyakitkan itu datang lagi, dan lebih keras. Aku menggigit bibir bawahku. Menyiritkan mata, mencoba menahan sensasi aneh yang menjalari sisa kulitku yang tidak tertutup pakaian.
“Hallo,” Sapa seorang cowok yang mengenakan subuah sweater hitam beserta celana panjangnya yang juga hitam.
Dia menyeringai sinis saat menyapaku. Jaraknya hanya skitar satu meter didepanku. Pakaian yang dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Aku memerhatikannya dengan seksama. Maksudku, ini adalah pertama kalinya aku melihat ‘hantu’ dan sosoknya yang rupawan sungguh mengecewakan. Wajah pucatnya sama sekali tidak menakutiku. Kulitnya sangat putih seputih patung batu yang biasa kau temukan di museum. Rambut cokelat tuanya mengilat diterpa remangya lampu pantryku, membuatnya berwarna lebih pirang. Alis matanya gelap dan tebal bagai rajutan yang sempurna—dan sangat indah, juga sepasang matanya yang berwarna merah tua, memancarkan… sesuatu, aku tidak tahu apa itu? Tak sadar mulutku menganga saat menatapnya. Takjub. Aku tidak pernah tahu ada sosok yang begitu sempurna di dunia ini. Sosoknya masih berdiri mematung. Persis lukisan sempurna serafim yang tampan. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Hey, kemana perginya makhluk dengan wajah hancur dan berlumuran darah? Makhluk menakutkan yang mengejarmu dengan membawa pisau dapur yang kotor dengan noda darah? Ini menggelikan.
“Apa?” Ia menatapku bingung, mengerutkan alisanya yang sempurna, membuat sedikit kerutan ekspresi di dahinya yang selicin marmer. Aku kembali menggigit bibir bawahku. Kali ini karena aku terhanyut oleh pesonanya.
“Kau sudah melihatku, kau puas sekarang?” Sosok sempurna itu menatapku tajam. Aku masih terdiam membisu.
“Sekarang, bisakah kau meninggalkan tempat ini? Aku sudah menuruti kemauanmu” Aku masih belum menyadari apa makna dari kata-katanya.
“Ya. Sangat mudah kan? Seperti kedengarannya. Cukup tinggalkan tempat ini, dengan tenang” Tatapannya berubah serius. Tunggu dulu, baru saja dia… mengusirku? Yang benar saja? Ini kan flatku! Setidaknya sampai enam bulan kedepan karena aku baru menyewanya selama itu.
“Aku ragu apakah aku bisa menuruti kemauanmu” Jawabku. Cowok itu menatapku tajam
“Maaf young lady, tapi aku sama sekali tidak memiliki niat untuk berbagi tempat tinggal” Katanya sambil menyunggingkan sedikit senyum meremehkan dari bibirnya. “Terlebih dengan manusia” Tambahnya. Aku menyiritkan dahiku. Mencoba menyingkirkan segala pesonanya yang memabukkan.
“Maaf, dan aku benar-benar tidak berniat pergi. Aku suka tempat ini, dan yang terpenting, aku sudah menyewanya hingga enam bulan kedepan” Aku mencoba menjelaskan. Tentu sangat menggelikan kalau aku harus pindah dari flat yang baru aku tinggali seminggu ini karena alasan, ada ‘hantu’ tampan yang mengusirku? Tidak dalam duniaku.
“Kau tidak ingin pergi?”
“Tidak dengan alasan apapun” Aku tidak membiarkannya berargumen.
“Kau sungguh tidak bermaksud mengatakannya” Seketika setelah menyelesaikan kalimatnya, dia menghilang. Benar-benar hilang. Bahkan berkas sisa-sisa keberadaanya pun tidak ada—walaupun aku tidak yakin bakal ada. Cara dia muncul dan menghilang memang seperti yang kusaksikan di film horror. Begitu cepat, dan sekejap. Dan, rasa dingin—menyakitkan yang melandaku pun lenyap.
Aku tidak berusaha, atau bahkan hanya mencoba untuk menemukannya, seperti tadi. Disaat aku begitu antusias untuk menemukannya. Aku jatuh terududuk lemas dengan kedua lutut tertekuk. Aku shock, bukan karena aku baru saja melihat ‘hantu’ yang begitu rupawan dengan suara selembut satin. Terlebih karena ‘hantu’ yang begitu rupawan itu baru saja mengancamku. Walaupun bahasa yang digunakannya terlalu halus untuk disebut ‘ancaman’. Tapi, tetap saja itu ancaman. Aku tidak tahu aku seharusnya bersikap bagaimana. Haruskah aku takut dan segera mengemasi barang-barangku lalu pergi ke tempat yang sangat jauh hingga ia tak bisa mengikutiku? Atau aku harus memanggil ahli arwah? Ghost buster atau semacamnya agar dia yang pergi dari flat ini?
Tapi otakku yang paling dalam menolak ide yang melintas diatas. Aku tidak mau dan tidak akan pernah melakukannya. Selama ini aku tidak pernah percaya pada cenayang dan semacamnya. Aku hanya percaya pada hal-hal yang dapat dijelaskan dengan logika, bukan hal yang seperti ini. Tapi, baru saja hantu tampan itu meruntuhkan logikaku. Walaupu tak bisa dipungkiri, ada bagian dari otakku yang terkadang selalu membuatku berpikir konyol. Lagipula aku… masih ingin melihatnya. Melihat sosok sempurna yang mungkin hanya bisa kau temukan di karya fiksi. Yang kau harus membayangkannya sendiri dengan imajinasimu untuk mendapatkannya. Entah mengapa bagian otakku yang menolak ide pertama tadi malah memerintahkanku untuk mencarinya. Menemukannya. Melihat kesempurnaan itu lebih lama lagi. Ini terasa seperti zat adiktif. Yang membuatmu kecanduan setelah kesan pertama yang diberikan.
Aku kemudian berdiri. Menata kakiku yang semenit lalu tersa tak bersendi. Aku berjalan kearah ruang tengah, lalu ke kamarku. Dan tidak ada siapapun disana. Bagaimana cara membuatnya muncul?
Tentu bukan dengan menggosokkan tanganmu ke sebuah lampu ajaib. Memanggilnya? Yang benar saja, aku bahkan tidak tahu namanya. Atau bahkan dia tidak punya nama? Untuk kalimat terakhir barusan aku hanya bergurau. Bagaimana mungkin dia tidak punya nama. Bagaimana temannya, kerabatnya atau yang lebih jelas—kalau dia tidak punya keluarga, sebangsanya mengajaknya berbincang? Tentu saja aku tidak percaya ada hantu yang menikah dan melahirkan bayi hantu, jadi tidak mungkin dia punya keluarga.
Aku menyudahi pikiran-pikiran konyol dari kepalaku.
“Hey, kau yang ada di flat ini juga…” Aku mencoba memanggilnya, sebisaku. “Bisakah kau menampakkan dirimu sekali lagi?” Tanyaku dengan kalimat yang ragu.
Aku hanya takut kata-kataku menyinggung perasaanya. Apakah hal buruk yang mungkin terjadi saat kau menyinggung hantu? Paling kau akan dibunuh—itu pun kalau mereka benar-benar bisa membunuh. Aku pernah membaca sebuah artikel di koran, artikel itu menyebutkan bahwa sebenarnya hantu, apapun itu, tidak bisa menyakiti manusia. Aku hanya barharap satu hal. Koran itu tidak asal menampilkan tulisan anak sekolah menengah hanya untuk memenuhi space yang tersisa. Dan tidak ada jawaban, sama seperti saat pertama kalinya aku memintanya muncul.
Aku duduk disebuah kursi diruang tengah. Menghela napas panjang berulang kali. Disaat aku mulai tenang, aku menyadari kejadian apa yang baru saja aku alami. Pertama, aku bertemu ‘hantu’. Kedua, hantu yang aku temui luar biasa tampan, ketampanan yang sangat tidak manusiawi¬—walaupun dia memang bukan manusia. Yang ketiga, dia baru saja mengusirku, dengan ancaman, walaupun dia tidak menyebutkannya secara langsung. Yang ke-empat… aku baru saja menyadari apakah poin yang ke-empat itu. Itu adalah, aku ingin melihatnya lagi.
Hari tak terasa beranjak gelap dan lagi aku harus mengencangkan seluruh bola lampu di flat ini. Setelahnya aku kembali menunggu dalam sunyi. Apakah dia akan menampakkan dirinya lagi? Mungkin tidak sekarang.
“Aku rasa sudah saatnya kau berkemas, nona” suara indah itu lagi, begitu merdu dan syahdu. Bukannya takut aku malah gembira—dalam artian lain tentu saja. Aku bangkit dan memutar tubuhku. Mencarinya, tapi ia tidak ada dimanapun.
“Kau tidak menampakkan diri?”
“Untuk apa?” Tanya suara itu.
Hebat! Sekarang aku sedang mengobrol dengan hantu.
“Aku ingin melihatmu” Jawabku jujur, tentu tidak ada untungnya bicara bohong pada hantu.
“Kau manusia pertama yang mengatakannya” Suara itu begitu renyah dan enak didengar. “Kau tidak takut pada hantu?” Sambungnya.
“Kau sama sekali, tidak menakutkan” Jawabku, dan itu benar.
Tidak ada jawaban setelahnya. Namun tiba-tiba aku merasakan aura dingin itu datang lagi. Tapi begitu kuat hingga aku kembali jatuh terduduk. Sesak. Aura ini seratus kali lebih pekat dari saat pertama kemunculannya. Rasanya seperti terseret pusaran air saat kau berenang di laut—tertarik dengan kuat, tanpa bisa menggapai sesuatu untuk bertahan. Kepalaku terasa berat dan pusing, seluruh benda disekitarku seperti berputar. Rasa sesak itu datang lagi, aku berusaha menghirup udara sebanyak banyaknya, namun hanya sedikit yang bisa mengisi rongga dadaku. Aku panik, aku bisa merasakan seperti ada yang sedang meremas saluran napasku. Ini gawat! Benar-benar gawat!
Aku terbatuk-batuk sambil kedua tanganku terus mencengkram dadaku. Rasa pusing itu semakin menjadi. Keringat dingin bertumpahan di tubuhku. Air mata menggenang dipelupuk mataku, membuat pandanganku yang mulai kabur jadi lebih parah. Seperti ada selaput yang menghalangi mataku. Aku baru sadar ini ulah siapa.
“Kumohon… jangan…” Kataku dengan suara serak dan terputus putus, namun itulah suara terbaik yang bisa aku bunyikan saat ini.
“Kau mau… membunuhku?” Mati, setelah mengucapkannya entah dari mana asalnya, aku jadi terbayang wajah orang yang mungkin akan sedih kalau hantu ini benar membunuhku. Ibuku, ayah… Daniel pacarku, dan… dan aku tidak menemukan wajah orang lain setelahnya. Aku tidak punya saudara kandung. Aku bahkan tidak dekat dengan sepupu-sepupuku. Teman? Aku bisa dibilang tidak memiliki teman—hanya ada beberapa, hanya saja tidak terlalu dekat. Siapa lagi yang akan benar-benar bersedih saat aku mati selain ketiga orang itu? Aku rasa tidak ada.
“Apakah aku menakutkan sekarang?” Tanya suara itu.
Dan dia benar, beginilah harusnya sesosok hatu. Menakutkan—mengancam. Tapi aku tidak benar-benar takut, aku hanya panik dengan kematian yang sebentar lagi datang. Well, kalau memang kehidupan setelah kematian itu benar ada, aku pikir perbuatanku selama hidup—setidaknya sampai saat ini, tidak ada yang spesial. Itu berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada surga, dan selamat datang untuk neraka. Atau aku malah akan bernasib sama dengan hantu tampan yang sekarang sedang mengirimku ke kematian? Menjadi arwah yeng tersesat dalam dunia manusia. Hey, kenapa disaat menegangkan—situasi hidup dan mati begini, aku masih sempat berpikir konyol? Sepertinya rasa sesak yang melandaku tidak mematikan fungsi otakku—setidaknya bagian yang selalu berpikir konyol.
Kepalaku semakin pusing, dan rasa sesak itu benar-benar mencekikku. Dan sekarang mematikan seluruh fungsi otakku. Aku terseret arus kematian terlalu dalam. Hingga kemudian semuanya gelap gulita.
Entah sudah berapa lama, kemudian aku tersadar, aku membuka mataku. Sudah matikah aku? Ternyata jawabannya tidak. Aku masih berada di flatku. Masih ditempat dimana hantu itu mencecikku—setidaknya begitulah rasanya, bahkan tanpa menampakkan dirinya, ia hampir membunuhku. Aku duduk dan menarik napas cepat-cepat. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, merasakan alirannya memenuhi paru-paruku, kemudian menghembuskannya. Aku tidak mati. Kepalaku masih tersa pening tentu saja, tapi aku sadar aku masih hidup. Aku bangkit perlahan. Jam dinding mengingatkan aku waktu saat ini. Pukul 2:30 dini hari. Aku berjalan limbung ke kamarku, dan langsung merebahkan diriku yang masih begitu terasa aneh ke kasur. Sejurus kemudian aku sudah terlelap.
***
Aku merasa lebih baik saat paginya. Aku duduk terdiam ditengah kasurku. Merenung. Kemarin aku hampir saja terbunuh. Ini gila. Maksudku, semua orang tentu pernah hampir tebunuh, tapi hampir dibunuh hantu pasti tidak. Aku menempelkan telapak tanganku di dahi. Kemudian memejamkan mata. Dan suara itu datang lagi.
“Kau yang memintaku melakukan ini. Padahal aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, untuk segera pergi dari tempat ini dengan tenang” Oh, ayolah. Ini bahkan masih terlalu pagi untuk adegan pengusiran?
“Kenapa kau tidak langsung membunuhku? Kalau kau ingin aku benar-benar pergi” Tanyaku kesal. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Aku baru saja minta dibunuh.
“Jangan menantangku” Kata suara itu, kesal. “Kalian manusia terlalu mudah mati” Aku menyiritkan alis mendengarnya. Bukan karena kesal dihina, terlebih pada kata-katanya barusan itu memang benar. Kami—manusia memang gampang mati. Cukup meminum sebotol kecil ekstrak tumbuhan—seperti yang dilakukan Romeo saat menyaksikan istri barunya mati, atau yang lebih mudah, tinggal mengiris urat nadi dan menunggu hingga kehabisan darah. Benar-benar terlalu mudah.
“Mengapa kau begitu ingin aku pergi?” Akhirnya aku menanyakannya. Alasan dia mengusirku.
“Karena ini tempat tinggalku” jawabnya singkat, bahkan terlalu singkat untuk kumengerti. “Aku sudah berada disini sejak dulu, bahkan sebelum orang tuamu dilahirkan” Ia menjelaskan. Penjelasan yang tentu saja membuat aku shock. Makhluk tampan yang begitu sempurna itu, yang wajahnya begitu tanpa cela, bahkan lebih tua dari kakekku.
“Tapi kau terlihat seumur denganku?” Tanyaku pada ruangan kosong.
“Hah, jangan bodoh. Apa yang mungkin terjadi pada hantu? Menjadi tua, lalu mati? Kami bahkan sudah mati” Jawabnya dengan nada jijik.
“Berapa umurmu?” Tanyaku penasaran. Pernyataannya barusan membuat otakku mengirimkan ribuan pertanyaan langsung ke bibirku.
“Aku seumurmu. Delapan belas, saat aku mati tentu saja. Tapi tahun ini aku 134—kalau tidak salah hitung” Jawabnya. Aku tidak menyangka dia mau meladeni pertanyaanku yang begitu tidak pentingnya.
“Wow, kau seabad lebih” Sahutku spontan.
“Apa itu bagus menurutmu? Umurku bahkan tidak akan ada batasnya” Kata suara itu. Benar juga, dia sudah mati dan tidak mungkin mati lagi. Iya kan?
“Boleh aku tahu namamu? Aku Carla. Kau tentu punya nama kan?” Tanyaku.
“Tentu saja, aku juga pernah menjadi makhluk lemah sepertimu—manusia,” Jawabnya jengkel. “Aku… Francesc” Aku lega dia juga punya nama, entah untuk alasan apa lagi aku cukup lega. Namun itu ternyata kelegaan sesaat. Suasana tidak nyaman itu muncul lagi.
“Bisa kau pergi sekarang?” Tanya makhluk tampan itu—Francesc. Kurasa ketidakwarasanku tadi sempat menular padanya sehingga dia mau kuajak berbincang sebentar, tapi sekarang dia sudah sadar dengan tujuan awalnya. Oh, tidak.
“Aku tidak mungkin pindah, aku bahkan tidak punya cukup uang untuk sebulan ini” Aku jujur, uang tabunganku sudah habis untuk membayar uang sewa flat ini. Daniel, pacarku sempat menawarkan diri untuk melunasi pembayaran uang sewa flat ini, dia seorang pembalap—tentu dia punya banyak uang, tapi aku menolaknya. “Dan aku tidak ingin merepotkan orang tuaku lebih berat lagi karena harus mencari tempat tinggal baru untukku kan?” Aku mencoba berdebat dengannya.
“Mengapa kita tidak tinggal berdampingan saja? Kurasa berbagi tempat tinggal tidak buruk” Tawarku. Usulan terbodoh yang pernah aku tawarkan selama hidupku. Tinggal dengan hantu.
“Tidak dengan manusia” Jawabnya ketus.
“Oh, ayolah kumohon… aku bahkan tidak pernah mengganggumu” Kataku “Dan tidak akan pernah” Tambahku. Mendadak suasana tidak nyaman itu lenyap. Begitu juga dengan suaranya. Sunyi sesaat. Dan aku putuskan untuk bertanya.
“Hmm, apa ini berarti kau setuju?” Aku menanti ruangan kosong untuk bicara. Dan penantianku tak sia-sia, setealah beberapa menit ia menjawab.
“Terserah kau saja” Aku tersenyum lebar dibuatnya. “Asalkan kau menepati janjimu untuk tidak menggangguku” Sambungnya.
Oh, yang benar saja, siapa sih yang selama ini mengganggu? Ini gila, aku baru saja memutuskan untuk berbagi tempat tinggal dengan hantu. Benar-benar gila.
Aku bangkit dan berjalan kearah dapur, mengabil sekotak sereal dan menuangkannya ke mangkuk. Aku harus makan. Yang pertama karena aku tidak boleh meninggalkan sarapan karena alasan kesehatan—aku punya penyakit lambung yang buruk, dan yang ke dua karena aku benar-benar lapar. Hari ini aku berencana pergi berbelanja ke sebuah mini market di dekat flatku. Saat hendak mengunci pintu, aku teringat dengan kesepakatan yang baru aku buat dengan seorang hantu tampan.
“Well, kita tinggal bersama sekarang, kuharap kau tidak menyiksaku lagi dengan bola-bola lampu itu, okay?” Kataku kepada ruangan kosong di depan pintu masuk. Menanti sejenak da tidak ada jawaban.
“Ku anggap itu artinya ‘sepakat’” Kataku yang kemudian bergegas keluar dan mengunci pintu. Aku berjalan ke arah barat flatku dengan perasaan mengambang. Apa sih yang baru saja aku lakukan? Tinggal satu flat dengan hantu—yang tampan. Aku mulai memikirkan bagaimana nantinya kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar