Fakta
Satu minggu berlalu. Tidak ada lagi kejadian bola lampu yang kendur atau meja makan yang bergeser. Aku juga tidak pernah melihat atau bahkan sekedar berbicara dengan Francesc lagi. Dan aku tidak pernah sekalipun berusaha untuk mencarinya, karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggunya. Aku kan tidak tahu batasan antara mengganggu dengan sekedar mengobrol, dalam kamusnya. Tapi aku sudah mulai bosan, dan terlebih, aku merindukan wajah sempurnanya.
“Hmm, kau masih disini kan?” Tanyaku pada sudut dapur. Aku tidak tahu apakah kenyataan ini—bahwa aku sedang tinggal seatap dengan makhluk yang bukan manusia akan mempengaruhi kesehatan jiwaku. Ah, aku tidak peduli, kenyataan yang menunjukkan aku memang sudah tidak waras adalah saat aku terpesona oleh makhluk yang bukan manusia ini, dan itu sudah satu minggu berlalu. Itu artinya sudah satu minggu ini aku gila. Entah untuk alasan apa aku cukup lega saat menyimpulkan aku sudah gila.
“Francesc?” Panggilku.
Mungkin dengan menyimpulkan aku sudah gila—benar-benar gila, dapat mengurangi kesan ganjil yang aku rasakan saat mulai berbicara dengan ruangan kosong, seperti yang kulakukan sekarang. Entah mengapa aku merasa namanya terlalu panjang untuk dipanggil. Apa dia tidak punya nama panggilan yang mudah disebut? Aku memang gila. Lihat kan? Sekarang aku bahkan mempertanyakan apakah dia punaya nama panggilan.
Rasa dingin itu datang lagi. Hanya saja, tidak setajam saat pertama kali. Ini lebih nyaman, walau tidak bisa dibilang menyenangkan dalam arti lain.
“Aku tidak pernah pergi” Jawabnya lembut. Aku terbuai lagi, dengan suaranya yang begitu indah.
“Apakah aku mengganggumu sekarang?” Tanyaku ragu.
“Tidak,” Jawabnya singkat. “Kau sudah cukup diam satu minggu ini” Sambungnya. Sepertinya dia senang aku tak mencarinya seminggu ini. Mendadak sensasi adiktif itu datang. Aku ingin melihatnya.
“Bisa aku… melihatmu lagi?” Tanyaku. Tak ada balasan. Aku mendadak takut, takut menyinggungnya. “Maaf, kalau tidak… tak apa. Aku tak memaksa” Kataku kemudian. Seketika sensasi dingin itu datang lagi dan lebih kuat, hanya saja tidak mencekikku, tidak seperti minggu lalu saat aku merasa aku hampir mati. Rasanya bahkan lebih nyaman dibanding saat aku mendengar suaranya. Dan dia muncul. Didepanku, dan dengan jarak yang sama seperti kemunculannya minggu lalu. Jarak aman kah?
“Sekarang apa?” Tantangnya.
Apa maksudnya? Aku tidak terlalu memerhatikan kata-katanya, aku malah lebih berkonsentrasi untuk menyimak seluk beluk sosok indahnya. Bahunya yang jenjang dan kokoh, aku bahkan sempat berpikir terbuat dari apakah tubuhnya itu? Setahuku, hanya ukiran batu yang bisa se-indah ini. Sangat kokoh, atau apalah. Aku sampai tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Dan wajahnya yang begitu sempurna? Entahlah, kemudian matanya memancarkan sesuatu yang dapat menarikmu ke ruang tanpa sekat dan batas tanpa bisa kembali lagi. Indah, dan benar-benar adiktif. Aku lalu tersadar dari lamunanku yang fana. Aku tentu punya berjuta-juta pertanyaan yang ingin kutuntaskan. Mungkin itu yang dia maksud dari pertanyaannya barusan—saat ia muncul.
“Bisakah kita mengobrol? Atau apa saja istilahnya bagimu” Tanyaku penuh keragu-raguan.
“Kupikir, sebagai ‘teman’ satu flat…” Saat aku ingin mengutarakan alasanku ia menyelanya dengan lembut.
“Yang kau maksud mungkin ‘menginterogasi’ku kan?” Tanya Francesc. Aku kaget, dia menyadari niat tersembunyiku. Menginterogasi. Istilah yang digunakannya seolah-olah aku akan menanyainya pertanyaan tak lazim, membuatnya menjadi sebuah artikel kemudian menjuanya ke surat kabar. Pasti aku akan mendapat cukup uang jika memang itu yang aku lakukan. Otak bagian khusus pemikiran konyol dan ngawur-ku bekarja.
“Tidak apa, tanyakan saja,” Katanya penuh kedamaian. “Aku pun pasti akan bertanya banyak kepada hantu yang kutemui, kalau jadi kau” Sahutnya, ia lalu berjalan melewatiku, kemudian duduk santai disebuah kursi. Tunggu dulu, dia duduk? Kupikir hantu akan menembus benda-benda yang disentuhnya? Kenapa aku merasa selama ini sudah dibodohi oleh film horror?
“Jadi kau… benar-benar hantu?” Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Suasana hening sesaat menyiksaku. Aku jadi merasa telah melontarkan pertanyaan yang salah.
“Tergantung dari definisi hantu yang kau maksud” Dia menjawabnya dengan tenang. Wajahnya tanpa ekspresi.
Aku beranjak dari tempatku sejenak membatu tadi, berjalan kearahnya dan memerhatikannya. Oh, ya amapun, bahkan kakinya menyentuh lantai.
“Apa?” Tanya Francesc, dia sadar aku agak berlebihan memerhatikannya. Dan itu pasti sudah membuatnya tidak nyaman.
“Tidak apa… hanya kaget. Karena definisi hantu menurutku sangat berbeda jauh dengan apa yang aku lihat sekarang” Aku nyerocos membeberkan isi kepalaku sambil memandang kearah kaki-kakinya yang jenjang.
“Oh, itu cuma mitos, tidak semuanya seperti yang manusia ketahui” Dia melihat arah pandanganku. “Begini saja… Siapa tadi namamu? biar aku saja yang menjelaskannya untukmu” Suara lembutnya kembali membiusku. Membuatku ingin mengambil recorder agar aku bisa merekam suaranya yang begitu lembut dan menenangkan.
“Namaku Carla”
Francesc menarik kedua lengan sweaternya hingga sebatas siku, ia menatapku, matanya tajam. Bias merah dari irisnya sungguh terasa menyedot dan manarik narik kesadaranku hingga hapir terlepas dari ragaku. Tatapannya masih sekasar waktu itu. Apakah dia masih tidak merestui kehadiranku? Aku mulai merasa pusing. Oh tidak, jangan menatapku seperti itu!
“Kau kelihatan shock?” Kalimat tanyanya sedikit melunakkan tatapannya yang barusan terkesan galak.
“Aku baik-baik saja… Sungguh.” Aku berbohong. Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Ia menghela napas, kemudian mendasah putus asa. Kenapa? Apa yang mengganggu pikirannya?
“Kau masih ingin menjelaskan padaku?” Tanyaku penasaran, juga was-was.
“Oh, ya tentu…” Jawabnya spontan. “Aku hanya teringat beberapa kejadian dimasa lalu” Lanjutnya mengenang, sekilas tampak rahangnya sedikit mengejang. Aku menunggu dengan sabar. Kulihat ekspresi wajahnya melunak.
“Aku—kami yang sejenisku, sebenarnya hanya jiwa yang melayang tanpa raga” Aku merinding mendengarnya, tanpa raga. Lalu apa yang sedang ada dihadapanku saat ini?
“Kami, pernah hidup. Setidaknya kami menyebut kami ‘pernah’ memiliki raga, lalu kemudian kematian datang, dan jiwa kami—yang terlepas dari raga saat kami mati tidak pergi ke tempat yang benar, dan malah terjebak di dunia manusiamu ini” Ia berusaha menerangkannya dengan ringkas agar aku mengerti, tapi tetap saja aku tidak paham.
“Jiwa kalian… berwujud seperti raga kalian saat masih hidup—saat masih memiliki raga? Maksudku, apakah kau juga seperti ini saat masih hidup?” Pertanyaan pertama karena aku memang ingin tahu, tapi pertanyaan kedua lebih karena rasa tidak percaya sosok sesempurna ini pernah hadir di dunia.
“Kurasa tidak, jiwa atau roh itu tidak berwujud, bisa dikatakan seperti kabut atau asap, atau bola arwah—itu istilah yang manusia berikan untuk kami, tapi dalam kasusku, ya. Ragaku dulu memang seperti yang kau lihat saat ini, aku remaja berusia delapan belas tahun saat aku mati. Karena aku tidak mungkin manampakkan diri pada manusia dan mengusir mereka yang ingin merebut tempat tinggalku—sepertimu, hanya dengan berupa asap atau bola membara yang melayang-layang” Ia menjelaskan sambil meringgis.
“Jadi… kau mengatur sosok yang akan kau tampilkan pada manusia? Padaku?” Tanyaku, masih bingung. Ia mengangguk.
“Hanya pada awal kemunculan kami, kami bisa menentukan bentuk kami. Karena aku tidak punya tujuan apa-apa selain tidak ingin diganggu manusia, tanpa pikir panjang, saat itu aku memutuskan untuk berwujud seperti aku” Jelasnya. “Aku kenal seseorang yang memutuskan untuk berwujud kucing di kehidupannya yang abadi ini” Katanya sambil menyeringai. Penjelasannya mengagetkanku, kucing? Ya Tuhan, berapa banyak hantu yang aku temui tapi aku tidak menyadarinya? Dan aku tidak mengerti mengapa ia menggunakan kata ganti jamak, padahal cuma ada aku dan dia disini. Iya kan? Maksudku, tidak ada hantu lain disini kan? Aku bergidik ngeri membayangkan ternyata flatku ini dihuni berbagai macam hantu. Mulai dari yang rupawan—tapi mematikan seperti dia hingga yang benar-benar menyeramkan seperti yang di film horror. Aku berusaha mengenyahkan khayalan menakutkan dari otakku.
“Tujuan?” Tanyaku bingung. Ia kembali menghela napas.
“Apakah kau tidak berpikir alasan apa yang membuat jiwa kami melayang di dunia manusiamu ini Carla?” Ia bertanya sambil tertawa lirih.
“Aku… tidak tahu” Jawabku jujur.
“Kau tentu tahu bahwa kematian itu sudah ditentukan Tuhan jauh sebelum kita lahir kan?” Ia menatapku memastikan.
“Aku tahu bagian itu” Walaupun aku bukan cewek yang masuk kategori alim, tapi aku tentu cukup mengerti beberapa ajaran agama.
“Alasan mengapa kami disini sangatlah simpel Carla,” Ia mendongakkan kepala menatap langit-langit. “Kami hanya tergelincir, mati pada saat dan dengan cara yang salah” Aku berkonsentrasi meresapi setiap patah kata yang ia ucapkan.
“Kami mati bukan karena takdir yang telah Tuhan siapkan untuk kami, tapi karena ada yang mengakhiri hidup kami. Karenanya, jiwa kami tidak bisa pergi ke tempat yang benar. Karena tempat yang benar itu hanya untuk makhluk hidup yang mati dengan terhormat—yang mati karena memang takdir Tuhan memutuskan ia mati” Aku sudah berusaha keras memahami pernyataannya, tapi aku malah semakin bingung dengan kata-kata yang diucapkannya. Dan dia menyadari hal itu.
“Begini, saat kau belum lahir—saat ibumu mengandungmu, Tuhan memberimu nyawa yang panjangnya sudah Ia tentukan dengan baik, berikut hal-hal lain seperti perjalanan hidupmu nantinya, orang-orang yang akan kau temui, dengan siapa kau akan menikah, dan sebagainya, semua sudah Ia tuliskan untukmu dengan terperinci sampai pada saat kau mati, Ia juga sudah menuliskan kapan dan bagaimana kau akan mati nantinya” Ia menjelaskannya dengan lebih baik sekarang.
“Anggap saja aku, sebenarnya ditakdirkan—ditulis oleh Tuhan bahwa aku akan mati saat umurku lima puluh karena serangan jantung. Tapi apa yang aku alami sekarang?” Tanya Francesc. Matanya awas, menatap setiap perubahan ekspresi wajahku.
“Kau mati saat umurmu delapan belas, tidak seperti yang dituliskan Tuhan untukmu. Itukah maksudmu tentang alasan mengapa jiwamu ada disini? Kau mati bukan pada saat yang seharusnya” Kataku perlahan. Aku mulai menyadari apa yang sedang kami bicarakan.
“Tepat sekali” Ia tersenyum sekilas, senyum kepedihan.
“Kau dibunuh…” Kataku dengan mata membelalak. “Maaf, kata-kataku kasar sekali,” Aku buru-buru minta maaf saat menangkap perubahan ekspresi wajahnya.
“Tidak apa-apa. Kau benar, hidupku diakhiri dengan paksa, bukan karena kehendak Tuhan aku mati. Karena itulah Ia tidak menerimaku untuk kembali ke sisi-Nya—ke tempat yang benar, dan malah terlunta-lunta di dunia manusia ini, entah sampai kapan” Nada kepedihan seolah mengiris hatiku saat mendengar ia menyelesaikan kalimatnya barusan. Aku baru tahu ternyata kehidupan hantu itu tidak enak. Mengapa Tuhan tega sekali tidak menerima jiwa orang-orang yang mati tidak karena takdirnya? Maksudku, ini bukan salah Francesc, mana ada sih orang yang mau dibunuh? Lagi pula dia dibunuh, orang lain yang membunuhnya yang seharusnya mendapat akibatnya, bukan Francesc. Lain halnya kalau dia bunuh diri—memaksakan kematian datang bukan pada waktunya, kalau itu aku baru bisa memerima kalau Tuhan membiarkan dia terlunta-lunta di dunia.
“Ini kan bukan salahmu, Tega sekali Dia?” Entah mengapa aku jadi seperti merasakan penderitaannya.
“Sudahlah, itu sudah tidak jadi permasalahanku, aku sudah memikirkan apa yang ada di kepalamu saat ini selama berpuluh tahun kehidupan hantuku, dan itu toh tidak membuatku lantas masuk surga kan?” Mendadak rona ceria terbersit di wajahnya. Sungguhkah ia sudah tidak memikirkan betapa tega Tuhan padanya? Aku berusaha tidak terhanyut, dia saja sudah tidak memikirkan, masa aku yang bukan siapa-siapa mau sok ikut berdebat betapa tega Tuhan terhadapnya. Mendadak aku teringat akan kalimatnya.
“Tadi kau bilang, kau tidak punya tujuan apa-apa, makanya kau memilih menjadi dirimu, apa maksudnya? Tujuan apa?” Tanyaku. Ia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum sinis.
“Balas dendam,” Seketika jantungku terasa berhenti berdenyut.
“Masa kau tidak ingin balas dendam pada orang yang mengakhiri hidupmu dengan paksa—orang yang telah membuatmu hidup abadi dalam ketidakpastian yang menyesatkan—orang yang telah merenggut masa depanmu?” Nada penuh amarah tergambarkan dengan jelas.
“Kau tidak balas dendam?” Aku shock dengan kata-kataku barusan. Kata-kataku benar-benar seperti menantangnya untuk membalas dendam. Tapi memang benar, ia tidak balas dendam? Sorot matanya nanar, penuh dengan kepedihan dan kebencian yang melebur manjadi satu. Rahangnya kembali mengejang, jari tangannya mengepal dengan kuat, seperti mencengkram sesuatu. Sedetik kemudian dia lenyap, menghilang dari kursi tempat ia duduk, begitu mandadak, begitu tiba-tiba. Membuat aku shock. Oh tidak! Apa aku baru saja melukai perasaannya?
“Francesc?” Aku memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Sial! Kenapa sih aku selalu begini? Aku tidak pernah memikirkan dulu kata-kata yang akan aku ucapkan.
“Maafkan aku, sungguh aku sama sekali tidak bermaksud… memintamu membalas dendam dan mengingatkanmu…” Aku berkata tersendat sendat, dan aku tidak berhasil mengucapkan seluruh kalimat yang ada di kepalaku. Jantungku berdetak kencang, terlalu kencang hingga rasanya seperti mau meledak. Kembali tidak ada jawaban. Aku memutar tubuhku, mencari sosoknya di penjuru ruangan. Aku mulai frustasi. Aku benar-benar takut telah menyakiti perasaanya, tapi hampir disaat yang bersamaan, dia kembali muncul. Disudut ruangan di samping jendela
“Maaf, aku tidak bisa mengandalikan emosiku saat teringat masa laluku” Francesc mengucapkannya perlahan dan hati-hati.
“Tidak! Akulah yang seharusnya minta maaf!” Kelakku yang masih sulit bicara karena degupan jantungku yang tidak beraturan sungguh menyesakkan dada.
“Tidak Carla, kau sepenuhnya benar. Aku juga ingin sekali membalas dendam, kalau aku bisa, sungguh.” Detak jantungku mulai beraturan setelah mendengar pengakuannya.
“Kalau kau bisa…?” Aku mengulangi kata-katanya berupa bisikan. Francesc tersenyum lirih. Memejamkan mata beberapa saat.
“Kalau saja aku tahu siapa yang membunuhku… kalau saja aku bisa melihat wajahnya saat ia membunuhku…” Katanya dengan suara hampir seperti bisikan.
“Kau… Tidak tahu siapa yang melakukannya padamu? Karena itu kau tidak…” aku tidak menyelesaikan kalimatku karena shock. “Jahat sekali…” Hanya itu yang keluar dari mulutku karena shock. Dia bahkan tidak tahu siapa yang membuatnya menjalani kehidupan seperti ini. Francesc menunduk, menatap permukaan lantai yang kosong selama bebarapa detik, lalu kemudian dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Ia diam sejenak saat mata kami bertemu pandang, lalu kemudian tersenyum kepadaku.
“Aku rasa sudah cukup untuk hari ini” Ia berkata akhirnya. Kemudian dia menghilang lagi, sunyi sesaat, kemudian hanya suaranya yang terdengar.
“Terima kasih sudah mendengar ceritaku, selamat malam” Aku masih membatu selama beberapa saat baru bisa menyadari dia sudah pergi. Aku berjalan limbung menuju kamarku. Rasanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan saat ia mencekikku. Saat itu hanya tubuhku—ragaku yang merasakan sakitnya, tapi saat ini yang kurasakan jauh lebih buruk, hati dan jiwaku terasa sakit, seperti luka sayatan yang tersiram air laut. Hanya luka kecil, kurasa, tapi pedihnya menjalari seluruh tubuh, meresap ke tulangku. Aku benar-benar tidak tahu kehidupan ada yang setragis ini.
Aku duduk di sisi tempat tidurku. Menekuk kedua kaki di dada dan memeluknya. Aku termenung sesaat, membiarkan fakta yang baru aku dapatkan meresap ke setiap jaringan syaraf di otakku. Aku memposisikan diriku menjadi dia. Bagaimana jika hal yang terjadi padanya menimpaku. Aku pasti sangat frustasi. Inikah alasan mengapa ia terlihat sangat emosional saat mengenang masa lalunya? Mendadak aku teringat ceritanya. ‘Aku kenal seseorang yang memutuskan untuk berwujud kucing di kehidupannya yang abadi ini’ kalau tujuan menentukan wujud yang dikatakan Francesc adalah balas dendam, lalu apa yang akan dilakukan seekor kucing untuk balas dendam? Mendadak aku penasaran, apa yang terjadi pada orang itu hingga ia memutuskan menjadi kucing?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar