Sabtu, 31 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 8.

Suri dan Amarilis mempersiapkan segala sesuatunya. Alibi adalah hal utama yang mereka lakukan. Dengan sedikit rasa janggal, Suri berpamitan kepada ibunya, mengatakan ia akan bermain dengan Amarilis di bukit. Ibu Suri pun mempersiapkan sandwich untuk makan siang mereka, dan berpesan agar mereka tidak pulang larut karena salju biasanya turun saat sore hari.
Suri memeluk ibunya erat-erat. Ia tahu, ia mungkin saja tidak akan bertemu dengan ibunya lagi.
"Aku mencintaimu, Mom" Bisik Suri di telinga ibunya. Berharap ia masih bisa mengucapkan kata-kata itu lagi nanti.

"Ayo pergi" Kata Amarilis. Mereka pun berjalan menyusuri jalan setapak menuju perbatasan desa. Terlalu mencolok kalau mereka harus memakai sapu terbang. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah. Suri terus berhitung di dalam hati. Tepat di langkah ke dua ribu Suri berhenti melangkah. Ia terdiam sesaat.
"Suri? Kenapa berhenti? Jangan bilang kau capek! Ini bahkan masih di perbatasan" Tanya Amarilis.
"Amarilis... Aku mau... Eh, maksudku..." Suri terbata.
"Apa? Kau lapar?" Tanya Amarilis menghampiri Suri.
"Bagaimana kalau aku... Ugh! Sudahlah lupakan saja!" Suri kemudian melanjutkan langkahnya. Dalam hati Amarilis mengerti isi kepala Suri tanpa ia harus mengatakannya. Ia tahu hati sahabatnya sedang goyah. Ia tau Suri sangat mencintai ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Ia tahu Suri pasti tidak ingin meninggalkan ibunya.

"Malam ini kita berkemah saja" Usul Amarilis. Ia pun menghentakkan tongkat sihirnya, dan sepasang tenda muncul seketika. Tenda yang sebelumnya memang sudah dibawanya dan disimpan dalam ransel dengan mantera pengecil. Salju mulai turun saat matahari terbenam, titik-titik putih nun halus jatuh perlahan. Membuat cuaca makin terasa dingin.
Setelah menyantap potongan sandwich yang terakhir, sandwich buatan ibu Suri, mereka memutuskan untuk langsung tidur. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Suri di pagi harinya. Amarilispun sengaja membiarkannya. Ia ingin tahu seberapa jauh keteguhan hati Suri untuk mempelajari sihir tingkat atas. Hal yang selama ini didengungkannya. Merekapun melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk pergi ke Androd, sebuah kota besar di seberang pulau. Di sana mereka bisa dengan mudahnya berbaur dengan masyarakat lokal.
"Nama" Gumam Suri.
"Ya?" Tanya Amarilis menegaskan.
"Kita butuh nama baru kan?" Suri menyimpulkan.
"Oh, itu tidak perlu. Tidak akan ada yang mengenal kita di sana" Jawab Amarilis. "Kita kan sudah berubah drastis" Lanjutnya.
"Benar juga" Kata Suri.

Tanpa sepengetahuan mereka, ada seseorang yang mengikuti mereka sejak perbatasan. Memanterai dirinya hingga berwujud seekor burung pipit berwarna gelap.
Tak lain tak bukan, ialah Master Zaida. Ya, Master Zaida memang mengetahui rencana Suri dan Amarilis sejak awal. Ia memalsukan daftar bahan-bahan ramuan penukar jasad milik Amarilis, sehingga, ramuan yang mereka minum sebenarnya hanya ramuan penyamaran biasa. Ia ingin tahu sampai sejauh apa Suri bisa bertindak. Dan tanpa sepengetahuan Master Zaida dan Suri, sebenarnya Amarilis telah menyadari keberadaan burung pipit itu sejak mereka bermalam. Ia yakin itu salah satu penjaga keamanan setempat, namun Amarilis masih belum tahu pasti siapa itu. Menurut Amarilis, wajar saja orang asing seperti mereka diawasi oleh penjaga keamanan setempat. Asalkan mereka bisa bersikap wajar, pasti tak lama lagi burung itu akan pergi. Cara untuk bersikap wajar adalah, dengan tidak memberi tahu Suri.

Setelah berjalan menembus hutan lebat seharian, mereka sampai di tepi selat yang membatasi Xam, kampung halaman mereka dengan Androduic, tempat tujuan mereka. Mereka sedang menunggu perahu yang akan membawa mereka ke Androd, ibu kota Androduic. Suri telah membuat dokumen kependudukan mereka. Mudah saja bagi Suri, dengan mencuri peralatan kerja ayahnya, ia dapat membuat dokumen asli dengan waktu singkat.
"Aku membuat dokumen juga untukmu, mulai sekarang kita saudara" Kata Suri sambil menyerahkan kartu milik Amarilis. "Well, aku memang sudah menganggapmu saudara sih," Lanjut Suri sambil terkekeh yang dibalas senyuman oleh Amarilis. Amarilis pun juga sudah menganggap Suri sebagai kakaknya sejak lama.

Setelah menaiki perahu itu, Amarilis memalingkan wajahnya ke arah daratan Xam. Memastikan apakah burung pipit itu masih di sana. Ternyata sudah tidak ada. Ia lega ternyata gerak-geriknya cukup normal untuk ukuran penjaga keamanan.
"Ada apa?" Tanya Suri.
"Tidak, tadi aku lihat burung pipit cantik sekali" Jawab Amarilis.
Burung pipit itu memang pergi, namun bukan untuk meninggalkan mereka, melainkan telah berganti wujud menjadi seekor ikan, berenang bersama kapal yang mereka tumpangi tanpa mereka sadari.

:to be continued:

Jumat, 30 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 7.

"Wow" Kata Suri yang mendapati tubuhnya telah berubah menjadi tubuh orang dewasa. Ia asyik memandangi dirinya sendiri di depan cermin hingga ia menyadari sosok lain yang masih tergeletak pingsan di samping kuali yang mengering. Sudah berapa lama mereka pingsan?
"Amarilis! Bangun! Sadarlah! Kau harus melihat ini!" Kata Suri sambil mengguncang-guncangkan tubuh Amarilis.
"Ugh... Kepalaku sakit..." Desah Amarilis saat kesadarannya mulai mengumpul. Ia lalu membelalakkan mata menyadari perbedaan suara yang dihasilkan tenggorokannya.
"Nanti saja pusingnya! Ayo bangun! Lihat dirimu!" Balas Suri. Suaranya juga berbeda.

Amarilis mengerjapkan mata berkali-kali mendapati sosok dewasa di hadapannya.
"Su... Suri?" Tanya Amarilis tak biasa.
"Iya ini aku! Ayo bangun dan lihatlah dirimu di cermin" Nada antusias khas Suri membuat Amarilis yakin sosok tinggi ramping itu memang sahabatnya. Ia menata kakinya yang terasa lemas seolah tak bersendi. Sambil dibantu Suri, ia berdiri perlahan. Suri menyangga tubuhnya dan menarik Amarilis ke hadapan sebuah cermin besar berbingkai kayu dengan ukiran cantik. Amarilis menganga mendapati sosok dewasa di hadapannya.
"Hah?" Hanya itu respon Amarilis melihat bayangan rupawan yang menatapnya di cermin. Sosok gadis cantik berambut lurus gelap sebahu. Kulitnya putih agak pucat dan warna matanya coklat susu.
"Itu kau Amarilis!" Kata Suri. Amarilis mengulurkan tangan ke arah cermin, menyentuhnya. Ternyata bayangan itu melakukan hal yang sama.
"Itu benar-benar aku?" Desis Amarilis.
***

"Menurutmu, berapa usia kita sekarang?" Tanya Suri sambil menyuapkan sesendok penuh bubur kentang. Mereka sedang sarapan setelah beberapa hari pingsan. Karena ibu Suri adalah manusia biasa, dan begitu pula pelayan rumah mereka, Amarilis bisa dengan mudahnya memanterai mereka, sehingga yang mereka lihat tetaplah Suri dan Amarilis kecil.
"Err... Dua puluh mungkin?" Jawab Amarilis.
"Bagus! Itu usia minimalnya! Sekarang kita harus membuat dokumen diri dan mengurus perijinan untuk masuk kelas tingkat lanjut!" Suri berapi-api.
"Kau gila! Pasti semua orang di sekolah curiga! Apa yang terjadi pada 'Suri dan Amarilis'? Mati dimakan singa gunung? Lalu bagaimana dengan keluargamu? Kau mungkin bisa memanterai ibumu tapi ayahmu kan penyihir!" Balas Amarilis. Suri menjatuhkan sendok di genggamannya karena terkejut.
"Lalu kita harus bagaimana?" Suri baru terpikir apa yang dimaksud Amarilis dengan 'sekali maju tidak bisa mundur lagi'. Ada perasaan kalut di hatinya. Apakah dengan ini ia harus meninggalkan keluarganya?
"Kita harus pergi dari kota ini, membuat alibi tentang 'Suri dan Amarilis' lalu memulai hidup baru dengan identitas baru di tempat yang jauh" Usul Amarilis. Suri menatap mata sahabatnya dan menelan ludah.

"Aku sudah memikirkan banyak alibi, tapi dimakan singa gunung itu yang terbaik, kita cukup menyiapkan pakaian yang seperti dikoyak binatang dan darah" Jelas Amarilis. Suri terdiam. Ia berpikir keras. Apa perasaan ibu dan ayahnya saat tahu anak mereka satu-satunya mati dimakan singa?
Berbeda dengannya, Amarilis memang sudah hidup sebatang kara di panti asuhan. Ia tak punya sosok yang dirisaukan. Sedikit rona penyesalan menyeruak memaksa keluar dari lubuk hatinya.

Namun ini adalah pilihannya. Ia sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan yang seperti ini. Memenuhi ambisinya menjadi penyihir tersakti dalam waktu singkat. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Memantapkan hatinya.
"Kapan kita mulai?" Tanya Suri saat membuka matanya.
"Secepatnya" Jawab Amarilis mantap.

:to be continued:

Kamis, 29 Oktober 2009

Sejengkal lebih mengenal Arsene Wenger, Professor humanis.

Sebagai seorang gooner (fan Arsenal) tentunya sosok Arsene Wenger sudah menjadi tokoh panutan bagi saya. Kepribadiannya yang penuh dengan rasa kemanusiaan, juga ke-geniusannya dalam menghadapi persoalan-persoalan klub membuat saya merasa dialah tokoh bapak yang sangat bijak dan heroik. Nah, oleh karena itu pada postingan kali ini saya ingin sekali memperkenalkan sosok Sang Professor.

Arsene Wenger lahir pada 22 Oktober 1949 di Strasbourg, Perancis. Wenger mulai menangani Arsenal sejak 1996. Wenger memiliki gelar Sarjana untuk Electrical Engineering dan gelar Master dibidang Ekonomi di Strasbourg University. Anak dari Alphonse dan Louise Wenger ini juga menguasai berbagai bahasa seperti Perancis (tentu saja), Jerman, Spanyol, dan Bahasa Inggris. Dia juga berbicara bahasa Italia dan Jepang.

Image Hosted by ImageShack.us

Gabriel Marcotti, seorang jurnalis sepak bola asal Italia suatu kali pernah mengutarakan pendapatnya soal Wenger. "Wenger adalah (Rene) Descartes-nya sepak bola. Dia seorang filsuf olahraga yang selalu mengedepankan rasionalitas dengan tujuan mengabdi kepada permainan indah, bukan sekedar memenangkan gelar juara"

Tony Adams, bek legendaris Arsenal, mengakui kegeniusan Wenger. Menurutnya, hal itulah yang membedakan Wenger dari manajer-manajer sebelumnya. "Arsene betul-betul berbeda dari sosok-sosok yang pernah dihadapi para pemain sebelumnya. Dia adalah seorang pemikir dan pendengar yang baik. Lebih dari itu, dia punya perhatian besar terhadap para pemainnya. Dia sangat tahu cara membuat mereka tampil dengan kemampuan terbaik"

Pemikiran serupa juga datang dari Thiery Henry dan eks manajer Crytal Palace Iain Dowie. "Dia bukan sekedar manajer hebat, melainkan juga manusia yang hebat" Ucap Henry. Sementara Dowie berujar, "Dia adalah figur hebat yang bisa dijadikan contoh bagi para manajer muda. Dia itu kalem dan genius"

"Dia punya visi, hasrat, keahlian, dan motivasi yang kuat. Selahn itu, dia juga sangat menjunjung tinggi persahabatan. Dia tidak pernah melupakan semua orang yang pernah berada di dekatnya" Papar Gerard Houllier, salah satu sahabat Wenger.

Nilai minus dari kepribadian Wenger, itu adalah sikap perfeksionisnya yang kerap berlebihan. Gara-gara itu pula, dia kadang tak mau mendengar kata-kata orang lain. "Dia itu keras kepala. Itu karena tuntutannya yang tinggi untuk meraih prestasi dengan caranya sendiri" Lanjut Houllier.

Image Hosted by ImageShack.us

Meski demikian, Wenger bukanlah figur yang mudah menyalahkan orang lain kala mengalami kegagalan. Para pemain Arsenal tahu betul bagaimana sikap Wenger di ruang ganti. Dia hampir tak pernah mengumbar kemarahan, apalagi 'menceramahi' anak-anak asuhannya semalam suntuk kala mereka kalah.

"Saya selalu mendukung para pemain untuk berekspresi dan mengenali dunia di luar klub ini. Itu memang bukan berarti saya selalu setuju dengan mereka. Saya selalu mencoba mempertahankan kesatuan di dalam tim. Itu sebabnya saya tak pernah mengatakan bahwa pemain X bermain sangat buruk kala kami kalah karena sayalah yang bertanggung jawab. Sayalah yang memilih pemain itu" Papar The Professor.

*Sumber: Wikipedia, Soccer Series: Cannon Revolution

Rabu, 28 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 6.

"Sempurna" Kata Suri puas setelah rencananya dan Amarilis berhasil. Mereka menyihir dua orang manusia non penyihir dan mendandani mereka serupa dengan penyihir dewasa. Akhirnya mereka membeli bahan-bahan yang kurang dari toko perlengkapan dan bahan-bahan ramuan sihir. Uang bukanlah masalah bagi Suri meskipun bahan yang mereka beli tergolong mahal.
Cuaca mendung dan angin musim dingin berhembus kencang. Menerpa kulit wajah mereka yang tak tertutup pakaian tebal. Musim dingin telah sepenuhnya datang. Pegunungan mulai tertutup es. Hingga warnanya seputih kapas. Seolah ada jutaan lembaran kapas halus betebaran di puncak-puncak gunung dan perbukitan.

"Menurutmu tadi penjaga toko itu curiga tidak?" Tanya Amarilis dengan perasaan was-was.
"Entahlah. Siapa peduli? Kita sudah dapatkan bahan-bahannya, ayo ke rumahku" Seru Suri. Merekapun bergegas menuju rumah besar Suri. Rumah tinggal yang kelewat besar untuk keluarga Suri. Suri hanya tinggal bersama Ibunya dan seorang pelayan. Ayahnya bekerja di luar kota sebagai utusan kepala penyihir lokal. Jabatan yang setara dengan Gubernur di dunia manusia.

Mereka bergegas naik ke lantai dua, menuju kamar Suri. Suri kemudian mengunci kamarnya, yang selanjutnya dimanterai oleh Amarilis dengan mantera ilusi. Sehingga setiap ada yang melewati kamar Suri, tidak akan merasa curiga dengan bau atau suara yang mungkin timbul saat mereka meramu dan mengucap mantera-mantera.

Dengan satu sentakan tongkat sihir, Suri memunculkan sebuah kuali batu besar lengkap dengan pengaduknya yang panjang, persis dayung sampan.Proses peramuan berjalan tanpa celah. Amarilis begitu cekatan dan mengerti setiap pengaturan bahan dan takaran. Memasukkan bahan-bahan disaat yang tepat. Tanpa terasa sudah seharian mereka mengurung diri di kamar Suri. Malampun tiba, saat yang tepat untuk melakukan ritual penukar jasad. Dengan kelebihan ilmu yang dimiliki Amarilis dibandingkan anak-anak seusianya, ia dapat dengan mudahnya mencuri sepasang mayat dari pemakaman manusia.

Suri membantu Amarilis menceburkan sepasang mayat yang membusuk itu ke dalam kuali besar. Asap mengepul kehitaman karenanya. Cairan ramuan yang semula berwarna hijau pekat berubah menjadi oranye sesaat setelah mereka melapalkan mantera.

"Beberapa menit lagi ramuannya siap" Kata Amarilis.
"Akhirnya aku bisa jadi penyihir dewasa dengan instan" Seru Suri riang.
"Ini hanya berlaku sekali, tidak ada penangkalnya. Sekali maju tidak bisa mundur lagi. Kau tidak akan menyesal kan?" Tanya Amarilis, memastikan keteguhan sahabatnya. Pertanyaan yang hanya dibalas anggukan lemah sahabatnya.

"Minum" Kata Amarilis sambil menyodorkan segelas penuh cairan kental berwarna oranye kepada Suri. Wajah Suri terlihat masam. Perutnya bagai diremas-remas hanya dengan membayangkan rasa cairan kental itu. Bahan-bahan sihir plus sepasang mayat. Apa rasanya?
"Aku mual" Kata Suri.
"Oh, ayolah! Kau begitu nekad untuk membuat ini tapi tak bernyali untuk minum?!" Balas Amarilis mengejek.
Suri menghela napas, kemudian menjepit hidungnya dengan dua jari. Amarilis tersenyum geli melihat wajah Suri yang biasanya sangat ambisius dan pemberani pucat dengan titik-titik keringat dingin di sekujur dahi dan lehernya.
"Bayangkan saja itu jus labu yang lezat"

:to be continued:

Sabtu, 24 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 5.

Sudah satu bulan berlalu sejak terakhir kali Suri dan Amarilis berbincang. Sekarang musim dingin. Dan hari ini adalah hari terakhir masuk sekolah sebelum libur musim dingin tiba.

Semua siswa dan guru menyangka Suri dan Amarilis tidak lagi berteman. Ada yang mengatakan mereka berpisah karena Suri terlalu mengatur, ada juga yang mengatakan bahwa Amarilis tidak mau berteman dengan Suri yang tidak pintar. Tetapi di kalangan guru berembus kabar bahwa keretakan persahabatan mereka jelas karena peristiwa sebulan yang lalu. Amarilis yang dinilai sebagai siswa yang pandai dan patuh merasa tercemar nama baiknya karena harus ikut kelas khusus bersama Suri yang memang anak yang nakal. Begitulah gosip ya beredar di kalangan guru dan murid. Tapi kenyataan yang terjadi tidaklah demikian.

"Mereka benar-benar menyangka kita bermusuhan" Begitulah isi surat yang ditulis Suri dan disisipkan diantara buku Amarilis. Amarilis tersenyum membacanya. Dengan sebuah mantera ia langsung memusnahkan perkamen itu.

"Begini, aku sudah memerhatikan gerak-gerik semua guru, ternyata memang hanya Master Roman dan Master Zaida yang benar-benar mengawasi kita" Bisik Amarilis kepada Suri. Mereka sedang bertemu secara sembunyi-sembunyi di belakang panti asuhan, rumah Amarilis.
"Lalu kita harus bagaimana? Kita benar-benar tidak bisa mendapatkan bahan-bahan dari sekolah. Dan... Besok sudah libur musim dingin..." Bisik Suri. Amarilis maju selangkah, mendekati Suri yang sedang menyamar menjadi seekor kumbang berpunggung biru.
"Kau serius ingin tetap membuatnya?" Tanya Amarilis sambil berlutut di atas rumput yang menguning dan kering. Dia berharap sahabatnya itu mau berubah pikiran, dan memilih menunggu sepuluh tahun lagi seperti anak-anak lain.
"Tentu saja!" Jawab Suri yakin. "entah sudah berapa kali kau menanyakan hal itu minggu ini" Lanjut Suri. Amarilis memejamkan mata. Mencoba menasihati Suripun akan percuma. Suri adalah tipe orang yang keras kepala. Sekali memutuskan sesuatu, tak akan bisa berubah.

"Aku ada ide" Desah Amarilis. Akhirnya Amarilis memutuskan untuk menemani Suri apapun yang terjadi. Suri yang selama ini mendukungnya, melindunginya. Inilah saatnya ia membalas budi Suri, dengan ilmunya, dengan kepintarannya. Walau jika sekali lagi saja ketahuan, hukuman yang lebih berat menanti mereka. Hukuman yang mungkin malah membuat mereka tidak akan mempelajari sihir tingkat tinggi sekalipun. Ramuan penukar jasad adalah ramuan ilegal, membutuhkan dua jasad manusia.

Amarilis tentu sudah memikirkan hal ini. Ia dan Suri tentu tidak akan membunuh untuk mendapatkan jasad, tentu saja tidak. Itu adalah pelanggaran besar. Mereka memutuskan akan menggunakan jasad orang yang memang sudah mati, tanpa harus membunuh.

Amarilis mengusulkan sebaiknya mereka menyihir orang dewasa dan mengendalikannya. Setelah mereka membelikan bahan-bahan untuk ramuan, Amarilis akan membuat mereka melupakan kejadian yang sudah ada dan melupakan mereka juga. Mantera ini baru saja dipelajari Amarilis satu minggu ini.
"Amarilis, sekali lagi... Kau jenius!" Seru Suri dari sosok kumbang punggung biru.

:to be continued:

Jumat, 23 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 4

"Oh tidak, tidak... Aku tidak mau!" Kata Amarilis saat Suri memintanya melapalkan mantera penyamaran. Ia memaksa Amarilis untuk melanjutkan proyek pembuatan ramuan mereka.
Mereka sedang duduk di bawah pohon maple yang besar. Mereka baru saja selesai menjalani kelas khusus sebagai hukuman.

"Ayolah Amarilis, masa hanya karena hampir ketahuan kau langsung kapok?" Tanya Suri tak percaya. Tentunya ia masih berambisi untuk membuat ramuan penukar jasad ilegal.
"Bukan begitu, Master Roman dan yang lainnya pasti akan lebih mempererat penjagaan setelah peristiwa yang kemarin!" Papar Amarilis. "Kita tidak mungkin mencuri dari gudang lagi. Dan memangnya kau tidak merasa aneh pada bahan-bahan yang berhasil kita curi, tapi hilang begitu saja?" Lanjut Amarilis. Ia memikirkan setiap kemungkinan yang ada. Angin musim gugur yang sedingin es menerpa wajah Suri.

"Apa maksudmu?" Tanya Suri tak mengerti.
"Ini baru terpikir semalam. Kurasa semua bahan-bahan di dalam gudang sudah diberi mantera, sekali berpindah tangan, akan langsung kembali lagi ke tempatnya semula" Jawab Amarilis sambil menyerahkan secarik perkamen yang disimpannya di dalam topi kerucut khas penyihir. Berisi ringkasan analisa yang didapatnya dari buku "Panduan Mantera Pengikat Tingkat Lanjut"
Suri membacanya dengan saksama.

"Kalau begitu Master Roman sudah tahu kita mencuri?" Tanya Suri.
"Entahlah, tapi kalau dia memang sudah tahu, mengapa kita hanya diberi hukuman masuk kelas khusus? Kurasa dia menunggu kita melakukannya lagi" Duga Amarilis.
"Maksudmu, ini jebakan?" Tanya Suri.
"Bisa jadi kan? Memangnya kau tidak tahu gosip bahwa Master Roman itu senang mengeluarkan anak-anak dari sekolah" Pernyataan Amarilis membelalakkan mata Suri.

"Jadi dia memberi kita hukuman ringan agar kita lengah dan mencoba mencuri lagi?" Simpul Suri. Amarilis menganggukkan kepala.
"Kita tidak boleh ke gudang dan mencuri lagi" Lanjut Suri. "Kita harus mendapatkannya dari tempat lain"
"Jadi kau tetap ingin melanjutkan ini?" Tanya Amarilis takjub. Untuk urusan seperti ini Suri benar-benar bersemangat.
"Kita hanya kekurangan tiga bahan, mana mungkin aku menyerah! Kau ikut kan?" Tanya Suri memastikan. Amarilis menganggukkan kepala terpaksa. Sebenarnya jika ia bisa memilih, tentunya ia akan memilih untuk menunggu sepuluh tahun lagi hingga benar-benar dewasa dan diperbolehkan mempelajari sihir yang sesungguhnya, dibandingkan membuat ramuan penukar jasad seperti yang diinginkan Suri.

"Kita tunggu dulu sampai keadaan normal lagi, setidaknya sampai kita menyelesaikan hukuman" Saran Amarilis.
"Kau benar... Baiklah, kita pikirkan dulu cara alternatif selain mencuri dari gedung sekolah" Kata Suri.
"Ya, dan lebih baik kita tidak terlihat bersama-sama untuk sementara waktu. Setuju?" Gagas Amarilis.
"Oke" Jawab Suri sambil bangkit dan kemudian meninggalkan sahabat baiknya itu.

:to be continued:

Rabu, 21 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 3.

"Ka... Kami memang ingin mengambil sesuatu, Master... Suri berbohong" Aku Amarilis. Pernyataan yang membuat Suri membelalakkan mata. Apakah Amarilis berniat membeberkan rahasia pembuatan ramuan penukar jasad mereka? Jantung Suri berdetak kencang menanti penjelasan Amarilis berikutnya.

Master Roman menyunggingkan senyum sinisnya karena ia pikir ia baru saja berhasil membuat dua orang siswa sekaligus mengaku telah melakukan pelanggaran.

"Se... Sebenarnya... Bukan Suri... Tapi saya" Kata Amarilis. Suri kembali dibuat terkejut. Apa maksud perkataan Amarilis? "Tongkat sihir saya jatuh... Saya meminta bantuan Suri untuk mencari... Karena... Besok ada ujian dan saya butuh tongkat saya" Jelas Amarilis.
Suri menghela napas lega. Tapi tatapan ganas Master Roman belum mengendur sedikitpun.

"Kau berbohong" Desak Master Roman.
"Hentikan Roman!" Bentak Master Zaida. "Amarilis tidak berbohong, aku menemukan ini selagi dalam perjalanan kemari" Kata Master Zaida sambil mengeluarkan sebuah benda panjang berwarna kelabu. Sebuah tongkat sihir.

"Tongkatku!" Seru Amarilis sambil bangkit dan berjalan ke arah Master Zaida. Master Zaida membungkuk dan menyerahkan tongkat itu kepada Amarilis.
"Anak ini tidak berbohong, Roman" Kata Master Zaida.
Wajah Master Roman menggambarkan ketidak percayaan. Namun kemudian senyuman sinis kembali mengembang di wajahnya.

"Amarilis mungkin tidak berbohong, tapi anak ini jelas telah berbohong. Mana kutahu apakah dia memiliki tujuan lain selain mencari tongkat?" Kata Master Roman sambil membungkuk dan menatap dalam-dalam kedua mata Suri.
"Saya memang berbohong, Master. Maafkan saya. Tapi ini saya lakukan untuk melindungi Amarilis. Dia takut diberi hukuman karena menghilangkan tongkat sihirnya" Suri membuat alibi yang sempurna. Amarilis mengiyakan. Tatapan Master Roman tetap dingin dan tajam. Ia tetap akan menjatuhkan hukuman.
"Kalau ada yang harus dihukum, le... lebih baik sayalah orangnya" Kata Amarilis memberanikan diri.
"Tidak. Kalian berdua membuat kesalahan karena menyelinap masuk ke sekolah pada malam hari. Bagaimana kalau kusangka kalian mata-mata? Aku pasti sudah melayangkan mantera penghancur" Kata Master Roman. Suri dan Amarilis membelalakkan mata. Tubuh mereka bergidik ngeri, membayangkan tubuh mereka bisa saja tinggal serpihan seandainya Master Roman tidak mencari tahu siapa mereka. "Kalian akan ikut kelas khusus. Hanya kalian berdua" Kata Master Roman. Suri dan Amarilis pasrah dengan keputusan kepala pengajar itu. Master Zaida pun tak bisa membantah titah Master Roman. Master Roman kemudian pergi meninggalkan mereka.

"Bersyukurlah dia tidak mengeluarkan kalian. Dengar baik-baik, aku tidak akan membela kalian untuk yang kedua kalinya. Amarilis,itu sungguh ide yang bagus, menjatuhkan tongkat sihir di sekitar lorong yang mungkin kutemukan" Kata Master Zaida. Amarilis tersenyum.
"Itu trik!" Seru Suri. "kau jenius!" Lanjutnya.

"Dengar ya, aku tidak tahu dan tidak mau tahu apa sebenarnya alasan kalian menyelinap ke sekolah. Suri, kuharap kau jera, ini pelanggaran!" Master Zaida memarahi Suri dan Amarilis.
"Maafkan kami" Kata Suri dan Amarilis berbarengan
"Ingat ya! Tidak ada yang kedua kali. Sekarang, kuantar kalian pulang" Suri dan Amarilis mengangguk dan mengikuti Master Zaida meninggalkan gedung sekolah.

Kelegaan melingkupi hati Suri dan Amarilis karena dibela dan berhasil lolos dari hukuman yang lebih berat. Dalam hati, Suri tentu saja tidak akan menyerah. Bagaimanapun caranya, dia dan Amarilis akan tetap membuat ramuan penukar jasad.

:to be continued:

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 2.

"Master Roman?!" Kata Suri dan Amarilis berbarengan menyadari sosok yang memergoki mereka. Master Roman adalah kepala pengajar di sekolah mereka. Master Roman membuka tudungnya, memperlihatkan wajah tak bersahabatnya. Matanya memandang marah ke arah Suri dan Amarilis. Kulit pucatnya terlihat bagai patung pualam diterpa cahaya keperakan bulan.

"Sedang apa kalian malam-malam begini?" Tanya Master Roman. Suri dan Amarilis saling bertukar pandangan cemas. Mereka belum menyiapkan alasan sebelumnya. Pandangan Master Roman semakin sinis menanggapi wajah pucat kedua muridnya itu. Tanpa menunggu penjelasan dari Suri maupun Amarilis yang terkenal sebagai siswa berprestasi, Master Roman langsung membekukan tubuh mereka dan menyeret mereka dengan mantera.

Master Roman membawa mereka ke salah satu ruang kelas di dalam gedung utama. Master Roman kemudian melapalkan mantera penangkal. Seketika tubuh Suri dan Amarilis kembali seperti semula.
"Sebaiknya kalian memiliki alasan" Kata Master Roman dengan nada sinis.

Suri mencuri pandang ke arah Amarilis yang sedang menundukkan kepala karena ketakutan. Ia tahu, hanya dia lah yang mampu bicara saat ini.
"A... Saya ketinggalan salah satu buku... Dan meminta Amarilis menemani saya" Jawab Suri.
"Malam-malam begini? Kenapa tidak besok saja?" Tanya Master Roman.
"Ya, tapi saya ada ujian besok. Saya butuh buku itu sekarang" Kata Suri lagi.
"Aku tidak melihat kalian masuk ke kelas. Apakah bukumu tertinggal di dalam gudang penyimpanan?" Tantang Master Roman. Suri membelalakkan mata. Benar juga. Ia harus berhati-hati membeberkan alibinya.

"Karena saya rasa... Saya menjatuhkannya di lorong saat perjalanan pulang, Master" Jawab Suri tak gentar.
"Jangan berbohong! Aku paling benci melihat penyihir kecil yang sok!" Bentak Master Roman.
"Buku saya benar-benar tidak ada, Master. Saya tidak berbohong" Kilah Suri. Dalam kepalanya, ia menemukan titik terang. Ia pernah meninggalkan buku teksnya di loker. "saya lupa apakah saya menjatuhkannya atau saya tinggalkan di loker" Kata Suri.

Master Roman mendelikkan mata ke arah Suri, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Amarilis yang gemetaran ketakutan.

"Nona Amarilis, benarkah apa yang dikatakan Suri?" Tanya Master Roman. Amarilis masih menunduk dengan bahu yang gemetaran. "Aku bertanya padamu, Nona" Tegas Master Roman. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dan seorang pria muda datang memasuki ruang kelas. Suri ternganga. Ia tidak tahu sekolah dijaga banyak sekali orang pada malam hari. Sang wanita adalah Master Zaida, guru perhitungan dan ilmu tata surya, sementara si pria muda adalah penjaga laboratorium ramuan, orang yang sering dikelabui Suri dengan sihirnya, tentu saja untuk mencuri beberapa bahan ramuan sihir. Ternyata menyelinap masuk memang bukan ide yang bagus. Ia lantas menyesali kengototannya untuk menyelesaikan ramuan penukar jasad malam ini juga. Kemudian ia melirik ke arah Amarilis yang masih gemetaran.

"Apa yang terjadi, Roman? Suri? Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Master Zaida sambil berjalan mendekati Suri. Ia menatap Suri dengan bingung. Suri adalah anak dari adik iparnya.
"Mereka mengendap-endap masuk dan berusaha membuka segel gudang penyimpanan" Jelas Master Roman. "aku tidak dapat meminta kejujuran dari anak itu" Lanjut Master Roman. Master Zaida memandang takjub dan tak percaya ke arah Suri. Walaupun memang agak nakal, tapi Suri dikenal sebagai anak yang baik di keluarganya.

"Nona Amarilis, saya menantikan keterangan anda" Kata Master Roman menanggapi kepasifan Amarilis. Tapi tetap tidak ada jawaban.
"Tentu sebagai murid yang pandai kau mengerti betul peraturan sekolah ini kan? Tentang jam malam? Area larangan?" Tanya Master Roman sekali lagi. Amarilis tetap diam saking takutnya.

"Anda menakutinya, Master" Tuding Suri. Master Roman melayangkan tatapan sinisnya ke arah Suri.
"Kenapa harus takut kalau tidak bersalah?" Tantang Master Roman.
"Karena Amarilis memang begitu, dia gampang takut" Jelas Suri.
"Diam! Aku tidak sedang bertanya padamu" Bentak Master Roman.
"Ka... Kami memang ingin mengambil sesuatu, Master... Suri berbohong" Aku Amarilis. Pernyataan yang membuat Suri membelalakkan mata. Apakah Amarilis berniat membeberkan rahasia pembuatan ramuan penukar jasad mereka? Jantung Suri berdetak kencang menanti penjelasan Amarilis berikutnya.

:to be continued:

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 1.

Tujuan gua membuat blog, sebenernya adalah supaya gua punya wadah untuk menyalurkan hobi nulis gua. Gua suka banget nulis. Entah itu cerpen, humor, atau kadang, gua juga sering mengupas suatu hal.

Nah, entri pertama gua hari ini gua akan menceritakan kisah tentang dua orang penyihir yang bernama Suri dan Amarilis. Semoga dapat menghibur :)

Pada suatu petang, sepasang penyihir muda sedang belajar membuat ramuan. Di sebuah gubug reot dan suram, mereka berdebat seputar bahan-bahan ramuan yang ternyata hilang.

"Bagaimana mungkin hilang? Aku sudah memasukkan semuanya ke dalam tas!" Bentak Suri. Ia merebut tas dalam genggaman Amarilis dan mengeluarkan semua isinya. Hanya ada pena, perkamen dan botol tinta. Tidak ada bahan yang mereka butuhkan; jamur jeruk, kaki lalat, dan bulu telinga gajah.
"Aku juga tidak tahu, seingatku juga tidak ada yang tertinggal" Sahut Amarilis dengan wajah pucat. Ia tahu mereka tidak mungkin kembali ke sekolah untuk mengambil kembali bahan-bahan. Sekolah sudah dikunci, terlebih lagi, mereka sebenarnya mendapatkan bahan-bahan itu dengan cara mencuri. Mereka mengendap-endap dan menyamar untuk mencuri bahan-bahan ramuan di gudang sekolah saat semua guru sedang mengadakan rapat bulanan.

"Oh tidak! Ini kan kesempatan satu bulan sekali!" Keluh Suri sambil membanting tas dalam genggamannya.
Amarilis melepas topi kerucutnya dan mengeluarkan secarik perkamen di dalamnya.

"Kita kehilangan separuh bahan" Desah Amarilis sambil membaca lembaran perkamen di tangannya.
"Kita kehilangan apa?" Tanya Suri.
"Jamur Orange musim panas, delapan kaki kanan lalat, dan sepuluh gram bulu telinga gajah" Jawab Amarilis.
"Kita harus kembali ke sekolah kalau mau melanjutkan... Toko bahan-bahan ramuan tidak akan menjual bahan-bahan itu pada penyihir amatir seperti kita" Kata Suri sambil merapikan perlengkapan ramuan lainnya.
"Kau gila? Kita bisa ketahuan kalau menerobos masuk ke gedung sekolah" Amarilis menolak ajakan Suri. "sudah kubilang, membuat ramuan penukar jasad bukan ide bagus" Amarilis menyadari bahwa ia tak seharusnya menerima ajakan Suri sedari awal.
"Kau ini ngomong apa? Kalau kita berhasil membuat ramuan ini, kita bisa dengan mudah menyamar untuk melakukan sihir terlarang!" Sahut Suri bersemangat. Sudah sejak lama dia ingin sekali melakukan sihir tingkat atas. Dia sudah bosan akan larangan dan batasan usia. "memangnya kau tidak kesal? Kita hanya boleh melakukan sihir simpel seperti mengupas buah, menggerakkan benda dan menyalakan perapian?" Tanya Suri kepada teman baiknya itu.
"Tentu saja" Kalimat Suri menyadarkannya akan keinginan terpendam menguasai sihir tingkat atas yang sangat dibatasi oleh para penyihir dewasa.
Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke sekolah.

Bangunan sekolah yang didominasi oleh batu-batuan terlihat sangat menyeramkan karena hanya diterangi cahaya perak rembulan.
Suri dan Amarilis mengenakan jubah panjang bertudung mereka dan mengendap-endap melewati pagar tembok yang berlubang. Pintu rahasia itu memang hanya diketahui mereka berdua. Dan satu-satunya jalan masuk yang tidak dilindungi segel khusus.
Mereka langsung berlari melintasi lapangan gelap menuju lorong yang menghubungkan gedung utama dengan gudang penyimpanan yang letaknya lebih ke dalam, masuk ke bagian belakang gedung.

Mereka terus berlari, tanpa mereka ketahui ada yang mengamati gerak-gerik mereka. Pria bertudung dengan tongkat sihir ditangannya menyangka mereka adalah penyusup dari sekolah sihir lain. Antara satu sekolah dengan sekolah sihir lain memang sangat menjunjung tinggi persaingan. Mulai dari cara bersaing yang bersih sampai cara-cara kotor untuk saling menjatuhkan reputasi.

Suri dan Amarilis tiba di depan pintu gudang dengan napas tersengal. Jantung mereka berdegup kencang, bukan hanya karena berlari sepanjang jalan, tapi juga karena takut ketahuan.
"Kalau sampai ketahuan matilah kita" Kata Amarilis menyesali keputusannya.
"Berhasil tidaknya itu hasil akhir, yang penting berusaha" Suri menyela kebimbangan sahabatnya.
Sebenarnya Amarilis tidak terlalu optimis akan tindakan mereka, hanya saja, rasa hormatnya terhadap Suri membuatnya tetap bertahan. Suri selama ini sudah seperti kakak yang selalu ada dan melindungi Amarilis dari gangguan teman-teman sebayanya. Amarilis memang tipe anak lemah yang selalu jadi sasaran keisengan teman sebaya. Dibandingkan dengan Suri yang anak orang kaya, Amarilis hanyalah anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Dia selalu minder dalam bergaul sampai akhirnya ia bertemu dengan Suri. Sejak saat itulah dia tidak terlalu memikirkan status sosialnya dan belajar lebih giat.

"Hey, Amarilis. Kau kan pintar, kau pasti tahu mantera untuk membuka kunci pintu ini" Kata Suri membuyarkan lamunan Amarilis tentang masa lalunya.
"Eh... Ya... Hmm... Ini segel berlapis..." Kata Amarilis sambil meraba pintu gudang yang terlihat biasa-biasa saja itu. Amarilis mengerutkan dahi, ia tidak pernah menghadapi segel berlapis serumit ini sebelumnya.
"Lalu?" Tanya Suri.
"Entahlah... Akan kucoba..." Amarilis mencoba mengingat-ingat segala macam mantera pelepas segel. Suasana hening sementara Suri membiarkan Amarilis berpikir. Tanpa disadari pria bertudung itu sudah berdiri di belakang mereka.

"Kalian?!" Bentak pria bertudung itu. Sontak Suri dan Amarilis melompat saking kagetnya.
"Master Roman?!" Kata Suri dan Amarilis berbarengan menyadari sosok yang memergoki mereka.

:to be continued:

Selasa, 20 Oktober 2009

Introduction

Seperti kebanyakan events atau hal-hal formil dan anformil, pasti diawali dengan perkenalan.
Well, nama gua Dinni. Umur 17. Gua lahir dan besar (ngga tau apakah sampai mati juga) di Jakarta. Kota yang menurut gua, semua--segala hal bisa diselesaikan dengan uang.
Ngga sedikitpun niat bermaksud untuk ngejelek2in atau apapun yang bersifat negatif suggestion buat pembaca yang bukan orang Jakarta. Tapi emang kenyataan bicara demikian.

Di kota besar ini gua benar-benar dimanjakan (atau dibiasakan?) dengan barang-barang bajakan.
Semua ada. Mulai yang kita semua tahu kayak DVD, CD, VCD sampai yang ngga banyak orang tau kayak mp3 player, rice cooker dan segala yang -er -er -er lainnya. Oh ya, pakaian dan asesoris juga ada bajakannya. Keren gak tuh?

Well, balik lagi ke gua. Hmm, gua lahir ditengah keluarga biasa-biasa aja. Nyokap punya tempat makan (semacam cafe) dan bokap gua pegawai bank swasta. Adek gua punya dua. Satu cewek, satu cowok. Kumplit lah. Tiap hari rumah gua rameh sama adek-adek gua yang kerjaannya berantem, sementara bokap-nyokap kerja. Berantemnya sih ya sambil bercanda gitu, tapi lama-lama pasti ada yang nangis juga.

Satu hal tentang gua. Gua itu Gooner==> ini sebutan untuk penggemar fanatik klub asal kota London, Arsenal. Selain itu gua juga suka MotoGp dan beberapa olah raga lainnya yang seru ditonton kayak tennis, badminton. Pokoknya yang ngga ngebosenin kayak catur, renang atau lompat galah... Aaargh.

Maybe im not a good writer but i love writing.
Maybe im not that smart one but i love thinking.
Maybe im not a dork but i love reading.
I just do anything i love and i love everything i do.

thanks for reading :)