"Wow" Kata Suri yang mendapati tubuhnya telah berubah menjadi tubuh orang dewasa. Ia asyik memandangi dirinya sendiri di depan cermin hingga ia menyadari sosok lain yang masih tergeletak pingsan di samping kuali yang mengering. Sudah berapa lama mereka pingsan?
"Amarilis! Bangun! Sadarlah! Kau harus melihat ini!" Kata Suri sambil mengguncang-guncangkan tubuh Amarilis.
"Ugh... Kepalaku sakit..." Desah Amarilis saat kesadarannya mulai mengumpul. Ia lalu membelalakkan mata menyadari perbedaan suara yang dihasilkan tenggorokannya.
"Nanti saja pusingnya! Ayo bangun! Lihat dirimu!" Balas Suri. Suaranya juga berbeda.
Amarilis mengerjapkan mata berkali-kali mendapati sosok dewasa di hadapannya.
"Su... Suri?" Tanya Amarilis tak biasa.
"Iya ini aku! Ayo bangun dan lihatlah dirimu di cermin" Nada antusias khas Suri membuat Amarilis yakin sosok tinggi ramping itu memang sahabatnya. Ia menata kakinya yang terasa lemas seolah tak bersendi. Sambil dibantu Suri, ia berdiri perlahan. Suri menyangga tubuhnya dan menarik Amarilis ke hadapan sebuah cermin besar berbingkai kayu dengan ukiran cantik. Amarilis menganga mendapati sosok dewasa di hadapannya.
"Hah?" Hanya itu respon Amarilis melihat bayangan rupawan yang menatapnya di cermin. Sosok gadis cantik berambut lurus gelap sebahu. Kulitnya putih agak pucat dan warna matanya coklat susu.
"Itu kau Amarilis!" Kata Suri. Amarilis mengulurkan tangan ke arah cermin, menyentuhnya. Ternyata bayangan itu melakukan hal yang sama.
"Itu benar-benar aku?" Desis Amarilis.
***
"Menurutmu, berapa usia kita sekarang?" Tanya Suri sambil menyuapkan sesendok penuh bubur kentang. Mereka sedang sarapan setelah beberapa hari pingsan. Karena ibu Suri adalah manusia biasa, dan begitu pula pelayan rumah mereka, Amarilis bisa dengan mudahnya memanterai mereka, sehingga yang mereka lihat tetaplah Suri dan Amarilis kecil.
"Err... Dua puluh mungkin?" Jawab Amarilis.
"Bagus! Itu usia minimalnya! Sekarang kita harus membuat dokumen diri dan mengurus perijinan untuk masuk kelas tingkat lanjut!" Suri berapi-api.
"Kau gila! Pasti semua orang di sekolah curiga! Apa yang terjadi pada 'Suri dan Amarilis'? Mati dimakan singa gunung? Lalu bagaimana dengan keluargamu? Kau mungkin bisa memanterai ibumu tapi ayahmu kan penyihir!" Balas Amarilis. Suri menjatuhkan sendok di genggamannya karena terkejut.
"Lalu kita harus bagaimana?" Suri baru terpikir apa yang dimaksud Amarilis dengan 'sekali maju tidak bisa mundur lagi'. Ada perasaan kalut di hatinya. Apakah dengan ini ia harus meninggalkan keluarganya?
"Kita harus pergi dari kota ini, membuat alibi tentang 'Suri dan Amarilis' lalu memulai hidup baru dengan identitas baru di tempat yang jauh" Usul Amarilis. Suri menatap mata sahabatnya dan menelan ludah.
"Aku sudah memikirkan banyak alibi, tapi dimakan singa gunung itu yang terbaik, kita cukup menyiapkan pakaian yang seperti dikoyak binatang dan darah" Jelas Amarilis. Suri terdiam. Ia berpikir keras. Apa perasaan ibu dan ayahnya saat tahu anak mereka satu-satunya mati dimakan singa?
Berbeda dengannya, Amarilis memang sudah hidup sebatang kara di panti asuhan. Ia tak punya sosok yang dirisaukan. Sedikit rona penyesalan menyeruak memaksa keluar dari lubuk hatinya.
Namun ini adalah pilihannya. Ia sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan yang seperti ini. Memenuhi ambisinya menjadi penyihir tersakti dalam waktu singkat. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Memantapkan hatinya.
"Kapan kita mulai?" Tanya Suri saat membuka matanya.
"Secepatnya" Jawab Amarilis mantap.
:to be continued:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar