Mimpi
Aku melihatnya. Pemandangan yang sama, padang rumput gelap. Begitu lapang dan luas seolah tak berbatas. Semua terlihat hitam-putih olehku, karena cahaya keperakan sang bulan yang bersinar terang di atas sana.
Dia masih di sana. Berdiri mematung tak bergerak—seperti yang biasa aku lihat di malam-malam sebelumnya. Ekspresinya tak terbaca. Entah sudah berapa kali aku mimpi seperti ini. Latar yang sama; cahaya bulan, padang rumput, dan Cesc. Dan wajah sempurnanya yang tanpa ekspresi. Aku mengernyitkan dahi saat tersadar ini mimpi yang sama dengan malam-malam yang sudah. Dan pemandangan itupun mengabur seiring kesadaranku yang kian menebal, menghimpit bayang-bayang dan mimpi pergi sembunyi menanti malam lain datang kembali.
Aku membuka mataku lebar-lebar seiring dengan satu tarikan napas panjang, kemudian kuhembuskan perlahan. Aku melirik ke sisi tempat tidurku, dia sudah tidak ada. Aku bangkit dan duduk di pinggir tempat tidurku, dan dia muncul.
“Selamat pagi” Sapanya lembut. Kali ini wujudnya padat. Tidak seperti tadi malam. Wajah sempurnanya semakin terlihat jelas sekarang, mata merah redupnya membius. Namun aku tak lagi mencium wangi manis sirup maple. Apakah wangi itu hanya muncul saat ia tak memadat?
“Kau sudah kembali seperti semula”
“Ya… aku lebih suka kalau padat begini”
“Kenapa? Bukannya sama saja?”
“Aku jadi benar-benar bisa menyentuhmu sekarang” Cesc menghampiriku, dia berlutut dihadapanku hingga wajah kami sejajar. Aura dingin sedingin es menguar dari tubuhnya namun iris matanya menerang, cerah. Seolah mencair kembali setelah sekian lama membeku. Dia mengulurkan tangannya ke arahku, melipat jari-jarinya dan menyisakan jari telunjuknya, menunjuk pelipisku.
“Bolehkah?” Tanya Cesc. Aku tersenyum dan mengangguk ringan. Memangnya kapan aku melarangnya menyentuhku? Ujung jarinya mendarat di sudut mataku. Dinginnya luar biasa. Aku sampai bergidik dengan spontan.
“Maaf” Desahnya menyesal sambil menarik kembali jarinya.
“Tidak apa, aku hanya kaget… jangan dipikirkan”
“Kau lupa aku ini dingin ya?” Tanya Cesc sambil terkekeh, kemudian duduk di sebelahku.
“Aku hanya lupa kau sedingin itu” Jawabku.
“Well, andai aku sedikit lebih hangat…”
“Apa maksudmu?”
“Ya, aku tidak akan membuatmu menggigil saat kusentuh”
“Kau suka menyentuhku?”
“Suka. Suka sekali” Jawabnya sambil tersenyum. “tapi aku tidak suka melihat kau gemetar kedinginan” Katanya sambil berdiri dan menjaga jarak dariku. Pagi ini memang cukup dingin. Ditambah lagi dengan kemunculan Cesc, tanpa sadar tubuhku bergetar menahan dinginnya udara pagi.
“Aku rela kok, menggigil sedikit” Kataku sambil bangkit dan meraih lengannya. Cesc memandangku dengan tatapan heran. Dan aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku juga suka disentuhnya. Cesc-ku yang tampan dengan segala pesonanya. Aku membalas tatapannya ragu-ragu. “mau temani aku sarapan kan?” Tanyaku. Sudah dua hari ini aku sarapan sendirian.
“Memang biasanya tidak?”
“Dua hari ini aku sarapan sendirian” Jawabku sambil berjalan menuju dapur, dan saat aku tiba disana, Cesc sedang duduk dengan santainya di salah satu kursi di belakang meja bundar. Aku menggelengkan kepala sambil meringgis.
“Kau berutang padaku ilmu berteleport” Cesc terkekeh mendengarnya.
“Kau harus mati dulu, Nona” Jawabnya enteng. Aku tertawa mendengar ia dengan mudahnya menyebut kata ‘mati’. Kemudian aku mengeluarkan dua butir telur dari dalam lemari es, sekotak susu cokelat dan sepotong cake strawberry yang entah sudah berapa lama ada disana. Oh iya, ini cake yang waktu itu Dani bawakan untukku. Kira-kira masih bagus tidak ya? Ah, kucoba panaskan sebentar, kalau ada bau anehnya akan langsung kubuang.
“Kau mau sarapan dengan sepotong cake beku?” Tanya Cesc saat melihatku membawa cake beku itu.
“Ini mau kupanaskan kok” Jawabku. Aku mulai menggoreng telurku, dan sekejap ruangan itu sudah beraroma telur goreng yang membuatku semakin lapar. Ternyata cakenya masih bagus, dan rasanya masih luar biasa enak. Namun aku masih lebih memfavoritkan cake buatan Abbey. Cesc terus memerhatikan aku seolah tanpa berkedip—atau memang dia tak berkedip? Anehnya aku sama sekali tidak merasa risi atas perbuatannya ini, seolah-olah sudah menjadi hal yang biasa dia terus memandangiku begini. Hal yang pastinya aku hindari dari orang lain. Kalau saja yang memandangiku bukan Cesc aku pasti langsung merasa risi dan salah tingkah. Dia tersenyum manis saat mata kami bertemu. Aku hanya tertawa sedikit sambil menolehkan wajahku. Hangat, suasana ini begitu nyaman. Aku seperti sedang bersama seorang teman yang sudah bertahun-tahun tidak kutemui. Padahal baru sebulan ini aku mengenalnya.
Cesc tetap duduk membatu sambil melipat kedua tangannya di depan dada, memerhatikanku menghabiskan telur gorengku, kemudian cake strawberrypun tak luput dari santapanku. Matanya memandang lurus kearahku. Tatapannya misterius, ada seberkas rona penasaran disana—seperti baru melihat sesuatu untuk pertama kali sepanjang hidupnya. Dia masih menyandarkan punggungnya dengan santai pada sandaran kursi sambil menatapku saat aku selesai menyuap potongan terakhir cake strawberryku.
“Pagi ini kau tidak bawel” Katanya memecah kesunyian.
“Memang biasanya aku bawel ya?” Tanyaku tak percaya.
“Bukan begitu, maksudku kau cukup diam pagi ini”
“Kau juga”
“Aku tidak tahu kalau aku ini bawel” Katanya sambil memutar bola matanya. Aku terkekeh. Aku kembali berjalan ke kamarku, dan sekali lagi aku menemukannya sudah tiba lebih dulu. Aku tidak merasakan kaget sama sekali. Sepertinya aku sudah terbiasa dengan cara bepergiannya yang luar biasa praktis ini. Aku duduk bersila di tengah tempat tidurku. Cesc duduk di sudut kanan sambil memunggungiku.
“Kau punya utang padaku lho,” Kataku.
“Apa?” Tanya Cesc dengan suara lembut, menghanyutkan.
“Kau janji padaku mau melanjutkan cerita tentang Dwight dan Coleen” Jawabku sambil menerawang mengingat bagian terakhir cerita yang dikisahkannya sebelum kepergianya ke… Timur, well, aku lupa apa nama tempatnya.
“Cuma sampai disitu yang kutahu… hmm, yah… Coleen berusaha untuk mendekati Dwight yang kelihatan putus asa waktu itu… dia tak menerima statusnya yang baru. Dan Coleen berhasil meyakinkannya, dia tidak akan meninggalkannya, seperti Dwight yang selalu menemaninya selama ini. Setelahnya, beberapa tahun kemudian, Dwight merubah Coleen menjadi vampir dan mereka hidup bersama-sama”
“Dia merubah Coleen?” Tanyaku memastikan.
“Yah, kau tahu kan? Dengan menggigit?
“Oh…” Ternyata cara perubahan vampir sama seperti yang ada di film-film horror.
Suasana hening kemudian. Aku memerhatikan punggungnya lekat-lekat. Setelah menyingkirkan bayangan dua vampir itu, aku kembali teringat akan mimpiku. Apakan sebaiknya kuceritakan padanya tentang mimpiku? Kurasa dia berhak tahu—karena memang dia yang aku mimpikan akhir-akhir ini. Atau tidak usah saja? Mengingat ini hanya mimpi semata, yang bisa datang dan pergi. Tapi ini sudah berulang kali…
“Kau sedang berpikir” Kata Cesc. Kalimatnya memastikan.
“Uh huh,” Jawabku.
“Boleh aku tahu apa yang sedang kau pkirkan?”
“Kalau saja aku tahu kemana arah pikiranku ini” Jawabku.
“Maksudmu?”
“Terlalu banyak… aku sampai bingung mau memikirkan yang mana dulu” Jawabku spontan saat tiba-tiba teringat hadiah ulang tahun Dani. Dan ujian tengah semesterku bulan depan. Gila.
“Kalau begitu coba urutkanlah dari yang paling penting” Usulnya. Aku mengangguk ringan dan memejamkan mata. Ujian tengah semesterku bulan depan, mimpiku yang berulang-ulang itupun kurasa hanya mimpi biasa, iya kan? Itu berarti…
“Cesc, aku ingin meminta bantuanmu” Seruku seraya membuka kedua mataku lebar-lebar.
“Apa?” Tanya Cesc.
“Well, walaupun kau sudah mati setidaknya kau tetap cowok,”
“Lalu?”
“Sebentar lagi Dani ulang tahun”
“Uh huh?” Jawab Cesc menirukan jawabanku tadi. Aku memutar bola mataku.
“Menurutmu sebaiknya aku beri dia hadiah apa?”
“Wah, cowo di jamanku tidak terlalu memikirkan hadiah ulang tahun”
“Semua cowo dari jaman kapanpun memang tidak peduli ulang tahun mereka” Desahku. “maksudku, aku ingin memberi sesuatu di hari ulang tahunnya, tak peduli sebenarnya dia ingat tanggal lahirnya maupun tidak” Lanjutku. Cesc menatap kedua mataku, kelihatannya dia sedang berpikir keras. Apa aku bertanya pada orang yang salah?
“Sesuatu yang berkesan… yang bisa mengingatkannya padaku” Tambahku. Aku melipat kedua kakiku didepan dada dan memeluknya.
“Dia selalu memikirkanmu kok,” Jawab Cesc.
“Yang itu aku juga tahu. Tapi aku ingin dia memiliki benda yang kuberikan”
“Tanyakan saja, apa yang sedang dia inginkan”
“Kau gila? Kalau dia bilang, dia sedang ingin mobil baru matilah aku!”
“Hmm… benar juga… dia kaya raya sih ya?” Sahut Cesc dengan penekanan berlebih pada ‘kaya raya’.
“Dia tidak se-kaya itu kok” Sahutku.
“Oh, tentu saja… tentu saja kalau bukan dia yang memberimu benda biru yang di luar itu” Balas Cesc sambil memutar posisi duduknya ke arahku.
“Ugh!” Aku paling anti membicarakan uang-uang Dani.
“Sudahlah, berikan saja dia sesuatu yang kecil, yang bisa dibawanya kemana-mana. Supaya terus teringat padamu. Itu kan tujuan awalnya?” Kata Cesc. Aku mengangguk ringan. Benda yang bisa dibawanya kemana-mana. Ide bagus.
“Tapi apa tepatnya benda kecil yang kau maksudkan itu?”
“Yah, apa saja… yang simpel saja, dia tidak akan memperhitungkan harganya, kau tahu sifatnya kan?”
“Iya sih. Tapi pasti teman-temanya… Yvette…” Desahku.
“Kenapa memikirkan orang lain? Yang akan kau beri hadiah kan Dani”
“Aku hanya berpikir bagaimana kalau Dani membanding-bandingkan…”
“Hentikan, dia bukan orang yang seperti itu!” Kata Cesc tidak suka.
“Kenapa jadi kau yang marah?” Tanyaku heran.
“Dia itu orang yang… baik, Carla. Aku hanya tidak suka melihatmu menilainya sebelah mata begitu”
“Oh, ayolah. Mengobrol dengannya saja kau belum pernah”
“Tapi aku bisa melihatnya”
“Melihat bagaimana?”
“Auranya”
“Jangan membicarakan sesuatu yang tidak kumengerti”
“Begini saja, simpelnya, aku bisa menilai seseorang berdasarkan pancaran auranya, oke?”
“Oh,” aku memerhatikan wajahnya dengan seksama. Ekspresinya tak berubah. Aura ya… “apa yang kau lihat darinya?” Pernyataannya yang tadi membuatku penasaran.
“Beberapa… kebanyakan aura positif”
“Lalu?”
“Yah, auranya begitu… menakjubkan, cerah dan pendarannya sampai beberapa tingkat, apa lagi saat bersamamu” Jelasnya. “dia begitu menyayangimu” Kata-kata Cesc meresap masuk ke dalam jantungku, mengalir bersama darah ke seluruh tubuhku. Aku tersenyum menatapnya. Dani menyayangiku. Cesc membalas senyumanku.
“Dan begitu pula sebaliknya” Tambahnya sambil mengelus pipi kananku dengan dua jarinya. Sentuhan sedingin es yang tak lagi membuatku terganggu. “auramu sangat benderang saat bersamanya, sekalipun meredup, itu karena kau mengantuk,” Lanjutnya sambil terkekeh. Aku tersenyum. Aku memang sering sekali merasa mengantuk saat bersama Dani.
“Tahukah kau?” Sentuhan jemarinya turun ke tulang rahangku, terus ke sisi leherku.
“Apa?” Tanyaku sambil memejakan mata, manikmati kelembutan sentuhannya.
“Auramu juga seperti itu saat bersamaku” Jawabnya. “memang tidak se-terang saat bersamanya, tapi pendarannya… seperti melodi yang menghanyutkan, begitu lembut dan menenangkan. Seperti sekarang ini” Suara merdunya terdengar seperti bisikan. Aku mebuka kedua mataku perlahan dan mendapati wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Cesc menatapku dengan lembut. Aku membalas tatapannya. Suasana hening dan damai. Detik demi detik berlalu seirama dengan degupan lembut jantungku. Segala pesona luar biasanya seolah menguar dari dalam tubuhnya, meresap kedalam kulitku. Sentuhan jarinya kembali naik ke pipiku. Hingga tiba-tiba kurasakan kecupan lembutnya dipipiku. Bibir dinginnya menempel di kulit pipiku. Sensasi aneh menjalari tubuhku. Aku merasakan sesuatu yang spesial dari kecupannya, sesuatu yang sepertinya sudah lama aku dambakan. Ingin sekali aku merengkuh tubuhnya, dan menyurukkan kepalaku di dada bidangnya. Andai tubuhku tak mendadak kaku begini.
Cesc melepas ciumannya dan kembali menatapku, kemudian tersenyum. Aku hanya menatapnya, sulit sekali rasanya mengembangkan senyuman. Wajahku seperti membeku. Entah apakah aku shock karena baru saja dia menciumku atau karena sensasi aneh yang kurasakan?
“Kau… menciumku…” Kataku tercekat.
“Ya,” Sahut Cesc enteng sambil melipat kedua lengannya didepan dada.
“Kalau Dani tahu dia akan membunuhmu!” Semburku spontan. Aku tak tahu dari mana datangnya kata-kataku barusan tapi mengingat reaksi Dani akan teman laki-lakiku semalam, kepalaku langsung berputar. Realitas kembali merasuki tubuhku setelah beberapa saat yang lalu digantikan oleh sesuatu yang fana. Aku baru saja dicium cowok yang bukan pacarku? Aku shock dan menempelkan tanganku ke pipiku. Cesc melongo mendengarku mengatakannya, kemudian dia terkikik.
“Ya ampun, Carla! Itu tadi cuma ciuman biasa! Lagipula aku kan memang sudah mati, jadi pacarmu tidak perlu repot-repot membunuhku segala” Katanya lagi. Aku mengerutkan dahi. Benar juga… yang tadi itu memang hanya… ciuman biasa. Well, kurasa aku memang agak berlebihan menanggapinya. Karena kejadian semalam? Atau karena aku memang belum pernah dicium cowok selain ayahku dan Daniel? Yeah, cerita percintaanku memang tidak bagus.
Aku menghela napas panjang lega.
“Aku minta maaf kalau kau tak suka” Kata Cesc memecah keheningan. Aku meliriknya dengan sudut mataku. Ekspresinya datar.
“Tidak… aku yang terlalu berlebihan, well, akhir-akhir ini masalah perselingkuhan entah mengapa menggangguku” Sahutku sambil menghela napas.
“Maksudmu?”
“Yeah, entah mengapa kemarin aku berkhayal bahwa… Dani memiliki pacar selain aku. Konyol ya? Aku malah mengkhayalkan hal yang sama sekali tidak kuinginkan” Jawabku jujur.
“Dan kau juga memikirkan kemungkinan kau melakukan hal yang sama?”
“Entahlah, maksudku, aku sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengkhianatinya. Tentu saja” Desahku. Aku menelan ludah. Membayangkannya saja aku tak bisa, mana mungkin aku bisa mencintai orang lain seperti aku mencintai Dani?
“Kurasa kau hanya… overprotected… menurutku sih,” Kata Cesc.
“Overprotected bagaimana?” Tanyaku tak mengerti.
“Yeah, kau hanya terlalu menutup dirimu, memusatkan dunia hanya kepada pacarmu itu… kurasa hal inilah yang membuatmu… ugh, maaf ya, membuatmu tak punya teman. Kau sudah hampir dua bulan tinggal di sini tapi aku tak pernah melihat kau membawa temanmu berkunjung ke tempat ini. Gadis seusiamu biasanya senang sekali membawa teman mereka datang” Katanya. Aku menatapnya serius. “kau terlalu melindungi dirimu dari kemungkinan membagi perhatianmu pada hal lain”
Aku meresapi kata-katanya. Aku terlalu melindungi diriku dari kemungkinan membagi perhatianku pada hal lain. Apakah dia benar? Aku menunduk dan memandangi lipatan kakiku. Kurasa di benar. Aku hanya memikirkan Dani, Dani, Dani dan Dani. Ehm, well, dan kuliah.
Aku tidak pernah berusaha untuk menemukan orang lain yang bisa aku ajak berbagi. Mungkin karena aku merasa Dani sangat komplit. Dia bisa menjadi kakakku, teman, sekaligus pacar. Ya, dia benar. Cesc benar. Aku memang tidak punya teman. Apakah sebaiknya aku mulai memberi kesempatan pada orang lain untuk berteman denganku? Tapi bagaimana? Kurasa selama ini aku terlanjur asyik dengan kesendirianku hingga lupa bagaimana caranya berteman. Lalu bagaimana dengan Cesc? Abbey juga. Apakah mereka bisa kusebut teman?
“Eh… sudahlah, jangan terlalu dipikirkan… itu tadi hanya analisisku” Kata Cesc. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Kemudian menganggukkan kepala ringan.
“Hmm… kembali ke hal yang tadi,” Usulnya saat mendapati aku sedikit merenung.
“Usulku, sebaiknya kau memberinya… err…” Cesc terlihat sedang berpikir keras. Kurasa dia sedang berusaha mengembalikan mood yang sempat meredup. Tapi moodku terlanjur hilang. Bahkan untuk merundingkan hadiah ulang tahun Dani. Ms. Moody.
“Nanti saja akan kupikirkan lagi, aku harus bersiap-siap untuk kuliah” Kataku sambil bangkit dari tempat tidurku. Cesc juga melakukan hal yang sama.
“Carla, kau…” Aku tahu Cesc pasti ingin menanyakan apakah aku marah.
“Tidak, untuk apa? Sudah keluar sana… aku harus mandi dan ganti baju,” Kataku sambil mendorong punggungnya ke arah pintu, kemudian dia lenyap tak berbekas. Tapi aku masih merasakan aura dingn di kamarku.
“Ya ampun Cesc, keluarlah, atau aku akan benar-benar marah”
“Jadi kau tidak marah? Err… kurasa aku baru saja menyinggung perasaanmu tadi” Kata Cesc yang tanpa wujud.
“Tidak, aku hanya shock karena kau mengatakan hal yang sebenarnya. Yang selama ini aku tutupi… oh, ayolah, kau tidak bermaksud membuatku terlambat kan?” Kataku sekali lagi. Walaupun dia tidak terlihat tetap saja aku tidak berkenan kalau harus mandi dan berpakaian diruangan yang ada Cescnya. Dia cowok. Walau sudah mati.
“Oke, oke” Katanya dan kemudian dia dan semua udara dingin di kamarku lenyap.
:tbc:
Pengen banget gue punya Cesc dirumah... Pengeeen bangeeeet!!! HUAAA!! Cesc!!
BalasHapus*mimisan*
Kapan Carla bakal bilang tentang mimpinya? Penasaran nih...
Lanjutkan..! XD
hihi sayang gua ga pengen buru2 namatin ini cerita soalnya gua juga suka n ejoy nulisnya *lho?*, jadiii... yah tunggu saja X3
BalasHapus