Sabtu, 03 Juli 2010

Fan Fiction: Another Love Story 9

Emirates Stadium

“Besar,” Gumamku dalam hati. Dani menggandeng tanganku menaiki tangga-tangga beton menuju stadion. Ada juga beberapa wisatawan yang sedang asyik berfoto-foto di depan stadion. Ada juga yang bergaya dengan meriam-meriam di sekitar stadion itu.
“Biasanya sangat ramai saat akhir pekan, saat pertandingan liga. Kalau hari-hari begini, tidak terlalu ramai” mataku menjelajahi setiap sudut bangunan megah itu. Bentuknya oval, megah, ada sebuah lambang klub besar di tengahnya—persis sama seperti jersey yang dikenakan para pengunjung kedai Dann saat akhir pekan lalu. Sebuah perisai besar dengan sebuah meriam besar berwarna emas mengilap menghadap ke timur. Diatas meriam emas itu tercetak tulisan ‘Arsenal’ yang secara harfiah berarti ‘gudang senjata’. Lebih ke atas lagi ada sebuah panel-panel huruf membentuk tulisan ‘Emirates Stadium’. Di dinding lain ada sebuah rangkaian aksara bahasa arab yang aku tidak tahu apa bacaannya, tapi kurasa ada hubungannya dengan nama stadion ini, ‘The Emirates Stadium’. Sisanya, bangunan oval itu trtutupi kaca-kaca. Tak terasa kami ternyata sudah mengelilingi stadion luar biasa itu satu kali.
“Cantiknya,” Pujiku sambil memutar pandangan sekali lagi. Pasti akan lebih cantik saat bangunan ini sedikit diselimuti salju putih bersih yang berkilauan.
“Biasanya ada tur wisatawan untuk masuk ke dalam… tunggu di sini sebentar, aku akan tanya pusat informasinya” Aku mengangguk ringan dan Danipun melepas genggaman tangannya, mulai berlari menuju sebuah podium yang dikerumuni banyak wisatawan.
Aku mengeluarkan handphoneku, mencoba mengabadikan bangunan ini dengan menggunakan kamera handphoneku, akan kutunjukkan pada Abbey nanti. Aku masih asyik memutar tubuhku sambil menjepret beberapa gambar sampai Dani kembali.
“Tur yang jam setengah dua sudah terlanjur mulai, kita bisa ikut yang perjalanan terakhir, jam setengah tiga, kau mau menunggu sampai jam setengah tiga?” Tanya Dani.
Aku berbalik untuk menghadapinya. Jam setengah tiga? Itu berarti aku akan terlambat masuk kerja.
“Tidak usah, aku masih harus… eh, ke toko, membeli beberapa barang… aku takut tokonya keburu tutup kalau harus ikut tur segala,” Jawabku, berusaha keras tidak menatap matanya.
“Baiklah kalau begitu, kita bisa datang lagi nanti, bagaimana?” Tanya Dani.
“Oke” Aku tersenyum mendengar pernyataannya, itu berarti kami akan mendatangi tempat hebat ini lagi di waktu yang akan datang.
“Ada toko souvenir di bawah, kau mau coba melihat-lihat?” Tanya Dani sambil kembali mentautkan jari-jemarinya dengan tanganku.
“Tentu, tapi tunggu sebentar…” Jawabku sambil menarik tangannya.
“Apa?”
“Aku ingin berfoto denganmu di depan stadion ini”
“Oh,” Dani tesenyum mendengar pengakuanku. Aku menyerahkan handphoneku kepadanya. Dani menerimanya dan mulai memutar tubuhnya, mencari posisi yang bagus untuk berfoto. Akhirnya kami berfoto bersama di depan pintu masuk stadion. Dani merogoh handphone dari saku jeansnya, kemudian mengirim foto kami.
“Aku juga ingin punya” Katanya sambil menyeringai.
Toko souvenir itu terlerak di bagian bawah, dekat tangga beton. Diatasnya tercetak dengan jelas rangkaian huruf bertuliskan ‘The Armoury’. Kami memasuki tempat yang didominasi warna merah itu. Suasana yang sangat baru untukku. Ruangan dipenuhi poster-poster pemain sepakbola. Ada beberapa manekin yang dipajang di depan kaca, menggunakan jersey merah yang sudah tidak asing bagiku. Kami masuk lebih kedalam, ke tempat pernak-pernik lain. Ada sebuah mug merah dengan lambang klub, ada juga jacket dan sweater. Aku berjalan menyusuri rak-rak dan terdiam saat melihat miniatur-miniatur para pemain sepakbola. Lucu-lucu sekali.
“Itu pemberat kertas, apa ada yang kau kenal?” Tanya Dani sambil mengangkat salah satu pemberat kertas itu. Aku hanya menggeleng, karena aku memang sama sekali tidak mengenal satupun dari miniatur-miniatur itu. “Yang ini namanya David Seaman” Katanya sambil menunjukkan pemberat kertas yang menampilkan miniatur seseorang berkumis sedang tersenyum. “Dia ini kipper yang hebat, hanya saja di sudah tidak bermain di Arsenal lagi” Tambahnya sambil meletakkan kembali pemberat kertas itu di tempatnya semula.
Kami melanjutkan menjelajahi isi toko, kembali aku tertarik pada beberapa pernik kecil mengilap. Ada gantungan kunci berbentuk perisai lambang klub. Aku mengambil satu dari rak. Untuk kenang-kenangan, gantungan kunci ini tidak jelek. Aku memerhatikan Dani yang juga mengambil gantungan kunci yang sama seperti yang kuambil.
“Aku memang ingin beli satu yang seperti ini,” Jelasnya sambil menimang-nimang gantungan kunci itu. Aku tersenyum menatapnya. Rasanya menyenangkan sekali memiliki benda yang sama dengan Dani.
Kemudian kami berjalan ke sebelah barat toko, yang sebagian besar isinya dipenuhi oleh jersey-jersey merah. Di sudut ada beberapa gulungan poster yang juga dijual. Disampingnya ada tumpukn majalah baru. Ya ampun, mereka juga punya majalah sendiri? Gumamku sambil mengangkat satu majalah dari tumpukannya.
“Mereka juga punya channel TV sendiri Carla” Kata Dani seolah mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
“Apa yang mereka tayangkan? Pertandingan sepakbola, tentunya” Tanyaku dengan nada sebal. Siapa sih yang mau menyaksikan pertandingan sepakbola setiap hari?
“Ya, tentu saja… lalu ada juga pertandingan-pertandingan penting di masa lalu, konferensi pers, berita-berita ofisial, wawancara eksklusif… banyak sekali, aku kadang-kadang menonton juga” Jelas Dani.
“Aku tidak tahu kau fan Arsenal?” Tanyaku.
“Sulit sekali tidak menyukai sepakbola kalau kau tinggal di London, Sayang. Well, sebenarnya aku tidak memihak yang manapun, aku hanya suka menonton pertandingannya saja. Dan menurutku, Arsenal memainkan sepakbola paling indah di dunia, sangat enak ditonton. Cobalah menonton pertandingan mereka sesekali,” Kata Dani sambil menarik sebuah jersey dari gantungannya. Menyodorkannya kepadaku, mengukur jersey itu di tubuhku.
“Apa kau keberatan kalau aku membelikanmu ini sekalian?” Tanya Dani sambil melambaikan jersey merah itu.
“Untuk apa? Aku kan bukan fan?” Tanyaku.
“Ya, untuk kenang-kenangan saja… aku juga akan beli satu, dan jacket yang disana juga bagus…” Katanya sambil menengok deretan lain di seberang toko.
“Kenapa jadi kau yang belanja banyak sekali? Kupikir aku yang sedang bermanja-manja hari ini?” Tanyaku mengejeknya.
“Oh, tentu Sayang, kau boleh ambil apapun yang kau suka…” Kata Dani kemudian.
“Tidak, kok, aku hanya ingin beli ini… mungkin beberapa, untuk teman–temanku” Kataku yang tiba-tiba teringat Dann, Math juga Abbey yang cinta Arsenal. Dan Cesc… apakah aku juga perlu memberinya hadiah? Oh ya, aku kan masih harus bekerja. Aku melirik jam di tangan Dani saat dia menimang-nimang jacket yang dipilihnya. Pukul dua tepat. Oh, tidak. Aku sudah terlambat.
“Err… Daniel, aku harus pergi sekarang…” Kataku.
“Oh, ya tentu, akan ku antar” Kata Dani sambil menggenggam barang belanjaannya. “Kita bayar dulu ini semua” Kata Dani sambil merebut lima buah gantungan kunci dari tanganku. Tentu saja dia tidak akan mengijinkan aku membayar gantungan kunci itu dengan uangku sendiri. Tidak ada waktu untuk berdebat, akupun menurut saja.
Setelah membayar kamipun bergegas ke dalam mobil dan herannya, Dani tahu kemana tujuanku.
“Bagaimana kau tahu aku ingin pergi ke sini?” Tanyaku bingung. Apa tadi aku sudah mengatakan toko apa yang aku maksud?
“Apa sih yang aku tidak tahu tentangmu, Sayang?” Kata Dani sambil memarkirkan mobilnya di depan toko. Kemudian mematikan mesin mobilnya.
“Apa maksudmu?” Tanyaku gugup.
“Kau bekarja di tempat ini kan?” Tanya Dani. Aku membelalakkan mata menatapnya. Bagamana mungkin dia bisa tahu? “Tidak apa-apa, aku tidak marah kok,” Kata Dani.
“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu…” Kataku akhirnya.
“Ya, aku tahu kau pasti berpikir aku akan melarangmu bekerja kan?” Tanya Dani kemudian. Aku terdiam dan tetap menatapnya. “Aku tidak marah, Carla, kau pernah bekerja part-time sebelumnya saat masih tinggal di Spanyol dan aku tidak marah. Lalu kenapa sekarang aku harus marah?” Tanya Dani. Aku berpikir sejenak. Benar juga. Dulu saat aku masih tinggal di Arenyes de Mar, aku memang bekerja di sebuah toko perlengkapan memancing, dan Dani tidak keberatan sama sekali mengenai hal itu. Tapi itu karena saat itu dia belum berpacaran denganku. Maksudku, aku memang sudah bekerja di tempat itu sebelum mengenalnya.
“Aku memang tidak begitu suka melihatmu bekerja, well maksudku, aku tidak ingin kau kelelahan. Tapi aku tidak akan melarangmu kalau kau memang menginginkannya, dan aku cukup mengenalmu tentang kepiawaianmu mengatur waktu” Kata Dani. “Ayo, turun, aku tahu kau sudah telat, makanya kau kelihatan kurang nyaman hari ini” Aku masih terpaku di seat mobilnya samentara Dani sudah keluar dan berputar menuju tempat dudukku. Dani membukakan aku pintu mobilnya dan akupun melangkah keluar. “ini Inggris Carla, tidak ada yang tidak telat di sini tenang saja” Katanya sambil tertawa. Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. Bukan maksudku untuk menyembunyikan hal ini pada Dani.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku tidak marah” Kata Dani sambil merengkuh pundakku.
“Maaf” Kataku sambil menunduk. Dani merengkuh wajahku, memdongakkannya agar aku bisa menatap matanya yang indah.
“Carla, aku tidak marah padamu” Kata Dani pelan. Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Dani menghela napasnya dan mengulurkan jari kelingkingnya ke depan wajahku.
“Begini saja, kau berjanji jangan pernah merahasiakan sesuatu lagi padaku, tidak ada rahasia diantara kita, oke?” Tanya Dani. Aku tersenyum menatap kesungguhannya, kemudian mengaitkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya.
“Oke” Jawabku.
“Ayo, kau sudah telat. Aku akan mengantarmu dan menjelaskan pada bosmu mengapa kau bisa terlambat” Kala Dani sambil menarik tangaku. Aku tersentak.
“Jangan!” Kataku sambil menarik kembali tanganku. Aku tidak siap kalau mereka tahu aku pacaran dengan Daniel! Maksudku, dia kan terkenal. Aku yakin Abbey akan sadar saat melihatnya. Aku ingat kata Dann kalau dia sangat suka menonton balap motor.
“Kenapa?’ Tanya Dani.
“Dani, kurasa salah satu dari mereka akan mengenalmu. Kau kan… pembalap.” Kataku. Dani menghela napas dan tersenyum.
“Ya ampun Carla… kupikir ada aturan tentang pegawai yang telat karena pacaran! Memangnya kenapa kalau mereka mengenalku?” Tanya Dani.
“Kalau sampai aku tersorot media sebagai pacarmu?” Balasku.
“Hey, aku kan memang tidak pernah berniat menyembunyikanmu dari media! Kau-lah yang menyembunyikan diri, ingat?” Tanya Dani. Dia benar. Aku-lah yang menyembunyikan diri dari media.
“Aku hanya takut kehidupanku dimuat di majalah” Gumamku.
“Tidak seburuk itu kok, Carla” Kata Dani.
“Yeah, paling-paling lusinan paparazzi mengendap-endap mengikutiku keanapun aku pergi, mencari-cari kesalahan yang tidak sengaja aku lakukan kemudian mencetaknya di majalah dengan head line besar-besar” Kataku saat kami memasuki toko. Dani terkekeh mendengarnya. Aku memang agak paranoid dengan paparazzi. Bayangkan saja kalau ada beberapa orang menguntitmu dan berdoa agar kau tersandung di jalan atau menabrak seseorang hanya demi artikel majalah. Hah! Yang benar saja.
“Kau melupakan fan sites, Carla” Ralatnya.
“Oh, ya tentu saja. Fan site-mu, para penggemarmu akan membicarakan kejelekanku sepanjang hari. Sekaligus mendiskusikan betapa beruntungnya aku mendapatkanmu” Aku pernah sekali membuka sebuah fan site Dani. Ribuan foto-foto Dani tersaji dengan lengkapnya, dengan berbagai pose dan latar tempat. Aku heran bagaimana mereka bisa mendapatkannya? Dan forum diskusi. Argh! Aku ingat aku pernah menemukan satu thread yang mendiskusikan sebuah foto—fotoku dan Dani. Di foto itu Dani sedang menggandeng tanganku, kurasa foto itu diambil saat aku masih di Spanyol. Untungnya di foto itu aku tidak sedang jelek-jelek amat. Penggemar Dani memperdebatkan statusku. Apakah aku ini pacarnya, atau hanya teman atau malah anggota keluarganya. Mengingat sikap Dani yang luar biasa dingin pada orang lain, wajar saja mereka mendiskusikannya. Dibandingkan pers Spanyol, pers Inggris jauh lebih menyenangkan. Terbukti aku dan Dani tidak terjamah di sini—well, setidaknya selama sebulan ini. Berbeda dengan saat aku di Spanyol, Dani harus cermat mengatur waktu kalau ingin mengunjungiku. Dia sempat memprotes sikapku yang anti-publikasi. Tapi pilihanku sudah tidak terganggu, aku ingin hidup normal sebagai gadis biasa yang tidak pernah muncul di majalah, kehidupan normal tanpa penguntit, juga tanpa ribuan fans Dani yang membenciku.
“Oh, Calra!” Suara Dann menggema dari dalam ruangan di sudut toko. Anehnya suaranya tidak terdengar marah, seperti yang seharusnya. Suara Dann terdengar cemas.
“Dann, maaf aku terlambat” Kataku saat dia menghampiriku.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku senang kau baik-baik saja, baru saja Cesc datang dan menanyakanmu… dia membuatku panik” Jelas Dann. Buat apa Cesc datang ke sini dan menanyakanku sehala? “dan ini?” Tanya Dann kemudian saat melihat Dani.
“Err… ini…” Aku bingung bagaimana menjelaskannya, aku tahu harusnya tadi aku meyakinkan Dani untuk tidak repot-repot mengantarku segala. “temanku” kataku akhirnya.
“Hello, maaf aku yang memebuat Carla terlambat hari ini, kami pergi jalan-jalan sebentar… oh ya, namaku Daniel” kata Dani sambil mengulurkan tangan. Dann menjabat tangan Dani.
“Panggil aku Dann saja, kau sopan sekali nak… terimakasih sudah mengantar Carla… Oh, kau pergi dengan temanmu… harusnya kau meneleponku atau semacamnya, jangan anggap aku orang lain begitu, aku cemas mengapa kau belum sampai juga sementara Cesc mengatakan kau sudah berangkat sebelum tengah hari…” Kata Dann sambil tersenyum dan memalingkan wajahnya kearahku.
“Yeah, aku tahu… maafkan aku” Kataku. Kemudian aku mendengar dentingan sendok membentur lantai. Semuanya langsung memalingkan wajah ke arah Abbey. Dia yang menjatuhkan sendok.
“Abbey?” Tanya Dann melihat Abbey yang terpaku bak patung. Wajahnya kaku, matanya terbelalak, seolah baru melihat hantu. Oh, aku tahu apa tepatnya yang ia lihat.
“Astaga…” Kata Abbey sambil menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. “mustahil” Katanya kemudian. Matanya tertuju pada Dani.
“Ada apa Abbey? Kenapa kau menjatuhkan sendok-sendok itu” Tanya Dann.
“Orang itu…” Desisnya sambil menunjuk Dani. Dani menatapku dengan wajah bingung.
“Dia mengenalimu, tuan pembalap” Gumamku kepada Dani. Dani terkekeh mendengarnya.
“Daniel! Astaga!!” Jeritnya sambil menghampiri kami.
“Astaga, Abbey! Kenapa kau berteriak?” Tanya Dann bingung.
“Astaga Dann! Orang ini Daniel!! Pembalap itu!” Kata Abbey histeris. Dann membelalak memerhatikan Dani.
“Yang… itu?” Dann ikut-ikutan histeris. Dani hanya tersenyum kaku mendapati dirinya ditatap dengan takjub. Seolah ia tak seharusnya ada di tempat ini.
“Oh, Carla! Kenapa kau tidak cerita padaku kau berpacaran dengan orang ini?” Tanya Abbey sambil meraih kedua tanganku.
“Err… aku…” Aku bingung harus berkata apa. Sementara Abbey memandang aku dan Dani bergantian. Wajahnya sumringah. Nampaknya ia senang sekali bisa bertemu Dani.
“Daniel, boleh aku minta tanda tanganmu? Ah, boleh berfoto bersama?” Tanya Abbey tak sabar, sambil mengeluarkan handphonenya.
“Tentu, dengan senang hati” Jawab Dani dengan ramah.
“Aku pendukungmu lho! Aku menonton race terakhir, selamat atas kemenanganmu!” Kata Abbey kepada Dani sesaat setelah mereka berfoto bersama. Dani tersenyum menanggapi Abbey, atau mungkin dia sudah terbiasa menghadapi perilaku fansnya? Kelakuan Abbey sekarang ini berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang aku jumpai saat hari pertama masuk kerja. Hari ini dia luar biasa berisik. Entah sudah berapa kali ia menjepretkan kamera handphonenya ke arah Dani.
“Terimakasih sudah mendukungku” Kata Dani sambil menandatangani buku notes milik Abbey. Aku bisa melihat mata Abbey berbinar-binar memandangi tanda tangan Dani. Aku tidak tahu dia fan Dani? Yang kutahu dia memang mencintai tayangan olah raga, dari sepakbola, tennis, sampai balap. Mungkin karena terlalu banyak yang ditontonnya, aku sampai tidak menyadari ternyata dia fan Dani.
“Ternyata memang lebih tampan aslinya” Kata Dann disela-sela keheningan kami.
“Wah, terimakasih. Saya tersanjung Anda juga mengenal saya” Kata Dani sambil tersenyum. Cih, sok merendah.
“Jangan dipuji begitu, nanti dia besar kepala” Ejekku sambil beranjak memunguti sendok-sendok yang sudah dilupakan Abbey. Kemudian berjalan menuju dapur, segera mamakai celemek cuci piringku. Sampai tiba-tiba Abbey datang menghampiriku.
“Kau jahat sekali, Carla! Kenapa kau tidak bilang kau pacaran dengan dia? hey, tadi kalian pergi kemana?” Kata Abbey sambil menyandarkan diri di konter cuci piring.
“Mana kutahu kau fannya? Tadi kami ke Emirates sebentar, aku membelikanmu gantungan kunci Arsenal untuk oleh-oleh, ada di tasku. Apa dia sudah pulang?” Balasku.
“Oh, Carla! Kau pacaran dengan Daniel! Dia pembalap terkenal, masa tidak kau pamerkan? Dan dia masih diluar, Dann menyuguhinya secangkir latte, kayaknya dia juga senang bisa bertemu Daniel. Eh, trims kau sudah repot-repot membelikanku souvenir segala” Wajah Abbey menguarkan aroma kebahagiaan.
“Tak masalah, well, tidak ada alasan untukku memamerkannya, yang benar saja, aku bahkan tidak mau orang-orang tahu aku pacaran dengannya” Kataku sambil mulai membilas sendok-sendok yang dijatuhkan Abbey tadi.
“Kenapa?” Tanya Abbey.
“Well, kau tahu kan… publikasi…” Kataku sambil menghela napas.
“Kau jadi terkenal? Apa yang salah dengan itu?” Tanya Abbey lagi, wajahnya mengisayaratkan kebingungan. Seolah-olah tidak waras kalau ada orang yang tidak ingin terkenal.
“Paparazzi? Lusinan fan sites yang mencemooh fotoku? Oh, dan juga jutaan fan Dani yang tidak rela aku —yang hanya gadis biasa ini, pacaran dengan Dani” Jelasku.
Abbey terdiam mendengarkanku. Aku berbalik menghadapnya sambil mengeringkan tanganku dengan lap.
“Kau hanya paranoid. Kurasa tidak akan se-ekstrem itu” Kata Abbey sambil mengernyitkan dahi.
“Itu juga yang dikatakan Dani, tapi aku tetap menolak publikasi. Dan aku juga pernah membuka sebuah forum fan, ternyata ada banyak sekali fan yang kelewatan, maksudku mereka mencintai Dani! Menginginkannya, kau mengerti?” Kataku sambil meletakkan sendok-sendok dalam rak. “aku hanya ingin menjalani kehidupan normal tanpa punya musuh—dibenci oleh fans Dani” Sambungku. Kali ini Abbey nampak mengerti. Yeah, dia kan fan Dani dia pasti terpukul sekali saat tahu pacar Dani adalah gadis biasa—kalau dia tak kenal aku.
“Jadi sudah berapa lama tepatnya kau berpacaran dengan Daniel?” Tanya Abbey memecah keheningan.
“Err… hampir satu tahun. Waktu itu Oktober” Aku mengingat-ingat kapan tepatnya aku mulai berpacaran dengan Dani. Waktu itu tepat satu minggu setelah ulang tahunnya, sehari setelah racenya berakhir, saat dia dinobatkan sebagai juara dunia balap kelas seperempat liter… hari dimana aku merasa begitu dicintai, dinginkan, hari dimana akhirnya aku membuka pintu hatiku untuknya, hari yang sangat indah. Aku ingat betul saat itu dia langsung datang menemuiku setelah sesi akhir musim, masih mengenakan race suitnya, menyatakan cinta kepadaku bukan dengan sebuket mawar, namun dengan piala juara dunianya. Konyol. Aku tersenyum mengenang hari itu.
“Berarti sebentar lagi dong? Sekarang kan sudah tanggal dua September” kata-kata Abbey membuyarkan lamunanku.
“Sekarang tanggal berapa?” Tanyaku.
“Tanggal dua,” Ulangnya. Aku membelalak kaget. Itu berarti dua puluh tujuh hari lagi ulang tahun Dani. Ulang tahunnya tanggal dua puluh sembilan. Aku pernah berencana untuk memberinya hadiah. Tapi apa yang bisa aku hadiahkan? Dia pasti sudah memiliki apa yang diinginkannya…
Ugh! Kenapa aku baru teringat ulang tahunnya sekarang? Aku tidak akan punya cukup waktu untuk memikirkan hadiah yang pantas. Aku berdecak.
“Ada apa? Kau sedang ada janji?” Tanya Abbey.
“Oh, ehm… ada sesuatu yang kulupakan…” Jawabku. Tiba-tiba aku mendengar suara Dani memanggilku. Saat aku menolehkan wajah, dia sudah berdiri di depan pintu dapur.
“Kau ingin aku menunggumu sampai selesai bekerja atau mau kujemput saat tutup toko?” Tanya Dani. Abbey tersenyum mendengar pertanyaan Dani.
“Sebaiknya aku pergi ya?” Tanya Abbey sambil melewati Dani yang masih berdiri di ambang pintu.
“Ehm… kau pulang saja, kau pasti capai kan? Aku bisa naik bus kok,” Jawabku malas-malasan. Moodku langsung buruk karena teringat ulang tahun Dani barusan.
“Kapan tokonya tutup Ms Moody?” Tanya Dani. Da sering memanggilku ‘Ms Moody’ karena moodku yang sering jungkir balik.
“Jam delapan” Jawabku.
“Akan kujemput kalau begitu” Kata Dani sambil menghampiriku, dia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya. “tidak usah membantah,” Tambahnya.
“Jangan begini, ini kan tempat umum” Kataku sambil menepiskan tangannya saat ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dani tersenyum kemudian kembali ke arah pintu.
“Sampai jumpa nanti jam delapan,” Katanya sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum sekilas, kemudian Dani pergi.
Aku bergegas mengembil handphoneku dari dalam tas yang kuletekan di loker, mengecek saldo tabunganku secara online. Aku masih punya seribu lima ratus Pounds. Apa yang harus aku beli dengan uang ini? Dan aku tak mungkin mengharapkan uang bulanan dari ayahku. Lagipula aku harus membelikannya hadiah yang pantas. Karena pasti bukan hanya aku yang akan memberinya hadiah, pasti teman-teman, keluarga, dan… Yvette… yeah, pasti mereka memberikan hadiah yang bagus. Aku tidak mau Dani membanding-bandingkan hadiah mereka dengan hadiahku. Apa yang harus aku hadiahkan?

:tbc:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar