Rahasia
“Hey, Cantik” Sapa Dani saat aku menghampirinya yang sedang berdiri di depan kap mobilnya. Aku tersenyum sekilas saat mendengar sapaannya. Dani berjalan untuk membukakanku pintu mobilnya, setelah aku masuk dia kembali menutup pintu mobilnya untukku. Dani kemudian berjalan memutar menuju kursi kemudi. Aku masih terjebak dalam pikiranku tentang hadiah untuk Dani. Pikiranku terasa buntu. Tak ada sesuatu—apapun yang terlintas dipikiranku yang sekiranya bisa aku hadiahkan untuk Dani. Aku melirik ke arah Dani, ia sedang asyik dengan kemudinya. Apakah sebaiknya kutanyakan saja benda apa yang sedang diinginkannya? Tapi bagaimana kalau jawabannya ‘Oh, aku sedang ingin sekali sebuah Lamborghini untuk kebut-kebutan di jalan…’ atau ‘Aku memang sedang ingin liburan musim panas di Caribia sih’. Matilah aku. Aku menghela napas panjang.
“Kau kelihatan lelah,” Dani membuka percakapan.
“Yeah, lumayan” Jawabku singkat. Kuurungkan juga niatku untuk menanyainya ‘hal yang sedang kau inginkan’ setelah hal terakhir yang terlintas di kepalaku adalah sebuah jet pribadi. “Semua orang terlalu banyak bertanya hari ini… tentang kau” Lanjutku. Aku tidak bohong, seharian ini—selama aku kerja, Dann dan Abbey tak henti-hentinya menanyakan Dani. Untung saja Math tidak ikut-ikutan demam Dani seperti mereka.
“Haha, masa?” Tanya Dani sambil meringgis.
“Yeah, kalau hanya pertanyaan mendasar seperti makanan kesukaanmu, hal apa yang paling tidak kau sukai dan sejenisnya sih aku tidak keberatan, tapi mereka terus menerus menanyakan bagaimana sikapmu terhadapku. Mana mungkin aku mengatakan ‘Oh, Dani sangat mencintaiku, menurutku dia tidak akan bisa bertahan hidup sehari saja tanpaku’ Ugh!” Jawabku jengkel. Dani tertawa mendengarnya.
“Lalu apa lagi?” Tanya Dani. Apa kesengsaraanku seharian ini begitu menarik baginya?
“Well, selebihnya mereka memintaku menceritakan awal mula pertemuan kita” Jawabku. Aku bisa merasakan pipiku membara, semua kenangan yang telah berlalu saat Dani menyatakan cintanya untuk yang pertama kalinya kepadaku seolah diputar kembali di depan mataku.
“Kau menceritakannya?” Tanya Dani.
“Tidak secara rinci… hanya pokok-pokok kejadiannya saja”
“Seperti apa tepatnya yang kau maksud pokok-pokok kejadian?” Tanya Dani menyadari perubahan tekanan suaraku. Oh, dia mulai menggodaku.
“Masa kau memintaku menceritakan hal yang kau alami sendiri?” Balasku sambil melirik tajam ke arahnya. Dani tertawa melihat ekspresiku.
“Aku kan tidak tahu versi sudut pandangmu” Godanya lagi.
“Oh, Dani kau tidak sedang memaksaku membeberkan kenangan pribadiku tentangmu kan?” Tanyaku jengkel.
“Tidak juga sih,” Jawabnya sambil tersenyum. “Oh, ya… Cesc itu siapa?” Tanya Dani kemudian. Aku tersentak kaget. Bagaimana dia bisa tahu tentang Cesc?
“Dari mana kau tahu nama itu?” Tanyaku, aku berusaha membuat suaraku senormal mungkin. Bagaimana dia bisa tahu tentang teman hantuku?
“Well, tadi siang saat aku mengantarmu ke toko… Dann bilang Cesc baru saja datang dan menanyakanmu…” Kata Dani. Oh, ya… tadi siang Dann memang mengatakannya. “Dan dia mengatakan… Cesc tahu kau sudah pergi sejak tengah hari…” Dani mengerutkan dahi sambil menatapku. Kuharap wajahku cukup meyakinkan bahwa ini hal biasa.
“Dia temanku… Well, awalnya aku tidak tahu dia mengenal Dann juga” Jawabku sedikit tersendat. Dani menatapku sekilas dan kemudian kembali memandang ke arah jalan yang lumayan padat.
“Dan bagaimana dia tahu kapan kau keluar rumah?” Tanya Dani.
“Dia… juga tinggal di flatku, maksudku, kami tetangga” Hampir saja aku mengatakan ‘dia tinggal bersamaku’ “Mungkin dia melihat saat kita keluar bersama…” Kataku lagi.
“Oh…” Kata Dani. “Kelihatannya dia memerhatikanmu… bayangkan saja, dia sampai menyempatkan datang ke toko untuk memastikan kau sudah di sana” Dani melanjutkan.
“Well, Dann memang cukup akrab dengannya… mungkin saja Dann menanyakan aku kepadanya… maksudku, mungkin Dann menghubunginya dan bertanya apakah aku tidak masuk kerja hari ini…” Jawabku. Suasana hening hingga tiba-tiba Dani mematikan mesin mobilnya. Aku bahkan tidak menyadari ternyata kami sudah sampai di depan gedung flatku.
“Kau terlalu banyak mengatakan kata ‘mungkin’, Carla…” Desah Dani sambil menatapku. Dia tahu aku tidak berkata jujur. “Apa yang tidak aku tahu?” Tanya Dani. Tatapannya menajam. “apa yang kau sembunyikan dariku?” Tanya Dani sekali lagi.
Aku berusaha memusatkan pikiranku. Mengolah informasi yang akan aku tuturkan padanya. Tidak mungkin aku mengatakan siapa Cesc sebenarnya, karena itu juga akan membuka kedok Dann sekalian… aku menghela napas panjang. Jantungku berdegup tak beraturan.
“Cesc adalah tetanggaku, dia berteman dengan Dann, jauh sebelum aku mengenal keduanya… Cesc yang pertama aku kenal, setelah itu aku baru berkenalan dengan Dann dan Math juga” Aku menyelesaikan kalimat pertamaku dengan baik. Sementara Dani masih menatap kedua mataku. Suasana kaku sekali, membuatku tidak nyaman.
“Dia memang baik sekali, kami banyak mengobrol akhir-akhir ini. Well, kurasa karena kami sebaya…” Kataku. Aku mengernyitkan dahi saat mengucapkan kata sebaya. Setidaknya kami memang benar-benar sebaya sebelum dia mati.
“Dia tinggal tepat di sebelah kamarmu?” Tanya Dani. Entah mengapa aku merasa menemukan nada tidak suka dari setiap ucapannya. Aku mengangguk ringan. Aku tahu betul kamar sebelahku itu kosong. “Dia bukan hanya baik, Carla… dia memerhatikanmu!” Desisnya. “Apa dia tahu kau berpacaran?” Tanya Dani.
“Tentu saja, maksudku, dia tahu kau menginap waktu itu…” Jawabku.
“Bagus” Katanya keras-keras. Oh, aku mengerti sekarang.
“Tunggu dulu… jangan bilang kau cemburu” Desakku.
“Oh, Carla! Aku ini laki-laki normal, tentu saja aku cemburu! Ada cowok lain yang sedang dekat denganmu dan dia sangat… perhatian!” Kata Dani.
“Ya ampun, Dani! Kami hanya berteman, tidak lebih!” Balasku. Aku benar-benar shock dia mengaku cemburu. Suasana hening mendadak.
“Bagaimana kalau kau jatuh cinta padanya?” Tanya Dani dingin. “Bagaimana kalau rasa cintamu padaku tak terlalu besar hingga kau bisa dengan mudahnya jatuh cinta lagi?” Aku membelalakkan mata saking kagetnya. Dia benar-benar mengira aku mengkhianatinya? Suasana hening melingkupi kami. Dani menatap lurus ke arah jalan kosong, aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipirkannya saat ini dan apa yang harus aku lakukan. Ini adalah kali pertama Dani cemburu. Aku benar-benar tidak berani membayangkan kalau dia sampai tahu sebenarnya aku dan Cesc tinggal bersama. Aku tidak tahu dia mudah sekali cemburu. Dia tidak mempercayai pernyataanku? Aku kan tidak berbohong soal hubunganku dengan Cesc? Kami memang hanya berteman, well walaupun berbeda dunia, kurasa Cesc baik-baik saja… dan sangat—luar biasa tampan. Apakah ini masalahnya? Aku memang terpesona olehnya, kurasa semua gadis di dunia ini akan terpesona saat bertemu dengannya. Tapi tetap saja, hanya Dani yang kucintai. Aku mulai kesal. Apakah dia meragukan kesetiaanku? Tak pernah terpikirkan olehku untuk meninggalkannya. Aku mencoba membuka pintu mobilnya, suasana didalam mobilnya mulai membuatku mual, keheningan yang menyesakkan. Pintu mobilnya terkunci.
“Bukakan pintunya, aku ingin keluar” Pintaku. Dani mengacuhkanku. Tubuhnya masih bersandar di kursi kemudi dan matanya tetap memandang lurus ke arah kegelapan malam.
“Daniel, aku sungguh ingin keluar,” kataku sekali lagi. Dani memalingkan kepalanya ke arahku, ekspresinya tak terbaca. Dani mengulurkan tangannya ke tengah kemudi, menekan sebuah tombol disana. Terdengar bunyi klik ringan dari arah pintu di sebelahku. Aku meraih pegangannya, kemudian membuka pintunya. Aku melangkah keluar, menutup kembali pintu mobilnya keras-keras. Aku benar-benar kesal. Aku tidak menyangka Dani dengan mudahnya meragukan kesetiaaku. Aku sangat kesal dan tidak percaya. Aku terus berjalan dengan langkah besar-besar.
Aku membanting pintu saat menutupnya, terdiam sebentar dikuasai emosiku, lalu memutar kunci dua kali, setelah itu langsung berjalan ke arah kamarku.
“Ada apa?” Tanya suara Cesc, dia masih tidak menampakkan dirinya, seperti tadi siang. Ingin sekali aku memarahinya, kenapa dia harus menemui Dann segala hari ini? Tapi aku terlalu kalut bahkan hanya untuk memarahinya.
“Keluarlah, aku lelah sekali. Aku ingin tidur” Kataku dingin. Untunglah dia langsung menurut tanpa bertanya macam-macam.
“Oke” Katanya ringan, kemudian suasana dingin itu lenyap. Aku segera naik ke tempat tidurku, menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku, hingga kepala. Aku memejamkan mata, tapi tak kunjung terlelap. Tanpa terasa aku malah menitikkan air mata. Setetes... setetes lagi… setetes lagi dan lebih besar… hingga tak terasa bantalku lembab. Aku menangis tanpa suara, hanya sesekali isakan ringan mengisi heningnya kamarku. Aku benar-benar tak percaya baru saja Dani meragukanku. Itu adalah pertanyaan paling menyakitkan yang pernah aku dengar ‘Bagaimana kalau rasa cintamu padaku tak terlalu besar hingga kau bisa dengan mudahnya jatuh cinta lagi?’ Aku merasakan hatiku teriris sembilu. Semua kenangan-kenanganku bersama Dani berkelebat dikepalaku. Tidakkah semua yang telah kami lalui berdua selama ini cukup? Kemudian aku mendengar tiga kali ketukan ringan dari arah pintu masuk.
“Itu pacarmu” Suara Cesc kembali bergema di kamarku. “Kalian sedang bertengkar?” Tanya Cesc kemudian. Aku keluar dari dalam selimutku. Mengelap sisa air mata dari pipiku.
“Bukan urusanmu” Jawabku sambil berjalan ke arah pintu masuk. Aku berhenti tepat didepan pintu masuk. Ragu apakah sebaikanya aku membukanya atau mengcuhkannya saja? Aku kembali mendengar tiga kali ketukan di benda didepanku.
“Apa yang kau inginkan?” Tanyaku tanpa membuka pintu.
“Carla…” Desahnya. “Bukakan pintunya, kita harus bicara” kata Dani. Aku berpikir sejenak. Kalau tidak dibicarakan sekarang tidak akan lebih baik juga. Akupun memutar kunci, kemudian membukakan pintu untuk Dani. Dani tertegun melihat kedua pipiku yang lembab. Rona menyesal langsung terpahat jelas di wajahnya. Aku bersusaha tetap menatap kedua matanya tanpa menitikkan air mata, namun gagal.
“Kau… Carla… kau menangis?” Dani kelihatan shock mendapati aku menangis. Aku menunduk dan berusaha menghapus air mata dari pipiku. Kemudian Dani menggenggam kedua tanganku dan menyingkirkannya dari wajahku. Mengecup lembut sudut mata kiriku.
“Gara-gara aku?” Desisinya. “Carla… aku minta maaf, Sayang…” Katanya sambil memeluk tubuhku. Bukannya berhenti, tangisanku justru semakin menjadi. Aku heran kenapa penyakit cengengku semakin takkaruan? Dani merengkuh tubuhku dan membawaku ke ruang tengah. Dia mendudukkanku di sofa hijau lumutku yang hangat, kemudian berlutut dihadapanku hingga wajah kami sejajar. Dani kembali memelukku, hangat.
“Maafkan aku, Sayang… tak seharusnya aku mengatakannya… aku percaya padamu, sungguh, aku tak bermaksud meragukanmu” Bisiknya di telingaku. Aku masih terisak ringan.
“Kau tahu aku hanya mencintaimu” Kataku disela-sela tangisanku.
“Aku tahu,” Bisiknya.
“Kenapa kau meragukannya, kau jahat sekali” Isakku.
“Maafkan aku, Sayang… tapi kata-katamu saat makan siang menguasai kepalaku… saat kau mengatakan kau jatuh cinta pada orang lain… itu membuatku kalut,” Jelasnya. Aku melonggarkan pelukannya, mencoba menatap kedua matanya dengan mataku yang lembab. Dani membalas tatapanku. Dani kemudian memegang kedua tanganku, mengecup mesra jari-jemariku. Aku tak tahu gurauanku siang ini masih memengaruhi pikirannya.
“Aku mencintaimu, Carla… dan aku tahu kau mencintaiku. Akupun tak tahu apa yang kupikirkan yang tadi itu…” Katanya. “aku hanya tidak bisa menerima keadaan, bahwa… ada orang lain yang memiliki waktu lebih banyak untukmu” Tangisanku terhenti mendengar pengakuannya. Aku tidak suka dia membanding-bandingkan posisi dirinya dengan orang lain.
“Kau tidak pernah punya teman dekat sebelum ini… tapi lihatlah sekarang, banyak sekali orang-orang yang mengelilingimu, aku sama sekali tidak suka berbagi dengan mereka… aku hanya ingin kau, seutuhnya, untukku” Katanya, kemudian mengecup keningku lembut.
“Maafkan keegoisanku, tapi itulah yang kurasakan” aku tercekat, mengetahui perasaan ingin memilikinya membuat hatiku ringan. Dia begitu jujur mengungkapkan apa yang dia rasakan. Sementara aku? Terlalu banyak yang kututup-tutupi.
Dan di sinilah, orang yang paling aku cintai berlutut di hadapanku dan meminta maaf. “Daniel…” Desahku. “Maafkan aku, harusnya aku memberitahumu lebih banyak tentang teman-temanku” Kataku.
“Tidak, Sayang… aku yang bodoh, ingin menguasaimu sendirian, padahal kau kan juga punya duniamu sendiri. Aku tersadar, hidup ini bukan tentang kau dan aku saja” Bisiknya ditelingaku. “kumohon, maafkan aku… jangan menangis lagi…” aku merengkuh wajahnya lembut, menatap kedua matanya. Mana mungkin tidak memaafkannya? Aku menggigit bibirku.
“Ya, egois betul kau” Desisku.
“Memang. Izinkan aku untuk egois dalam hal ini oke?”
“Dengan satu syarat” Aku menghapus sisa-sisa air mata dari pipiku. Hatiku terasa menggelembung dan seperti akan melopat keluar dari dadaku. Dani merasakan yang kurasakan. Rasa ingin memiliki yang tak berkesudahan.
“Apa syaratmu?” Tanya Dani.
“Aku juga boleh egois terhadapmu”
“Tentu”
“Kau dimaafkan, kalau begitu” Kataku sambil tersenyum. Dani membalas senyumanku
“Terimakasih” Katanya sambil mencium dahiku. “tidak akan ada lagi rahasia tentang teman-temanmu, oke?” Tanya Dani.
“Oke,” Jawabku sambil mengelus pipinya.
***
“Payah” Desah Cesc saat Dani meninggalkan flatku. Aku memintanya menginap malam ini tapi ia bilang besok akan ada rapat mengenai racenya. Dengan berat hati aku membiarkannya pulang.
“Apanya?” Tanyaku sambil berjalan ke arah kamarku.
“Kupikir kalian bertengkar hebat. Kau sampai menangis segala. Maksudku, kalian terlihat seperti tak terpisahkan pagi ini dan bertengkar malam harinya”
“Apa maksudmu?” Aku kemudian menarik selimut dampai sebatas dada.
“Baru saja aku melihat kau menangis karena orang itu, Carla. Kupikir kalian berpisah atau semacamnya, tak sampai setengah jam kau sudah berseri-seri lagi?” Cesc benar, mungkin yang tadi itu konyol, tapi aku—kami memang tidak pernah bertengkar untuk waktu yang lama. Pernah satu kali saat kami bertengkar karena Yvette. Waktu itu Yvette datang menemaninya balapan di Jepang. Bayangkan saja! Mereka hanya berdua! Kupikir semuanya sudah berakhir waktu itu. Seharian penuh Dani tidak menghubungiku. Aku sempat putus asa dan menangis. Tapi ternyata esok harinya Dani datang dan meminta maaf. Seperti yang barusn, mana mungkin aku bisa menolak permintaan maafnya? Dia menjelaskan posisi Yvette dalam keluarganya kepadaku. Dengan sedikit rasa mengganjal akhirnya aku menerima status Yvette yang sudah seperti saudari perempuan di keluarga Dani. Ya, aku ingat betul bagaimana aku membuat Dani panik malam itu karena tangisanku.
“Aku memang cengeng” Jawabku jengkel sambil bangkit dan duduk bersila di tengah kasurku. Hari ini Cesc-ku benar-benar menyebalkan.
“Ya, kau luar biasa cengeng”
“Jadi kau ingin aku berpisah denganya?”
“Hey, aku tidak bilang begitu”
“Kau tahu tidak sih kenapa kami bertengkar malam ini?” Tanyaku jengkel.
“Tidak”
“Gara-gara kau”
“Hah? Memangnya dia tahu tentangku?”
“Ya. Aku terpaksa berbohong pada Dani, kubilang kalau kau tetanggaku. Aku mau tanya, ngapain sih kau harus menemui Dann segala siang ini? Dann terus menerus menyebut namamu dan membuat Dani menanyakanmu!”
“Hanya ingin tahu, apa kau membolos kerja hari ini gara-gara pacarmu atau tidak” Jawabnya enteng.
“Kau tahu, kau membuat Dann berpikir aku ini dibawa kabur orang asing atau semacamnya! Memangnya apa yang kau katakan padanya?” Tanyaku.
“Oh, Dann memang cenderung overreacted sih, aku hanya bilang kau sedang pergi dengan seorang cowok. Tidak tahu mau kemana dan kapan kembali”
“Sudah tahu Dann overreacted, kau malah tidak menjelaskannya dengan detil!” Semprotku.
“Kenapa kau malah memarahiku?”
“Karena kau iseng sekali! Aku jadi bertengkar dengan Daniel gara-gara dia menyangka aku sudah berselingkuh!”
“Dia mengira aku ini pacar gelapmu? Dia sudah gila! Eh, dia tidak tahu kalau aku ini bukan manusia kan?”
“Tentu saja! Aku tidak berani membayangkan ekspresinya kalau dia tahu aku tinggal bersama hantu! Aku hanya bilang kau tetanggaku” Suasana hening mencekam. Apa aku salah bicara?
“Tetangga ya?” Desisnya tak suka.
“Aku kan tidak mungkin bilang kita tinggal bersama. Hey, memangnya kau masih belum bisa menampakkan diri ya? Aku bosan bicara sendirian begini”
“Belum bisa, kecuali kau ingin melihatku transparan seperti Darren?” Tawarnya.
“Lebih baik dari pada aku bicara sendiri. Muncullah, please” Pintaku. Angin dingin berhembus pelan membelai wajahku. Dan… harum. Aku mengendus, menghirup banyak-banyak udara di sekitarku, memastikan wangi apa yang baru saja aku cium. Wanginya seperti… sirup maple. Manis, aromanya khas dan menyenangkan. Tapi bagaimana mungkin kamarku mendadak wangi manis begini?
“Ya ampun…” Desahku saat sosok indahnya muncul dihadapanku. Dan benar saja, dia tembus pandang. “kau benar-benar persis Darren” Wajah pucatnya bersinar redup. Seluruh tubuhnya berpendar ringan, indah sekali. Rambutnya, wajahnya, tubuhnya… bernuansa hitam, putih dan putih pucat. Seperti sedang menonton tayangan Televisi dua warna. Matanya yang biasanya berwarna merah gelap, kini nampak hitam legam—sempurna. Momen ini persis saat pertemuan pertama kami. Sekali lagi aku dibuatnya terpana oleh keindahan dirinya yang tidak manusiawi.
“Kenapa melihatku seperti itu? Aku parah ya?” Tanya Cesc. Dia menyadari pandangan mataku yang memang agak kelewatan.
“Tidak kok, kau baik-baik saja” Jawabku sambil menelan ludah. Kau sempurna. Hampir saja aku mengatakannya. Aku kembali membaringkan tubuhku. Cesc bergerak maju dan membaringkan dirinya disampingku. Aura dingin meresap di antara selimutku. Nyamannya. Aku tidak akan butuh A.C. saat musim panas. Dan wangi manis sirup maple itu tercium lagi olehku.
“Kenapa kau jadi… wangi begini?” Tanyaku sambil menenglengkan kepala untuk menatap kedua matanya yang hitam legam. Wajah transparannya yang berpendar ringan dengan indahnya. Sekarang aku tahu sumber wangi maple ini. Bibirnya membentuk senyuman sekilas yang manis—semanis wanginya.
“Wangi auraku mungkin…” Jawabnya ragu-ragu. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Memangnya wangi apa yang tercium oleh indera manusiamu ini?” Tanya Cesc sambil menyentuh ujung hidungku dengan jari telunjuknya. Tidak ada tekanan sama sekali. Hanya angin dingin yang berputar di sekitar hidungku. Aku memusatkan pikiranku, menjauhkan pesonanya untuk menjawab pertanyaannya barusan.
“Seperti… sirup maple, manis sekali. Aku sampai bisa merasakan manisnya dengan lidahku,” Jawabku sambil terkekeh. Cesc tersenyum.
“Kau manusia pertama yang merasakan auraku” Katanya lembut.
“Memangnya Dann dan Math tidak?” Tanyaku.
“Mereka bukan manusia, dalam pandanganku”
“Bagiku mereka manusia” Jawabku. Cesc kembali tersenyum. Ujung jari telunjuknya menelusuri dahi dan tulang pipiku. Dari alis, ke pelipis, terus turun ke tulang pipiku, hingga ke daguku, kemudian kembali lagi naik ke arah alisku. Angin dinginnya berhembus lembut di sekitar wajahku. Nyaman. Dia seperti sedang meninabobokan aku. Aku jadi mengantuk. Rasa jengkelku padanya lenyap tak berbekas. Dan wangi manis yang merebak di udara…
“Kau membuatku ngantuk,” Desahku, kemudian aku menguap.
“Memang sudah malam, kan? Kau ingin aku berhenti menyentuhmu?” Tanya Cesc dengan lembut, nyaris seperti bisikan.
“Jangan… aku suka,” Gumamku. Rasa kantukku kian menumpuk, aku makin tak kuasa menahan beratnya kelopak mataku.
“Tidurlah yang nyenyak, mimpilah yang indah-indah” Bisik Cesc. Tak perlu diperintahkan aku pun langsung terlelap. Dan aku memang bermimpi. Tapi aku tidak bisa menggoloangkannya sebagai mimpi indah atau bukan. Ada Cesc. Faktor inilah yang membuatku menggolongkan ini sebagai mimpi indah. Tapi suasana sekitarnya yang mencekam dan tekanan aneh yang terasa menusuk-nusk tulang punggung membuatku berpikir sebaliknya.
:tbc:
Oh My Gosh... Cesc, You're so... *ga bisa berkata-kata lagi*
BalasHapusLanjutin!!! gue penasaran ama mimpi-mimpinyaa!!
aww tengkyuu banget udah read and review
BalasHapus:">