Sendirian
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menghilangkan selubung perak dari mataku. Aku menolehkan wajah ke arah jam dinding. Pukul setengah sembilan. Aku tak pernah bangun jam segini, ingatku. Ini pasti gara-gara semalam, setelah pulang dari kedai--lembur pertamaku. Aku sampai di flat pukul sebelas malam, gara-gara pertandingan sepakbola sialan itu. Bagaimama tidak? Pertandingan itu sia-sia menurutku, karena hasilnya imbang, kosong-kosong untuk kedua tim. Setelah pulang pun aku tidak bisa langsung tidur nyenyak. Aku berulang kali memeriksa saluran air dan gas, mengecek kunci pintu dan jendela dan menutup semua stop kontak yang ada. Akt benar-benar melakukannya berulang kali. Aku tidak akan membiarkan Cesc mendapati flat kami hanya berupa serpihan puing gosong dan abu saat dia pulang nanti. Ditambah dengan cerita Dann tentang penghianatan salah seorang Pembersih membuat tidurku dipenuhi mimpi-mimpi aneh. Dalam mimpiku, aku melihat sekelompok orang menggunakan jubah hitam panjang berkerudung. Berjalan di padang rumput gelap... ada Cesc disana. Ada semuanya, mungkin lebih tepat. Ada Dann, Math, Darren dan Dween juga. Semuanya menatapku cemas, terutama Cesc.
'Pergi, Carla' Perintahnya dengan lirih. Setelah itu aku terbangun.
Aku masih mengantuk. Tapi aku terus berjalan ke dapur. Aku memandang sudut ruangan, tempat Cesc biasanya muncul. Dia tidak ada.
Aku kemudian menuang segelar susu yang aku ambil dari lemari es, meneguknya banyak-banyak. Dinginnya susu langsung merembes masuk ke dalam tubuhku. Ugh! Harusnya kupanaskan dulu sebentar. Aku jadi sakit perut dibuatnya.
Setelah menyelesaikan masalah dengan perutku, aku segera mandi dan bersiap pergi kuliah. Hari Senin. Hari yang dibenci banyak orang--dengan alasan yang tentunya berbeda. Aku juga sering kali kehilangan mood di hari Senin. Aku menjepit-jepit rambutku seadanya, tidak bisa dibilang rapih, tapi lumayan untuk hari yang menyebalkan. Aku menemukan surat tergeletak di depan pintu masuk saat hendaj membuka kuncinya. Sepertinya ada yang memasukannya dari lubang surat di pintu tadi malam. Kubolak-balik amplop biru tua itu, tapi tak kutemukan nama pengirimnya.
Kuputuskan untuk langsung membukanya saja. Kurobek sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas di dalamnya. Dan ada sebuah benda hitam dengan kilau keperakan jatuh berdenting dengan nyaring saat aku mengeluarkan kertasnya. Aku memungutnya. Eh? Ini kan...
Aku tersentak kaget mendapati benda itu adalah sebuah kunci, dengan logo VW besar terukir keperakan di tengah kepala kuncinya. Aku membolak-balik kunci itu dan tersadar. Dengan tergesa-gesa segera aku membuka kertas yang terlipat dua dan membaca surat yang tertulis dengan tulisan tangan yang kukenali di tengahnya.
Aku sudah bilang padamu mobilnya akan datang satu minggu lagi, tapi ternyata prosesnya tak sesulit yang kubayangkan. Aku sudah membuatkanmu SIM sekalian, mungkin akan dikirim besok pagi--kurasa. Cobalah berjalan-jalan sebentar, sudah lumayan lama kau tidak menyetir kan? Lakukanlah di sekitar flatmu saja, ok?
Aku mencintaimu,
D
Ini tulisan tangan Daniel. Aku mengenalnya dengan baik. Dan kunci ini tentu saja...
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengunci pintu flatku dan berlari menuruni tangga. Dan benar saja. Sebuah mobil terparkir dengan indahnya didepan tembok pagar gedung flat. Aku terbengong-bengong melihat kilauannya yang diterpa sinar matahari. Warnanya biru--khas sekali, aku tahu warna pilihan Dani tak mungkin jauh dari silver dan biru.
Aku memandangi lagi suratnya yang masih kugenggam dengan erat di tanganku saking syoknya. 'Aku sudah membuatkanmu SIM sekalian, mungkin akan dikirim besok pagi--kurasa'
Bagaimana mungkin dia membuatkan aku SIM? Aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran. Hanya dua hari, dengan hanya dua hari dia mengirimkan aku ini?
Dia bahkan--yang aku tidak tahu bagaimana caranya, membuatkan aku SIM-nya 'sekalian'!
Aku langsung merogoh ke dalam tas, mencari-cari handphoneku. Secepat kilat men-dial nomor handphone Dani.
"Halo?" Suaranya malas-malasan. Sepertinya dia masih tidur saat handphonenya berdering.
"Daniel!" Sambarku. Aku mendengar suara bergeletak. Aku yakin dia baru saja menjatuhkan handphonenya karena kaget. Seperempat detik kemudian dia mulai bicara.
"Carla? A-ada apa?" Tanya Dani.
"Bagaimana kau bisa membuatkan aku SIM?! Jangan bilang kau menyuap pegawai kepolisian!" Aku langsung menghakiminya.
"Aku tidak berbuat curang, Carla! Aku menggunakan data-data dari SIM lamamu" Dani menjelaskan.
"Oh, Daniel, aku tidak bodoh! SIM seharusnya dibuat oleh orang yang bersangkutan, bukan dibuat orang lain dengan alasan 'sekalian'! Ini melanggar hukum!" Aku makin marah. Aku yakin wajahku pasti jelek sekali saat ini.
"Astaga Carla, dengar dulu" Pintanya. Aku menghembuskan napas keras-keras. Suasana hening sesaat. Tapi jelas aku masih marah. Bagaimana mungkin dia melanggar hukum dengam alasan 'sekalian'? Yang benar saja!
“Aku minta maaf kalau caraku salah dimatamu, aku memang seharusnya memberi tahumu terlebih dahulu—aku lupa kau sangat… well, tapi, aku tidak mungkin melanggar hukum dengan sengaja, kau tahu itu. Aku menggunakan data-data orisinil yang aku dapatkan dari rumahmu, aku sama sekali tidak memalsukan atau semacamnya. SIM-mu—SIM Spanyol-mu masih berlaku sampai detik ini bahkan sampai tahun depan, itulah sebabnya mengapa prosesnya sangat cepat, mereka tidak membutuhkan datamu secara langsung karena memang kau sudah punya data-data itu” Dani menjelaskannya dengan perlahan dan lembut. Dia sama sekali tenang. Aku mungkin harus banyak belajar pengendalian diri darinya.
“Oh,” Aku bergumam pelan. Hatiku yang panas seolah tersiram semangkuk es krim. “Maaf, kalau begitu. Aku tidak tahu kalau… SIM-ku bisa digunakan” Suaraku serak.
“Tidak apa-apa, Carla. Seperti yang aku katakana tadi, harusnya aku bilang dulu padamu. Yah, tapi mungkin karena aku memang ingin sekali membereskan semua urusan itu sendirian…” aku merasa malu sekali. Aku benar-benar keterlaluan. Dani sudah mengurus semuanya untukku, bahkan ditengah-tengah jadwal balapnya, tapi apa yang aku lakukan? Membentaknya? Marah-marah lewat telepon saat dia bahkan baru bangun tidur. Kalau saja ada lubang menganga di depanku,.Ingin sekali aku mengubur diriku dalam-dalam dan menangis sejadi-jadinya, meratapi sikapku yang benar-benar tidak pantas untuknya. Aku benci hari Senin. Aku benci diriku sendiri.
“Terimakasih Dani,” Aku merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku. Untunglah suaraku masih terdengar normal. Aku berdeham beberapa kali untuk memastikan suaraku masih cukup layak untuk bicara dengannya.
“Tidak perlu, aku senang kau mau menerimanya” Katanya lembut. Kata-katanya yang selembut satin malah membuatku terpuruk. Aku merapatkan handphone itu ke dadaku, mencegahnya mendengar isakkanku. Aku berusaha mengendalikan tangisanku tapi gagal. Aku tidak mau ia mendengar tangisan bodohku, dan akupun memutus teleponnya. Kenapa aku jadi semakin cengeng dari waktu ke waktu? Dani mencoba menghubungi aku lagi namun tidak ku angkat. Aku masih sibuk meredakan tangisanku sendiri. Setelah yang ke tujuh kali ia meneleponku, aku memutuskan untuk mengiriminya pesan singkat.
‘Maaf, sinyalnya jelek sekali. Akan kuhubungi kau nanti’
Aku berbohong. Aku tidak berhasil menemukan kata-kata lainnya, maka ku tekan tombol SEND. Belum dua menit aku sudah mendapat balasannya.
‘Oh, tidak apa. Hubungi aku segera saat kau senggang. Kuharap kau tidak marah padaku. Aku mencintaimu’
Aku tidak membalas pesannya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku buru-buru menyeka air mataku yang berlinangan di pipi. Melangkah, menjejakkan kaki ke arah halte bus. Berharap dan berusaha agar di setiap langkah aku dapat membenahi suasana hatiku. Tidak sekalipun terpikir olehku untuk mengendarai VW itu tanpa SIM. Aku benar-benar kehilangan mood hari ini. Tapi itu bukan alasan bagus untukku membolos kuliah.
***
Aku turun di halte dekat Toserba di Ashburton siang hari setelah kuliah. Mendapati toko sedang tutup. Mengapa mereka menutup toko? Mendadak aku teringat Mathieu sedang pergi bersama Cesc dan yang lainnya ke Hungaria. Tapi, bagaimana dengan Abbey—teman baruku? Juga Danniene? Mereka kan tidak ikut pergi. Maksudku, setidaknya Dann memberitakuku dulu kalau memeng toko tutup hari ini. Aku mengambil handphoneku dari saku. Mungkin aku bisa menelepon Danniene dan menanyakan tentang toko yang tutup. Sudah sejak pagi aku tidak memeriksa handphoneku, karena aku mangaktifkan modus silent selama di kampus. Dan benar saja, ada empat puluh panggilan tak terjawab. Semuanya dari Dani. Apakah dia pikir aku sedang marah padanya? Yang seharusnya marah kan dia?
Aku kemudian membuka inbox-ku. Lebih parah, enam puluh dua pesan masuk. Semua pesan dari Dani kecuali satu. Ada satu dari Abbey.
‘Hari ini Dann tidak membuka toko, dia bilang ada keperluan’
Sangat pendek dan jelas. Aku yakin Abbey tidak berkirim pesan pendek dengan banyak orang. Aku kemudian mengetik balasannya Dann ada urusan? Mendadak pikiran konyol mengelitik otak-bagian-yang-berpikir-konyol-ku. Mungkin dia sedang berbelanja keperluan sihir dengan para penyihir-penyihir lainnya.
‘Terimakasih beritanya’. Walaupun aku sudah terlanjur sampai di sini, tapi tidak ada salahnya menghargai info darinya. Hari ini memang benar-benar menyebalkan. Tadi pagi aku memarahi Dani, terisak sepanjang jalan menuju kampus. Di kelaspun aku tidak bisa konsentrasi, dan sekarang? Aku bahkan tidak bisa menemui satu-satunya teman yang aku punya. Aku merasa ada seseorang yang mengutukku hari ini.
Aku kemudian membuka pesan-pesan dari Dani. Isinya kebanyakan sama;
‘Carla, kau sedang senggang sekarang? Kalau ya, hubungi aku’
‘Carla, bisa hubungi aku sekarang?’
‘Kenapa kau tidak mengengkat teleponku?’
‘Carla, beri tahu aku kau tidak marah’
‘Kau tidak marah padaku kan? Angkat teleponku kalau ya’
‘Oh, Carla! Kau mulai membuatku gila!’
Aku terkikik membaca pesan-pesannya. Sepuluh pesan terakhir kosong. Aku yakin dia frustasi berat karena tidak bisa menghubungiku hingga mengirim pesan-pesan kosong begitu. Sambil menunggu bus di halte aku men-dial nomornya. Belum sampai bunyi ‘ttuuuutt’ selesai berdengung satu kali, ia sudah mengangkat teleponnya.
“Oh, Carla!” Dia mendesis di ujung sambungan.
“Sudah ku bilang kan sinyalnya jelek?” Kataku.
“Kau hampir membuatku gila! Sekarang katakan padaku, kau memang sedang marah padaku kan? Jangan pernah berbohong tentang sinyal! London tidak pernah kehilangan sinyal sedetikpun!” Dani tahu aku berbohong.
“Aku tidak marah padamu! Aku hanya marah pada diriku sendiri,” Kataku. Aku mengakuinya. Aku memang marah pada diriku sendiri. Apa-apaan aku ini, tidak bisa mengendalikan diri, tidak berpikir jernih padahal hari masih pagi. Ditambah lagi, akhir-akhir ini aku luar biasa cengeng. Menagisi banyak hal, terutama kebodohanku dalam bersikap. Lama-lama aku bisa gila. Atau mungkin memang aku sudah benar-banar gila?
“Kenapa?” Tanya Dani.
“Tidak apa-apa, jangan dipikirkan, moodku hari ini jelek sekali… tunggu dulu! Kau harusnya kan sedang…” Daniel memotong kata-kataku.
“Tiga puluh menit lagi, kurasa” Jawabnya. Dia tahu aku bermaksud menanyakan balapnya. Aku tadi bermaksud menyaksikan balapnya dari TV di kedai, tapi ternyata kedai berikut toserbanya tutup.
“Kau harusnya bersiap-siap! Aku bersumpah tidak akan pernah menonton balapmu lagi kalau gara-gara telepon ini kau di-diskualifikasi!” Ancamku.
“Jadi kau benar tidak marah kan?” Tanya Dani.
“Aku tidak sama sekali” Jawabku penuh keyakinan.
“Oh, baiklah. Saksikan aku baik-baik, jangan katinggalan sedetikpun!” kemudian Dani memutus teleponnya. Aku mendesah pasrah. Tak lama kemudian bus datang, membawaku kembali ke flat.
Aku sampai di flat empat puluh lima menit berikutnya, mengunci kembali pintu masuk dan segera menuju ruang tengah untuk menyalakan TV. Memindahkan Channelnya ke Star Sport. Balapnya sudah mulai—tentu saja. Aku menjelajahi seluruh sisi layar, mencari sesosok tercintaku. Itu dia! Di urutan ke dua, motor biru mengilapnya sangat mudah dikenali. Lap ke sembilan. Aku menyaksikannya dengan saksama. Hampir tak berkedip. Dani meliukkan tubuhnya saat membelokkan motornya di sebuah tikungan tajam. Aku mengernyit ngeri melihatnya. Jujur saja, aku tidak terlalu menyukai balapan. Apa lagi balapan sepeda motor. Walaupun Dani memang terlihat sangat… menakjubkan saat sedang dalam balutan racing suit, tetap saja aku bergidik ngeri saat ia mulai melakukan manuver-manuvernya untuk meng-over take lawan. Alhasil, aku bisa dibilang lebih sering mendoakan agar ia tidak terjatuh dari motornya dan cedera dibanding mendoakannya memenangi sebuah race. Aku tahu pasti dia akan menertawakan aku karena sikapku yang over ini. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku lebih memilih berdoa agar dia bisa finish dengan selamat dibanding berdoa agar dia segera mengambil alih pimpinan lomba.
Lap sudah memasuki angkan dua belas, sudah separuh jalan. Tinggal dua belas setengah lap lagi. Oh, ya Tuhan, mengapa mereka menentukan banyak sekali lap! Dani masih di posisi ke dua, dan masih berupaya setengah mati untuk menyalip si motor berwarna hitam. Apa yang dia pikirkan sih? Posisi dua menurutku bukan pencapaian yang buruk! Berhentilah mempermainkan jantungku dan tetaplah menjalankan motor itu dengan layak! Kalau dia bisa menjawab, aku yakin dia pasti akan menjawab: ‘mengapa kau harus puas ada di posisi dua, padahal kau bisa jadi yang terdepan?’ yah, terserah saja dia mau bilang apa. Dasar maniak. Aku kembali menyaksikan balap dan jantungku berdenyut aneh setiap kali tikungan sempit—yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk Dani dan lawannya, sehingga jarak motor mereka terlampau dekat sampai terlihat bersentuhan. Jangan sampai mereka benar-benar besenggolan!
Pada dua lap terakhir Dani berhasil merangsek ke posisi terdepan. Entah harus kusyukuri atau tidak. Yah, paling tidak, itu hasil jerih payahnya. Kemenagan yang manis. Aku ikut tersenyum puas saat motor biru mengilapnya—yang mengingatkan aku pada si-VW baruku di bawah sana, menjejakkan bannya lebih dulu, kemudian selang dua detik diikuti si motor hitam. Dani melambai-lambai pada setiap sudut tribun penonton yang ikut bersorak dan bertepuk tangan untuknya. Walaupun ia masih memakai helm, aku tahu ia sedang tertawa puas. Setelah ini dia masih akan melakukan prosesi podium—serah terima piala, kemudian pers coference. Jadi kuputuskan untuk mengiriminya pesan singkat saja dibanding meneleponnya. Aku tahu dia pasti akan langsung meneleponku setelah membaca pesanku.
‘Selamat! Berjuang sampai akhir eh? Kau membuat jantungku bekerja ekstra! Tapi, tak apa, aku turut senang, setidaknya kau selamat sampai finish. Selamat sekali lagi, race yang menegangkan. Aku mencintaimu’
setelah menekan tombol SEND aku kembali terpaku pada layar TV. Melihat Dani sedang berpelukan dengan Mr Puig, lalu degan para staff mekaniknya. Kemudian dia membuka helmnya, rambutnya basah karena keringat tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan. Aku tahu dia pasti terlalu senang untuk merasa lelah. Setelah itu layar beralih ke podium. Serah terima piala dilakukan setelah memperdengarkan lagu kebangsaan sang juara, Spain’s Anthem—lagu kebangsaanku juga, diikuti dengan wine celebration. Saling semprot menyepmrotkan sampagne dari botol besarnya. Gambar close-up wajah Daniel hampir mengisi seluruh durasi sesi podium sampai pers conference. Aku yakin para penggemarnya yang ada di seluruh dunia sedang menjerit histeris karena bisa menyaksikan seluk beluk wajah Dani. Aku cukup bahagia ternyata cowok tampan yang wajahnya memenuhi layar TV itu adalah milikku. Kemudian acaranya berakhir setelah seluruh top three selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan seputar balap yang baru saja berlangsung. Dan benar saja, tak sampai lima menit, handphoneku berdering. Daniel.
“Hey!” Sapaku.
“Carla, terimakasih ucapannya. Aku senang sekali… dan tentu saja aku juga mencintaimu, Sayang” Katanya. Aura kebahagiaan jelas sekali tegambar dari suaranya.
“Tidak perlu berterimakasih segala, cepatlah berkemas dan kembalilah ke London secepat yang kau bisa” Pintaku. Tak tahan lagi rasanya aku melihat dia cengar-cengir di layar TV.
“Memaksaku nih?” Tantang Dani.
“Oh, well. Aku cuma ingin memastikan yang aku lihat di TV tadi, yang tebar-tebar pesona itu memang kau” Ledekku.
“Kau bilang aku apa?” Tanya Dani.
“Kau tebar-tebar pesona” Jawabku jengkel. Terus terang saja, aku tidak suka ia menyebarkan senyuman indahnya itu kepada orang lain. Egois betul aku.
“Haha, apa aku terlihat begitu? Memangnya apa yang seharusnya aku lakukan? Menangis? Kurasa aku akan kehilangan lebih dari separuh fans fanatikku kalau aku melakukannya” Katanya enteng. Seolah-olah kehilangan separuh fansnya bukan masalah.
“Yeah, kau benar, fansmu akan menganggapmu sinting kalau kau malah menangis bukannya tersenyum” Ledekku. “Dan aku yakin fansmu malah akan jadi anti-Dani karena kau cengeng. Maksudku, cewek kan tidak suka melihat cowok yang cengeng” Aku melanjutkan sepenuh hati. Senang sekali meledeknya saat suasanan hatinya sedang bagus begini.
“Oh, kau mulai meledekku… lihat saja pembalasanku nanti saat aku kembali ke London” Ancam Dani.
“Kutunggu,” Kataku penuh kebahagiaan. Kami tertawa bersama-sama.a
“Baiklah. Carla, aku masih harus melakukan banyak hal, jadi… bisa kita lanjutkan nanti?” Tanya Dani ragu-ragu. Aku tahu ia sebenarnya tidak ingin memutus teleponnya, sama sepertiku.
“Oh, tentu saja,” Jawabku segera.
“Sampai bertemu di London, kalau begitu,” Kata Dani kemudian.
“Yeah, sampai nanti” Sahutku. Aku senang sebentar lagi dia akan pulang.
“Aku mencintaimu, Sayang” Kata Daniel selembut satin.
“Aku juga” Jawabku kemudian. Menekan tombol END.
Malam itu aku tidur lebih cepat. Well, setelah benar-benar yakin aku sudah menutup saluran gas dan segala macam-macam yang lainnya, akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Tidak bisa dikatakan seratus persen nyenyak sih, karena aku bermimpi, mimpi aneh seperti malam pertemuan hantu lalu.
Aku melihatnya, Cesc berdiri ditengah padang rumput gelap. Wajahnya luar biasa tampan seperti biasa, namun ekspresinya tak dapat kubaca. Kali ini dia tak mengatakan apa-apa. Tapi sejurus kemudan dia lenyap tak berbekas. Aku panik dan memutar tubuhku, mencarinya di kegelapan padang rumput yang serasa tak berbatas. Tapi bukan Cesc yang kutemukan, melainkan tiga sosok berjubah hitam panjang berkerudung. Aku tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup kerudung. Tapi entah mengapa aku merasakan bahwa mereka akan menyerangku—walaupun aku sama sekali tidak tahu serangan seperti apa yang mungkin mereka lakukan. Tapi batinku mengatakan bahwa aku harus menyingkir dari hadapan mereka. Entah untuk alasan apa, aku merasa takut pada ketiga sosok itu. Persis saat ketakutan mulai merambati seluruh tubuhku, aku mendengar Cesc berbicara kepadaku. Atau lebih tepatnya memerintah.
‘Pergi Carla!’ desisnya. Aku terkesiap dan kemudian aku terbangun. Membuka mata lebar-lebar. Peluh bercucuran di tubuhku. Tadi itu… nyata sekali. Aku menyeka titik-titik air di dahiku. Ini kali kedua aku memimpikan Cesc. Latar tempatnya sama. Aku mengingatnya dengan jelas. Padang rumput gelap, wajah rupawannya dan… ketiga sosok misterius berjubah dan berkerudung hitam panjang. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku mulai bisa mengendalikan diriku selepas mimpi aneh barusan. Aku bangkit dari tempat tidurku dengan malas-malasan. Berjalan perlahan ke dapur, membasuh wajahku di bak cuci piring. Segar sekali raasanya. Aku kemudian mengambil dua buah telur dari dalam lemari es. Sarapan hari ini telur cepok saja lah.
Aku menatap sudut dapur saat mulai mengunyah telur goreng buatanku. Dia belum kembali. Ini hari ke dua. Dia bilang padaku hanya akan pergi selama satu sampai dua hari. Kapan tepatnya dua hari dari kepergiannya waktu itu? Aku mulai merasa kesepian. Rasanya ada yang kurang. Tidak ada aura dingin menyelimuti dapur. Tidak ada sapaan saat aku berjalan ke dapur di pagi hari. Tidak ada wajah tampannya. Aku menghela napas dan menghabiskan potongan terrakhir telur gorengku. Aku bergegas mandi dan berpakaian. Aku hanya ada satu kelas di hari Selasa, itu berarti setelah aku pulang kuliah, aku bisa langsung mencuci pakaian. Setelah itu baru kembalu lagi ke kedai untuk bekerja. Aku mengatur jadwal kegiatanku hari ini. Dan sekali lagi, aku menemukan amplop di bawah pintu masuk. Tidak ada surat. Hanya SIM-ku. Yak, bagus, itu berarti aku sudah bisa menggunakan Si-VW, yang berarti menghemat waktu perjalanan. Aku berjalan ke arah Si-VW biru mengilap, manjejalkan kuncinya dan men-sterter mesin. Suara mesinnya menderu tapi halus. Khas mobil-mobil keluaran anyar. Aku merogoh handphoneku dari dalam tas. Ucapan terimakasih kurasa perlu. Ingat kan? Aku harus mulai belajar berperilaku baik dan mengendalikan emosi.
‘Aku sudah terima SIM-nya, terimakasih.’ Aku tidak tahu sekarang Dani masih di Perancis atau malah sudah sampai London. Tapi kan balapnya baru kemarin, jadi kurasa dia masih di Perancis.
“Wah, jadi VW biru itu milikmu ya, Nak!” Kata seorang pria paruh baya dari atas beranda sebuah kamar di lantai dua. Aku tidak mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu ada orang lain yang tinggal di gedung ini, karena tempatnya memang sepi sekali. Aku mencoba bersikap ramah.
“Yeah, sebenarnya aku tidak terlalu suka warna biru sih” Jawabku.
“Biru bagus, omong-omong, aku tidak tahu ada anak orang kaya yang tinggal di tempat ini” Kata pria itu sambil memandang wajahku lekat-lekat. Aku heran apakah dia bisa membedakan wajah orang kaya dan yang bukan.
“Aku bukan anak orang kaya, tenang saja, ini bukan barang curian kok, ini hadiah” Jawabku saat menyadari spertinya pria itu tidak menemukan ‘wajah orang kaya’ dariku. Aku tertawa geli dalam hati.
“Oh well, itu berarti yang memberimu hadiahlah yang orang kaya—kaya banget memberikan VW pada orang lain. Aku benar-benar tidak mengerti pikiran orang kaya…” Gumamnya sambil kembali masuk ke kamarnya. Aku terkikik geli dan masuk ke dalam kabin VW yang nyaman, mulai mengoper gigi tanpa ragu. Karena mobil ini mudah sekali dikendarai ternyata. Aku jadi teringat Volvo tua milik ayahku. Mobil pertamaku. Aku melirik meteran bahan bakar dan ternyata full. Aku tiba di kampus sepuluh menit lebih awal. Tahu begini harusnya aku datang agak siang saja, menyadari tatapan-tatapan banyak orang saat aku memarkirkan mobil ini dengan mulus. Hebat juga aku, kupikir aku sudah lupa bagaimana caranya memarkir kendaraan. Aku kenal sebagian orang yang menatapku di tempat parkir, teman-teman sekelasku. Sepertinya mereka kaget, aku yang biasanya datang dan pulang dengan bus tiba-tiba membawa sebuah VW biru mengilap. Hah, dasar anak-anak orang kaya yang sok pintar. Mungkin aku harus lebih sering berterima kasih pada Dani, karena dengan begini setidaknya aku bisa sedikit pamer pada mereka.
Kelas berlalu tanpa masalah, wlaupun ada sebagian anak yang bisik-bisik di belakangku. Sepertinya mereka mendebatkan bagaimana mungkin seorang anak yang masuk kampus ini dengan jalan bea siswa sepertiku—yang biasa datang dan pergi dengan bus bisa mengendarai VW Golf R32 seharga dua puluh lima ribu pounds. Aku hampir saja tertawa saat salah seorang dari mereka menyimpulkan bahwa aku sebenarnya anak orang kaya yang pura-pura sederhana—seperti sebuah drama seri TV. Dan ada lagi yang mengatakan itu pasti mobil pinjaman. Oh, terserahlah. Aku jadi penasaran bagaimana ekspresi mereka kalau saja mobil yang dibelikan Dani untukku adalah sebuah Porsche. Mungkinkah mereka akan melompat dari gedung kampus saking shocknya? Kuharap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar