"Apa dia akan baik-baik saja?" Tanya Amarilis khawatir. Saat ini Amarilis, Master Zaida dan Suri yang masih tak sadarkan diri sedang berada di flat yang disewa Amarilis saat pertama kali datang ke kota ini bersama Suri.
"Kuharap... dia terlalu banyak mendapatkan mantera jahat" Jawab Master Zaida. Tentu bukan jawaban yang diharapkan Amarilis. Ia mengerutkan dahinya menatap sahabat yang sangat dikasihinya terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya luar biasa pucat dan bibirnya membiru. Saat itu Suri memang terlihat seperti orang yang sudah meninggal.
Master Zaida mengeluarkan berbagai macam botol dari dalam tas yang dibawanya dengan mantera pengecil benda. Ia membuka botol besar yang terbuat dari kristal dan berisi cairan berwarna kebiruan dan meminumkannya pada Suri. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin ditanyakan Amarilis pada Master Zaida, mulai dari bagaimana ia bisa bersama mereka di tempat ini, sampai mengenai penyihir aneh yang baru saja dihadapinya hari ini. Tapi rasa cemasnya terhadap Suri menghapus semuanya.
"Ini" Kata Master Zaida sambil memberikan Amarilis sebuah botol kaca seukuran ibu jari.
"Apa ini?" Tanya Amarilis sambil memandangi botol kaca bening yang memperlihatkan larutan di dalamnya. Larutan itu berwarna merah semerah darah.
"Minum, dan kau akan tahu" Jawab Master Zaida. Amarilis menatap Master Zaida dengan keragu-raguan. "yaampun nah, aku tak akan meracunimu"
Amarilis membuka penutup botol itu dan mengendus mulut botolnya, memastikan kalau cairan itu bukan darah.
Ternyata mdmang bukan. Aromanya seperti herbal... lucretia... atau apa ya?
Dengan sedikit keragu-raguan tersisa, Amarilis akhirnya menenggak larutan itu. Dengan sekali teguk, cairan berwarna merah darah itu langsung meluncur ke dalam kerongkongannya.
Rasanya aneh... agak masam dan... hangat...
Amarilis memekik seketika saat rasa hangat di lehernya yang ditimbulkan larutan itu berubah menjadi semakin hangat dan perlahan panas. Panasnya lalu menjalar ke dadanya dan ke perutnya. Rasa hangatnya kini hilang sama sekali, digantikan oleh rasa panas yang luar biasa membakar organ dalam tubuhnya. Wajahnya mengejang, rahangnya tegang menahan sakit. Air mata merebak seketika. Keringat mulai meluncur di wajahnya.
Ia menjatuhkan botol itu ke lantai, membiarkannya bergemelutuk dan menggelinding di lantai. Lengan-lengannya begetar hebat.
"Sa...kit..." Ucapnya dengan suara parau. Air mata semakin menggenang, membuat pandangannya semakin tak jelas.
"Sedikit sakit memang. Bertahanlah," Jawab Master Zaida.
'Sedikit' katanya?! Pekik Amarilis dalam kepalanya. Ia bahkan merasa ada asap merembes keluar dari dalam tubuhnya.
Amarilis menjatuhkan tubuhnya ke lantai saat rasa panasnya mulai menjalar ke lengan-lengannya, ke kaki-kakinya, dan terakhir ke kepalanya. Ia berharap dinginnya lantai dapat sedikit mengurangi rasa panas di tubuhnya. Tarikan napas Amarilis semakin berat dan tidak beraturan. Kepalanya terasa mendidih. Lehernya yang terbakar tak memungkinkannya untuk berteriak melampiaskan rasa sakit yang dideritanya. Entah sejak kapan tepatnya ia tak sadarkan diri.
***
"Bangun! Amarilis!" Seru Master Zaida. Tepukan ringannya di pipi Amarilis mengumpulkan perlahan kesadaran Amarilis yang sempat mengilang.
"Mas...ter?" Suara Amarilis masih serak dan tenggorokannya memang terasa sakit. Rasa panas membakar itu seolah tak pernah ada, tapi tubuhnya terasa sakit, seperti habis berolah raga berat tanpa pemanasan.
Ia memerhatikan sekitarnya. Ia masih di flat itu.
"SURI!" Serunya, yang terbayangkan pertama kali olehnya adalah Suri. Seketika Amarilis bangkit dan mendapati Suri, masih sama seperti saat sebelum ia pingsan tadi.
"Sssshhh!! Jangan ribut! Dia sudah melewati masa kritisnya. Suri memang terlihat tak sepucat tadi. Pipinya tak lagi seputih kapur dan bibirnya merona. Amarilis menghela napas lega melihatnya.
"Berapa lama aku...?" Tanya Amarilis sambil memegangi kepalanya yang masih terasa aneh. Ia mendapati lengan bajunya jadi jauh lebih panjang dari sebelumnya. Lengannya juga terasa... begitu kecil?
"Tidak lama, paling tidak dua jam" Jawab Master Zaida santai.
Amarilis melihat ke arah kakinya. Pakaian yang ia kenakan benar-benar kebesaran. Semuanya.
Dengan segera ia menyadari apa yang terjadi. Ia langsung berlari ke arah cermin dan mendapati ia telah kembali ke tubuh aslinya. Anak-anak.
"Mustahil!" Serunya melihat wajahnya kembali jadi wajahnya yang dulu. Rambutnya, tinggi tubuhnya... semuanya. "tidak mungkin! Ramuan penukar tak ada penawarnya!"
Master Zaida tertawa mendengarnya. Ia sangat menikmati saat tipuannya selama ini tak diketahui muridnya itu.
"Kau pikir kau bisa membuat ramuan perubahan semudah itu, hah? Aku tak mungkin meletakan resep ramuan seberbahaya itu di laci di ruanganku, Amarilis. Aku jadi bingung sebenarnya kau ini jenius atau apa?"
Amarilis membelalakkan mata mendengar penuturan sang Master.
:to be continued:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar