Sabtu, 05 Juni 2010

Fan Fiction: Another Love Story 8

Spesial

Baru saja aku selesai mengeringkan pakaian dengan mesin di lantai dasar. Untunglah aku mencuci hari ini. Tidak ada tetangga yang juga mencuci hari ini, jadi aku tidak perlu mengantre segala. Aku kemudian menarik keluar semua pakaian yang berhawa hangat itu, memasukkannya ke sebuah keranjang dan segera membawanya masuk ke kamar flatku. Hawa dingin memenuhi ruang flat, padahal padahal diluar sana tidak sedingin ini. Itu berarti…
“Cesc!” Panggilku penuh semangat. Dia pulang! Cesc kembali!
“Hey, kau merasakanku ya?” Suaranya menggema di seantero ruang depan, tapi aku tak melihatnya di sudut manapun.
“Tentu saja!” Pamerku. “Well, kau dimana?” Tanyaku. Tentu saja aku ingn sekali melihatnya, sudah dua hari aku tidak melihat kesempurnaan ciptaan Tuhan itu.
“Aku di sini,” Jawabnya dengan nada suara bingung. Tapi tetap tak menampakkan dirinya.
“Aku tak melihatmu”
“Oh, aku belum bisa melakukannya… sementara,”
“Apa maksudmu?” Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya. Belum bisa menampakkan diri?
“Hmm, perjalananku dua hari ini menguras energiku, aku tidak cukup kuat untuk memadatkan diri” Jelasnya. Aku baru tahu selama ini dia memadatkan diri. Ugh, itu terdengar mengerikan. Seolah-olah dia sekumpulan serpihan kecil melayang di udara yang memadatkan diri baru bisa terlihat. Atau memang begitu? Dan aku baru tahu dia memerlukan energi. Dari mana sumbernya? Otak bagian-berpikir-konyol-ku mengirimkan jawabannya. Mungkin sebenarnya di punya kabel colokan listrik di belakang tubuhnya untuk men-charge baterai energinya.
“Oh,” Aku mengangguk lemas. Padahal aku sangat merindukannya. Ingin sekali aku melihat wajahnya saat sedang bicara seperti ini.
“Aku cuma butuh sedikit istirahat, aku tidak akan mati lagi kok. Haha” Katanya.
“Yeah, dasar hantu,” Ejekku. “Bagaimana perjalananmu?” Tanyaku basa basi.
“Panjang, tapi lumayan lah, sudah lama sekali aku tidak pergi jauh, makanya aku jadi se capai ini” Jelasnya. Aku tidak ingin bertanya macam-macam tentang kepergiannya. Dia kan tidak tahu aku mengetahui tentang Para Pembersih yang ditemuinya.
“Rupanya kau menepati janjimu—tempat ini tetap utuh,”
“Kau terkesan? Trims—kalau itu pujian” Kataku sambil berjalan ke dalam kamarku, mulai melipat-lipat pakaian kering. Aku merasakannya, dia juga berjalan mengikutiku masuk ke kamar. Angin dinginnya mengikutiku.
“Itu pujian, kok”
“Yeah yeah” Jawabku sekenanya. Tiba-tiba aku merasakan hembusan angin dingin menerpa daerah punggungku. Sekilas, tapi terasa. Aku terkesiap.
“Kau menyentuhku ya?” Tanyaku pada ruang kamarku yang kosong.
“Wow, kau benar-benar sudah terbiasa dengan kehadiranku ya?” Tanya Cesc dengan nada antusias. Apa maksudnya sih?
“Well, kalau yang ini bagaimana?” Tanya Cesc. Dan kemudian aku merasakan angin dingin itu membelai pipiku. Kali ini berbeda, angin dinginnya terasa berputar-putar disana, tidak sekilas lalu hilang. Ini terasa seperti ia sedang menempelkan tangan hantunya di pipiku. Dengan refleks aku menggapai pipiku. Tanganku langsung menyentuh pipiku. Tangankupun ikut merasakan angin dingin yang seolah mengendap di sana.
“Aku senang kau bisa merasakanku walau aku tidak terlihat,” Kata Cesc dengan suara lembut dan menentramkan.
“Aku lebih suka kalau kau terlihat” Balasku.
“Kau kangen padaku rupanya,” Kata Cesc dan aku merasakan angin dingin itu lenyap dari pipiku. Nadanya terdengar mengejek.
“Boleh dikatakan begitu, maksudku, tidak ada yang mengobrol denganku di sini selain kau” Kataku sambil melanjutkan melipat baju-baju. Pura-pura cuek, padahal aku memang kangen sekali. Aku merasakan darah mengaliri wajahku. Aku yakin wajahku pasti sudah memerah sekarang. Persis seperti saat aku sedang mengaku cinta pada Dani. Wajahku selalu terasa membara saat Dani mulai menyentuhku. Aku terkesiap. Membelalakkan mata. Jantungku berdegup keras. Tunggu dulu…
“Kurasa aku juga kangen, yeah, kau kan satu-satunya manusia yang mengenalku” Kata Cesc. Aku merasakan kembali sentuhannya di pipiku.
“Kau merah… apa kau sedang sakit?” Tanya Cesc dengan lembut, nyaris seperti bisikan. Tunggu, sejak kapan kami jadi seintim ini? Dia menyentuhku, membelai wajahku. Aku merasakannya. Dan aku menyukai sentuhannya, dingin dan nyaman.
“Aku sehat” Jawabku sambil bangkit dari tempat tidur, untuk memasukkan pakaianku ke dalam lemari. Aku memang mengaguminya, Cesc-ku yang tampan dan… sempurna. Tapi aku tidak pernah sekalipun merasakan ini pada orang lain. Aku berdiri mematung di depan lemari pakaian. Entah dari mana datangnya pikiran ini. Tapi aku baru saja aku merasa aku sedang berselingkuh. Jantungku berdegup kencang. Batiku memberontak.
Tidak, tentu saja itu tidak mungkin. Aku mencintai Dani. Itu benar seratus persen. Tidak mungkin aku merasakan hal itu lagi. Dan Cesc bukan manusia. Apa sih yang kupikirkan? Lagi pula aku tidak tahu bagaimana yang dimaksud berselingkuh itu. Tentu saja aku tidak mungkin menyukai Cesc. Well, dia tampan tentu saja, tapi… berbeda. Wajah Dani berkelebat di kepalaku. Menyadarkanku dari opini bodohku. Ya, tentu saja. Apa sih yang barusan itu? Mana mungkin aku menempatkan teman hantuku ini dalam posisi selingkuh? Bodoh benar aku. Dia bahkan tidak benar-benar nyata. Aku meringgis. Apa yang kau pikrkan Carla! Kalian memang dekat—tinggal bersama, tepatnya. Tapi bukan berarti berselingkuh, tentu saja.
“Benar kan kau tidak sakit?” Tanya Cesc sekali lagi.
“Aku sehat kok, tidak usah cemas begitu” Jawabku dengan perasaan yang sudah seringan bulu. Teman hantuku—teman pertamaku di London sudah pulang, dan aku hanya merindukannya karena dia baru saja pergi jauh, itu bukan berarti aku menyukainya, bukan berarti berselingkuh. Tentu saja aku merasakan bahwa dia spesial, dia kan memang teman pertamaku, pantas saja aku memerhatikannya, begitu juga dia. Aku menghela napas puas, dengan kesimpulan yang baru saja aku tarik keluar.
“Hmm, pacarmu datang” Kata-kata Cesc membuatku membelalak kaget. Kemudian hawa dingin itu hilang, seiring kepergiannya.
“Masa?” Tanyaku kaget. Baru saja aku ingin berkata ‘dia masih di Perancis’ tapi ketukan tiga kali di pintu depan tentu saja membuatku benar-benar tersentak. Aku berlari memburu ke arah pintu masuk, memutar kuncinya dan membuka pintu segera. Dia benar. Dani. Di depanku.
“Dani!” Jeritku. Mimpi apa aku semalam? Hari ini Cesc dan Dani sekaligus, dua-duanya pulang.
“Hey, Cantik” Sahutnya sambil tersenyum. Kemudian menerobos masuk, melewati aku yang masih terkesiap kaget. “Apa?” Tanya Dani ketka aku menutup kembali pintu sambil memandang tak percaya kearahnya.
“Dua kali kau mengagetkanku dengan kedatanganmu” Jawabku sambil kembali mengunci pintu. Dani tersenyum, kemudian dia merengkuh pinggangku, merapatkan tubuh kami. Aku melingkarkan lenganku di lehernya saat dia mulai menciumku.
“Kau tidak suka kalau aku datang?” Bisiknya di sela-sela ciuman kami. Mana mungkin aku tidak suka, ingin sekali aku menjawabnya begitu, andai bibirku tidak terlalu sibuk.
“Selamat atas kemenanganmu kemarin” Kataku saat Dani melepaskan dekapannya. Dani tersenyum senang.
“Ttrims” Jawabnya lembut, rona merah terlukis di pipnya. “Kupersembahkan untukmu, kemenanganku” Katanya lagi. Aku jadi ikut-ikutan tersipu malu. Aku tersadar kami masih di belakang pintu, aku menariknya masuk lebih dalam, ke ruang tengah.
“Mau minum sesuatu?” Tanyaku saat Dani duduk di sofa hijau lumutku. Tapi kemudian dia menarik pergelangan tanganku dan membawaku ke pangkuannya.
“Tidak perlu repot-repot, nona” Desahnya sambil kembali menciumiku. Aku menyandarkan kedua sikuku di bahunya, mengatur posisi dudukku tanpa melepas ciumannya sedetikpun. Dani mendongakkan kepalanya agar tetap dapat menciumku. Kedua tanganku merengkuh wajahnya dengan rakus, menyisipkan jari-jariku ke rambutnya. Dani membelai lembut punggungku dengan jari-jarinya, nyaris tak menyentuh, kemudian meraih tengkukku. Aku bisa merasakan jantungku berdetak hebat, napasku memburu. Ciuman kami semakin menjadi, saat tiba-tiba aku merasakan hembusan dingin di punggungku. Aku terkesiap kaget dan melepaskan ciumanku. Napas Dani menderu hangat menerpa pipiku. Wangi mulutnya masih membaur di rongga hidungku, memengaruhi logikaku. Tapi aku cukup sadar apa yang barusan itu.
“Ada apa, Sayang?” Bisik Dani sambil membelai tulang pipiku dengan telunjuknya..
“Eh, tidak…” Jawabku gugup sambil menggeser kakiku untuk segera melompat dari pangkuannya, dan segera duduk tepat di sebelahnya. Itu tadi Cesc. Aku jadi teringat kata-katanya tempo hari; ‘aku tentu tidak ingin melihat yang lebih dari yang tadi itu’. Kurasa baru saja dia menagih kata-kataku. Dan tentu saja kami sama sekali tidak bermaksud melakukannya tadi. Kalau terhanyut, ya. Sulit sekali tidak terhanyut saat Dani mulai menciumku.
Dani menatapku bingung dan membalikkan tubuhnya ke arahku.
“Jangan bilang kau takut padaku” Tanya Dani sambil merengkuh wajahku dengan kesua tangannya. Memaksaku melihat seringaiannya.
“Eh? Bukan, tentu saja bukan… aku hanya… err…” aku tidak tahu harus bilang apa. Tidak mungkin aku bilang, ‘hantu penunggu flat ini tidak suka melihat kita mesra-mesraan,’
“Ya ampun, Carla! Aku tidak akan melakukannya kok!” Kata Daniel sambil tertawa. Kurasa dia mengira aku takut ciuman kami tadi akan berujung di tempat tidur.
“Yeah, well… eh… sebaiknya aku mengambilkanmu sesuatu” Kataku gugup dan kemudian beranjak menuju dapur. Aku berhenti tepat di konter cuci piring dan membuka kran, mebasuh wajahku.
“Hey,” Suara Cesc menggema di telingaku, mengagetkanku. Nadanya datar dan menakutkan.
“Oh” Aku mendesah dan mengambil sebuah handuk kecil untuk mengeringkan wajahku. “Mmm… maaf yang tadi… aku benar-benar… err… lepas kendali” Aku kesulitan menemukan kata yang tepat.
“Yeah, tidak masalah asal hanya kau yang terhanyut,” Jawab Cesc dingin. Yak, bagus dia tahu aku tadi sempat terhanyut, jadi aku tidak perlu berusaha menjelaskan apa yang aku rasakan. Aku menggumam tak jelas sambil mengeluarkan sebotol cola dari lemari es dan mengambil dua buah gelas dari rak.
“Aku benar-benar tidak suka melihat kau—melihatnya. Wajahmu… ugh. Dan kalau terjadi lagi, aku tidak akan segan-segan menampakkan diri di hadapannya. Oke?” Nada suaranya meninggi disetiap kata. Seolah-olah dia tahu sikap Dani yang mungkin akan menyeretku keluar dari tempat ini kalau tahu tempat tinggalku ada hantunya. Dan ketidak-sukaanku akan bergantung padanya.
“Kau mengancamku?” Lagi-lagi aku bicara pada ruangan kosong.
“Tidak juga, tergantung bagaimana kau mengartikannya”
“Bagiku ancaman. Dan itu bukan urusanmu kan? Kami memang berpacaran, oke?” Aku mulai jengkel. Sekarang Cesc terdengar seperti Ayahku—seperti orang tua yang membatasi pergaulan anaknya.
“Dan ini tempat tinggal bersama, ingat?” Cesc seolah baru saja mengucapkan kata sihirnya. Dan aku benar-benar tidak bisa berargumen.
“Ugh!” aku langsung pergi meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tengah. Disana Dani sedang menonton TV. Aku meletakkan gelas di atas meja dan menuangkan cola dingin ke dalamnya. Dani kembali merengkuh pinggangku dan menarikku untuk duduk di sampingnya. Hampir saja aku menjatuhkan botol cola besar itu. Dani mengambil botol cola dari genggamanku dan meletakkannya di meja sambil terkekeh.
“Sejak kapan kau jadi begitu gugup saat bersamaku sih?” Tanya Dani sambil membelaikan tangannya ke pipiku. Dani menyibakkan rambutku, menyisipkannya ke belakang telingaku. Kemudian aku merasakan hembusan napasnya di pipiku, aku merasakan ciumannya di rahangku, kemudian menelusuri leherku. Aku memejamkan mata meresapi ciumannya. Oh, tidak.
“Daniel…” Desahku. “Hentikan,” Pintaku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin dia berhenti, batinku mengatakan hal yang berlawanan dengan mulutku.
“Mmmm…” Dani tak mendengarkanku. Dia merengkuh pinggangku lebih erat. Aku terpaksa mendorong tubuhnya. Dani menatap mataku dengan tatapan aneh. Jantungku berdetak kencang, memompakan darah ke pipiku, wajahku pasti sudah merah padam.
“Maaf,” Kataku menyadari tatapan matanya mengesankan ia merasa ‘tertolak’. Tatapan kecewa dan tidak suka. “Aku…” Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Aku sama sekali tidak bermaksud menolaknya.
“Ya ampun Carla, aku tidak akan kelewatan” Kata Dani.
“Yeah… err…” Sebenarnya aku sangat tidak peduli kalau kami sampai kelewatan, mana mungkin aku menolak—tapi sepertinya Dani-lah yang pada kenyataannya selalu menolakku. Dani terlalu menganggap serius permintaan ayahku saat aku pertama datang ke London. Ayahku meminta Dani untuk menjagaku. Tentu saja itu permintaan yang masuk akal kan? Mengingat Dani juga akan berada di London saat sedang tidak membalap. Tapi kurasa Dani terlalu berlebihan menanggapinya. Kurasa maksud ayahku saat itu adalah menjagaku dari kemungkinan sakit, menghadapi masalah, dan yang semacamnya, bukannya menjaga keperawananku. Dasar Dani.

Tapi Cesc tidak akan membiarkannya begitu saja, setelah apa yang dilihatnya tadi. Dani tersenyum melihat kegugupanku. Dia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya.
“Tidak apa-apa, Sayang, katakan saja apa yang kau rasakan. Maafkan aku kalau menurutmu aku sudah kelewatan kali ini. Well, aku kan bertanggung jawab atas dirimu, setelah menyanggupi permintaan orangtuamu untuk menjaga putri mereka yang cantik ini. Aku hanya ingin mesra-mesraan denganmu” Katanya lembut.
“Tidak, Dani. Kau tidak mengerti, maksudku… bukannya aku tidak menyukainya, bukan, bukan itu… aku suka kok, suka sekali… eh, maksudku aku suka kalau kau… err…” aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Tentu saja dia tidak mengerti kondisiku. Aku berdecak dan memalingkan wajahku dari tatapannya. Dani tersenyum melihatku.
“Bagaimana kalau kita keluar dan makan siang? Sudah lama sekali kita tidak keluar bersama” Kata Dani sambil mencubit pipiku. Aku senang dia tidak menghiraukan kelakuan anehku.
“Oke,” Kataku. Aku bangkit dari sofa dan bergegas menuju kamarku, membuka lemari dan mencari pakaian yang pantas—cukup pantas untuk jalan dengan Dani. Aku memilih sebuah camisole sepaha warna abu-abu dan celana panjang hitam.
“Terimakasih kau sudah mau menghargai keberadaannku” Kata Cesc, entah dari mana sumber suaranya.
“Yeah,” Jawabku dengan nada jengkel. “Keluarlah, aku mau ganti baju” Pintaku dengan nada dingin. Aku sedang tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Aku ingin segera keluar dan mesra-mesraan dengan Dani. Padahal tadi aku merindukan Cesc tapi sekarang kehadirannya adalah yang paling tidak kuinginkan.
“Oke. Dan jangan lupa kerja part timemu jam dua siang”
“Ugh!” Kenapa hari ini Cesc jadi sangat menjengkelkan? Memang benar aku nanti harus masuk kerja, dan tidak bisa disalahkan juga kalau dia mengingatkan aku. Tapi mengapa disaat Dani mengajakku jalan-jalan? Aku sempat berpikir untuk minta libur satu hari pada Dann, tapi kemudian Cesc menjawab pernyataan di kepalaku seolah dia bisa membaca pikiranku seperti si-vampir Dwight. Oh, ya benar! Hari ini Cesc sama menjengkelkannya dengan vampir itu.
“Kemarin kau sudah libur karena toko tutup, jangan harap Dann mau memberimu libur hari ini”
“Aku tahu! Pergilah!” Sekarang aku mulai membentak. Kemudian aku mengganti T-shirt longgar dan celana pendekku dengan camisole pilihanku tadi. Aku bercermin sebentar, melihat sosokku di kaca. Aku sempat berpikir apakah aku seharusnya membawa baju ganti untuk kupakai waktu kerja nanti, tapi segera kuurungkan karena Dani pasti curiga kalau aku membawa tas besar. Aku tidak mau dia tahu tentang pekerjaanku dan melarangnya. Pekerjaanku baik-baik saja menurutku, dan menyenangkan. Lagipula camisoleku pantas kok untuk ukuran pekarjaanku. Aku kemudian menyisir rambutku cepat-cepat, memoleskan sedikit bedak padat dan memakai lip balm sekadarnya. Aku kemudian keluar kamar dan menemui Dani di ruang tengah. Dia tersenyum manis dan meraih kedua tanganku, menggenggamnya dengan lembut. Aku membalas senyumannya, walau aku tahu pasti senyumanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
“Kau cantik sekali, seharusnya aku tidak pakai T-shirt hari ini” Kata Dani. Aku meringgis, bukannya tidak suka dibilang cantik, tapi seumur hidupku yang pernah memujiku cantik hanya Dani dan ibuku. Pastilah aku cantik sekali.
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Itu berarti aku hanya punya waktu kurang dari dua jam setengah bersama Dani. Aku mendesis pelan. Aku tidak suka waktuku bersama Dani dibatasi. Dani mulai menyalakan mesin mobilnya, deru ringan Aston Martin silvernya mengantar kami menuju jalan besar.
“Bagaimana VW barumu?”
“Keren, semua teman di kampusku melongo memandangnya”
“Masa?”
“Yep. Mereka tidak menyangka aku yang membawa mobil itu” Dani tertawa sejenak mendengar penjelasanku.
“Jadi, mau kemana kita hari ini?” Tanya Dani.
“Kan kau yang mengajakku” Jawabku.
“Kau boleh memutuskan, tentu saja. Tapi aku lapar sekali, bagaimana kalau kita makan dulu?”
“Oke,” Aku juga lumayan lapar. Aku langsung merancang ide agar aku tetap tidak terlambat kerja. Tempat apa yang tidak terlalu jauh dari kedai Dann? Tiba-tiba bola lampu terasa menerangi rongga kepalaku yang kosong.
“Eh, Dani, setelah makan nanti, aku ingin sekali mengunjungi stadion besar yang di Ashburton itu. Kau mau menemaniku kan?” Tanyaku dengan nada suara manja. Aku mengernyit jijik setelahnya. Aku tidak akan pernah bicara dengan nada seperti itu lagi seumur hidupku.
“Stadion? Oh, Emirates ya? Tentu saja aku akan menemanimu kemanapun yang kau mau, Sayang” Jawab Dani.
“Asyik!” Aku mungkin akan muntah nanti saat teringat suara yang kuhasilkan saat ini. Tidak apa-apa, aku harus tetap bermanja-manja dengannya. Satu hari ini sedikit berakting tidak masalah.
“Tapi, sejak kapan kau suka sepakbola?” Tanya Dani.
“Err… aku hanya ingin tahu seperti apa stadionnya, temanku—teman kuliahku fan Arsenal, dia shock berat saat kukatakan aku bahkan tidak tahu apa itu Arsenal. Lalu dia langsung menjelaskan tentang empat klub besar yang ada di London. Well, aku lupa apa saja nama-namanya, tapi seingatku dia bilang empat. Dan dia bilang stadion yang itu adalah yang termewah di sini” Jawabku. Kali ini aku tidak bohong, well, kecuali bagian ‘teman kuliah’. Karena faktanya, aku sama sekali tidak punya teman disana. Dan aku tidak yakin akan mendapatkan teman baru dalam waktu dekat menilik sikap teman sekelasku yang kelewatan saat melihatku mengendarai VW baru.
“Arsenal, Chelsea, Tottenham dan West Ham, sebenarnya ada Fulham juga” Jelas Dani.
“Kau tahu!”
“Yeah, sepakbola sangat terkenal di sini, Carla,” Kata Dani.
“Kupikir isi kepalamu hanya balap” Ejekku.
“Kau salah! Ada satu lagi, kau tahu itu” Kata Dani, sepertinya dia tidak suka aku menyimpulkan isi kepalanya. Aku berpikir sejenak sambil mengernyitkan dahi. Memangnya apa lagi yang begitu dicintainya selain motor? Dan kemudian aku sekali lagi merasakan ada sebuah bola lampu yang menyala di kepalaku, dan sekaligus aku merasakan pipiku membara. Aku melirik Dani, dan dia melirikku sesekali dalam frekuensi tertentu antara jalan di depan dan aku, menanti kesimpulanku yang baru.
“Aku” Gumamku sambil menunduk, menghindari pandangannya.
“Tepat,” Katanya sambil tersenyum.
***

Kami tiba di sebuah restoran Italia di pusat kota. Dani memarkirkan mobilnya dengan anggun, kami keluar bersamaan, dan kemudian Dani menghampirku. Dia menarik tanganku, menyisipkan jemarinya di sela-sela jari tanganku, meremasnya lembut. Kami berjalan berdampingan seperti sepasang kekasih—diluar kenyataan bahwa kami memang sepasang kekasih.
Restoran Italia itu didominasi warna kayu yang elegan, terkesan sangat nyaman sekaligus formal. Padahal aku akan lebih menikmati waktu dengannya kalau kami makan di restoran fast food, Mc. D misalnya? Kenapa dia senang sekali membawaku ke tempat seperti ini sih?
Salah seorang pelayan datang menghampiri kami, membimbing kami mencari meja untuk dua orang, setelah sampai, dia lalu memanggil rekannya untuk membawakan kami buku menu dan dua gelas kecil welcome drink. Astaga, buku menunya tebal sekali. Dani kemudian meminta waktu untuk kami memesan, dan kedua pelayan itupun pergi. Syukurlah, aku tidak suka diperhatikan mereka saat memilih makanan, sangat tidak nyaman rasanya. Aku sempat memandang sekeliling, ada beberapa meja kosong dan sisanya terisi, walau tidak penuh. Di sudut sebelah kanan aku melihat sekelompok cewek-cewek yang sedang mengobrol seru. Kurasa usia mereka sebaya denganku. Dari penampilan mereka, well, mudah sekali menyimpulkan mereka adalah sekelompok anak orang kaya.
“Aku sering sekali makan disini dengan Mr Puig, masakannya enak-enak. Pilih saja yang kau suka, Sayang” Kata Dani sambil menyerahkan buku menu yang sudah dia bukakan untukku, bagian main course. Aku mulai melihat-lihat nama masakannya. Apa? Ya tentu saja pasta, ini kan restoran Italia. Ada banyak sekali nama, aku sampai pusing melihatnya.
“Kau sering datang ke tempat ini dengan Mr Puig atau dengan simpananmu?” Aku sudah pusing melihat daftar menunya yang kelewatan dan menunggu Dani menawarkan salah satu menu untukku. Dani yang sedang asyik membaca buku menunya tersentak ke depan dan langsung melirik kearahku dari balik alisnya yang tebal.
“Hah?”
“Kok malah ‘hah?’ Aku kan bertanya,” Kataku meledeknya.
“Apa maksudmu dengan ‘simpanan’ sih? Kau pikir aku berselingkuh ya?” Tanya Dani sambil meringgis, tersenyum sangat lebar hampir tertawa, well, kurasa dia memang menahan tawa, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
“Yeah, mana aku tahu kan kau punya simpanan atau tidak, kurasa gadis London cantik-cantik, aku kecewa kalau tidak ada yang menarik perhatianmu” Kataku sambil menyembunyikan wajahku dibalik buku menu, pura-pura membaca. Dani kemudian menurunkan buku menu itu dari tanganku, dan menatap wajahku dengan ekspresi bingung.
“Sudah menentukan kau mau makan apa?”
“Pilihkan saja satu untukku, aku bingung” Jawabku sambil meletakkan buku menu itu di meja.
“Kau tidak suka kita makan di sini? Kita bisa pindah kemana saja yang membuatmu nyaman,” Kata Dani. Sepertinya dia pikir aku merasa tidak nyaman di tempat yang benar-benar nyaman ini.
“Aku kan minta kau pilihkan aku satu, apa itu salah?” Tanyaku balas menatapnya bingung. “Tempat ini baik-baik saja,” Tambahku.
“Kukira kau tidak suka, habis kau mulai bicara aneh. Mmm, kalau begitu kupesakan Fusilli oke? Fusilli disini benar-benar enak, aku jamin kau pasti suka. Appetizer-nya Fonduta Soup saja, dan kau mau memilih dessert-nya?” Kata Dani. Aku bengong sesaat. Kupikir makan yang pakai tiga hidangan hanya saat formal dine.
“Dessert? Well, aku tiramisu saja” Kataku kemudian. Dani segera memanggil pelayan yang langsung datang menghampiri meja kami, aku memerhatikannya saat mulai bicara dengan pelayan sambil menunjuk-nunjuk buku menu. Saat pelayan pergi dan meminta kami menunggu sepuluh menit, aku melanjutkan aktingku.
“Tadi kau bilang aku mulai bicara aneh, memangnya apa yang aku bicarakan?” Tanyaku.
“Well, tadi kau mulai bicara tentang gadis-gadis London dan simpanan. Itu aneh menurutku,” Kata Dani enteng.
“Masa sih aneh? Aku kan cuma bertanya siapa tahu kau punya pacar selain aku…” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Dani menyerocos.
“Oh, Carla, hentikan. Memangnya aku kurang menyatakan cintaku padamu ya? Sampai-sampai kau bilang begitu padaku. Sumpah, aku tidak—sama sekali tidak punya pacar selain kau, tentu saja”
“Masa sih? Oh, Dani! Aku kecewa! Kupikir kau sudah cukup populer dan tampan!” Kataku dengan ekspresi meremehkan. Dani mengernyitkan wajahnya aneh.
“Apa sebenarnya yang kau maksudkan sih?” Dani mulai tidak sabar melihat sikapku hari ini.
“Well, aku mau mengaku padamu… kuharap kau bisa menerimanya dengan lapang dada,” Kataku sok serius. Dan Dani benar-benar menatapku dengan serius.
“Apa tepatnya yang ingin kau bicarakan?”
“Ehm… aku… kurasa aku sedang jatuh cinta pada seorang cowok… well, itu normal kan?” Kataku dengan nada enteng. Aku langsung melihat dampak dari kata-kataku. Mata Dani membelalak kaget. Bibirnya terbuka. Matanya awas.
“A… apa maksudmu, Carla?” aku membalas tatapannya. “kau tidak mencintaiku lagi?” Tanya Dani dengan wajah pucat pasi. Seolah-olah hal yang paling ditakutinya di dunia baru saja terjadi.
“Kau bilang aku tidak mencintaimu lagi?” Tanyaku tak percaya.
“Kau yang bilang kau baru saja jatuh cinta dengan orang lain!” Dani berusaha meredam emosi yang tiba-tiba berkecamuk di dadanya dengan memelankan suaranya hingga nyaris seperti desisan.
“Kalau aku bilang ‘ya’, apa kau mau mengalah untuknya?” Tantangku. Matanya membelalak kaget, ekspresinya tak terbaca. Matanya menatap wajahku lekat-lekat.
“Siapa? Siapa sebenarnya yang kita bicarakan ini?” Tanya Dani. Matanya nanar dan sarat akan kepedihan. Oh, aku jadi tidak tega melihatnya. Apa kuhentikan saja?
“Err… Dani, jangan dianggap serius…” Sekarang aku malah bingung sendiri bagaimana cara mengakhiri sandiwara kecilku ini. Dani tidak mendengarkanku. Matanya masih menatapku lekat-lekat. Ekspresinya tak terbaca.
“Siapa Carla? Siapa yang membuatmu jatuh cinta?” Tanya Dani. Suaranya agak gemetar, aku bsa merasakannya. Oh, apa yang harus aku lakukan?
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dua orang pelayan datang membawakan pesanan kami, menatanya di meja, kemudian beranjak pergi dengan wajah penuh senyum, berbanding terbalik dengan wajah Dani-ku. Yang masih menatapku serius.
“Tidak ada,” Jawabku sambil mengangkat sebuah garpu dengan perlahan.
“Tidak ada?”
“Tidak ada yang membuatku jatuh cinta, Dani. Aku hanya bercanda tadi…” Aku jadi menyesal saat mengatakannya. Aku menunggu perubahan ekspresi wajahnya, tapi tak terjadi apapun.
“Well, maafkan aku sebelumnya…” Malah jadi aku yang sulit berkata-kata. “aku hanya ingin tahu bagaimana sikapmu seandainya kita tidak bisa bersama lagi…”
“Apa maksudmu kita tidak bisa bersama lagi?”
“Seandainya, Daniel!” aku berhenti sejenak, memikirkan kata-kata yang baru saja aku katakana. Seandainya. Seandainya aku berpisah dengan Dani… Seandainya itu benar terjadi, kurasa aku lah yang paling kacau. Lalu beberapa minggu kemudian aku melihat siaran balap dan sudah ada yang menggantikan posisiku. Dani sudah bisa—sudah pasti mendapatkan penggantiku, sementara aku? Depresi berat? Entahlah, untuk membayangkannya saja nyaliku tak cukup. Aku memepertegas halusinasi di kepalaku. Pacar baru Dani… Ugh! Kenapa yang terbayang olehku adalah Yvette?! Yvette adalah teman masa kecil Dani. Keluarga Dani sendiri sudah menganggapnya bagian dari mereka. Beruntung sekali gadis itu, menghabiskan masa kecil dengan Dani-ku, tumbuh bersama Dani. Aku tidak berani menanyakan apa saja yang mereka sudah lakukan bersama. Atau lebih tepatnya seberapa banyak yang sudah mereka lalui berdua.
Kalau menurut penilaianku, kurasa, orang tua Daniel mengira pada akhirnya Daniel dan Yvette akan bersama. Well, sebelum Dani bertemu denganku. Dan Daniel, memang sangat dekat dengan Yvette. Mereka tumbuh bersama, dan Yvette tahu tentang balap sebanyak yang Dani tahu. Itu hal yang paling membuatku cemburu.
“Jadi yang tadi itu tidak benar-benar terjadi…”
“Ya tentu saja, sudah kubilang kan? Aku hanya ingin tahu…” Kataku sambil mengulurkan tanganku untuk membelai pipnya. “kaulah satu-satunya yang membuatku jatuh cinta” Wajahku pasti sudah merah padam sekarang. Ekspresi wajahnya melunak, bahunya yang sempat tegang jadi lebih rileks, kemudian Dani menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Menghela napas panjang.
“Kau mau memaafkan aku kan? Aku sangat menyesal… kupikir kau tidak akan benar-benar menaggapiku” Aku benar-benar menyesal mengatakannya. Karena kata-kataku malah mengingatkanku pada Yvette.
“Oh, Carla! Berjanjilah padaku, jangan pernah melakukannya lagi,” Desahnya. “kau hampir membuatku pingsan”
“Oh, ayolah Dani! Seharusnya kan kau yang mengaku padaku kau punya pacar selain aku” Desahku.
“Hentikan, Carla! Kenapa kau ingin sekali aku memiliki orang lain?” Aku terdiam sejenak meresapi kata-katanya. Mengapa? Tentu saja…
“Karena aku sangat… biasa saja untukmu, yeah, terlalu biasa saja…” Aku hampir terjatuh dari kursi saat memikirkannya. Inikah alasanku? Alasan mendasar aku menanyakannya macam-macam. Kebiasaanku. Kalau dibandingkan dengan Yvette yang mengerti balap… kalau dibandingkan kelompok cewek-cewek di meja sudut itu… aku benar-benar sangat biasa.
Dani merunduk ke arah meja, mendekatkan wajahnya denganku, manatap kedua mataku lekat-lekat.
“Kau luar biasa, Carla. Jangan pernah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain, kau harusnya menyadari hal ini; kau sangat luar biasa untukku, itulah mengapa kau yang sekarang duduk di sini, bukannya cewek lain” Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menitikkan air mata mendengar kata-kata Dani. Dia terlalau berlebihan mencintaiku. Aku tidak akan sanggup menerima cintanya yang begitu besar.
“Daniel…” Desahku. “Jangat membuatku manja”
“Tidak apa-apa, Sayang. Beranja-manjalah padaku” Kata Dani lembut, kembali ke posisi duduk awalanya, mengambil sendok dan garpu. “Makanlah, Sayang. Apakah aku harus menyuapimu juga?” Ledeknya. Dani merebut garpu yang sedang kugenggam.
“Bukan itu yang aku maksud dengan manja tadi!” Kataku kesal, aku sama sekali tidak suka manja yang seperti ini. Aku merebut kembali garpuku, mulai menusuk-nusuk Fusilli dari piring. Manja yang aku maksud adalah rasa ketergantungan berlebihan terhadap suatu objek. Seolah-olah kau tidak akan sanggup melewati satu hari saja—atau yang lebih parah, tidak bisa melakukan apapun tanpa ada si-objek. Itu benar-benar manja yang tidak sehat. Apakah aku sudah terjebak dalam taraf itu kepada Dani? Bisa saja terjadi, kalau dia memperlakukan aku bak puteri begini.
“Manja yang manapun, aku tidak peduli. Asalkan kau hanya melakukannya padaku” Kata Dani.
“Aku sungguh tidak pernah terbayang yang lain-lain” Jawabku dengan yakin. Tentu saja, tidak ada yang lain. Hanya ada Dani. Kelegaan merayap ke seluruh tubuhku. Aku menusuk Fusilli saus carbonara itu dan menyuapkannya ke mulutku. Mengunyahnya pelan sambil memerhatikan Dani yang sedang menyesap supnya. Ya, tentu, hanya ada Dani dan aku. Aku tak peduli yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar