Teman
Aku merenung di sudut kelas dengan menopang sisi kepala dengan satu tangan. Aku duduk di sudut kelas sebelah kanan dari pintu. Paling belakang. Sendirian. Ruang kelas masih separuh penuh dan jam pertama baru mulai lima belas menit lagi. Aku menghela napas dan melirik ke sekitarku. Dua meja didepanku ada segerombolan cewek-cewek yang sedang asyik mengobrol, sesekali mereka tertawa riang. Di seberang mejaku ada seorang cowok berkaca mata sedang membuat ringkasan materi dengan serius, tipikal kutu buku. Di sudut lain aku mendapati sepasang cowok dan cewek berambut pirang sedang melihat ke arahku, dengan spontan aku langsung mengalihkan pandanganku. Ya Tuhan apakah teman-teman sekelasku masih berspekulasi tentang VW baruku? Kataku dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Akupun memutuskan untuk membaca buku referensi yang keletakan di kolong meja.
Baru aku mau membuka pembatas buku bergambar penguin—yang kubeli di toko buku beberapa hari yang lalu, cewek yang tadi kupergoki sedang memandangiku menyapaku. Tubuhnya jangkung dan ramping, persis model.
“Hai,” Sapanya sambil menarik kursi kosong dan duduk di sebelahku. Aku menolehkan kepalaku untuk melihatnya. Dia tersenyum sambil meletakan kedua tangannya diatas mejaku. Aku membalas senyumannya. Ini adalah pertama kalinya aku disapa oleh teman sekelasku. Well aku memang tipe yang tidak pandai bergaul. Kalau diibaratkan dalam suatu kelompok pelajar ada yang disebut ‘the cute one’ ada juga ‘the smart one’ atau ‘the funny one’ kalau aku pastilah si-‘the quiet one’. Entah kenapa, sepertinya sejak kecil aku memang agak tertutup dan malas ‘memulai’ pertemanan. Bukannya aku pemalu atau minderan, tapi aku memang malas berurusan dengan banyak orang, itu saja. Kalau disuruh menyebutkan nama-nama siswa dikelas ini satu persatu, aku akan lebih memilih untuk membuat laporan setebal seratus halaman.
“Hai” Jawabku sambil menggeser bukuku.
“Well, aku yakin kita belum kenalan… namaku Olivia, tapi teman-teman biasa memanggilku Lippie, Olive, Olie… err, kau boleh panggil aku itu atau kau panggil apa saja, asal yang bagus-bagus ya” Katanya diakhiri dengan tawa yang renyah. Akupun jadi ikut tertawa.
“Aku Carla. Hmm, panggil Carla saja cukup” Kataku sambil tersenyum. Oke, mungkin ini awal yang baik untuk memulai pertemanan. Aku langsung teringat kata-kata Cesc pagi ini, tentang aku yang terlalu menutup diri.
“Kudengar kau datang dari Spanyol, apa itu benar?” Tanya Olivia dengan antusias. Aku memandanginya, mendapati mata biru cemerlangnya berkilauan indah sekali.
“Yeah, benar. Baru dua bulan ini aku pindah ke sini. Tapi keluargaku masih di Spanyol kok,” Jawabku. Sepertinya cewek ini tidak buruk untuk dijadikan teman.
“Oh my! Kau tahu? Sejak lama aku ingin sekali berlibur ke Spanyol! Beruntung sekali kau lahir di negara tropis dan indah begitu! Kau tinggal di mana?” Tanya Olivia dengan antusias.
“Aku tinggal di Barcelona, kedua orang tuaku asli Catalan” Jawabku sambil tersenyum. Ini adalah kali pertama aku mengobrol dengan teman sekelasku dan aku menikmatinya.
“Tapi Bahasa Inggrismu bagus sekali,” Komentarnya.
“Well, aku memang bersekolah di sekolah inter, yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dulu. Err… kau berasal dari sini?” Aku memberanikan diri untuk menanyainya pertanyaan kecil.
“Yeah, aku memang lahir dan besar di kota ini, nah, yang itu sepupuku, Aaron” Kata Olivia sambil menunjuk ke arah cowok yang tadi memandangiku bersamanya. Cowok itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas senyumannya.
“Kalian mirip,” Kataku saat Aaron menurunkan lambaian tangannya. Rambut mereka sama pirang dan wajah mereka hampir persis menurutku.
“Yeah, ayah kami-lah yang kembar” Katanya kemudian sambil memutar bola matanya. Ekspresinya menunjukkan bahwa aku adalah orang ke seribu yang mengatakannya.
“Ooh…” Sahutku. Baru tadi pagi aku mamutuskan untuk sedikit terbuka pada orang lain, siang ini aku sudah kenal dua orang siswa di kelas. Hebat. Mungkin kata-kata Abbey tempo hari benar, sebenarnya aku punya potensi untuk punya banyak teman karena—menurutnya ya, aku membuat orang-orang disekelilingku nyaman. Masih mungkin sih. Tapi harus ku uji.
“Eh, boleh tidak aku duduk di sampingmu? Kau duduk sendirian kan?” Tanya Olivia.
“Sepupumu bagaimana?” Tanyaku saat Olivia meletakan tasnya di meja di sebelahku.
“Aku sudah tinggal bersamanya selama delapan belas tahun, masa sekarangpun kami harus berbagi tempat duduk juga?” Desahnya. Aku tertawa pelan mendengarnya. “tapi kau tidak keberatan kan?” Tanya Olivia.
“Tidak, tentu saja aku tidak keberatan… maksudku, kupikir aku akan duduk sendirian sampai lulus nanti” Kataku.
“Kau pendiam sih,” Sahutnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Padahal aku luar biasa bawel dengan orang yang dekat denganku.
“Kau sudah kenal semua anak di kelas ini ya?” Tanyaku.
“Ya, tapi hanya sebatas tahu saja, aku belum menemukan yang bisa kuajak ngobrol dengan enak… eh, tapi sepertinya aku baru saja menemukannya sih,” Katanya sambil tersenyum. Senyumannya manis sekali dan sangat tulus.
“Hmm, kurasa aku juga baru menemukan teman” Sahutku. Kami berdua tersenyum. Nice step, Carla! You’re such a fast mover! Kataku dalam hati menyemangati diri.
“Eh, kau mengecat rambutmu ya?” Tanya Olivia memandangi rambutku.
“Tidak, ini warna asli,” Aku memang tidak pernah mewarnai rambutku seumur hidup. Kurasa warna rambutku baik-baik saja, tidak perlu diganti.
“Aku suka warna rabutmu, kau juga punya mata cokelat yang indah. Oh, kau membuatku iri Carla,” Katanya. Aku yakin pipiku pasti sudah memerah. Ini pertama kalinya aku membuat orang lain iri, dan mengakuinya. Well, sebelumnya memang hanya Dani dan ibuku yang pernah memujiku cantik dan aku pasti langsung tersinggung. Menurutku, aku benar-benar biasa-biasa saja. Rambut gelap, mata cokelat, kulit tan hampir semua orang Spanyol begitu kan? dan tinggi badanku juga standar. Oke anggap saja teman baruku ini ingin lebih akrab denganku, dengan pujian-pujian manis.
“Err… aku malah ingin punya mata biru sepertimu. Matamu juga bagus kok,” Kataku.
“Oh, well, manusia memang tidak pernah puas sih” Katanya setengah berbisik karena kelas sudah dimulai. Selama pelajaran kami hanya saling tanya mengenai pelajaran. Rupanya dia bukan tipe cewek yang mengobrol saat pelajaran. Dan itu bagus, karena aku memang tidak suka mengobrol selama pelajaran.
“Kau tinggal dimana?” Tanya Olie saat kelas usai dan kami berjalan bersama ke kelas berikutnya.
“Sebuah flat kecil, di Ashburton,” Jawabku.
“Kau tinggal sendirian? Oh, asyik sekali! Kalau aku masih tinggal bersama keluarga orang tuaku, ramai sekali. Aku sudah lama ingin tinggal sendiri, yah, tidak perlu tempat yang bagus, yang penting sendiri” Jelasnya saat kami berjalan ke tempat duduk paling belakang.
“Ya, aku memang tinggal sendirian” Aku tidak mungkin bilang aku tinggal bersama hantu. “memang menyenangkan tinggal sendiri, tapi kadang-kadang kesepian juga” Kataku.
“Lalu apa yang kau lakukan saat kesepian?” Tanya Olie. Aku menggigit bibir bawahku. Biasanya aku kan mengobrol dengan Cesc.
“Aku biasanya menelepon ibuku, atau membaca buku, it’s realy kills the time off. Tak terasa sudah malam dan kaupun mengantuk” Kataku. Olie mengangguk ringan sambil tersenyum. Sepertinya dia juga melakukan hal yang sama untuk membunuh waktu “aku juga menelepon Daniel, yah, err.. dia pacarku” Kataku sambil menunduk.
“Oh, kau sudah punya pacar? Seperti apa orangnya?” Tanya Olie dengan mata yang berbinar. Aku tersipu membayangkan seperti apa Daniel.
“Well, dia baik sekali. Dia sudah seperti teman, kakak, sekaligus pacar” Kataku.
“Dia di Spanyol?” Tanya Olie.
“Hmm, dia juga tinggal di London, sebenarnya dia tinggal disini sejak lama, dia bekerja di sini” Jawabku. Aku belum siap kalau dia tahu tentang Dani.
“Oh, asyik sekali! Kalian jadi bisa bersama-sama terus dong?” Tanya Olie.
“Tidak juga, maksudku, dia memang tinggal di London, tapi pekerjaannya itu berpindah-pindah terus, bisa berbulan-bulan baru dia benar-benar berada di London” Jawabku, aku tidak bohong kan? Aku mengerutkan dahi sambil tersenyum.
“Dulu aku sempat pacaran, tapi baru satu minggu dia sudah mulai macam-macam—yah, kau mengerti kan? Bagiku satu minggu itu masih terlalu cepat. Kecewa sedikit sih, kupikir dia cowok yang baik. Well, setahun ini aku sendirian saja” Jelasnya. Aku mengangguk ringan. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Aku memang tidak ahli soal cinta-cintaan. Selama inipun aku dan Dani masih sering bertengkar karena hal-hal konyol. Dan Dani-lah yang selalu mengalah karena kekonyolanku. Dan dia pasti langsung kalah saat aku mulai menangis. Hey jangan salahkan aku, aku memang gampang menangis oke?
Dan hubungan kami… yah, Dani selalu menghindar saat kami mulai terlalu intim. “eh, sudah berapa lama kau dengannya?” Aku seperti sedang meladeni pertanyaan Abbey dan Dann kemarin.
“Hmm, hampir satu tahun” Jawabku. Dan tiba-tiba aku teringat ulang tahun Dani. Kurasa teman baruku ini bisa membantu. “Err… Olie, aku ingin minta bantuanmu sedikit” Pintaku. Punya teman memang berguna kan?
“Kubantu sebisaku. Ada apa?” Tanya Olie.
“Sebentar lagi Dani ulang tahun, menurutmu sebaiknya aku berikan dia apa?” Tanyaku. “tahun lalu aku membuatkannya cake karena waktu itu aku baru tahu tanggal lahir Dani sehari sebelum ulang tahunnya. Tahun ini kan tak mungkin aku memberinya cake lagi” Jelasku. Aku meliriknya. Matanya berbinar-binar dan bibirnya mengembangkan senyuman. “ada apa?” Tanyaku bingung.
“Aku tak menyangka akan secepat ini” Seru Olie.
“Apanya?” Tanyaku.
“Aku baru mengenalmu pagi ini, dan siang ini kita akan belanja bersama! A girls day out!” Katanya. Aku mengernyitkan dahi. Oh tidak, dia tipe yang shopaholic.
“Well, sebenarnya, aku harus bekerja setelah pulang kuliah. Aku harus minta izin dulu dengan bosku, jadi tidak mungkin kalau hari ini” Kataku. Aku baru saja seperti menghancurkan khayalan indah seorang gadis berusia tujuh tahun.
“Eh?” Katanya dengan suara lemas dan wajah yang langsung melesu. “kau bekerja?”
“Aku bekerja part time di sebuah kedai di Ashburton. Ehm, kalau besok atau lusa apa kau keberatan?” Tanyaku.
“Eh? Serius? Kupikir kau membatalkannya! Oke, aku sih bisa-bisa saja” Wajahnya kembali berseri-seri. Aku tensenyum menanggapinya.
***
“Bye, Carla! Sampai besok!” Seru Olie sambil melambaikan tangannya dari dalam jendela BMW hitam mengilapnya. Aaron sepupunya juga ada disana, dia yang mengemudi. Aku melambaikan tangan kearah mereka dan Aaron tersenyum sambil melirikku. Kurasa dia manis juga, pikirku sambil memasuki VW biruku. Oh, Carla, kau punya yang lebih tampan di flat mu oke?
Dalam perjalanan ke Ashburton, Dani mengirim SMS yang mengatakan dia sudah ada di kedai menungguku. Oh, yang benar saja. Dia sudah sampai duluan padahal kan aku yang bekerja disana.
“Hai,” Sapanya saat aku membuka pintu kedai. Dani meletakan cangkir yang ada di genggamannya di atas meja, menghampiriku dan langsung merngkuh pinggangku. Dia mengecup lembut dahiku. Hari ini dia pakai t-shirt berlengan panjang dan jeans, lengkap dengan topi baseball. Panyamaran? Kalau iya, buruk sekali. Kalau aku wartawan, aku akan langsung tahu ini Daniel. Dulu saat masih di Spanyol Dani memang sering sekali menyamar saat jalan denganku. Jaket kulit, kacamata hitam dan topi baseball. Aku seperti sedang berkencan dengan buronan polisi waktu itu. Kedai masih sepi pengunjung. Tapi aku juga tidak melihat Dann dan Math.
“Kau sedang menyamar?” Tanyaku heran saat perhatianku kembali pada Dani.
“Saat keluar apartemenku tadi sedang banyak wartawan,” Jelasnya sambil membuka topinya. Aku tertawa sambil berjalan kearah dapur.
“Hey,” Sapaku saat melihat Abbey sedang mengeluarkan cake dari dalam oven. Wanginya langsung membuatku lapar.
“Oh, hai, Carla! Eh, Dani ada di luar” Katanya.
“Iya, aku sudah bertemu dengannya tadi. Kenapa sepi sekali? Mana Dann dan Math?” Tanyaku.
“Mereka pergi ke tempat distribusi atau semacamnya, mereka mau komplain karena beberapa barang toko belum diantar” Jelas Abbey.
“Oh…” Kataku sambil mengenakan celemek dan bersiap untuk cuci piring. “dia sudah lama di sini?” Tanyaku.
“Dani? lumayan, kira-kira lima menit setelah Dann pergi, aku sempat kaget, kupikir dia perampok toko atau semacamnya” Jawab Abbey sambil memotong cake menjadi ukuran yang lebih kecil.
“Haha, dia pakai jaket hitam dan kaca mata ya?” Tanyaku.
“Iya, persis seperti penjahat. Tapi untunglah dia datang. Aku tadi memintanya menjaga toko sebentar untuk membuat adonan kue baru. Mrs Rocci tadi memborong hampir semua cake! Dia bilang ada pesta teh atau apalah, aku heran nenek-nenek sepertinya masih pesta teh? Terakhir kali aku pesta teh, waktu aku delapan tahun dengan boneka teddy bearku!” Jelas Abbey sambil menata potongan cake di nampan dan segera memajangnya kembali di konter yang kosong. Aku tertawa mendengarnya “Dan, kapan lagi kau bisa melihat seorang pembalap menjaga kedai” Tambahnya. sambil terkikik. Aku semakin tertawa endengarnya. Sepertinya Abbey menikmati fakta bahwa pembalap idolanya sedang menjaga kedai.
“Kau bisa buat kue apa saja, Carla?” Tanya Abbey saat aku menyelesaikan pekerjaanku.
“Hmm… apa ya? Ada beberapa, tapi aku tidak sehebat kau” Kataku.
“Booo… merendah segala… aku tahu kau mahir” Desak Abbey.
“Tidak, aku masih pemula” Kilahku. Aku tidak suka memamerkan kemampuan yang menurutku bisa dilakukan siapa saja di dunia ini jika mau berlatih.
“Daniel bilang…” Belum sempat Abbey menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyahut.
“Dia hanya melebih-lebihkan saja” Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dasar Dani, kalau mau pamer, pamerkan saja diri sendiri.
“Tapi aku tetap percaya” Kata Abbey kemudian menjulurkan lidah. “kalau kau mau berkreasi silakan saja, siapa tahu bisa laku terjual” Kata Abbey sambil menepuk-nepuk sekarung tepung di atas meja.
“Aku hanya takut kau dipecat karena posisimu kuambil alih” Candaku. Kami berdua tertawa bersama. Hari ini rasanya atmosfer diriku menips, aku benar-benar menikmati kebersamaanku dengan banyak orang hari ini—cukup banyak kalau dibandingkan aku yang biasanya menyendiri. Mungkin aku harus berterimakasih pada Cesc kerena telah menyadarkan aku tentang dunia luar. Dunia diluar duniaku dan Dani.
***
“Aku senang melihatmu ceria sekali hari ini” Kata Dani saat kami sedang menikmati makan malam di flatku. Aku memasak hari ini. Semuanya berjalan menyenangkan sepanjang hari dan membuatku ngin memasak. Aku membuat paella dengan potongan-potongan fillet ayam. Makanan kesukaan Dani. “dan aku senang kau memasakanku makanan ini” Lanjutnya. Aku tersenyum sambil memandanginya.
“Hari ini aku dapat teman baru di kampus, namanya Olivia, menurutku dia cantik sekali, dan sangat ramah. Beda sekali dengan cewek-cewek lainnya” Jelasku. “dia juga sangat ceria, sepertinya sedikit tertular kepadaku. Dan Abbey juga… hari ini dia luar biasa ceria”
“Kalau begitu kau harus menghindari pergaulan dengan kriminil, kalau tidak kau bisa tertular juga” Canda Dani.
“Hey, aku serius!” Sahutku sambil tertawa. Kali ini duniaku kembali diantara aku dan Dani. Setelah menghabiskan paella kami makan cake buah yang sempat kubuat di kedai sebelum pulang. Hari itu toko terbilang sepi, walaupun seluruh cake laku terjual. Dann dan Math juga tidak nampak sampai akhirnya aku, Abbey dan Dani-lah yang menutup toko.
“Pulang dan istirahatlah” Kataku saat Dani menarikku ke dalam pelukannya. Aku menyandarkan kepalaku di dada bidangnya yang hangat, sementara tangan Dani menarikku lebih merapat ke tubuhnya. Dani menggeser piring kotor ke atas meja, dan menarik tubuhku seluruhnya berbaring di atas sofa hijau lumut.
“Kau yang istirahat” Bisiknya di telingaku. Dia lalu mengecilkan volume TV.
“Kau juga… pasti bosan menunggui aku kerja seharian” Jawabku sambil melingkarkan tanganku di pinggangnya.
“Mana mungkin bosan saat bersamamu” Bisiknya lagi. Aku tersenyum mendengarnya. “keberatan tidak kalau malam ini aku menginap?” Tanya Dani.
“Mana mungkin keberatan” Jawabku. Kemudian aku melepaskan pelukannya dan bangkit. Aku beranjak duduk di pangkuan Dani, menghadap wajahnya dan kembali menyurukkan kepalaku di dadanya.
“Kau mau tidur dengan posisi seperti ini?” Tanya Dani sambil tertawa. Jemari tangannya membelai punggungku dengan lembut.
“Kalau kau bersedia kujadikan bantal raksasaku?” Candaku.
“Sebenarnya aku lebih tertarik jadi kasurnya” Katanya sambil menarikku. Dani merebahkan tubuhnya di sepanjang sofa tanpa melepaskan pelukannya dari tubuhku. Sekarang posisi tubuhku tepat menindih tubuhnya.
“Aku tak akan bisa tidur kalau begini” Kataku yang kemudian bangkit dari tubuhnya. Dani terkekeh dan ikut bangkit. Aku kemudian meraih tangannya dan berjalan ke arah kamarku. Kami masuk dan Dani menutup pintunya, padahal hanya ada kami berdua di sini—well, dan Cesc. Dani merengkuh tubuhku, aku melingkarkan lenganku di lehernya. Dani mengecupi seluruh wajahku mulai dari dahi sampai ke rahangku. Jantungku mulai berdetak keras, memompakan darah ke seluruh tubuhku. Kemudian bibirnya dengan pasti mengarah ke bibirku. Ciuman kami malam ini begitu berbeda, intens dan perlahan. Benar-benar pelan dan tidak terburu-buru, hingga aku bisa mengatur napasku dengan baik. Aku benar-benar merasakan sensasi luar biasa dari setiap gerakan bibirnya. Aku bisa mengecap rasa manis dari cake buah yang baru kami makan. Tubuhku bergetar setiap kali bibir kami perpagutan. Aku yakin bukan hanya aku yang merasakannya. Kurasakan tubuh Danipun bergertar samar saat pelukannya makin erat menghimpit tubuhku. Aku menyisipkan jari-jariku di sela rambutnya, mencegahnya mengakhiri semua ini. Tangan hangatnya melepaskan pelukan dan merengkuh wajahku, menggenggamnya lembut. Ah, tidak, jangan sekarang. Cesc saja belum menegurku. Itu berarti ini masih aman.
Aku mendesah protes saat tangannya menahanku. Tapi Dani tetap menjauhkan wajahnya dari wajahku, mengalihkan ciumannya kembali ke sudut mataku, kemudian turun ke pipi dan ke rahangku. Jantungku masih berpacu dengan hebatnya dan tarikan napasku memburu.
“Daniel…” Bisikku. Aku masih menginginkan ciumannya di bibirku. Aku meremas t-shirt bagian dadanya.
“Cukup, Sayang…” Desahnya sambil menggendong tubuhku dan membaringkanku di tempat tidur. Dani kemudian memutar dan berbaring di sampingku. Aku merapatkan jarak diantara kami dan Dani menyambutnya dengan pelukan. Aku memejamkan mata dalam pelukannya. Merasakan degupan jantungku melembut dan napasku kembali beraturan. Aku heran bagaimana Dani bisa menahan dirinya di saat seperti itu? Masalahnya adalah, ciuman yang tadi itu begitu… membakar. Aku menggigit bibir bawahku saat kurasakan tubuhku mulai memanas kembali, bahkan hanya dengan membayangkannya.
“Kau sudah tidur?” Tanyaku.
“Belum” Jawabnya lembut. Tiba-tiba saja ide gila entah dari mana asalnya merasuki pikiranku. Aku menarik tanganku dari himpitan tubuhnya dan meraih wajahnya. Ya, aku masih ingin ciuman yang seperti tadi.
“Carla…” Desahnya putus asa sambil menahan kedua tanganku yang menempel di pipinya.
“Kau jahat sekali Dani!” Kataku merajuk sambil menyurukkan kepalaku kembali di dadanya.
“Maaf, Sayang… tapi aku tidak bisa memastikan bisa mengendalikan yang tadi itu sekali lagi” Bisiknya di telingaku. Dani mempererat pelukannya dan mengecup lembut puncak kepalaku.
“Kau merasakannya juga kan?” Tanyaku. Aku baru sadar apa maksudnya.
“Tentu saja,” Desahnya. “dan aku sudah berjanji kepada orang tuamu untuk menjagamu, ingat? Aku tidak mau melanggar janjiku” Jelasnya.
“Ayahku kan tidak memintamu menjaga kesucianku” Sahutku yang masih diliputi keinginan untuk merasakan sensasi indah itu lagi. Aku delapan belas dan masih perawan. Hah. Aku juga tidak tahu apakah Dani pernah melakukan hal ‘itu’ dengan cewek lain sebelumnya. Dia hanya pernah bilang aku adalah cinta pertamanya. Tapi itu kan tidak menjelaskan segalanya.
“Itu sama saja menurutku”
“Kenapa kau selalu menahan diri begitu? Ini bukan yang pertama ingat?” Tanyaku. Benar, ini bukan kejadian pertama. Kami sempat dua kali tergelincir—itu sebutan Dani untuk peristiwa yang seperti tadi. Dan Dani selalu bisa mengakhirinya. “Aku tidak menarik bagimu ya?” Aku mengernyit saat membayangkan kalau aku tidak menarik baginya dari segi ‘itu’. Tiba-tiba kurasakan tubuh Dani mengejang dan dia melepaskan pelukannya, meraih wajahku dengan kedua tangannya.
“Pertanyaan macam apa itu?” Kata Dani sambil memandangiku.
“Habisnya kau selalu menghindari bagian ini” Desakku.
“Ya ampun, Carla… aku mencintaimu, aku menginginkan dirimu, bukan hanya tubuhmu, oke?” Jawab Dani sambil memandang mataku dalam-dalam. Aku terdiam mendengar penjelasannya. Memangnya alasan macam itu masih berlaku? Tahun berapa sih ini?
“Oke” Jawabku malas-malasan. Aku tak ingin bertengkar dengannya hanya karena masalah hormone remajaku.
“Tidurlah, sudah malam…” Bisiknya. Aku berusaha memejamkan mata, Dani membelai lembut rambutku dan perlahan kesadaranku mulai memudar.
Sekali lagi. Aku memimpikan hal yang sama. Padang rumput luas dan gelap, hanya disinari bias-bias keperakan cahaya bulan. Kali ini semuanya berkumpul. Ada Cesc, Dann, Math, Darren dan Dween. Tapi… tunggu dulu… itu Dani! Apa yang dilakukannya dalam mimpiku? Maksudku, bagaimana mungkin dia ada bersama teman-teman ghaibku? Aku memandang bingung dan memutar tubuhku ke arah Cesc. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Seketika kudapati wajahnya melunak dan bias kesedihan meliputi sorot matanya. Dwight dan Coleen menggenggam lenganku, mengajak aku meninggalkan tempat itu. Darren tersenyum sekilas, bukan senyum bahagia.
“Pergilah, Carla” Kata Cesc dan seketika pemandangan itu mengabur, menelan Cesc, Dani dan semuanya ke dalam kegelapan hitam pekat.
***
“Semalam kau tdak nampak?” Tanyaku pada Cesc keesokan paginya. Sekarang aku sedang berada di dapur dan sedang mencuci piring, ditemani Cesc. Dani masih terlelap di kasurku.
“Aku… memang tidak ada. Maaf aku tidak sempat bilang, aku pergi menemui Dwight semalam” Kata Cesc yang sedang duduk di konter di sebelahku. Aku menceritakan perkenalanku dengan Olie padanya, dan dia kelihatan senang. Semalam dia tidak di sini, pantas saja kamarku agak lebih hangat.
“Pantas aku tak merasakanmu” Dan lebih tepatnya, tidak ada yang menegurku semalam saat berduaan dengan Dani. Aku melirik ke arahnya. Alisnya bertaut, wajahnya kelihatan bingung sekaligus cemas. Namun matanya memancarkan rona tak percaya, seolah baru saja mendapati sesuatu yang tak diharapkan. “kau baik-baik saja?” Tanyaku. Cesc terlihat kaget dan sekejap, ekspresi wajahnya kembali normal saat memalingkan wajahnya ke arahku.
“Aku baik-baik saja” Jawabnya sambil tersenyum. Aku mengerutkan dahi. Aku tahu ada yang disembunyikannya.
“Kau tidak kelihatan baik-baik saja… ada apa? Mungkin aku bisa membantu?” Aku sebenarnya tidak mengharapkan teman hantuku ini sedang memiliki masalah dengan hantu lain. Maksudku, apa yang mungkin bisa aku lakukan untuk menyelesaikan masalah para hantu?
“Sungguh aku tidak apa-apa” Katanya yang kemudian lenyap. “pacarmu sudah bangun” Suaranya bergema di dapurku. Aku segera membalikkan tubuhku ke arah lorong dan beberapa detik kemudian Dani muncul. Dia tampan. Bahkan saat rambut dan bajunya kusut karena baru bangun tidur. Aku tersenyum kepadanya dan kembali menghadapi piring-piring. Sebenarnya aku baru saja ingin menceritakan mimpi-mimpiku—yang semakin hari semakin aneh karena sekarang muncul Dani di mimpiku kepada Cesc, tapi Dani sudah terlanjur bangun.
“Ingin sesuatu untuk sarapan?” Tanyaku saat Dani melingkarkan tangannya di perutku dan memeluk punggungku, mencium pundakku.
“Telur mata sapi dan roti panggang sepertinya boleh juga” Katanya.
“Oke” Jawabku seraya melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah lemari es untuk mengambil beberapa butir telur. Dani mengambil sekotak susu coklat dari lemari es dan langsung meminumnya.
“Aku tidak mau tahu kalau kau sakit perut” Kataku memerhatikan tingkahnya.
“Tidak akan, aku sudah biasa kok…” Katanya sambil menggoyangkan kotak susu.
Kami sarapan bersama dan Dani pulang sesaat sebelum aku berangkat kuliah. Kusempatkan untuk memanggil Cesc. Aku kan naik mobil, jadi kurasa tidak akan terlambat kalau ngobrol dengannya sebentar.
“Cesc?” Panggilku.
“Ya” Sosok sempurnanya muncul tepat di hadapanku.
“Aku masih memikirkanmu… sebenarnya ada apa?” Tanyaku.
“Carla… aku baik-baik saja, hanya sedikit… well, lelah kalau dalam bahasamu” Jawab Cesc. Dia menghampiriku dan merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang sedingin angin musim salju. “tidak usah cemaskan aku, jaga saja dirimu sendiri” Katanya lembut. Iris matanya yang merah menyala seolah menentramkan hatiku. Kecemasanku berangsur menghilang.
“Well, aku hanya ingin mengingatkanmu, kalau kau tidak sendirian… kau bisa menceritakan apa saja yang mengganggu pikiranmu” Jelasku.
“Terimakasih karena kau mencemaskan aku” Katanya sambil mendaratkan ciuman dinginnya di pipiku. Otomatis pipiku merona dibuatnya. Cesc terkekeh mendapati perubahan wajahku dan melepaskan tangannya dari wajahku. “kau manis sekali saat memerah begitu, aku suka” Katanya kemudian. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan spesial yang kurasakan saat dia menyentuhku. Sensasi adiktif yang membuatku ingin merasakannya lagi—persis seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Aku mendekatkan tubuhku kearahnya, mengulurkan tangan dan menyentuh permukaan kulit lehernya. Dingin. Aku mengalihkan pandanganku ke arah matanya yang merah membara. Cesc membalas tatapanku dengan lembut. Beberapa saat kami hanya berpandangan, tak ada satupun kata yang terucap. Tanganku merangkak turun ke arah bahunya yang bidang. Sudah sejak lama aku menyimpan rasa penasaran akan tubuhnya. Aku sempat berspekulasi tentang struktur tubuhnya yang terlihat begitu kokoh. Ternyata teksturnya sama saja seperti sedang menyentuh bahu manusia hidup, hanya saja aura dingin yang menguar dari dalam tubuhnya jelas bukan berasal dari manusia yang hidup. Tangan Cesc meraih punggungku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku sempat shock, namun itu hanya terjadi seper sekian detik karena sesudahnya aku malah merasakan perasaan berbeda yang sempat aku rasakan saat Cesc menciumku. Aku memejamkan mata sambil meresapi setiap udara dingin yang kurasakan di sekujur tubuhku. Aku belum pernah merasakan ketenangan yang seperti ini. Jarum jam seolah berhenti berdetik. Aku merasakan degup jantungku begitu lembut mengalun dan tubuhku meringan, merasakan sensasi indah saat udara dingin di dekapanku menguar dan terhirup, memasuki paru-paruku. Kepalaku terasa kosong, seolah aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk ini.
“Carla” Bisiknya di telingaku.
“Hmm?” Tanyaku setengah bergumam, menyadarkanku dari lamunan.
“Terimakasih” Kata Cesc lembut.
“Untuk apa?” Tanyaku lagi seraya melonggarkan dekapannya.
“Membuatku merasakan apa yang belum pernah kurasakan selagi aku hidup” Jawabnya sambil menatap kedua mataku lekat-lekat. Aku membalas tatapannya. “dan kau baru saja membuat perasaanku jadi lebih tenang” Sahutnya kemudian. Tangan Cesc masih melingkar di punggung dan pinggangku.
“Jadi benar kau sedang ada masalah?” Tanyaku sambil menyurukkan kembali kepalaku di dada bidangnya.
“Hmm… tapi aku tak bisa memberi tahumu” Jawabnya meng-iya-kan.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Aku tak ingin menyeretmu lebih dalam lagi. Cukup sudah yang kau ketahui tentang eksistensiku dan teman-temanku”
“Apakah ada hubungannya dengan kepergianmu tempo hari?” Tanyaku.
“Ya” Jawabnya singkat. Cesc memang belum menceritakan apa-apa tentang kepergiannya ke Timur bersama Dween, Darren, dan Math. Dan aku juga tidak berusaha menanyakannya. Kalau dia ingin aku untuk tidak tahu mengenai hal ini, itu tidak masalah, karena kenyataannya aku toh sudah diberi tahu lebih dulu oleh Dann. Tapi lebih baik fakta ini kusimpan sendiri saja.
Tanganku menggapai ke arah wajahnya. Aku ingin sekali menyentuh wajahnya yang rupawan itu. Cesc menatapku dengan lembut. Aku tersenyum. Aku jadi benar-benar lupa harus menanyakan mimpiku yang semakin aneh padanya.
“Selama ini kau yang selalu menyentuhku, sekarang giliranku” Kataku. Cesc tersenyum mendengarnya. Aku mendaratkan dua jariku—jari telunjuk dan jari tengah di pelipisnya dan seketika Cesc memejamkan mata. Aku menggigit bibir bawahku saat jari-jariku menyusuri lekuk wajahnya. Aku tidak pernah merasakan dirinya se-nyata ini. Dia sama sekali tak seperti ‘sesuatu yang sudah mati’. Alisnya, pipinya, hidungnya, bibirnya… sungguh seperti manusia normal, hanya suhu tubuhnya yang tidak normal.
“Kupikir kau harus berangkat kuliah?” Tanya Cesc lembut. Aku tersadar dan melepaskan diri dari pelukannya.
“Ya ampun! Terimakasih sudah ingatkan aku!” Kataku yang segera berlari memburu ke arah kamarku. Aku bergegas mengambil tas dan jaketku.
“Sekarang bukan aku saja yang kecanduan menyentuh ya?” Tanya Cesc sambil terkekeh. Kecanduan? Aku memang sudah kecanuan padanya sejak awal, tapi aku tidak tahu kalau Cesc juga kecanduan padaku? Aku melanjutkan langkahku sampai di depan pintu.
“Sampai nanti!” Sahutku sambil keluar dan dan mengunci pintu flatku. Aku bergegas menuruni tangga dan masuk ke dalam kabin mobil biruku, berusaha tidak mengebut selama perjalanan ke kampusku.
;tbc;
Phew... kayaknya udah ada bumbu-bumbu cinta 'segitiga' nih...
BalasHapus(Aww Cesc... kau memang keren!)
Lanjutkan, mew! XD
tengkyuuu XD
BalasHapus