Para Pembersih“Mengapa mereka mamakai pakaian yang sama?” Tanyaku bingung. Melihat sebagian besar pengunjung siang ini berpakaian seragam. Ada yang masih muda—sepertinya seumuran denganku, ada juga yang sudah paruh baya, mungkin seumur dengan Math dan Dann.
“Mereka supporter sepak bola, Carla. Astaga, kau tidak tahu?” Tanya Abbey membelalak terkejut. Shock akan ketidaktahuanku.
“Aku memnang tidak mengerti tentang sepak bola” Belaku.
“Ini London, Carla! Kami punya empat klub sepak bola besar disini! Salah satunya akan bertanding sore ini, Arsenal akan bertanding melawan AC Milan di fase grup Liga Champions” Abbey menjelaskan. Sepertinya dia paham benar dengan sepak bola. Atau mungkin hanya aku saja di tempat ini yang tidak paham? Kulihat Mathieu dan Danniene juga sedang asyik mengobrol dengan beberapa pengunjung. Suasana kekeluargaan yang nyaman. Seolah-olah mereka semua punya tali penghubung yang tidak terlihat. Semua pengunjung saling sapa dan mengobrol dengan hangat. Mereka seperti memiliki gairah yang sama, yang sama-sama berkobar dengan semangat.
“Kita punya peluang lolos lebih bersar dari mereka!” Seru salah seorang pengunjung dengan semangat. Diikuti oleh sorak sorai pengunjung yang lain.
“Kita akan menang malam ini!” Kata orang itu lagi. Apa dia itu semacam pemimpin mereka? Suara gemuruh membahana di dalam kedai. Mereka seperti sedang menyanyikan sebuah mars atau jingle khusus. Tapi aku sama sekali tidak menangkap sepatah katapun dari nyanyian mereka saking riuhnya. Aku mengerutkan dahi mendengarnya.
“Mereka luar biasa kan?” Tanya Danniene ditengah riuhnya nyanyian pengunjung.
“Yeah,” Komentarku. Aku tak berhasil menemukan kata yang lain.
“Inilah yang aku sukai dari Inggris! Sangat mencintai sepeak bola” Kata Danniene berseru senang. Sepertinya ia merasa sepuluh tahun lebih muda dalam keriuhan ini. Saat aku masih di Spanyol suasana memang sangat ramai saat salah satu klub terbesar melakukan pertandingan penting. Bagaimana tidak? Aku tinggal di Bercelona. Para supporter biasanya berpesta semalaman kalau klub yang mereka dukung menang. Tapi biasanya hanya terjadi di sekitar stadion.
“Stadionnya ada di dekat sini, kalau begitu?” Tanyaku kepada Abbey setelah Danniene kembali ke kerumunan.
“Well, Carla. Kurasa kau butuh berkeliling kota. Mintalah libur satu hari pada Dann” Jawab Abbey.
“Apa maksudmu?” Tanyaku bingung.
“Stadionnya hanya dua blok dari tempat kita berdiri, Carla!” Kata Abbey sambil menunjuk ke sebelah barat kedai.
“Masa kau tidak menyedari stadion sebesar itu? Emirates Satadium. Yang termewah di Inggris!” Dia berkata dengan berapi-api. Membuatku terlihat bagai idiot yang tersesat di pusat dunia.
“Well, sepertinya aku memang harus berkeliling kota” Desahku pasrah. Sepertinya hanya aku sendiri yang buta sepakbola di tempat ini. Abbey berjalan riang ke arah kerumunan, bersama Mathieu mereka ikut menyanyikan mars-mars yang sama sekali tidak aku mengerti. Sejenak aku mendengar beberapa diantara mereka menyerukan nama-nama—banyak nama, yang aku yakin adalah nama pemain sepakbola dari klub itu. Aku berjalan ke arah dapur dan mendapati Danniene sedang mengobrol di telepon. Wajahnya terlihat serius. Aku hendak memutar kembali tubuhku, menghindari mencuri dengar pembicaraan telepon Danniene. Tapi mendadak langkahku terhenti. Seperti ada yang menahanku.
“Kau harus mendiskusikannya dengan yang lain! Kau… kalian, tidak boleh membuat keputusan sepihak!” Danniene berusaha sebisa mungkin menahan luapan emosinya saat bicara. Aku tertegun. Aku tidak pernah mendengar Dann berbicara dengan logat perancis yang begitu kental Mendadak aku jadi ingin mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh Danniene dengan sesorang yang entah siapa diujung telepon.
“Sekali lagi kuberi tahu, kalian tidak boleh—tidak harus melawan mereka sendiri, maksudku” Danniene berusaha merendahkan suaranya.
“Baiklah, tentu saja… hmm, ya, kami ada pertandingan sepakbola, pertandingan besar. Semua orang pasti sibuk, tidak akan ada yang memerhatikan. Datanglah, kalau begitu” Pinta Danniene. Aku semakin penasaran, siapa yang sedang bicara dengan Danniene di ujung sana? Aku termenung. Apakah inti pembicaraan Danniene dan seseorang itu adalah tentang seseorang—sesuatu yang akan datang ke Eropa? Yang Cesc sebut tentang ‘menguasai’ Eropa.
“Carla?” Danniene memergokiku sedang mematung di ambang pintu. Aku yakin wajahku pucat. Aku tidak pernah menguping pembicaraan orang lain sebelumnya.
“Maaf… itu, aku tidak bermaksud… sungguh” Sahutku terbata-bata. Berusaha menjelaskan posisiku.
“Sejak kapan kau di sini?” Tanya Danniene ramah, tidak terdengar marah sama sekali. Aku yakin pertanyaannya itu sama artinya dengan ‘Seberapa banyak yang sudah kau dengar?’
“Belum lama,” Jawabku jujur.
“Tidak apa, Carla. Aku tidak marah, itu tadi bukan telepon penting—tidak terlalu penting. Hanya teman lama yang akan datang berkunjung” Sergah Danniene sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku masih merasa tidak enak. Ini kali pertama aku mencuri dengar pembicaraan seseorang, dan langsung ketahuan. Benar-benar tidak berbakat.
“Kau mau menyaksikan pertandingannya bersama kami?” Tanya Danniene memecah kesunyian. Dia tersenyum sambil menunjuk ke arah kedai yang sudah disulap menjadi ruang menonton. TV diletakkan di sisi dinding dan semua meja dan kursi dibentuk barisan.
“Kau salah mengajak orang, aku tidak mengerti sepakbola” Jawabku sabil tertawa.
“Kau tidak perlu jadi jenius untuk mengerti sepakbola, Sayang” Kata Danniene sambil menarik tanganku. Aku senang dia tidak marah. Saat pertandingannya hampir dimulai—menurutku, karena layar TV bukan lagi berisi para komentator sok tahu, tapi sudah beralih ke sebuah lapangan besar yang disinari lampu-lampu sorot, padahal matahari belum terbenam. Handphoneku berdering. Daniel. Aku bergegas ke luar ruangan, menghindari suara bising dan riuh para supporter yang kehabisan tiket untuk menonton langsung, memilih tempat ini untuk menonton bersama. Aku mempercepat langkahku kemudian aku mengangkat handphone.
“Hallo,” Sapaku. Rongga dadaku seakan penuh dengan perasaan mengambang yang menyenangkan. Selalu seperti ini saat sedang mengobrol dengan Dani, walau hanya di telepon.
“Carla,” Desahnya diujung telepon.
“Apa?” Tanyaku sok keren, seolah telepon darinya hanya menyita waktuku, yang sebenarnya adalah aku rela ia menyita waktuku seumur hidup walau hanya dengan bertelepon.
“Harusnya aku tidak usah pulang ke London kemarin, dan menemuimu,” Desahnya lagi.
“Memangnya kenapa? Kau menyesal menghabiskan malam denganku?” Tanyaku dengan nada setengah merajuk. Entah mengapa aku merasa sedang merayunya—dan berhasil, saat bicara dengan nada seperti ini. Sedikit menggelikan, memang, tapi aku suka.
“Menyesal? Sangat. Kau tahu, gara-gara aku menemuimu ditengah jadwal balapku, seharian ini aku tidak bisa berkonsentrasi” Katanya.
“Aku tidak mengerti? Aku mengganggu konsentrasimu?” Tanyaku bingung.
“Yeah, belum apa-apa aku sudah merindukanmu. Biasanya aku bisa lebih tahan menghadapi ini, kurasa pertemuan singkat yang kemarin itu…” Katanya, suaranya menggema di telingaku. Suara yang pemiliknya adalah sesorang yang paling aku inginkan di dunia ini. Aku melanjutkan kata-kata Daniel.
“…malah mebuatmu merindukanku?” Tanyaku memastikan.
“Yap. Aku di Paris. Datanglah,” Pintanya. Ia meminta aku datang ke Paris, seolah-olah Paris ada di seberang jalan.
“Jangan ngaco! Paris itu jauh” Sahutku.
“Carla! Tidak sampai tiga jam naik Eurostar, Kau juga sudah kuberikan sebuah kartu pass untuk memasuki paddock” Kilahnya. Dia memang memberiku sebuah kartu pass, yang digunakan para staff penting untuk keluar masuk area khusus pembalap dan mekanik mereka bekerja. Biasanya hanya para pengunjung khusus—yang membayar harga ekstra yang memiliki kartu ini, dan itupun hanya berlaku selama hitungan hari. Dan ada juga kartu pass yang dimiliki orang-orang terdekat sang pembalap. Pembalaplah yang menentukan siapa saja yang berhak hilir mudik di area itu. Biasanya kartu jenis ini dimiliki oleh keluarga pembalap, entah orang tua, isteri atau anak. Dalam kausku, pacar. Kartu ini berlaku sepanjang musim balap. Aku bisa dibilang bebas hilir mudik di seluruh sirkuit balap di berbagai Negara. Hanya saja aku tidak pernah menggunakan kartu itu. Aku hanya sekali menggunakannya, saat masih di Spanyol. Dan aku langsung jera. Banyak sekali kamera TV disana. Lebih banyak dari yang dapat aku prediksi. Karena aku sama sekali tidak ingin ter-ekspos sebagai kakasih seorang pembalap, akhirnya aku meutuskan untuk menyaksikan balapannya dari ruangan lain, bukan di paddock. Aku menghela napas panjang. Mengingat pengalaman pertamaku datang ke sebuah kejuaraan balap.
“Daniel,” Kataku mantap. “Besok aku ada kelas, aku tidak suka membolos kau tahu itu” Jawabku. Sunyi sesaat. Apakah aku salah bicara?
“Kau tidak lantas jadi bodoh hanya karena membolos satu sampai dua kelas kuliah. Lagipula kau kan jenius,” Katanya. Kata jenius menurutku terlalu berlebihan. Aku memang di terima berkuliah di sini karena jalur bea siswa, tapi bukan berarti aku sepintar itu.
“Aku bukan jenius, Dan, nilaiku harus sempurna kalau tidak ingin bea siswaku ini di cabut. Dan membolos tidak akan membuat nilaiku bagus” Kilahku. Bukannya tidak ingin menemuinya, melihat sosok paling spesial dalam hidupku, tapi memang, aku tidak boleh—tidak bisa membolos. Suasana sunyi kembali. Ini benar-benar terlihat seperti aku sedang mencampakkannya—hal yang paling tidak akan mungkin aku lakukan. Aku tidak mendengar suaranya sama sekali. Seolah-olah ia tertidur di ujung sana.
“Daniel,” Panggilku. Tidak ada jawaban. “Daniel…” Panggilku sekli lagi, dan kembali tidak ada jawaban. Okay, dia sudah benar-benar membuatku merasa bersalah.
“Tidakkah seharusnya kau sedang belajar sekarang? Supaya nilai-nilaimu sempurna?” Tanya Daniel dingin. Pertanyaan yang sungguh menjengkelkan. Aku memang lebih menyukai mebaca buku-buku referensi dibanding jalan-jalan ke mall, tapi tak seharusnya dia bertanya begitu padaku. Dia menanyakannya seperti pekarjaanku hanya belajar dan belajar tanpa kenal waktu. Aku menyadari suasana tidak enak—tidak bersahabat.
“Kau ingin aku menutup teleponnya?” Tanyaku kembali. Aku cukup kesal untuk mengatakannya.
“Tidak usah, aku saja…” Kata Daniel. Kami memang seharusnya tidak bicara lebih jauh lagi disaat seperti ini, atau pertengkaran kecil ini malah akan menjadi semakin besar. Sunyi kembali. Aku menunggunya memutus sambungan.
“Selamat malam,” Kata Daniel. Suaranya tak menggambarkan ekspresinya, tak terbaca. Apakah aku sungguh menyakiti perasaanya? Aku jamin malam ini aku tidak bisa tidur kalau sampai bertengkar dengannya hanya karena… kelas kuliahku?
“Selamat malam,” Jawabku.
“Aku mencintaiu,” Katanya lagi. Aku buru-buru menjawab sebelum ia menutup teleponnya.
“Aku lebih mencintaimu, kau tahu itu,” Kataku. Dengan ini aku harap dia tidak salah menyangka bahwa penolakanku bukan karena aku tidak mencintainya.
“Yeah, aku tahu, tapi tetap saja rasa cintaku kepadamu tak terkalahkan” Balasnya. Aku tersenyum, hampir tertawa. Tapi aku menahannya sebisaku. Suasana sudah mencair kembali, syukurlah. Aku paling tidak suka bertengkar dengannya. Walaupun kami memang terbilang sering bertengkar karena hal-hal kecil.
“Kapan tepatnya kau akan menutup telepon?” Tanyaku.
“Setelah aku selesai menyatakan cintaku—mungkin”Jawab Dani.
“Kau sudah menyatakannya berjuta-juta kali, tidakkah itu cukup?” Tanyaku, kali ini disertai tawa. Aku tidak mampu menahan tawaku lagi. Menanggapi kelakuannya, yang selalu tidak mau kalah menganai hal ini.
“Tidak akan sepenuhnya cukup, walau aku lakukan seumur hidup” Jawabya tanpa ragu. Semantara aku masih tersenyum-senyum. Kebahagian membuncah di tubuhku, kebahagiaan akan posisinya dan posisiku—perasaanya terhadapku dan perasaanku terhadapnya adalah sama.
“Hentikan, ini tidak akan ada habisanya” Sahutku. Dani yang sekarang tertawa. Kami memang terlihat—terdengar kalau saat ini, sangat konyol pada situasi begini. Mungkin sisi konyol dan idiot dari diriku tertular padanya.
“Kau jahat sekali tidak mau datang dan menyaksikan balapku Carla” Katanya tiba-tiba. Aku teregun tentang seberapa sering aku menolak ajakannya untuk datang ke sirkuit balap.
“Kau berkeliling dunia, Dani. Mana mungkin aku bisa sering datang di balapmu” Jawabku. Dan itu benar. Ia balapan di berbagai Negara. Mulai dari Eropa sampai Amerika, aku mengganti posisi handphoneku, memindahkannya ke telinga satunya.
“Alasanmu masuk akal, kalau begitu kau tidak boleh menolak ajakanku yang satu ini” Katanya.
“Ajakan ke Perancis? Astaga! Jadi kau anggap hanya karena ada jalur kereta yang menghubungkan Paris dengan London kau bisa seenaknya memintaku datang?” Tanyaku jengkel. Siapa sih yang membuat jalur kereta api sialan itu?
“Bukan, Carla! Maksudku, ajakanku setelahnya” Jawabnya meralat perkataanku.
“Ajakan yang mana kalau begitu?” Tanyaku. Aku tidak ingat dia mengajakku ke tempat lain.
“Race berikutnya di Donington Park. Aku memintamu datang, kau tidak boleh menolaknya” Jawabnya mantap. Donington Park, Castle Donington, Derby. Masih di Inggris walaupun tidak dekat. Selama ini aku memang berusaha menghapal semua nama dan alamat sirkuit langganan kejuaraan balap.
“Hari apa racenya?” Tanyaku. Aku tahu aku tidak boleh menolaknya kali ini, kalau aku masih ingin berpacaran dengannya tentu saja.
“Minggu, tepatnya empat belas hari lagi” Jawab Dani. Aku berpikir sejenak. Aku rasa aku bisa meminta libur satu hari pada Dnniene.
“Baiklah, aku akan datang” Jawabku kemudian.
“Kau serius?” Tanya Dani. Aku dapat merasakan aura semangatnya.
“Seratus persen” Jawabku yakin.
“Terimakasih” Kata Dani kemudian.
“Tidak perlu berterimakasih segala,” Kataku setengah merajuk.
“Okay. Well, lanjutkanlah belajarmu, Carla,” Kata Dani kemudian. Sepertinya dia yakin benar aku sedang belajar. Aku yakin dia akan mengamuk kalau tahu apa yang sedang aku lakukan sebanarnya. Bekerja paruh waktu.
“Tahu dari mana kau aku sedang belajar?” Tanyaku jahil.
“Apa lagi sih yang kau lakukan saat tidak sedang bersamaku?” Tanya Dani balas meledekku.
“Haha, yeah, kau benar. Aku punya pengalih perhatian disini, buku-buku kuliahku sungguh satu-satunya hal yang bisa menyingkirkanmu dari kepalaku walaupun sementara” Jawabku.
“Kau benar, aku juga punya satu kalau begitu. Punyaku lebih besar dan beroda dua” Jawabnya sambil terkekeh. Yang Dani maksud tentu saja adalah motor balapnya. Aku lantas teringat kata-katanya, dia pernah bilang padaku, dua hal yang tak bisa pergi dari pikirannya, balap dan aku. Aku tahu mungkin bagi sebagian orang kalimatnya itu adalah rayuan gombal sok puitis, tapi aku tidak menemukan arti lain dari kata-katanya. Ia mengatakannya dengan serius, kemudian dilanjutkan sebuah kalimat lagi. ‘Aku minta padamu untuk tidak memaksaku memilih antara kau dan balap, karena aku sungguh lebih memilih mati daripada kehilangan salah satunya’ balap adalah hidupnya, itu yang aku simpulkan. Aku datang belakangan, setelah balap menjadi hidupnya selama bertahun-tahun. Tidak ada alasan bagiku untuk memintanya menyingkirkan balap dari otaknya.
“Jangan lupa menyaksikan balapku besok siang,” Kata Dani akhirnya.
“Aku tidak pernah terlewat semenitpun,” Sahutku.
“Aku senang kau melihatku, walau dari TV” Katanya kemudian.
“Semoga besok sukses,” Doaku di akhir perbincangan panjang kami.
“Terimakasih, aku mencintaimu” Kata Dani.
“Aku juga,” Jawabku, keudian telepon terputus. Aku beranjak kembali memasuki ruangan. Yang penuh dengan keriuhan supporter Arsenal. Aku melirik ke layar TV wide screen itu saat melewatinya. Skor masih kosong-kosong, menit ke tiga puluh. Setengah jam sudah aku bertelepon dengan Dani. Tidak terasa.
“Pacarmu?” Tanya Abbey. Aku terkesiap. Seingatku tadi aku sudah barada di luar toko saat menjawab telepon Dani. Apakah dia menguping?
“Enak saja, aku tidak mendengar kok, aku hanya melihat ekspresi wajahmu, berubah. Jadi… merona,” Jawabnya. Kurasa hubunganku dan Abbey luar biasa berkembang saat ini.
“Wajahku merona?” Tanyaku bingung. Memang ada bedanya ya?
“Yeah, aku memang agak peka, sering melihat yang tak terlihat” Jawab Abbey. Dia melihat yang tak terlihat. Peka? Aku cukup terkejut.
“Aku bisa merasakan berbagai macam perubahan suasana hati, mungkin itu… aku tidak pandai menjelaskannya” Kata Abey sambil menumpuk piring-piring kotor di meja di sebelahku. Menumpuk pekerjaanku.
“Wow,” Responku sepertinya kurang tepat.
“Kau tahu? Kau orang pertama yang membuatku nyaman berada di dekatmu—padahal kita baru kenal, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, agak aneh, seperti ada sesuatu di dadaku yang hendak melompat keluar,” Abbey menjelaskan panjang lebar tentang perasaannya kepadaku. Seolah-olah dia baru saja melamarku.
“Aku tidak pernah bicara sebanyak denganmu dengan orang yang baru aku kenal selama dua hari. Kau ajaib, Carla, tidakkah kau merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirimu?” Tanya Abbey. Sesuatu yang beda mungkin adalah ada bagian dari otakku yang terkadang berpikir konyol.
“Aku tidak merasakan apapun,” Jawabku. Aku lalu mulai menyabuni piring-piring keramik yang Abbey tumpuk di sebelahku. Agak senang juga rasanya memiliki teman perempuan yang bisa diajak mengobrol. Meningat semua teman sekelasku tidak ada yang bersahabat─dan aku memang tidak berusaha membangun pertemanan dengan anak-anak sok pintar itu.
“Mungkin kau memang tidak merasakannya, tapi orang-orang di sekitarmu yang merasakan,” Lanjut Abbey mantap. Aku tidak lantas memercayainya. Kalau aku memang dapat membuat orang lain nyaman saat bersamaku, mengapa sampai sekarang aku tidak punya teman? Kemudian sesosok yang sudah sangat familier denganku satu bulan ini muncul. Aku terlonjak saking kagetnya, membuat sabun cuci piring terciprat kemana-mana, sebagian mengenai celemekku. Mengapa dia ada di sini? Mengapa Cesc muncul di tempat ini? Ada Abbey di sini!
“Apa yang kau…” Aku bertanya nyaris seperti bisikan saking pelannya. Kuharap Abbey tidak menyadari kehadirannya. Aku tidak mau menakuti teman baruku. Cesc tersenyum melihat tingkahku.
“Dia tahu aku di sini, Carla” Kata Cesc sambil mengerlingkan matanya ke arah Abbey. Sejurus kemudian Abbey menatapku, memalingkan wajahnya ke padaku
“Aku tahu dia di sini Carla, walaupun dia tidak menampakkan dirinya kepadaku, ingat kan? Aku peka” Seringai Abbey sambil lalu, membawa piring-piring yang telah selesai aku cuci.
“Dia sengat spesial, dapat merasakan yang tidak terasa, aku kagum pada sensenya,” Kata Cesc kemudian saat Abbey meninggalkan kami berdua di dapur.
“Dia tidak melihatmu? Tapi kenapa? Aku jelas sekali—kau jelas-jelas terlihat olehku” Aku menayakan sambil mencipratkan air dari bak cuci untuk membilas busa di lengan dan celemekku.
“Dia merasakanku, tapi aku tidak memperbolehkannya melihatku, lain denganmu, aku memang menampakkan diri untukmu” Jawab Cesc sanbil mendekatkan diri padaku. Berjalan melewatiku, kemudian duduk di konter sisi bak cuci piring.
“Lalu, apa yang membuatmu kemari? Seharusnya kau kan menjaga tempat tinggal kita?” Tanyaku. Hampir saja aku tertawa saat menyebutkan ‘tempat tinggal kita’
“Aku bukan House Elf! Aku memang ingin berpamitan, aku akan pergi mungkin satu sampai dua hari…” Katanya. Menjelaskan.
“Apa? Kemana tepatnya?” Tanyaku penasaran. Dia mau pergi? Meninggalkan aku di flat suram itu sendirian? Pada awalnya aku memang takut kalau harus tinggal sendirian, dan sangat bersyukur karena pada akhirnya aku tidak tinggal sendirian, walaupun yang tinggal bersamaku bukan manusia, tapi cukup—sangat bersahabat. Dan tidak merepotkan, tidak butuh makan, tidak butuh tempat tidur. Sangat tidak merepotkan. Nilai plus lainnya, dia luar biasa tampan.
“ Ke… Timur, bersama Darren, Mathieu, dan Dween—Dwight dan Coleen” Cesc menyebut mereka itu satu paket. Dwight dan Coleen. Paket penghisap darah, kalau begitu. Vampir menjengkelkan-tukang-intip-isi-kepala-orang dan Drakula cantik-tak-bercela.
“Danniene?” Tanyaku.
“Dia tinggal, teman lamanya akan datang kurasa,” Kata Cesc dengan nada tidak yakin. Teman lama, teman jenis apa? Teman yang tadi mengobrol dengannya via telepon di dapur?
“Kau kan sudah janji akan melanjutkan ceritamu tentang Dween?” Tanyaku.
“Aku bisa menceritakannya kapan saja, Carla. Ini lebih penting” Jawab Cesc
“Dan, bisakah kau… selama aku pergi, setidaknya, tetap menjaga tempat tinggal kita utuh?” Tanya Cesc kemudian . Aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Apa maksudu menjaga agar tetap utuh?” Tanyaku bingung.
“Kau sudah berulang kali, dalam frekuensi yang mencengangkan—tanpa kau sadari, hampir meluluh-lantakkan tempat tinggal kita, kau tahu?” Katanya jengkel.
“Aku tidak mengerti?” Aku semakin bingung. Mana mungkin aku pernah melakukan sesuatu seserius itu. Meluluh-lantakkan?
“Dalam satu bulan pertama, kau hampir membakar tempat itu! Tidak menutup saluran gas, stop kontak tebuka, kompor yang menyala semalaman… kau pikir sudah berapa kali aku menyelamatkan tempat itu?” Cesc sepertinya marah, namun sorot matanya malah terlihat sebaliknya.
“Aku tidak tahu… maksudku, mengapa kau tidak memberi tahuku?” Tanyaku. Seharusnya aku diberi tahu soal betapa liarnya aku—betapa liarnya kecerobohanku.
“Kurasa ini seperti simbiosis mutualisme bagiku. Jadi aku tidak merasa perlu memberi tahumu tentang betapa cerobohnya kau,” Cesc menjelaskan.
“Simbiosis bagaimana? Aku hampir membakar tempat tinggalmu!” Sergahku buru-buru.
“Dengan adanya kau di tempat itu—di flat kita, berarti aku sudah tidak perlu lagi repot-repot menghadapi manusia-manusia baru hampir setiap bulannya, itu melegakan, aku tidak harus mengacak-acak perabotan orang yang baru satu minggu tinggal,” Cesc menjelaskan sambil terkekeh, ia berkata seolah-olah sebenarnya dia tidak begitu suka mengganggu manusia.
“Well, sudah cukup mengobrolnya, aku harus pergi. Jaga tempat itu—flat kita baik-baik, aku tidak mau saat aku kembali nanti aku hanya menemukan puing-puing gosong” Katanya, kemudian ia berjalan ke arah sudut ruangan, berbalik dan menatapku sekilas, kemudian lenyap sama sekali. Aku heran, kemana perginya aura dingin aneh yang biasanya menguar dari tubuhnya saat ia muncul. Karena saat ini aku tidak merasakannya sama sekali. Sedetik kemudian Abbey muncul.
“Dia pergi?” Tanyanya, aku lupa ada orang lain yang merasakan kehadirannya selain aku di sini, walau tanpa melihat wajahnya. Syukurlah dia tidak melihat, aku tidak mau berbagi kesempurnaan itu dengan siapapun di dunia. Kesempurnaan itu milikku seorang.
“Yeah, kau merasakan kepergiannya juga?” Tanyaku.
“Aku merasakannya, saat ia datang dan saat ia pergi. Aku kaget Carla, kau baru saja… aku baru saja melihatmu berkomunikasi dengannya! Dia bahkan tidak terlihat!” Abbey terlihat histeris mendapati bukan hanya dia yang mampu merasakan kehadiran Cesc. Aku tersenyum padanya. Mencoba menenagkan histerianya.
“Aku juga tidak paham dengan hal yang baru saja terjadi, tapi, dia hantu baik. Tidak usah dipikirkan lagi. Kurasa kita punya beberapa persamaan tentang makhluk yang bukan manusia ini, Abbey” Kataku.
“Kau benar. Oh, sudahlah, aku masih harus memasukkan piring-piring” Kata Abbey kembali meninggalkanku di dapur. Suara masih membahana dari depan kedai. Cesc pergi selama dua hari. Aku tidak akan menjumpai sosok indah itu di sudut dapur malam ini, besok pagi dan besoknya lagi. Mendadak perasaan aneh muncul. Aku tidak mau sendirian. Dani sedang di Paris. Bagus sekali! Dua hari ini aku benar-benar sendirian.
Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku lantas berjalan ke arah toserba, menghindari kedai yang ramai. Danniene sedang duduk santai di sudut meja kasir.
“Math sudah pergi?” Tanyaku.
“Kau tahu mereka pergi?” Tanya Dann.
“Cesc tadi… berpamitan denganku,” Agak aneh mengucapkan tentang hantu yang berpamitan. Aku ingin sekali tertawa saat ini kalau bisa. Danniene tersenyum mendengarnya.
“Bolehkah aku tahu… kemana mereka semua?” Tanyaku ragu. “Cesc hanya bilang ke Timur… timur kan bisa berarti sepanjang Eurasia” Kataku kemudian. Danniene terkekeh dan kemudian menjawab.
“Kau tidak suka dia pergi jauh?” Tanya Dann.
“Aku tidak suka sendirian” Jawabku jujur. Dan mengetahui kemana sebenarnya mereka—Cesc-ku, pergi menurutku dapat membuatku sedikit lebih tenang. Oh, well, sekarang aku merasa telah memilikinya.
“Mereka pergi ke Timur, Cesc benar. Tepatnya ke Magyarország—Hungaria” Jawab Danniene tenang. Hungaria? Itu tidak dekat… apa dia serius tentang janjinya pergi selama dua hari? Atau hanya berusaha agar aku tidak berpikir dia akan pergi lebih lama?
“Cesc bilang hanya dua hari…” Desahku tak suka.
“Hungaria tidak sejauh itu, Carla… kau tentu tahu bagaimana cara mereka bepergian!”
“Oh!” Aku terkesiap. Kalimat Danniene barusan melegakanku. Cara mereka bepergian. Cara Cesc-ku bepergian. Cesc memang bisa menghilang dalam sekejap dan sudah berpindah tempat pada detik selanjutnya. London ke Hungaria sama sekali bukan masalah kalau begitu. Tapi, apa tujuan mereka pergi bersama-sama begitu?
“Apa yang akan mereka lakukan di Hungaria?... kalau aku boleh tahu,” Tambahku.
“Tentu saja kau boleh tahu. Carla, kau sadari atau tidak, Cesc sudah membuatmu menjadi sosok yang bersekutu dengan kami, pertemanan kalian berdua membawamu masuk ke dunia kami” Kata Dann mantap.
“Oh, ini terdengar seperti di film fantasi saat kau menyebut Dunia kalian” Sergahku. Mendadak itu terdengar lucu, kamipun tertawa bersama.
“Memang sebagian besar manusia menganggap eksistensi kami adalah fantasi, Sayang” Kata Dann kemudian. Ia berdeham beberapa kali baru kemudian melanjutkan.
“Mereka sedang menemui Para Pembersih,” Kata Dann tenang namun terkesan hormat. Aku mengernyit bingung. Para Pembersih. Mereka tentu yang bertugas membersihkan. Tapi apa tepatnya yang mereka bersihkan? Tentu bukan kotoran biasa, mengingat cara Dann menyebut mereka dengan formal.
“Para Pembersih?” Tanyaku. Aku melihat rahang Dann mengejang. Mungkin dia berharap aku tidak pernah menanyakan hal itu.
“Well, seperti namanya, mereka yang bertugas membarsihkan. Mereka tersebar di seluruh benua. Yang di Eropa ada di Hungaria, di Asia ada di Filipina, di Amerika bermarkas di Chile, di Afrika ada di Afrika Selatan, satu di Australia, Artik, dan Antartika” Danniene.
“Mereka ada di seluruh dunia? Tapi bagaimana yang di kutub selatan? Mana mungkin ada yang bisa bertahan hidup di…” Aku tersentak, membelalakan mata. Aku tersadar dengan siapa aku sedang bicara sekarang ini, dan apa yang sedang kami bicarakan.
“Mereka mungkin tidak akan bisa bertahan hidup kalau seandainya mereka manusia” Kata Dann perlahan. Memberi tekanan pada setiap kata-katanya. Kalau seandainya mereka manusia. Aku bergidik. Harusnya aku sudah tidak takut lagi saat membicarakan hal-hal gaib seperti ini. Harusnya aku sudah terbiasa. Tapi jantungku menolak membiasakan diri. Jantungku berdetak takkaruan, menimbulkan rasa nyeri yang teramat sangat. Hanya rasa penasaran yang membuatku tetap berdiri.
“Apa sebenarnya mereka? Apa yang mereka bersihkan?” Tanyaku dengan suara gemetar.
“Mereka bukan manusia, tapi mereka hidup dan tumbuh, mereka menua, dan mati. Mereka memiliki kekuatan yang tak terduga, mereka mengabdi kepada Tuhan. Mereka sangat dihormati oleh golonganku—penyihir, kami menganggapnya penyeimbang. Membersihkan segala kekacauan yang ditimbulkan para manusia yang tidak mati dengan benar, mereka yang sebenarnya sudah mati, namun masih berkeliaran di dunia. Juga untuk mereka yang jiwanya mati, namun masih hidup” Jelas Dann.
“Seperti Cesc?” Tanyaku. Aku ingat kata-katanya tentang ia mati dengan cara dan waktu yang salah.
“Seperti Dwight dan Coleen juga” Jawab Dann. Aku mendadak mengerti. Berbeda dengan Cesc, Dwight dan Coleen jiwanyalah yang mati. Tapi kekacauan apa yang mungkin mereka lakukan? Belum sempat aku bertanya, aku sudah menemukan jawabannya. Dwight dan Coleen jelas mungkin mengacau, tapi Cesc? Darren juga. Apa sih yang mungkin mereka lakukan? Menakuti orang-orang dengan muncul tiba-tiba di hadapan mereka? Itu masuk hitungan mengacau?
“Dan untuk apa mereka mendatangi Para Pembersih?” Tanyaku bingung.
“Ingat pertemuan kami di flatmu? Mereka bermaksud merundingkan hal yang sama pada Para Pembersih, menghimpun kekuatan untuk melindungi Eropa, syukur-syukur dapat merambat ke benua lainnya juga” Dann tersenyum lirih. Aku berpikr sejenak. Jadi selama ini masalah sebenarnya perpusat pada seseorang—sesuatu yang akan mendatangi Eropa.
“Aku masih belum tahu… tentang seseorang yang menguasai Himalaya itu” Kataku. Danniene tersenyum seklilas.
“Biar kujelaskan, Sayang. Para Pembersih itu, sebenarnya bekerja sendiri-sendiri. Mereka bahkan bersaing dengan Para Pembersih lain yang berada di benua lain. Dan tak jarang persaingan mereka adalah persaingan yang tidak sehat. Salah satu kelompok, katakanlah yang di Asia, yang paling dekat dengan Eropa, seringkali menciptakan vampir-vampir baru untuk dengan sengaja dilepaskan ke Eropa. Vampir-vampir baru yang liar, haus darah, dan tidak punya pengendalian diri disebar ke berbagai penjuru Eropa, membuat berbagai kekacauan. Pembunuhan berantai tanpa perhitungan, membuat semakin banyak jiwa-jiwa baru—yang mati bukan pada waktunya, bermunculan dengan jumlah fantastis. Membuat Para Pembersih Eropa tampak bodoh karena tidak dapat menjaga keseimbangan wilayahnya. Keseimbangan antara yang hidup dan yang mati. Itulah yang dilakukan Para Pembersih, saling menjatuhkan reputasi Para Pembersih lain. Tak jarang kelakuan mereka yang seperti ini mendapat kecaman dari golongan lain, golonganku misalnya. Para penyihir sering kali juga membantu mereka menangani masalah ini, mengurung jiwa-jiwa baru yang sarat akan kejahatan dalam mantera, untuk kemudian dihancurkan oleh Para Pembersih” Jelas Danniene. Bayangan vampir-vampir baru yang haus darah berkelebat dalam kepalaku. Mereka membunuh dengan membabi-buta, meminum darah mereka. Aku mual membayangkannya. Kemudian orang-orang malang itu mati kehabisan darah, dan jiwa-jiwa mereka melayang…
“Apa yang dilakukan Para Pembersih pada juwa-jiwa itu? Maksudku, mereka menghancurkannya? Bagaimana?” Tanyaku.
“Mereka memiliki kekuatan untuk itu. Aku sendiripun tidak mengerti bagaimana caranya” Kata Dann.
“Dan yang menguasai Himalaya dan Asia—secara keseluruhan, adalah salah satu dari mereka yang berhianat. Para Pembersih memang saling menjatuhkan, namun tidak saling memusnahkan. Cesc mengiranya sejak awal. Tidak mungkin ada kekacauan sebesar itu kalau tidak ada yang berkhianat” Danniene berdiri, menarik bangku untuk kami berdua. Dia memersilahkan aku duduk.
“Kekacauan?” Tanyaku saat kami sudah duduk.
“Ya, kekacauan besar. Aku yakin kau mengetahuinya, namun tidak menyadari penyebabnya” Jawab Dann. “Iklim berubah drastis, kemarau panjang di suatu daerah sementara daerah lainnya kebanjiran. Penyakit baru mematikan bermunculan, angka kematian meningkat dengan jumlah fantastis, laporan orang hilang… kau pikir semua kasus pembunuhan yang kau saksikan di berita sore CNN karena perampokan dan balas dendam semata?” Tanya Dann. Matanya awas menanti perubahan raut wajahku.
“Vampir-vampir?” Aku bergidik saat mengucapkannya. Dann mengangguk.
“Dan iklim yang berubah itu, dampak dari penyalah gunaan kekuatan mereka. Ada diantara mereka, Para Pembersih yang berhianat. Sudah kukatakan tadi, mereka tidak saling melenyapkan. Tapi keadaan malah membuat kami berpikir sebaliknya. Dua Pembersih Asia hilang, satu yang di Artik juga lenyap” Kata Dann lirih.
“Diatara mereka bertigalah penghianatnya?” Tanyaku.
“Aku mencurigai Prica dari Artik. Dia menghilang lebih dulu, disusul dua bersaudara Ming dan Ling dari Asia. Aku tidak mengerti apa yang merasuki pikirannya, padahal mereka semua mengabdi pada satu Tuhan,” Dann menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku yakin Pembersih yang berhianat itu ingin menguasai seluruh pengawasan mengenai yang mati sendirian. Kalau mereka jadi haus kekuasaan begini, mereka tidak ada bedanya dengan manusia!” Dann terlihat marah. Matanya berkilat tajam.
“Dan mereka—Cesc, Math dan yang lainnya pergi mendatangi Para Pembersih Eropa, memastikan mereka sudah mengetahui apa yang mereka ketahui” Kata Dann. “Kuharap mereka bisa meyakinkan Para Pembersih yang sombong itu” Kata Dann kesal.
“Sombong?” Tanyaku.
“Ya, Carla. Para Pembersih Eropa itu sombong bukan main! Mereka merasa yang paling tua dan paling agung dibandingkan Para Pembersih di tempat lain. Sulit sekali berdiskusi dengan mereka, aku pernah melakukannya sekali dan langsung jera! Tapi Cesc merasa perlu memberitahu mereka, yah, hantu muda itu memang sangat peduli pada manusia, toh akhirnya dia mendapat teman yang juga mendukungnya, Aku—tentu saja, Math, Darren, dan Dween” Kata Dann bersemangat.
“Cesc pernah menghina manusia didepanku, dia bilang kami—manusia terlalu gampang mati, kupikir dia membenci manusia” Aku memutar ulang percakapan pertama kami waktu itu, saat dia hampir membunuhku.
“Dia tidak benar-benar membencinya, dia hanya ingin mendapat efek dramatis—kurasa, untuk segera mengusirmu dari flat itu” Dann menjelaskan. Aku memutar bola mataku. Yeah, efek yang sangat dramatis.
“Dwight dan Coleen memihak manusia?” Tanyaku bingung. Mereka kan memangsanya?
“Ya, Carla, mereka memihak, well mereka memang membutuhkan darah mereka untuk hidup, tapi mereka memangsa dengan sangat beradab,” Jawab Dann. Bagaimana mungkin memangsa dengan beradab? Aku bersumpah tidak akan mau dimangsa vampir sekalipun vampir yang memangsaku beradab. Aku meringgis.
“Kau tidak mengerti, Carla. Mereka memangsa orang-orang yang memang ditakdirkan mati karena mereka, bukan mebabi-buta, kau sudah diceritakan Cesc tentang alasan keberadaannya kan?” Tanya Dann.
“Ya, dia mati pada waktu dan dengan cara yang salah. Hah? Tunggu dulu!” Aku mengerjap kaget. Mungkinkah, Tuhan menakdirkan seseorang mati karena serangan vampir?!
“Ya, Carla. Itu takdir mereka, Dwight dan Coleen memiliki kemampuan khusus untuk menilai mangsa mereka. Mereka hanya memangsa yang seperti itu” Penjelasan Dann membuat butir-butir keringat dingin merembes dari dahiku.
“Tapi, sebanyak apa orang yang ditakdirkan mati seperti itu?” Tanyaku.
“Cukup banyak menurutku, buktinya sampai sekarang mereka masih menjadi vampir beradab kan?” Kata Danniene. Aku menyiritkan alisku. Ngeri. Bagaimana kalau salah satu orang yang aku kenal ditakdirkan mati ditangan vampir? Tapi orang lain tidak menyadarinya. Bagaimana kalau akulah yang ditakdirkan mati kehabisan darah? Aku lemas, tanganku mengepal dan dingin. Dann menyadari perubahan sikapku.
“Jangan khawatir. Sekalipun kau yang ditakdirkan mati karena vampir, kurasa Cesc tidak akan membiarkannya, dia menyukaimu, sepertinya” Kata Dann sambil tersenyum.
“Menyukaiku?” Tanyaku, kemudian mendengus hampir tertawa.
“Dia tidak punya teman manusia sebelumnya, manusia itu spesial, memiliki berbagai macam emosi yang sudah lama tak dirasakannya, dia tentu tidak ingin kehilangan teman manusianya. Dia menjagamu, setidaknya dari kemungkinan mati dalam waktu dekat ini” Dann tertawa riang, apa kematianku begitu lucu baginya?
“Dwight adalah yang pertama menentang hubungan pertemanan kalian, dia mengatakan pada Cesc, berteman dengan manusia hanya akan melemahkannya, membuatnya rapuh seperti manusia. Emosi-emosi dalam diri manusia sering kali menjatuhkan manusia itu sendiri. Well, menurutku, itu benar” Kata Dann. “Percaya padaku, dia membelamu” Dann menyeringai kepadaku.
“Apa yang dikatakannya?” Tanyaku. Aku penasaran.
“Dia bilang, kau sama sekali berbeda. Mengingatkannya pada masa lalunya sebagai manusia, dia bilang, mungkin dengan mempelajari emosimu, dia lebih bisa menghargai kehidupan abadinya” Kata Dann.
“Hah, aku malah sering tidak bisa mengendalikan emosiku” Jawabku sambil tertawa.