PertemuanAku mengerjapkan mata beberapa kali saat bangun. Aku kaget karena aku masih berada dalam pelukkan Dani. Mimpikah aku? Atau dia memang masih disini? Aku bangkit dan terduduk di kasurku. Manandangi sosok yang masih terlelap didepan mataku. Aku tersenyum geli memandang wajah tidurnya yang polos. Ini pertama kalinya aku melihat Dani sedang tidur. Bahkan disaat tidurpun, wajah khasnya tak berkurang. Aku membelai pipinya yang tampak dengan punggung tanganku, kemudian aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Aku mengikat rambutku ekor kuda asal-asalan saat berjalan. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku akan membuat sarapan. Apa ya? Ah, beberapa pancakes sederhana saja. Aku tersenyum sendiri saat mulai mengocok adonan dengan mixer. Aku menyadari perbedaan ukuran tepung dan gula yang aku gunakan. “Seperti pengantin baru saja,” Gumamku dalam hati. Biasanya aku hanya membuat porsi untukku sendiri, tapi kali ini ada yang akan sarapan bersamaku. Daniel, dan masih tertidur lelap dikamarku. Benar-benar seperti pengantin baru.
“Selamat pagi,” Sapa Francesc, yang langsung—begitu saja muncul dihadapanku. Aku melonjak kaget.membuat sendok-sendok yang sedang aku genggam jatuh berdentingan dengan suara ribut.
“Francesc!” Aku berusaha marah, tapi suaraku malah terdengar aneh.
“Kupikir kau sudah terbiasa dengan keberadaanku” Ujarnya sambil membantuku memunguti sendok sendok yang jatuh berserakan dilantai. Untung bukan piring yang sedang aku pegang.
“Setidaknya, cobalah muncul dengan cara yang lebih perlahan” Gumamku.
“Memangnya kau mau melihat aku muncul perlahan? Kepala terlebih dahulu, berterbangan tanpa tubuh? Aku bisa saja sih melakukannya kalau kau mau” Katanya. Membayangkannya saja perutku langsung kram.
“Sesukamu sajalah” Ujarku kesal sambil merebut sendok-sendok dalam genggamannya. Tak sengaja aku menyentuh jemarinya. Aku terkesiap dan langsung membelalak menatap matanya. Tangannya dingin sekali. Francesc hanya tersenyum melihat ekspresiku.
“Omong-omong, aku harap kau punya acara hingga sore ini dengan pacarmu, mungkin? Bukankah manusia suka pergi berkencan di hari Sabtu?” Ujar Francesc sambil berjalan menjauhiku. Berjalan kearah meja bundar, menarik salah satu kursi dan duduk diatasnya.
“Sore ini?” Aku mengklarifikasi. Aku mengingat-ingat rencanaku hari ini. Aku memang akan pergi ke sebuah toserba di sekitar Ashburton Grove. Aku sudah diterima untuk bekerja part time di sana. Dan hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Gajinya juga lumayan untuk meringankan biaya hidupku disini. Pemiliknya adalah sepasang suami-isteri paruh baya yang ramah dan baik hati, Danniene dan Mathieu Willis. Aku rasa usia mereka tidak terpaut jauh dengan kedua orang tuaku. Aku bekerja sehari penuh pada week-end dan seusai jam kuliah pada week-day. Tentu saja aku tidak memberitahu Dani mengenai hal ini. Dia pasti akan melarangku. Dan berusaha keras membujukku menerima uang-uangnya.
“Ya,” Jawabnya singkat.
“Memangnya ada apa sore ini?” Aku penasaran. Francesc terdiam sejenak. Sorot matanya tidak yakin.
“Mengingat tempat ini tempat tinggal bersama… Aku, ingin menggunakan tempat ini sore nanti” Jelasnya. Aku menyadari penekanan berlebih pada kata ‘tempat tinggal bersama’ yang diucapnya.
“Memangnya kau mau melakukan apa? Sebagai flat-mate mu, aku rasa aku berhak tahu” Balasku kembali menekankan beberapa kata seperti yang dilakukannya. Francesc kembali melayangkan tatapan tidak yakinnya kepadaku, sementara aku mulai menata piring di meja di hadapannya. Aku menyilangkan tangan di dada, balas menatapnya.
“Terkadang kau… jadi sangat cerdik. Baiklah. Aku memang akan melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi tidak sendirian” Jelasnya.
“Tidak sendirian? Maksudmu, kau akan mengundang teman-temanmu?” Aku menayakannya kaget.
“Persis” Senyum menyungging di sudut bibirnya.
“Kau akan membawa hantu-hantu ke rumahku? Yang benar saja! Aku tidak mau melihat yang lain lagi” Protesku.
“Ingatkan ini tempat tinggal bersama? Kau boleh mengundang tamu-mu untuk datang begitu juga aku” Kelaknya. Tentu saja aku akan menyetujuinya jika tamunya manusia.
“Lagipula mereka yang datang bukan dari jenisku—setidaknya beberapa, karena itu aku memintamu pergi sore ini” Tambahnya. Aku kembali membelalak. Kali ini karena ngeri. Bukan dari jenisnya. Itu berarti ada jenis yang lain. Tapi apa?
“Bukan dari jenismu?” Nada suaraku tidak jelas. Francesc mengangguk lambat-lambat. Meng-iya-kan. Aku menelan ludah. Aku meresapi informasi yang baru saja aku dapatkan. Bukan dari jenisnya—yang rupawan dan berbentuk manusia normal. Itu berarti hantu yang sesungguhnya? Yang ada di film horror?
“Lalu jenis apa?” Tanyaku. Meskipun takut, tapi rasa penasaran menguasai otakku. Francesc tersenyum kagum. Mungkin ia mengagumi sikapku yang terlihat biasa saja bersinggungan dengan dunianya.
“Nanti saja kuberi tahu detilnya. Pacarmu sudah bangun” Sahutnya, kemudian sekejap saja dia sudah menghilang.
Aku berusaha sebisaku untuk bersikap wajar. Aku meletakan potongan potongan pan cakes di atas piring datar dan menuang dua gelas susu hangat.
“Selamat pagi,” Sapaku kepada Dani yang berjalan ke arahku. Ia merengkuh pinggangku dan memelukku lembut.
“Selamat pagi” Jawabnya. “Bagaimana tidurmu samalam?” Tanya Dani kepadaku. Aku langsung merasakan perbedaan suasana yang drastis. Pertanyaan Dani adalah pertanyaan normal dan wajar ditanyakan pada pagi hari, berbeda dengan percakapanku barusan dengan Francesc.
“Sempurna. Kau sendiri bagaimana?” Tanyaku sambil melepas pelukannya dan menata gelas susu.
“Tidur malam terindah yang pernah aku alami” Jawabnya sambil duduk di kursi yang tadi di duduki Francesc. Agak aneh melihatnya duduk di kursi itu. Karena baru saja sesuatu yang bukan manusia duduk di kursi yang sama. Tapi aku terus berusaha bersikap wajar. Sewajar mungkin. Membayangkan nanti sore tidak ada pertemuan hantu-hantu di tempat ini.
“Aku membuat pancakes, kuharap kau suka” Kataku sambil menghidangkan seporsi pancakes untuknya.
“Siapa sih yang tidak suka pancakes?” Guraunya. Aku tersenyum sambil duduk di seberang meja. Kami mulai melahap pancakes kami. Ditengah tengah sarapan kami, Dani memandang jam tangannya yang sejak semalam tak pernah lepas dari pergelangan tangannya.
“Aku harus pulang ke apartemenku, Mr Puig akan menemuiku disana siang ini” Jelas Dani.
“Oh, aku juga ingin pergi ke toserba di Ashburton Grove jam sepuluh” Aku jadi teringat. Dani kelihatan tidak curiga sama sekali. Syukurlah.
“Kalau begitu akan ku antar” Sarannya.
“Tidak usah, aku bisa naik bus. Lagipula apartemenmu berlawanan arah” Aku berusaha menghalanginya mengantarku. Aku takut dia tahu kalau aku bekerja disana.
“Jangan mempersempit waktu dengan berdebat Carla, aku akan mengantarmu ke Ashburton, lalu kembali ke apartemanku tepat waktu, Ok?” Desak Dani. Aku tidak bisa membantah. Aku harap dia hanya mengantarku sampai pinggir jalan.
Setelah selesai sarapan aku langsung bergegas mandi dan berpakaian, menguncir rambutku ekor kuda—kali ini lebih rapi, lalu merias wajahku tipis-tipis—karena aku tidak suka ber make-up, lagi pula jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Aku lantas mengunci pintu flatku dan bergegas turun ke bawah. Dani sudah menungguku di dalam mobilnya yang mengilap diterpa sinar mentari pagi yang hangat.
Perjalanan ke Ashburton dari flatku ternyata memakan waktu tak sampai dua puluh menit dengan mobil. Dani mengantarku sampai depan toko—sesuai dengan dugaanku, dan tidak sesuai dengan harapanku. Sebuah plang neon bertuliskan “Ashburton Shop” tepat ada di atap toko.
“Tokonya masih tutup, Carla” Kata Dani memandang papan bertuliskan ‘TUTUP’ di pintu toko.
“Oh, ya. Memang, ini memang belum jam buka toko. Aku kenal dengan pemiliknya, tenang saja” Jawabku kikuk. Aku tidak tahu apakah aku terlihat sedang berbohong sekarang.
“Baru satu bulan disini, kau sudah mengenal seorang pemilik toko. Kau mungkin saja mengenal semua orang di London dalam dua tahun” Canda Dani.
“Aku tidak tertarik punya banyak teman, kau tahu kan? Oh, sudahlah. Kau harus pergi ke apartemenmu kan? Sampai jumpa” kataku buru-buru sambil berusaha membuka pintu mobilnya, tapi ternyata dikunci. Dani kemudian menarik tanganku.
“Setelah ini aku akan langsung kembali ke Perancis” Katanya. Aku kaget, kupikir di akan lebih lama di sini.
“Oh,” Aku paling tidak suka membicarakan perpisahan. Walaupun aku tahu ini kan cuma perpisahan semantara. Dan sangat singkat. Ya, aku konyol. Aku tahu itu.
“Tiga hari lagi aku juga kembali kok, race berikutnya di sini, tidak usah repot-repot merindukan aku” Katanya sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumannya sambil menunduk.
“Jaga dirimu, Carla” Sambungnya sambil mengecup keningku.
“Harusnya aku yang bilang begitu kan?” Kataku sambil mengecup pipinya. Dani tertawa dan membukakan pintu mobilnya untukku.
“Bye,” Sahutku sambil menutup pintu mobilnya. Menunggu sampai mobilnya—kilau keperakannya tak terlihat mata lagi saat mencapai belokan jalan lengang. Kemudian aku memasuki toko itu. Mr dan Mrs Willis sedang membereskan beberapa pamflet di depan mesin kasir.
“Selamat Pagi” Sapaku kepada mereka. Senyum mengembang di wajah keduanya, membuat mereka semakin terlihat bersahabat. Danniene adalah seorang wanita bertubuh agak gemuk dan berambut pirang sebahu. Tingginya tidak lebih tinggi dariku. Tapi untuk wanita seusianya, tubuhnya terlihat sanagat ideal. Sementara Mathieu lebih tinggi dari Danniene. Rambutnya hitam tebal, hanya saja warna keperakan mulai tampak di rambut pendeknya yang tertata rapih. Dia menggunakan kacamata berantai yang dikalungkan di lehernya. Celana golf kotak-kotaknya sedikit mencolok dimataku.
“Selamat datang, Carla. Toko buka setengah jam lagi” Kata Mathieu Willis sambil meletakan tumpukan pamflet terakhir.
“Apakah aku datang terlambat?” Tanyaku.
“Oh, tidak Sayang, kau datang tepat waktu. Seperti yang aku katakana kepadamu waktu itu, akhir pekan jam sepuluh” Sahut Danniene sambil membimbingku memasuki toko. Aku merasakan aura yang berbeda. Aku mulai bekerja hari ini, tapi mereka berdua terasa sudah seperti keluargaku sendiri. Danniene menceritakan tentang anak tunggalnya, yang sekarang sedang bekerja di Amerika, tentang toko ini, juga tentang pernikahannya dengan Mathieu. Dia bercerita banyak sekali, tapi entah mengapa aku tidak merasa bosan. Aku menyimak ceritanya dengan baik dan terkadang mengajukan pertanyaan. Sementara Mathieu lebih banyak diam sambil membaca buku.
Toko ini bisa dibilang unik. Toko terbagi menjadi dua bagian. Selain ada barang-barang keperluan sehari-hari di sisi kanan toko, ada juga sebuah kedai kopi mungil di sisi kiri bangunan. Saat makan siang, biasanya kedai kopi dipenuhi pengunjung. Aku hampir lupa ada seorang lagi yang bekerja disini selain aku. Namanya Abigail. Pelanggan dan juga tentunya, Mr dan Mrs Willis biasa memanggilnya Abbey—begitu yang aku dengar dari Danniene. Dan hal lain yang kuketahui tentang dia, dia masih SMA. Danniene bilang ia ber-home schooling sejak kecil dan Danniene mengenal orang tua Abbey dengan baik, makanya Abbey bisa bekerja di kedainya. Dia cewek yang cukup manis menurutku. Rambut pirangnya dipotong pendek dan sikapnya tomboy. Abbey dan aku yang akan mengurus kedai kopi ini, sementara Mr dan Mrs Willis yang mengurus toserbanya. Tak kusangka seluruh cakes yang dijual di toko ini adalah kreasi Abbey. Memang mengejutkan ternyata dia pintar memasak dibalik sikap cueknya. Abbey adalah seorang gadis yang pendiam. Sangat diam. Aku sampai bingung bagaimana cara mengajaknya berbincang. Dia hanya bicara saat ada yang memesan makanan—dan itu hanya untuk keperluan pesanan pelanggan. Sementara disaat kedai sedang sepi, dia menghabiskan waktu mendengarkan lagu dari iPodnya di sudut kedai. Aku mendapatinya mencuri pandang kearahku beberapa kali. Danniene mengatakan padaku agar tidak usah terlalu memikirkan Abbey di hari pertamaku ini, cepat atau lambat kami juga akan banyak mengobrol. Kata Danniene, dia memang kurang bersahabat dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi aku tidak bisa memastikan seberapa cepat—seberapa lambat waktunya.
“Kau suka memasak kan?” Tanya Danniene disela-sela ceritanya. Saat aku meng-iya-kan dia langsung dengan antusias mengeluarkan beberapa buku resep dari laci meja kasirnya, dan memintaku mempraktekan di rumah beberapa menu yang ada di buku itu.
Jam masih menunjukkan pukul lima saat Danniene terlihat merapikan toserbanya. Ada apa? Bukankah toko ini baru akan tutup jam delapan nanti?
“Hari ini toko tutup lebih awal, Danniene lupa memberi tahumu tadi” Pernyataan Abbey seolah menjawab pertanyaan di kepalaku. Tunggu dulu, Abbey baru saja bicara kepadaku!
“Sebaiknya kau membantuku kan?” Kata Abbey lagi sambil menunjuk cangkir-cangkir berbagai ukuran yang harus dibereskan. Dia menatapku sebentar kemudian berjalan ke arah etalase berisi cakes yang belum sempat terjual hari ini.
“Oh, ya! Tentu” Jawabku kikuk, menata cangkir-cangkir bersih itu ke dalam lemari kayu di dapur. Setelah selesai menutup toko, Abbey sudah menghilang entah kemana. Aku bahkan tidak bisa memperkirakan sejak kapan dia pergi.
“Hari ini kami harus pergi menemui teman lama, maaf aku lupa memberi tahumu pagi ini, sepertinya aku terlalu asyik bercerita” Jelas Danniene saat aku meletakkan celemek cuci piring diatas meja.
“Tenang saja Carla, aku tidak akan memotong gajimu karena toko hari ini tutup lebih awal” Kata Mathieu kepadaku. Kami tertawa bersama. Dan aku akhirnya berpamitan untuk segera kembali ke flatku. Hari pertamaku bekerja tidak terlalu buruk. Pemilik toko yang ramah, rekan kerja yang pendiam—setidaknya aku tidak perlu banyak bicara, juga pelanggan yang menyenangkan. Rata-rata pelanggan yang datang di kedai itu adalah pekerja kantoran yang sedang istirahat makan siang atau yang menikmati kopi di sore hari. Pekerjaanya juga tidak terlalu berat, apalagi aku bekerja dengan banyak cakes yang lezat-lezat. Menyenagkan sekali bisa bekerja dengan hal yang kau sukai kan?
Aku memutar pegangan pintu dan masuk ke dalam flatku. Lho? Tunggu dulu. Rasanya tadi pagi aku sudah menguncinya? Apakah aku begitu ceroboh sampai lupa mengunci pintu? Tapi aku yakin sudah menguncinya sebelum berangkat. Aku terus mengingat-ingat kejadian tadi pagi sampai tiba-tiba Francesc muncul dengan sekejap didepanku.
“Kupikir kita sudah sepakat tentang sore ini?” Tanyanya dingin setengah membentak. Dengan tatapan tajam, dingin dan sebersit rasa tidak suka.
“Sore ini?” Tanyaku ling lung. Mendadak aku teringat akan percakapan singkat kami pagi tadi, mengenai sore ini. “Ah!” aku meneriakannya saat teringat secara spontan.
“A… aku benar-benar lupa” Jawabku jujur. Wajahnya terlihat melunak saat aku megatakannya. Dia menghela napas—aku kaget apakah sebenarnya dia bernapas, dan melipat lengannya di dada.
“Aku mencium manusia, Cesc?” Tanya suara dari arah ruang tengah. Mendadak aku merinding. Bulu kudukku meremang, menyadari ternyata bukan hanya aku dan Francesc yang ada di sini. Aku baru teringat akan teman-temannya yang datang sore ini. Aku menatap Francesc cemas. Jantungku berdegup kencang. Makhluk apa yang baru saja bicara itu?
“Tidak apa-apa” Katanya kepadaku saat melihat perubahan sikapku. Apa maksudnya ‘tidak apa-apa’? Tiba-tiba sesosok makhluk yang juga berpenampilan manusia normal muncul dari arah ruang tengah. Laki-laki normal. Menghampiri aku dan Francesc. Aku cukup lega wujudnya juga manusia. Wajahnya putih pucat—beberpa tingkat lebih pucat dari Francesc. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna gelap yang di gulung sampai ke siku. Rambutnya hitam pekat dan sedikit berantakan, membuat wajahnya kelihatan semakin putih. Matanya sangat tajam menatapku. Iris matanya gelap dan mencekam. Rasa sesak yang dulu aku rasakan saat pertama kali bertemu Francesc seolah siap menyapaku kembali.
“Ini ya, manusia yang tinggal bersamamu?” Tanya cowok itu masih menatapku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mematung bersandar pada pintu masuk sementara keringat dingin terus bercucuran dari dahiku. Cowok pucat itu masih menatapku garang membuat degupan jantungku semakin liar. Anehnya, dia juga mengernyitkan hidung tidak suka. Apakah aku akan dibunuh kali ini? Karena baru saja mengganggu pertemuan mereka?
“Jangan ganggu dia!” Perintah Francesc pada cowok itu, dan cowok itu langsung mengalihkan pandangannya pada Francesc. Menekuk bibirnya kebawah lalu mengangkat alis sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aku tidak melakukan apa-apa?” Katanya cuek.
“Itu menakutinya, bodoh!” Francesc kemudian menarik tanganku. Aku tersentak saat tangannya yang sedingin es situ menggenggam pergelangan tanganku. Ini pertama kalinya kami bersentuhan secara disengaja. Dan sensasi aneh menjalari tubuhku. Tangannya begitu dingin. Saking dinginnya, aku merasakan sumsum tulangku ikut tersengat hawa dingin tangannya. Ia menyeret masuk aku ke dalam kamar dan melepaskan genggamannya yang membeku. Aku langsung menggenggam pergelangan tanganku dengan tangan satunya, berusaha menghangatkan pergelangan tanganku yang seolah mati rasa karena hawa dingin yang menyengat.
“Kau diam di sini saja, Ok? Oh, dan maaf soal itu” Kata Francesc sambil menatap lenganku. Aku masih terdiam membisu. Berusaha duduk di kasurku. Jantungku masih berdegup kencang tak karuan, membuat aku sulit bernapas. Aku menghela napas panjang berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku masih bingung bagaimana sebenarnya posisiku di sini. Amankah? Berada di sekitar teman-teman Francesc—yang jelas-jelas bukan manusia? Tapi setidaknya aku tahu Francesc tidak akan melukaiku dan tidak akan membiarkan salah satu temannya melukaiku. Iya kan?
“Yang itu tadi temanku dari Birmingham” Jelas Francesc. “Wajar kalau kau punya insting untuk ‘takut’ padanya, karena dia memang bukan dari jenisku. Dia dari jenis yang… bisa dibilang tidak akrab dengan manusia” Kata Francesc sambil tersenyum. Aku menyipitkan mata menatapnya.
“Apa maksudmu tentang insting ‘takut’ku? Jenis yang tidak akrab dengan manusia?” Tanyaku dengan suara masih gemetar saat debaran jantungku mulai mereda. Tapi bulu kudukku masih meremang. Keringat dingin juga belum berhenti megalir di pelipisku. Lagi-lagi mulutku melontarkan pertanyaan tanpa sempat kupikurkan terlebih dahulu saking penasarannya. Padahal aku tidak yakin apakah aku cukup berani untuk mengetahui jawabannya.
“Aku rasa… ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan seseorang yang sedang ada di ruang sebelah” Francesc berkelit dan berjalan menuju sudut kamarku. Memandangku berkali-kali tidak yakin. Aku rasa dia menimbang-nimbang apakah akan memberitahuku—atau yang lebih ektrem, memperkenalkan temannya kepadaku atau tidak. Apa yang disembunyikannya? Berapa banyak sebenarnya jenis-jenis makhluk bukan manusia yang dia maksud? Dari raut wajahnya aku tahu dia sudah mengambil keputusan untuk tidak memberitahuku, tidak sekarang.
“Tenang saja nona, aku tidak akan membiarkan satupun dari teman-temanku mencelakaimu” Katanya sambil tersenyum jahil kemudian lenyap. Dia seperti sedang mempermainkan aku yang ketakutan. Aku meringkuk di tempat tidurku lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. Mataku membelalak dalam gelapnya ruang dibawah selimut. Aku benar-benar tidak menyangka akan terjebak dalam situasi begini. Dikelilingi para makhluk yang bukan manusia. Yang diantaranya mungkin akan mengancam keselamatanku.
Aku berusaha menghilangkan pikiran bahwa di ruang sebelah sedang ada pertemuan antara makhluk bukan manusia. Tapi itu semakin sulit kulakukan saat aku mendengar semakin banyak suara dari ruang tengah. Bukan hanya suara Francesc yang begitu merdu dan lembut, juga suara teman dari Birminghamnya yang tadi aku temui. Tapi aku juga mendengar dua suara lagi. Yang satu wanita dengan suara yang indah menggema dan suara laki-laki yang lebih rendah dan berat. Aku memejamkan mata dan berusaha mengabaikan apa yang sedang mereka diskusikan, memang kedengarannya serius sekali, tapi aku sama sekali tidak bisa mendengarnya karena panik. Aku terus berusaha untuk tidak mendengarkan sampai aku mendengar suara yang sungguh tidak asing lagi. Dan aku lagsung membelalak ngeri mendengarnya.
“Maaf kami terlambat” Sapa Danniene terdengar riang di ruang sebelah.
“Kalian tahu kan, kami tidak bisa bepergian dengan mudah seperti kalian?” Suara Mathieu menyusul di belakangnya. Aku hampir saja menjerit histeris saat mendengar sepasang suara yang aku kenali itu. Sebagian otakku memerintahkanku untuk keluar kamar dan memastikan apakah sumber sepasang suara itu benar-benar Danniene dan Mathieu dan sebagian otakku yang lain memberitahuku bahwa mungkin saja itu bukan mereka. Akal sehatku mengikuti perintah sebagian otakku yang memintaku tetap bertahan di kamar. Lagipula itu pasti bukan Danniene dan Mathieu. Mereka sehat-sehat saja sesaat sebelum aku pulang. Tidak mungkin mereka bagian dari hantu-hantu temannya Francesc yang datang hari ini. Tidak mungkin.
“Tidak masalah, Danniene. Kalian memang harus pintar-pintar membaur dengan manusia. Aku juga sih. Eh, kudengar kalian membuka sebuah toko?” Sahut suara cowok yang tadi aku temui.
“Oh, Hello Dwight! Astaga sudah lama sekali aku tidak melihat vampir di London. Ya, kami memanag membuka sebuah kedai, mampirlah kapan-kapan” Sapa Danniene kepada cowok itu. Vampir katanya? Astaga! Cowok yang baru aku temui tadi itu Vampir? Darah terasa surut dari kepalaku. Perutku mual dan tanganku basah. Kupikir vampir itu tidak ada! Inikah maksud dari perkataan Francesc tentang instingku untuk takut kepadanya? Karena dia bukan dari jenis yang akrab dengan manusia. Bagaimana mungkin mereka akrab dengan manusia? Mereka kan memangsanya! Aku kembali gemetaran. Kalau saja hantu yang aku temui di flat ini adalah Dwight—yang vampir, dan bukan Francesc. Aku pasti sudah mati kehabisan darah.
***
“Ah, Coleen!” Sapa Mathieu kepada seseorang di ruangan itu. Yang aku yakini adalah si cewek bersuara indah.
“Kau masih mengingatku rupanya” Sahut Coleen ramah. Suaranya sangat merdu dan enak didengar.
“Aku tak menyangka kau juga datang, Mr Fletcher” Suara Mathieu berubah sedikit lebih formal saat menyapa seseorang lagi.
“Jangan begitu, panggil aku Darren saja. Cesc yang mengundangku, katanya penting. Makanya aku datang” Kata suara yang lebih berat dibandingkan dengan suara yang lain bahkan Mathieu yang suaranya cukup berwibawa menurutku, tidak ada apa-apanya. Dari aksennya aku yakin dia sudah hidup sejak abad pertengahan.
“Oh, sungguh reuni yang menyenangkan!” Kata Mathieu. Rasa penasaran kembali bergejolak liar di dalam dadaku. Ingin sekali rasanya melihat sosok mereka. Terlebih lagi, aku ingin memastikan apakah itu benar-benar Danniene dan Mathieu yang baru saja aku temui di toko satu jam yang lalu. Aku memasang telinga lekat-lekat. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi mana yang kenyataan ,mana yang bukan. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
“Sepasang penyihir legendaris tak pantas rasanya memanggil nama belakangku hanya karena aku lebih tua” Kata pria bernama Darren. Penyihir? Siapa? Sepasang penyihir katanya? Apakah yang dia maksud adalah Danniene dan Methieu? Bohong! Mereka sungguh manusia biasa. Mereka Normal-normal saja. Tidak mungkin mereka penyihir legendaris yang dimaksudkan Darren.
“Sepertinya teman manusiamu sedang mencuri dengar pembicaraan kita, Cesc. Apakah sebaiknya tidak sekalian saja kau bawa kemari? Aku syok setengah mati saat Dwight yang vampir itu mengetahui aku sedang mendengarkan percakapan mereka.
“Teman manusia?” Suara Danniene langsung berubah panik saat Dwight memberitahu ada manusia di flat ini. Seolah-olah dia takut penyamarannya sebagai manusia normal terancam terbongkar.
“Apa maksudmu teman manusia?” Bentak Mathieu. Sepertinya hanya Danniene dan Mathieu yang baru tahu tentang keberadaanku. Karena Coleen dan Darren tak bereaksi.
“Aku juga kaget Cesc berteman dengan manusia. Cewek lagi” Kata Coleen jengkel. Solah-olah yang dilakukan Francesc adalah kelainan.
“Dia tidak buruk kok” Aku cukup kaget mendengar pembelaan Francesc.
“Bawa dia kemari, Cesc. Itu yang terbaik. Dia sudah bersinggungan dengan dunia kita. Tidak ada gunanya berpura-pura dia tidak tahu” Sahut Darren bijak. Oh, tidak. Aku akan dibawa ketengah-tengah penyihir, vampir dan hantu yang jenisnya aku tidak tahu. Keringat dingin kembali meluncur di sekitar wajahku. Perutku terasa kram. Tiba-tiba suasana hening sejenak. Seperempat detik kemudian Francesc sudah berada di sisi tempat tidurku.
“Mereka memintamu bergabung. Maaf, tapi aku tidak bisa menolak” Kata Francesc sambil menyingkirkan selimut yang meneyelubungi tubuhku. Aku menatapnya, seolah memohon agar aku dikeluarkan saja dari tempat ini.
“Aku berjanji kau akan baik-baik saja” Katanya sambil menarik tanganku, setengah menyeretku kearah ruang tengah. Disanalah mereka semua berkumpul.
Dwight bediri bersandar di dinding sambil melipat kedua tangannya di dada. Memandangku dengan tatapan kosong. Di susut ruangan lain aku melihat sesosok wanita cantik berambut pirang kemerahan. Aku mengira-ngira usia manusianya sekitar dua puluh tahunan. Pasti itulah Coleen—yang bersuara merdu. Disampingnya ada seorang pria yang mengenakan stelan jas abad pertengahan yang kuno. Anehnya… dia tidak berwarna. Sosoknya hitam-putih dan hampir transparan. Aku juga mendapati kakinya tidak menyentuh lantai. Dia tersenyum ramah sambil membungkukkan tubuhnya kearahku seraya memberi hormat—khas gaya abad pertengahan. Aku bingung harus bersikap bagaimana. Jantungku masih berdetak tak karuan.
“Astaga, Carla!” Aku mendengar suara Danniene terkaget saat melihat siapakah teman manusia Francesc sebenarnya. Ternyata pendengaranku tidak salah. Itu benar-benar Danniene dan Mathieu. Bahkan mereka masih mengenakan pakaian yang tadi. Aku hampir saja roboh karena kakiku terasa lemas sekali sebelum Francesc menahan tubuhku dengan tangannya yang sedingin es itu. Dia mendudukkanku di sofa. Aku menunduk dan memegangi kepalaku dengan kedua tangan. Kepalaku terasa berat sekali.
“Kau mengenal gadis ini Danniene?” Tanya Darren bingung.
“Tentu, dia bekerja untukku di kedai!” Jawab Danniene antusias, namun tetap tak beranjak dari tempatnya di sisi kanan Darren. Mathieu juga sama kagetnya dengan Danniene.
Francesc menatap bingung kearah Danniene kemudian ke arahku. Aku membalas tatapan matanya. Sedetik kemudian tatapan matanya melunak.
“Pacarmu pasti marah sekali kalau tahu kau bekerja” katanya sambil merebahkan diri disampingku.
“Baiklah, aku sudah membawanya ke sini. Kita mulai saja langsung ke pokok masalah” Kata Francesc kemudian. Aku kembali membenamkan wajah di kedua tanganku. Ingin rasanya aku terjun keluar jendela saking paniknya berada satu ruangan dengan mereka semua. Aku yakin air mataku mulai menggenang sekarang. Aku merasakan ada seseorang lagi yang duduk di sampingku. Aku menoleh perlahan untuk memastikan. Aku harap bukan si vampir haus darah yang kulihat. Ternyata itu Danniene. Aku bingung harus berlaku apa. Aku syok setengah mati menyadari kehidupanku dikelilingi sosok-sosok gaib ini. Aku menyesal dulu pernah berharap bisa bertemu hantu. Aku menyesal dulu aku begitu antusias ingin melihat Francesc.
“Jangan panik, Carla. Aku juga manusia sepertimu kok. Kau bukan satu-satunya manusia disini. Walaupun aku cukup syok saat tahu kau berteman dengan hantu” Kata Danniene seraya meletakan satu tangannya di bahuku. Tiba-tiba gelombang ketenangan menghampiriku. Degup jantungku kembali beraturan. Kepanikan yang melanda otakku berangsur lenyap. Aku memandang Danniene.
“Kau manusia?” Tanyaku ragu-ragu.
“Ya, tentu saja aku manusia. Sama sepertimu” Jawab Danniene sambil tersenyum.
“Kukira kalian penyihir?” Tanyaku.
“Well, penyihir juga manusia. Kami memang manusia yang kebetulan menguasai sihir” Jelas Danniene sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku cukup lega ternyata Danniene dan suaminya manusia sungguhan. Setidaknya bukan cuma aku makhluk asing yang hadir di pertemuan aneh ini.
“Bisa tidak kita mulai sekarang?” Tanya Dwight dengan nada jengkel.
“Aku sudah mulai bosan. Kalian tahu kan? Kalau bosan biasanya aku mudah lapar?” Dwight menyeringai kearahku. Aku membelalak ngeri kearahnya. Karena dia tidak mungkin menyuruhku membuatkan makanan normal untuknya kalau dia lapar.
“Dwight!” Bentak Francesc.
“Hey, aku cuma bercanda kok! Aku sudah makan saat perjalanan ke tempat ini” Katanya. “Tanya saja Coleen. Dia yang membereskan sisanya” Jelas Dwight. Aku bergidik ngeri membayangkan apa yang sudah Dwight dan Coleen lakukan sebelum tiba di tempat ini.
“Sudahlah, Dwight. Kau malah membuatnya semakin parah” Keluh Francesc.
“Baiklah, sebenarnya. Alasan aku mengundang kalian semua ke tempat ini” Francesc berdeham berkali-kali.
“Kalian tahu kan, dia sudah menduduki Himalaya?” Tanya Francesc akhirnya. Dia? Dia siapa? Siapa yang menduduki Himalaya? “Kurasa Eropa sasaran berikutnya. Well, dia harus terus lari kan?” Katanya kemudian. Suasana hening mencekik. Rasanya ada sesuatu yang mereka takuti datang. Tapi apa?
“Kurasa kita bisa menghalaunya dari Eropa kalau semua bersatu” Kata Francesc.
“Sulit sekali untuk bersatu kau tahu itu. Eropa sangat luas!” Desak Dwight. “Apa lagi mereka yang di Timur. Sangat menjengkelkan!” Maki Dwight kemudian.
“Tapi patut dicoba” Kata Mathieu kemudian. “Meskipun kalian tidak bisa berharap banyak partisipan dari golongan kami,” Mathieu melanjutkan.
“Bisa mendapatkan kalian berdua saja sudah hebat” Darren berkata seraya mengangguk setuju.
“Kami kan cinta Inggris” Kata Danniene sambil tersenyum penuh arti.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka diskusikan. Terlalu banyak kata ganti yang tidak aku ketahui. Lagipula, siapa yang mau menduduki Eropa?
“Temanmu bingung, Cesc” Kata Dwight dengan cuek. “Dia bilang, terlalu banyak kata ganti yang kita gunakan, dan siapa sih yang mau menduduki Eropa?” Kata Dwight mengutip isi pikiranku. Aku membelalak kaget ke arah Dwight. Dia baru saja membaca pikiranku!
“Ya, kaget Calra?” Tanya Dwight menjawab pertanyaan di kepalaku sambil menyeringai sinis. Aku menolehkan wajah ke arah Francesc, menatapnya bingung sekaligus panik. Francesc menyiritkan dahi, membuat kedua alisnya bertautan. Dia menatapku penuh iba.
“Bisakah kau tidak membuatnya semakin panik?” Kata Francesc ke arah Dwight.
“Sepertinya sulit, sudah lama sekali tidak ada manusia yang mengetahui identitasku. Asyik sekali bermain-main dengan manusia ya, kau membuatku iri Cesc” Katanya sambil memandangku. Francesc menggeleng-geleng tanda tak setuju.
“Jangan hiraukan dia, Carla” Kata Francesc sambil menyentuh punggung tanganku. Tangannya yang sedingin espun tak terasa sama sekali karena tanganku sendiri serasa membeku. Sekarang aku—bahkan di dalam pikiranku sendiri sudah tidak aman.
Setelah perundingan yamg sama sekali tidak aku mengerti, tentang kawasan-kawasan Eropa dan Himalaya, Danniene, Mathieu, dan Darren berpamitan. Darren—yang transparan, menghilang begitu saja tak berbekas. Sementara Danniene dan Mathieu yang manusia—meskipun tidak normal, pergi dengan cara normal. Sebelum keluar dari pintupun mereka sempat berkata sampai jumpa besok di toko. Aku malah tidak yakin apakah aku akan kembali lagi ke toko yang pemiliknya adalah sepasang penyihir itu. Tanganku masih terasa dingin dan basah walau keadaanku sudah tidak se-parah tadi. Tapi satu ruangan dengan vampir—Dwight dan Coleen masih ada di sini untuk melanjutkan diskusinya dengan Francesc, memang tidak lebih baik. Tapi kenyataannya, Dwight malah bermain-main dengan isi kepalaku saat Francesc dan Coleen berbicara serius.
“Hmm… kau sudah punya pacar ya? Daniel?” Tanya Dwight sambil menyeringai senang. Aku membelakakan mata kearahnya—dia duduk tepat di depanku. Menyeringai senang sambil terus memandangku.
“Hmm… tampan juga. Pacar pertamamu?” Jengkel karena dia seenaknya membeberkan isi kepalaku. Aku melipat kedua lenganku, menatapnya sinis. Apakah dia tidak diajarkan sopan santun?
“Jangan marah, aku hanya sedang lihat-lihat saja” Katanya diselingi tawa. Lalu mengikutiku—melipat kedua lengan di dadanya. Dia masih menatapku. Tatapan aneh, sambil sesekali mngernyitkan hidung.
“Kau—pikiranmu sangat menarik, mau bergabung denganku?” Kata Dwight dengan penegasan di setiap katanya, kemudian dia beranjak duduk di sebelahku.
“TIDAK!”
Aku tidak sempat berpikir tentang maksud kata-katanya sampai Francesc tiba-tiba berteriak dan menubruk Dwight, mendorongnya sampai ke dinding. Dan sekejap kemudian sudah kembali dan berdiri tepat di depanku.
“Jangan macam-macam!” Bentaknya kepada Dwight yang terduduk di lantai akibat hantaman Francesc. Aku langsung panik dan berdiri.
“Ada apa? Apa yang kau lakukan?” Tanyaku panik. Mereka berkelahi? Tapi kenapa? Francesc hanya diam, tak sama sekali menggubris pertanyaanku. Dia masih menatap lurus Dwight yang kemudian berdiri.
“Aku hanya bercanda, Cesc! Kau terlalu berlebihan menaggapinya. Aku sudah bilang kan, aku sudah makan,” Kata Dwight.
“Kau yang memintaku menaggapi ini dengan serius” Sahut Francesc dingin.
“Sudah, cukup Cesc! Dwight, berhentilah bermain-main!” Bentak Coleen dengan suara tinggi. Wajahnya terkesan galak, namun tetap cantik. Aku memandang Coleen dan Dwight bergantian. Sementara posisi tubuh Francesc—Cesc mulai rileks. Ekspresi Dwight tidak berubah sejak awal. Tetap menyeringai jail. Cesc berbalik dan menatapku lekat-lekat. Wajahnya serius sekali. Iris matanya yang merah seakan berkobar menyala-nyala. Aku balas menatapnya dengan bingung.
“Dwight tidak akan melukai Carla, benar kan Dwight?” Tanya Coleen memastikan.
“Tentu, sudah aku katakan aku hanya bercanda. Lagipula sejak kapan kau memerdulikan manusia sih?” Tanya Dwight ditengah-tengah pengakuannya. Cesc melindungiku? Dari apa? Serangan vampir? Aku bahkan tidak tahu Dwight hendak menyerangku tadi. Aku menatap Dwight, Coleen dan Cesc bergantian. Cesc memejamkan mata, berhenti menatapku dengan serius. Kembali menghadap Coleen dan Dwight. Menundukkan kepala sebentar dan berjalan kearah keduanya.
“Ya, kau benar, aku tidak pernah begini sebelumnya. Aku percaya padamu. Maafkan aku Dwight,” Kata Cesc, Dwight hanya tersenum. Sekilas Cesc menatapku, tatapanya lirih.
“Sudah larut Carla, tidurlah” Cesc mengatakannya saat masih memunggungiku. Aku memilih menurutinya. Tak mau mengambil resiko terlibat dalam perkelahian antara hantu dengan vampir—aku berjalan kearah kamarku perlahan. Sebenarnya aku punya banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa Francesc tiba-tiba menyerang Dwight? Tapi kuputuskan untuk memendamnya—walaupun aku tahu Dwight tahu dengan jelas apa yang sedang ada di kepalaku. Aku naik ke tempat tidur, kembali menyelubungi tubuhku dengan selimut. Aku ragu apakah aku bisa tidur malam ini? Setelah semua kejadian hari ini. Tapi ternyata aku cukup kelelahan dan aku tertidur lebih cepat dari yang aku bayangkan. Aku sempat berharap kejadian yang baru saja menimpaku ini ternyata hanya mimpi sesaat sebelum aku memejamkan mata. Aku masih dapat mendengar pecakapan terakhir mereka sebelum aku benar-benar terlelap.
“Jangan tanya alasanku, Dwight. Aku juga tidak tahu” Suara Cesc mengalun merdu di telingaku. Seperti sedang menina-bobokan aku.
“Baiklah. Aku juga tak berharap kau memikirkannya” Kata Dwight kemudian. “Kuharap hanya sebatas itu ya, Cesc. Hindari hal yang memang tak perlu—tak pantas” Dwight melanjutkan kalimatnya. “Lagipula sejak awal aku sudah keberatan kau tinggal dengan manusia, terlebih dengan dia—dia berbeda. Aku tidak dapat memastikannya sih, tapi jalan pikirannya menarik” Kata-kata Dwight adalah hal terakhir yang aku dengar malam itu.