Kamis, 12 November 2009

Fan Fiction

Janji di postingan sebelumnya adalah ngebahas tentang fanfic atau fiksi fan.
Here you go. :)

Fanfic, terdiri dari dua kata; fan, yang berarti penggemar. Dan Fiction/Fiksi adalah rekaan. Secara keseluruhan, fanfic atau fanfiction adalah karya tulis berbentuk paragraf deskriptif yang dibuat oleh seorang/sekelompok penggemar yang menceritakan tokoh/objek idolanya.

Simpelnya, fanfic itu adalah cerita original yang dibuat oleh fan, dengan menggunakan tokoh, latar tempat, latar situasi dan waktu yang bertepatan dengan film, buku, atau bahkan komik asal tokoh utama.
Di dunia maya, fiksifan biasa ditulis dengan keywords; FF, fanfic, fanfiction atau fic.

Pada awalnya, fanfic hanya dibuat oleh orang tertentu, yang kemudian dimuat di majalah sebagai kolom tetap. Nah, orang tertentu yang saya maksud disini adalah orang-orang yang memang bekerja dari menulis. Semacam penulis reguler cerpen yang sering kita jumpai di majalah, hanya saya orang-orang ini memang mengkhususkan diri untuk menulis fanfic.

Seiring perkembangan jaman, makin banyak penulis amatir yang merefleksikan rasa kagumnya pada suatu tokoh dengan cara menuliskan sebuah cerita rekaan tentang idolanya. Apalagi setelah internet mendunia, banyak banget forum-forum atau milis yang sengaja mengkhususkan diri memuat karya fiksi penggemar. Bisa coba kunjungi: http://www.fanfiction.net
di situs ini terdapat ribuan fanfic yang dipos kan oleh para pengarang dari berbagai penjuru dunia.
Kamu juga bisa ikut posting fic kamu disini :)
dari situs ini, fic kamu akan dibaca oleh guests forum atau member yang akan memberikan komentar/reviews tentang fic kamu. Jangan kaget ya, kalo fic kiriman kamu ngga mendapat sambutan hangat. Terkadang reviews yang datang malah menjelek-jelekkan fic kamu. Tapi, who cares? Yang penting kan kita udah berani menampilkan hasil karya kita pada banyak orang. Itu yang terpenting!
Nah, dari komen-komen itu kan kita jadi bisa belajar, dimana sih letak kelemahan karya tulis kita?

Sampai saat ini, di internet masih sulit ditemui fanfic dengan Bahasa Indonesia, karena forum-forum penyelenggaranya mayoritas adalah forum internasional, yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa penghubungnya.

Fanfic juga populer untuk para penggemar manga dan anime Jepang. Mereka juga membuat fanart =>> sama seperti fanfic, hanya fanart berupa gambar atau lukisan. Juga doujin, sketsa komik strip 4 kolom atau lebih yang menceritakan tokoh anime atau manga tertentu.

Dalam fanfic, doujin dan fanart, juga mengenal istilah 'penggabungan'. Dalam karya fic ini kamu bisa menjumpai tokoh dari berbagai macam film atau buku bertemu untuk mengisahkan cerita baru. Contoh, dalam suatu fic gua pernah menemukan tokoh vampir super tampan dari Twilight, Edward Cullen sedang berhadapan dengan The Hannibal King, si pembasmi vampir dari film Blade Trinity. Seru kan? Kita bisa nge mix tokoh kesayangan kita dengan berbagai dunia fiksi lainnya!

Ga sabar untuk segera bikin fic?
Ayo buruan buka open office atau ms. Wordnya!
Inget ya, yang penting ceritanya adalah cerita original, jangan ngejiplak! Jangan lupa tampilin disclaimer untuk penulis aslinya! Disclaimer ini menunjukkan darimana ide cerita dan penokohan yang kita gunakan. Sepele, tapi penting! :D

Selasa, 10 November 2009

Cuaca buruk bikin flu! Argh!

Hah. Seminggu ini gua jauh dari komputer. Kenapa? Yak, gua sakit flu berat. Ngga bisa ngapa-ngapain kecuali bersin dan batuk-batuk.

Gua ga ngerti dari mana asalnya virus laknat itu bisa nular ke gua. Yang jelas, hidup gua jadi bener-bener ga jelas seminggu ini.
Bangun tidur karena dipaksa bangun oleh idung mampet yang membuat gua sulit napas, dan bisa tidur lagi juga karena obat yang kayaknya--atau udah pasti pake obat penenang aka obat tidur.

Gua rasa cuaca Jakarta yang lagi ga jelas juga--kalo lagi panas, panas banget, tapi pas lagi ujan gede banget ujannya, pake angin kenceng plus petir, cukup mendukung sakit yang gua derita. Yah, maksud gua, kapan sih, cuaca Jakarta 'jelas'? Hah, kalo ngebahas masalah ini bawaannya emosi, jadi, skip aja :p

Geez. Gua kayak mayat idup seminggu ini. Mata becek, idung sebelah mampet-sebelah meler ga karuan, kepala pusing. Bersin-bersin seharian... Wtf!

Gua cukup bersyukur sore ini gua udah bisa bersentuhan lagi dengan komputer tercinta, dan mulai menulis fiksi lagi! Yeay!
Nah, sebelum gua ngelanjutin kisah Amarilis dan Suri, gua ingin mempostkan sebuah fiksi romance sebagai selingan yang tokohnya gua ambil dari tokoh nyata aka fanfiction!
Buat yang belum kenal fanfiction, di post-an berikutnya akan gua kupas mengenai fanfic lebih mendalam :)

Selasa, 03 November 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 9.

"Tempat ini..." Suri ternganga menyaksikan tempat yang begitu berbeda dengan kampung halamannya. Gedung-gedung besar berdempetan bercat warna pucat menyambut mereka setelah hampir selama lima jam berada di dalam perahu. Berbeda sekali dengan tempat tinggal mereka dahulu, rumah-rumah mungil dengan cerobong asap, bangunan dari batu, juga lapangan luas dan domba-domba.
"Selamat datang di Androd" Bisik Amarilis. Dia sudah tahu seperti apa Androd dari buku-buku yang dibacanya.
"Kota macam apa ini?" Tanya Suri saat mereka berjalan berdampingan dan memandangi bangunan di sepanjang jalan yang ramai.
Suri dan Amarilis tentu menyadari perbedaan mencolok antara kota ini dan kampung halaman mereka.
"Ini kota besar, Suri. Kita tidak akan menemui para ibu yang berbincang di sore hari di sini. Aku bahkan tak yakin mereka saling kenal satu sama lain" Jawab Amarilis. "Setidaknya karena hal itu, kita bisa aman di sini" Lanjutnya.
"Ooh..." Gumam Suri. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota.

Suri asyik memerhatikan para warga lokal yang berkulit pucat dan dengan pakaian yang didominasi warna hitam. Ia bergidik karena mereka lebih terlihat seperti mayat ketimbang warga lokal.
"Suri! Jaga matamu! Jangan melihat berlebihan" Desis Amarilis.
"Habis mereka aneh," Jawab Suri. "Hey, sebenarnya kita mau pergi kemana?" Tanya Suri kemudian.
Amarilis lalu melepas topinya dan mengeluarkan secarik perkamen di dalamnya. Amarilis kemudian menyerahkan potongan perkamen itu kepada Suri.
"Mirr st. 24 B. Apa ini?" Tanya Suri setelah membaca isi perkamen itu.
"Itu alamat kantor imigrasi. Kita harus melapor jika ingin belajar sihir di sini" Jelas Amarilis. Mereka pun melanjutkan perjalanan.

Setelah mengurus dokumen dan mendaftar di sekolah sihir lanjutan, mereka memutuskan untuk segera mencari tempat menginap karena hari mulai gelap dan udara menjadi sangat dingin. Mereka akhirnya menyewa sebuah kamar di salah satu flat dekat sekolah baru mereka. Tanpa mereka ketahui, Master Zaida kemudian menyewa kamar tepat di sebelah kamar mereka.
"Kau tahu? Kita harus segera membeli pakaian baru, kau tahu kan, untuk berbaur. Lagi pula baju-bajuku jadi tidak ada yang muat lagi karena tubuhku jadi dewasa mendadak" Kata Suri sambil menurunkan barang bawaannya dari tas.
"Yeah, bisa kita lakukan besok. Aku capek sekali, aku tidur duluan ya?" Tanya Amarilis. Hari ini memang benar-benar melelahkan.
"Oke. Selamat malam" Kata Suri.
"Malam" Sahut Amarilis sambil menarik selimutnya. Tak butuh waktu lama hingga Amarilis benar-benar terlelap dalam tidurnya. Tak ada teman ngobrol membuat Suri mengantuk. Ia melemparkan tasnya ke lantai di sisi tempat tidurnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Ia menatap langit-langit kamar flat suram itu dan teringat pada ibunya. Biasanya ibunya selalu membawakannya segelas susu coklat hangat sebelum tidur. Ia lantas berpikir, sedang apa ibunya sekarang? Apakah warga desa sudah menemukan pakaian mereka yang terkoyak di dalam hutan? Suri memaksa matanya terpejam dan berusaha untuk segera tidur. Banyak yang harus dilakukan esok.

Master Zaida menyihir sebuah tempayan berisi air dengan tongkatnya. Sekejap, air di dalam tempayan itu bergejolak dan memberinya pemandangan di kamar sebelah, tempat Suri dan Amarilis menginap

:to be continued:

Minggu, 01 November 2009

Sejengkal lebih mengenal Arsene Wenger, memang berbeda sejak muda.

Fokus, sungguh-sungguh, dan tak berhenti belajar. Begitulah karakter Wenger kala masih muda. Ketika diperkenalkan kepada sepak bola oleh sang ayah pada umur 6 tahun, dia sungguh-sungguh menekuninya meski posturnya tidak ideal. Impiannya adalah menjadi seperti Franz Beckenbauer yang sangat elegan.

Berada di desa yang terisolasi tak membuat Wenger patah arang. Dia yakin menjadi pebola profesional bukanlah impian yang terlampau tinggi untuk diraih. Caranya, dia berlatih sangat tekun dan berdisiplin.

"Jika ingin bekerja dengan baik, kita harus mampu menjaga tubuh. Karena tak punya fisik yang kuat, saya cepat sadar akan hal in. Saya masih ingat, kala di tim village, 11 pemain menghabiskan 10 botol anggur setelah bertanding. Saya adalah satu-satunya yang tak minum. Mereka menjadikan budaya itu untuk mempererat ikatan. Tapi, saya punya komitmen untuk merealisasikan mimpi menjadi pebola profesional" Kenang Wenger.

Image Hosted by ImageShack.us

Hal lain yang membedakan wenger dari rekan-rekan sebayanya pada waktu itu adalah komitmennya terhadap pendidikan. Sambil bermain bola, dia tetap meneruskan kuliahnya di University of Strasbourg hingga menggapai gelar sarjana ekonomi. Bahkan sempat menimma ilmu di Inggris. Tepatnya di Cambridge.

"Para pebola profesional Perancis kerap menghabiskan waktu liburan di Club Med. Saya membeli tiket pesawat ke London. Seorang teman menyarankan saya kuliah di Cambridge untuk memperdalam bahasa Inggris. Saya menimba ilmu selama tiga pekan. Di sana, saya menyewa sepeda sebagai alat transportasi" Kisah Wenger. "Teman-teman setim menganggap saya sudah gila"

Bukan tanpa alasan Wenger tetap memprioritaskan sekolah.
"Dulu, orang-orang menganggap pebola itu berotak udang. Jika berpapasan dengan orang dan kita mengaku sebagai pebola, dia akan cepat pergi meninggalkan kita. Satu-satunya cara untuk mendapat pengakuan adalah dengan menjadi seorang mahasiswa" Paparnya.

Kedua orang tua Wenger, Alphonse dan Louise, menentang sang anak kala memilih sepak bola sebagai jalan hidup. Mereka lebih suka Wenger melanjutkan bisnis sukucadang kendaraan yang mereka rintis. Mereka pun sangat menentang kala Wenger menjadi pelatih tim junior Strasbourg karena itu berarti dia harus mencurahkan seluruh perhatian kepada sepak bola.

Namun begitu, kedua orang tua Wenger pun akhirnya luluh juga menyaksikan kesuksesan anaknya menjadi pelatih klub-klub besar seperti AS Monaco, Nagoya Grampus, dan kini Arsenal FC.

*Sumber: Soccer Series: Cannon Revolution.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 8.

Suri dan Amarilis mempersiapkan segala sesuatunya. Alibi adalah hal utama yang mereka lakukan. Dengan sedikit rasa janggal, Suri berpamitan kepada ibunya, mengatakan ia akan bermain dengan Amarilis di bukit. Ibu Suri pun mempersiapkan sandwich untuk makan siang mereka, dan berpesan agar mereka tidak pulang larut karena salju biasanya turun saat sore hari.
Suri memeluk ibunya erat-erat. Ia tahu, ia mungkin saja tidak akan bertemu dengan ibunya lagi.
"Aku mencintaimu, Mom" Bisik Suri di telinga ibunya. Berharap ia masih bisa mengucapkan kata-kata itu lagi nanti.

"Ayo pergi" Kata Amarilis. Mereka pun berjalan menyusuri jalan setapak menuju perbatasan desa. Terlalu mencolok kalau mereka harus memakai sapu terbang. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah. Suri terus berhitung di dalam hati. Tepat di langkah ke dua ribu Suri berhenti melangkah. Ia terdiam sesaat.
"Suri? Kenapa berhenti? Jangan bilang kau capek! Ini bahkan masih di perbatasan" Tanya Amarilis.
"Amarilis... Aku mau... Eh, maksudku..." Suri terbata.
"Apa? Kau lapar?" Tanya Amarilis menghampiri Suri.
"Bagaimana kalau aku... Ugh! Sudahlah lupakan saja!" Suri kemudian melanjutkan langkahnya. Dalam hati Amarilis mengerti isi kepala Suri tanpa ia harus mengatakannya. Ia tahu hati sahabatnya sedang goyah. Ia tau Suri sangat mencintai ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Ia tahu Suri pasti tidak ingin meninggalkan ibunya.

"Malam ini kita berkemah saja" Usul Amarilis. Ia pun menghentakkan tongkat sihirnya, dan sepasang tenda muncul seketika. Tenda yang sebelumnya memang sudah dibawanya dan disimpan dalam ransel dengan mantera pengecil. Salju mulai turun saat matahari terbenam, titik-titik putih nun halus jatuh perlahan. Membuat cuaca makin terasa dingin.
Setelah menyantap potongan sandwich yang terakhir, sandwich buatan ibu Suri, mereka memutuskan untuk langsung tidur. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Suri di pagi harinya. Amarilispun sengaja membiarkannya. Ia ingin tahu seberapa jauh keteguhan hati Suri untuk mempelajari sihir tingkat atas. Hal yang selama ini didengungkannya. Merekapun melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk pergi ke Androd, sebuah kota besar di seberang pulau. Di sana mereka bisa dengan mudahnya berbaur dengan masyarakat lokal.
"Nama" Gumam Suri.
"Ya?" Tanya Amarilis menegaskan.
"Kita butuh nama baru kan?" Suri menyimpulkan.
"Oh, itu tidak perlu. Tidak akan ada yang mengenal kita di sana" Jawab Amarilis. "Kita kan sudah berubah drastis" Lanjutnya.
"Benar juga" Kata Suri.

Tanpa sepengetahuan mereka, ada seseorang yang mengikuti mereka sejak perbatasan. Memanterai dirinya hingga berwujud seekor burung pipit berwarna gelap.
Tak lain tak bukan, ialah Master Zaida. Ya, Master Zaida memang mengetahui rencana Suri dan Amarilis sejak awal. Ia memalsukan daftar bahan-bahan ramuan penukar jasad milik Amarilis, sehingga, ramuan yang mereka minum sebenarnya hanya ramuan penyamaran biasa. Ia ingin tahu sampai sejauh apa Suri bisa bertindak. Dan tanpa sepengetahuan Master Zaida dan Suri, sebenarnya Amarilis telah menyadari keberadaan burung pipit itu sejak mereka bermalam. Ia yakin itu salah satu penjaga keamanan setempat, namun Amarilis masih belum tahu pasti siapa itu. Menurut Amarilis, wajar saja orang asing seperti mereka diawasi oleh penjaga keamanan setempat. Asalkan mereka bisa bersikap wajar, pasti tak lama lagi burung itu akan pergi. Cara untuk bersikap wajar adalah, dengan tidak memberi tahu Suri.

Setelah berjalan menembus hutan lebat seharian, mereka sampai di tepi selat yang membatasi Xam, kampung halaman mereka dengan Androduic, tempat tujuan mereka. Mereka sedang menunggu perahu yang akan membawa mereka ke Androd, ibu kota Androduic. Suri telah membuat dokumen kependudukan mereka. Mudah saja bagi Suri, dengan mencuri peralatan kerja ayahnya, ia dapat membuat dokumen asli dengan waktu singkat.
"Aku membuat dokumen juga untukmu, mulai sekarang kita saudara" Kata Suri sambil menyerahkan kartu milik Amarilis. "Well, aku memang sudah menganggapmu saudara sih," Lanjut Suri sambil terkekeh yang dibalas senyuman oleh Amarilis. Amarilis pun juga sudah menganggap Suri sebagai kakaknya sejak lama.

Setelah menaiki perahu itu, Amarilis memalingkan wajahnya ke arah daratan Xam. Memastikan apakah burung pipit itu masih di sana. Ternyata sudah tidak ada. Ia lega ternyata gerak-geriknya cukup normal untuk ukuran penjaga keamanan.
"Ada apa?" Tanya Suri.
"Tidak, tadi aku lihat burung pipit cantik sekali" Jawab Amarilis.
Burung pipit itu memang pergi, namun bukan untuk meninggalkan mereka, melainkan telah berganti wujud menjadi seekor ikan, berenang bersama kapal yang mereka tumpangi tanpa mereka sadari.

:to be continued:

Jumat, 30 Oktober 2009

Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 7.

"Wow" Kata Suri yang mendapati tubuhnya telah berubah menjadi tubuh orang dewasa. Ia asyik memandangi dirinya sendiri di depan cermin hingga ia menyadari sosok lain yang masih tergeletak pingsan di samping kuali yang mengering. Sudah berapa lama mereka pingsan?
"Amarilis! Bangun! Sadarlah! Kau harus melihat ini!" Kata Suri sambil mengguncang-guncangkan tubuh Amarilis.
"Ugh... Kepalaku sakit..." Desah Amarilis saat kesadarannya mulai mengumpul. Ia lalu membelalakkan mata menyadari perbedaan suara yang dihasilkan tenggorokannya.
"Nanti saja pusingnya! Ayo bangun! Lihat dirimu!" Balas Suri. Suaranya juga berbeda.

Amarilis mengerjapkan mata berkali-kali mendapati sosok dewasa di hadapannya.
"Su... Suri?" Tanya Amarilis tak biasa.
"Iya ini aku! Ayo bangun dan lihatlah dirimu di cermin" Nada antusias khas Suri membuat Amarilis yakin sosok tinggi ramping itu memang sahabatnya. Ia menata kakinya yang terasa lemas seolah tak bersendi. Sambil dibantu Suri, ia berdiri perlahan. Suri menyangga tubuhnya dan menarik Amarilis ke hadapan sebuah cermin besar berbingkai kayu dengan ukiran cantik. Amarilis menganga mendapati sosok dewasa di hadapannya.
"Hah?" Hanya itu respon Amarilis melihat bayangan rupawan yang menatapnya di cermin. Sosok gadis cantik berambut lurus gelap sebahu. Kulitnya putih agak pucat dan warna matanya coklat susu.
"Itu kau Amarilis!" Kata Suri. Amarilis mengulurkan tangan ke arah cermin, menyentuhnya. Ternyata bayangan itu melakukan hal yang sama.
"Itu benar-benar aku?" Desis Amarilis.
***

"Menurutmu, berapa usia kita sekarang?" Tanya Suri sambil menyuapkan sesendok penuh bubur kentang. Mereka sedang sarapan setelah beberapa hari pingsan. Karena ibu Suri adalah manusia biasa, dan begitu pula pelayan rumah mereka, Amarilis bisa dengan mudahnya memanterai mereka, sehingga yang mereka lihat tetaplah Suri dan Amarilis kecil.
"Err... Dua puluh mungkin?" Jawab Amarilis.
"Bagus! Itu usia minimalnya! Sekarang kita harus membuat dokumen diri dan mengurus perijinan untuk masuk kelas tingkat lanjut!" Suri berapi-api.
"Kau gila! Pasti semua orang di sekolah curiga! Apa yang terjadi pada 'Suri dan Amarilis'? Mati dimakan singa gunung? Lalu bagaimana dengan keluargamu? Kau mungkin bisa memanterai ibumu tapi ayahmu kan penyihir!" Balas Amarilis. Suri menjatuhkan sendok di genggamannya karena terkejut.
"Lalu kita harus bagaimana?" Suri baru terpikir apa yang dimaksud Amarilis dengan 'sekali maju tidak bisa mundur lagi'. Ada perasaan kalut di hatinya. Apakah dengan ini ia harus meninggalkan keluarganya?
"Kita harus pergi dari kota ini, membuat alibi tentang 'Suri dan Amarilis' lalu memulai hidup baru dengan identitas baru di tempat yang jauh" Usul Amarilis. Suri menatap mata sahabatnya dan menelan ludah.

"Aku sudah memikirkan banyak alibi, tapi dimakan singa gunung itu yang terbaik, kita cukup menyiapkan pakaian yang seperti dikoyak binatang dan darah" Jelas Amarilis. Suri terdiam. Ia berpikir keras. Apa perasaan ibu dan ayahnya saat tahu anak mereka satu-satunya mati dimakan singa?
Berbeda dengannya, Amarilis memang sudah hidup sebatang kara di panti asuhan. Ia tak punya sosok yang dirisaukan. Sedikit rona penyesalan menyeruak memaksa keluar dari lubuk hatinya.

Namun ini adalah pilihannya. Ia sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan yang seperti ini. Memenuhi ambisinya menjadi penyihir tersakti dalam waktu singkat. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Memantapkan hatinya.
"Kapan kita mulai?" Tanya Suri saat membuka matanya.
"Secepatnya" Jawab Amarilis mantap.

:to be continued:

Kamis, 29 Oktober 2009

Sejengkal lebih mengenal Arsene Wenger, Professor humanis.

Sebagai seorang gooner (fan Arsenal) tentunya sosok Arsene Wenger sudah menjadi tokoh panutan bagi saya. Kepribadiannya yang penuh dengan rasa kemanusiaan, juga ke-geniusannya dalam menghadapi persoalan-persoalan klub membuat saya merasa dialah tokoh bapak yang sangat bijak dan heroik. Nah, oleh karena itu pada postingan kali ini saya ingin sekali memperkenalkan sosok Sang Professor.

Arsene Wenger lahir pada 22 Oktober 1949 di Strasbourg, Perancis. Wenger mulai menangani Arsenal sejak 1996. Wenger memiliki gelar Sarjana untuk Electrical Engineering dan gelar Master dibidang Ekonomi di Strasbourg University. Anak dari Alphonse dan Louise Wenger ini juga menguasai berbagai bahasa seperti Perancis (tentu saja), Jerman, Spanyol, dan Bahasa Inggris. Dia juga berbicara bahasa Italia dan Jepang.

Image Hosted by ImageShack.us

Gabriel Marcotti, seorang jurnalis sepak bola asal Italia suatu kali pernah mengutarakan pendapatnya soal Wenger. "Wenger adalah (Rene) Descartes-nya sepak bola. Dia seorang filsuf olahraga yang selalu mengedepankan rasionalitas dengan tujuan mengabdi kepada permainan indah, bukan sekedar memenangkan gelar juara"

Tony Adams, bek legendaris Arsenal, mengakui kegeniusan Wenger. Menurutnya, hal itulah yang membedakan Wenger dari manajer-manajer sebelumnya. "Arsene betul-betul berbeda dari sosok-sosok yang pernah dihadapi para pemain sebelumnya. Dia adalah seorang pemikir dan pendengar yang baik. Lebih dari itu, dia punya perhatian besar terhadap para pemainnya. Dia sangat tahu cara membuat mereka tampil dengan kemampuan terbaik"

Pemikiran serupa juga datang dari Thiery Henry dan eks manajer Crytal Palace Iain Dowie. "Dia bukan sekedar manajer hebat, melainkan juga manusia yang hebat" Ucap Henry. Sementara Dowie berujar, "Dia adalah figur hebat yang bisa dijadikan contoh bagi para manajer muda. Dia itu kalem dan genius"

"Dia punya visi, hasrat, keahlian, dan motivasi yang kuat. Selahn itu, dia juga sangat menjunjung tinggi persahabatan. Dia tidak pernah melupakan semua orang yang pernah berada di dekatnya" Papar Gerard Houllier, salah satu sahabat Wenger.

Nilai minus dari kepribadian Wenger, itu adalah sikap perfeksionisnya yang kerap berlebihan. Gara-gara itu pula, dia kadang tak mau mendengar kata-kata orang lain. "Dia itu keras kepala. Itu karena tuntutannya yang tinggi untuk meraih prestasi dengan caranya sendiri" Lanjut Houllier.

Image Hosted by ImageShack.us

Meski demikian, Wenger bukanlah figur yang mudah menyalahkan orang lain kala mengalami kegagalan. Para pemain Arsenal tahu betul bagaimana sikap Wenger di ruang ganti. Dia hampir tak pernah mengumbar kemarahan, apalagi 'menceramahi' anak-anak asuhannya semalam suntuk kala mereka kalah.

"Saya selalu mendukung para pemain untuk berekspresi dan mengenali dunia di luar klub ini. Itu memang bukan berarti saya selalu setuju dengan mereka. Saya selalu mencoba mempertahankan kesatuan di dalam tim. Itu sebabnya saya tak pernah mengatakan bahwa pemain X bermain sangat buruk kala kami kalah karena sayalah yang bertanggung jawab. Sayalah yang memilih pemain itu" Papar The Professor.

*Sumber: Wikipedia, Soccer Series: Cannon Revolution