Fakta
Satu minggu berlalu. Tidak ada lagi kejadian bola lampu yang kendur atau meja makan yang bergeser. Aku juga tidak pernah melihat atau bahkan sekedar berbicara dengan Francesc lagi. Dan aku tidak pernah sekalipun berusaha untuk mencarinya, karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggunya. Aku kan tidak tahu batasan antara mengganggu dengan sekedar mengobrol, dalam kamusnya. Tapi aku sudah mulai bosan, dan terlebih, aku merindukan wajah sempurnanya.
“Hmm, kau masih disini kan?” Tanyaku pada sudut dapur. Aku tidak tahu apakah kenyataan ini—bahwa aku sedang tinggal seatap dengan makhluk yang bukan manusia akan mempengaruhi kesehatan jiwaku. Ah, aku tidak peduli, kenyataan yang menunjukkan aku memang sudah tidak waras adalah saat aku terpesona oleh makhluk yang bukan manusia ini, dan itu sudah satu minggu berlalu. Itu artinya sudah satu minggu ini aku gila. Entah untuk alasan apa aku cukup lega saat menyimpulkan aku sudah gila.
“Francesc?” Panggilku.
Mungkin dengan menyimpulkan aku sudah gila—benar-benar gila, dapat mengurangi kesan ganjil yang aku rasakan saat mulai berbicara dengan ruangan kosong, seperti yang kulakukan sekarang. Entah mengapa aku merasa namanya terlalu panjang untuk dipanggil. Apa dia tidak punya nama panggilan yang mudah disebut? Aku memang gila. Lihat kan? Sekarang aku bahkan mempertanyakan apakah dia punaya nama panggilan.
Rasa dingin itu datang lagi. Hanya saja, tidak setajam saat pertama kali. Ini lebih nyaman, walau tidak bisa dibilang menyenangkan dalam arti lain.
“Aku tidak pernah pergi” Jawabnya lembut. Aku terbuai lagi, dengan suaranya yang begitu indah.
“Apakah aku mengganggumu sekarang?” Tanyaku ragu.
“Tidak,” Jawabnya singkat. “Kau sudah cukup diam satu minggu ini” Sambungnya. Sepertinya dia senang aku tak mencarinya seminggu ini. Mendadak sensasi adiktif itu datang. Aku ingin melihatnya.
“Bisa aku… melihatmu lagi?” Tanyaku. Tak ada balasan. Aku mendadak takut, takut menyinggungnya. “Maaf, kalau tidak… tak apa. Aku tak memaksa” Kataku kemudian. Seketika sensasi dingin itu datang lagi dan lebih kuat, hanya saja tidak mencekikku, tidak seperti minggu lalu saat aku merasa aku hampir mati. Rasanya bahkan lebih nyaman dibanding saat aku mendengar suaranya. Dan dia muncul. Didepanku, dan dengan jarak yang sama seperti kemunculannya minggu lalu. Jarak aman kah?
“Sekarang apa?” Tantangnya.
Apa maksudnya? Aku tidak terlalu memerhatikan kata-katanya, aku malah lebih berkonsentrasi untuk menyimak seluk beluk sosok indahnya. Bahunya yang jenjang dan kokoh, aku bahkan sempat berpikir terbuat dari apakah tubuhnya itu? Setahuku, hanya ukiran batu yang bisa se-indah ini. Sangat kokoh, atau apalah. Aku sampai tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Dan wajahnya yang begitu sempurna? Entahlah, kemudian matanya memancarkan sesuatu yang dapat menarikmu ke ruang tanpa sekat dan batas tanpa bisa kembali lagi. Indah, dan benar-benar adiktif. Aku lalu tersadar dari lamunanku yang fana. Aku tentu punya berjuta-juta pertanyaan yang ingin kutuntaskan. Mungkin itu yang dia maksud dari pertanyaannya barusan—saat ia muncul.
“Bisakah kita mengobrol? Atau apa saja istilahnya bagimu” Tanyaku penuh keragu-raguan.
“Kupikir, sebagai ‘teman’ satu flat…” Saat aku ingin mengutarakan alasanku ia menyelanya dengan lembut.
“Yang kau maksud mungkin ‘menginterogasi’ku kan?” Tanya Francesc. Aku kaget, dia menyadari niat tersembunyiku. Menginterogasi. Istilah yang digunakannya seolah-olah aku akan menanyainya pertanyaan tak lazim, membuatnya menjadi sebuah artikel kemudian menjuanya ke surat kabar. Pasti aku akan mendapat cukup uang jika memang itu yang aku lakukan. Otak bagian khusus pemikiran konyol dan ngawur-ku bekarja.
“Tidak apa, tanyakan saja,” Katanya penuh kedamaian. “Aku pun pasti akan bertanya banyak kepada hantu yang kutemui, kalau jadi kau” Sahutnya, ia lalu berjalan melewatiku, kemudian duduk santai disebuah kursi. Tunggu dulu, dia duduk? Kupikir hantu akan menembus benda-benda yang disentuhnya? Kenapa aku merasa selama ini sudah dibodohi oleh film horror?
“Jadi kau… benar-benar hantu?” Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Suasana hening sesaat menyiksaku. Aku jadi merasa telah melontarkan pertanyaan yang salah.
“Tergantung dari definisi hantu yang kau maksud” Dia menjawabnya dengan tenang. Wajahnya tanpa ekspresi.
Aku beranjak dari tempatku sejenak membatu tadi, berjalan kearahnya dan memerhatikannya. Oh, ya amapun, bahkan kakinya menyentuh lantai.
“Apa?” Tanya Francesc, dia sadar aku agak berlebihan memerhatikannya. Dan itu pasti sudah membuatnya tidak nyaman.
“Tidak apa… hanya kaget. Karena definisi hantu menurutku sangat berbeda jauh dengan apa yang aku lihat sekarang” Aku nyerocos membeberkan isi kepalaku sambil memandang kearah kaki-kakinya yang jenjang.
“Oh, itu cuma mitos, tidak semuanya seperti yang manusia ketahui” Dia melihat arah pandanganku. “Begini saja… Siapa tadi namamu? biar aku saja yang menjelaskannya untukmu” Suara lembutnya kembali membiusku. Membuatku ingin mengambil recorder agar aku bisa merekam suaranya yang begitu lembut dan menenangkan.
“Namaku Carla”
Francesc menarik kedua lengan sweaternya hingga sebatas siku, ia menatapku, matanya tajam. Bias merah dari irisnya sungguh terasa menyedot dan manarik narik kesadaranku hingga hapir terlepas dari ragaku. Tatapannya masih sekasar waktu itu. Apakah dia masih tidak merestui kehadiranku? Aku mulai merasa pusing. Oh tidak, jangan menatapku seperti itu!
“Kau kelihatan shock?” Kalimat tanyanya sedikit melunakkan tatapannya yang barusan terkesan galak.
“Aku baik-baik saja… Sungguh.” Aku berbohong. Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Ia menghela napas, kemudian mendasah putus asa. Kenapa? Apa yang mengganggu pikirannya?
“Kau masih ingin menjelaskan padaku?” Tanyaku penasaran, juga was-was.
“Oh, ya tentu…” Jawabnya spontan. “Aku hanya teringat beberapa kejadian dimasa lalu” Lanjutnya mengenang, sekilas tampak rahangnya sedikit mengejang. Aku menunggu dengan sabar. Kulihat ekspresi wajahnya melunak.
“Aku—kami yang sejenisku, sebenarnya hanya jiwa yang melayang tanpa raga” Aku merinding mendengarnya, tanpa raga. Lalu apa yang sedang ada dihadapanku saat ini?
“Kami, pernah hidup. Setidaknya kami menyebut kami ‘pernah’ memiliki raga, lalu kemudian kematian datang, dan jiwa kami—yang terlepas dari raga saat kami mati tidak pergi ke tempat yang benar, dan malah terjebak di dunia manusiamu ini” Ia berusaha menerangkannya dengan ringkas agar aku mengerti, tapi tetap saja aku tidak paham.
“Jiwa kalian… berwujud seperti raga kalian saat masih hidup—saat masih memiliki raga? Maksudku, apakah kau juga seperti ini saat masih hidup?” Pertanyaan pertama karena aku memang ingin tahu, tapi pertanyaan kedua lebih karena rasa tidak percaya sosok sesempurna ini pernah hadir di dunia.
“Kurasa tidak, jiwa atau roh itu tidak berwujud, bisa dikatakan seperti kabut atau asap, atau bola arwah—itu istilah yang manusia berikan untuk kami, tapi dalam kasusku, ya. Ragaku dulu memang seperti yang kau lihat saat ini, aku remaja berusia delapan belas tahun saat aku mati. Karena aku tidak mungkin manampakkan diri pada manusia dan mengusir mereka yang ingin merebut tempat tinggalku—sepertimu, hanya dengan berupa asap atau bola membara yang melayang-layang” Ia menjelaskan sambil meringgis.
“Jadi… kau mengatur sosok yang akan kau tampilkan pada manusia? Padaku?” Tanyaku, masih bingung. Ia mengangguk.
“Hanya pada awal kemunculan kami, kami bisa menentukan bentuk kami. Karena aku tidak punya tujuan apa-apa selain tidak ingin diganggu manusia, tanpa pikir panjang, saat itu aku memutuskan untuk berwujud seperti aku” Jelasnya. “Aku kenal seseorang yang memutuskan untuk berwujud kucing di kehidupannya yang abadi ini” Katanya sambil menyeringai. Penjelasannya mengagetkanku, kucing? Ya Tuhan, berapa banyak hantu yang aku temui tapi aku tidak menyadarinya? Dan aku tidak mengerti mengapa ia menggunakan kata ganti jamak, padahal cuma ada aku dan dia disini. Iya kan? Maksudku, tidak ada hantu lain disini kan? Aku bergidik ngeri membayangkan ternyata flatku ini dihuni berbagai macam hantu. Mulai dari yang rupawan—tapi mematikan seperti dia hingga yang benar-benar menyeramkan seperti yang di film horror. Aku berusaha mengenyahkan khayalan menakutkan dari otakku.
“Tujuan?” Tanyaku bingung. Ia kembali menghela napas.
“Apakah kau tidak berpikir alasan apa yang membuat jiwa kami melayang di dunia manusiamu ini Carla?” Ia bertanya sambil tertawa lirih.
“Aku… tidak tahu” Jawabku jujur.
“Kau tentu tahu bahwa kematian itu sudah ditentukan Tuhan jauh sebelum kita lahir kan?” Ia menatapku memastikan.
“Aku tahu bagian itu” Walaupun aku bukan cewek yang masuk kategori alim, tapi aku tentu cukup mengerti beberapa ajaran agama.
“Alasan mengapa kami disini sangatlah simpel Carla,” Ia mendongakkan kepala menatap langit-langit. “Kami hanya tergelincir, mati pada saat dan dengan cara yang salah” Aku berkonsentrasi meresapi setiap patah kata yang ia ucapkan.
“Kami mati bukan karena takdir yang telah Tuhan siapkan untuk kami, tapi karena ada yang mengakhiri hidup kami. Karenanya, jiwa kami tidak bisa pergi ke tempat yang benar. Karena tempat yang benar itu hanya untuk makhluk hidup yang mati dengan terhormat—yang mati karena memang takdir Tuhan memutuskan ia mati” Aku sudah berusaha keras memahami pernyataannya, tapi aku malah semakin bingung dengan kata-kata yang diucapkannya. Dan dia menyadari hal itu.
“Begini, saat kau belum lahir—saat ibumu mengandungmu, Tuhan memberimu nyawa yang panjangnya sudah Ia tentukan dengan baik, berikut hal-hal lain seperti perjalanan hidupmu nantinya, orang-orang yang akan kau temui, dengan siapa kau akan menikah, dan sebagainya, semua sudah Ia tuliskan untukmu dengan terperinci sampai pada saat kau mati, Ia juga sudah menuliskan kapan dan bagaimana kau akan mati nantinya” Ia menjelaskannya dengan lebih baik sekarang.
“Anggap saja aku, sebenarnya ditakdirkan—ditulis oleh Tuhan bahwa aku akan mati saat umurku lima puluh karena serangan jantung. Tapi apa yang aku alami sekarang?” Tanya Francesc. Matanya awas, menatap setiap perubahan ekspresi wajahku.
“Kau mati saat umurmu delapan belas, tidak seperti yang dituliskan Tuhan untukmu. Itukah maksudmu tentang alasan mengapa jiwamu ada disini? Kau mati bukan pada saat yang seharusnya” Kataku perlahan. Aku mulai menyadari apa yang sedang kami bicarakan.
“Tepat sekali” Ia tersenyum sekilas, senyum kepedihan.
“Kau dibunuh…” Kataku dengan mata membelalak. “Maaf, kata-kataku kasar sekali,” Aku buru-buru minta maaf saat menangkap perubahan ekspresi wajahnya.
“Tidak apa-apa. Kau benar, hidupku diakhiri dengan paksa, bukan karena kehendak Tuhan aku mati. Karena itulah Ia tidak menerimaku untuk kembali ke sisi-Nya—ke tempat yang benar, dan malah terlunta-lunta di dunia manusia ini, entah sampai kapan” Nada kepedihan seolah mengiris hatiku saat mendengar ia menyelesaikan kalimatnya barusan. Aku baru tahu ternyata kehidupan hantu itu tidak enak. Mengapa Tuhan tega sekali tidak menerima jiwa orang-orang yang mati tidak karena takdirnya? Maksudku, ini bukan salah Francesc, mana ada sih orang yang mau dibunuh? Lagi pula dia dibunuh, orang lain yang membunuhnya yang seharusnya mendapat akibatnya, bukan Francesc. Lain halnya kalau dia bunuh diri—memaksakan kematian datang bukan pada waktunya, kalau itu aku baru bisa memerima kalau Tuhan membiarkan dia terlunta-lunta di dunia.
“Ini kan bukan salahmu, Tega sekali Dia?” Entah mengapa aku jadi seperti merasakan penderitaannya.
“Sudahlah, itu sudah tidak jadi permasalahanku, aku sudah memikirkan apa yang ada di kepalamu saat ini selama berpuluh tahun kehidupan hantuku, dan itu toh tidak membuatku lantas masuk surga kan?” Mendadak rona ceria terbersit di wajahnya. Sungguhkah ia sudah tidak memikirkan betapa tega Tuhan padanya? Aku berusaha tidak terhanyut, dia saja sudah tidak memikirkan, masa aku yang bukan siapa-siapa mau sok ikut berdebat betapa tega Tuhan terhadapnya. Mendadak aku teringat akan kalimatnya.
“Tadi kau bilang, kau tidak punya tujuan apa-apa, makanya kau memilih menjadi dirimu, apa maksudnya? Tujuan apa?” Tanyaku. Ia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum sinis.
“Balas dendam,” Seketika jantungku terasa berhenti berdenyut.
“Masa kau tidak ingin balas dendam pada orang yang mengakhiri hidupmu dengan paksa—orang yang telah membuatmu hidup abadi dalam ketidakpastian yang menyesatkan—orang yang telah merenggut masa depanmu?” Nada penuh amarah tergambarkan dengan jelas.
“Kau tidak balas dendam?” Aku shock dengan kata-kataku barusan. Kata-kataku benar-benar seperti menantangnya untuk membalas dendam. Tapi memang benar, ia tidak balas dendam? Sorot matanya nanar, penuh dengan kepedihan dan kebencian yang melebur manjadi satu. Rahangnya kembali mengejang, jari tangannya mengepal dengan kuat, seperti mencengkram sesuatu. Sedetik kemudian dia lenyap, menghilang dari kursi tempat ia duduk, begitu mandadak, begitu tiba-tiba. Membuat aku shock. Oh tidak! Apa aku baru saja melukai perasaannya?
“Francesc?” Aku memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Sial! Kenapa sih aku selalu begini? Aku tidak pernah memikirkan dulu kata-kata yang akan aku ucapkan.
“Maafkan aku, sungguh aku sama sekali tidak bermaksud… memintamu membalas dendam dan mengingatkanmu…” Aku berkata tersendat sendat, dan aku tidak berhasil mengucapkan seluruh kalimat yang ada di kepalaku. Jantungku berdetak kencang, terlalu kencang hingga rasanya seperti mau meledak. Kembali tidak ada jawaban. Aku memutar tubuhku, mencari sosoknya di penjuru ruangan. Aku mulai frustasi. Aku benar-benar takut telah menyakiti perasaanya, tapi hampir disaat yang bersamaan, dia kembali muncul. Disudut ruangan di samping jendela
“Maaf, aku tidak bisa mengandalikan emosiku saat teringat masa laluku” Francesc mengucapkannya perlahan dan hati-hati.
“Tidak! Akulah yang seharusnya minta maaf!” Kelakku yang masih sulit bicara karena degupan jantungku yang tidak beraturan sungguh menyesakkan dada.
“Tidak Carla, kau sepenuhnya benar. Aku juga ingin sekali membalas dendam, kalau aku bisa, sungguh.” Detak jantungku mulai beraturan setelah mendengar pengakuannya.
“Kalau kau bisa…?” Aku mengulangi kata-katanya berupa bisikan. Francesc tersenyum lirih. Memejamkan mata beberapa saat.
“Kalau saja aku tahu siapa yang membunuhku… kalau saja aku bisa melihat wajahnya saat ia membunuhku…” Katanya dengan suara hampir seperti bisikan.
“Kau… Tidak tahu siapa yang melakukannya padamu? Karena itu kau tidak…” aku tidak menyelesaikan kalimatku karena shock. “Jahat sekali…” Hanya itu yang keluar dari mulutku karena shock. Dia bahkan tidak tahu siapa yang membuatnya menjalani kehidupan seperti ini. Francesc menunduk, menatap permukaan lantai yang kosong selama bebarapa detik, lalu kemudian dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Ia diam sejenak saat mata kami bertemu pandang, lalu kemudian tersenyum kepadaku.
“Aku rasa sudah cukup untuk hari ini” Ia berkata akhirnya. Kemudian dia menghilang lagi, sunyi sesaat, kemudian hanya suaranya yang terdengar.
“Terima kasih sudah mendengar ceritaku, selamat malam” Aku masih membatu selama beberapa saat baru bisa menyadari dia sudah pergi. Aku berjalan limbung menuju kamarku. Rasanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan saat ia mencekikku. Saat itu hanya tubuhku—ragaku yang merasakan sakitnya, tapi saat ini yang kurasakan jauh lebih buruk, hati dan jiwaku terasa sakit, seperti luka sayatan yang tersiram air laut. Hanya luka kecil, kurasa, tapi pedihnya menjalari seluruh tubuh, meresap ke tulangku. Aku benar-benar tidak tahu kehidupan ada yang setragis ini.
Aku duduk di sisi tempat tidurku. Menekuk kedua kaki di dada dan memeluknya. Aku termenung sesaat, membiarkan fakta yang baru aku dapatkan meresap ke setiap jaringan syaraf di otakku. Aku memposisikan diriku menjadi dia. Bagaimana jika hal yang terjadi padanya menimpaku. Aku pasti sangat frustasi. Inikah alasan mengapa ia terlihat sangat emosional saat mengenang masa lalunya? Mendadak aku teringat ceritanya. ‘Aku kenal seseorang yang memutuskan untuk berwujud kucing di kehidupannya yang abadi ini’ kalau tujuan menentukan wujud yang dikatakan Francesc adalah balas dendam, lalu apa yang akan dilakukan seekor kucing untuk balas dendam? Mendadak aku penasaran, apa yang terjadi pada orang itu hingga ia memutuskan menjadi kucing?
Rabu, 18 November 2009
Tentang Emirates Stadium
Emirates Stadium adalah stadion sepak bola yang terletak di Ashburton Grove di Holloway, London utara, dan merupakan markas utama klub sepak bola Arsenal F.C. sejak Juli 2006. Stadion ini merupakan stadion sepak bola terbesar kedua di kompetisi Liga Utama Inggris setelah Old Trafford dan merupakan terbesar keempat di daratan Inggris setelah Stadion Wembley (London), Old Trafford (Manchester), dan Stadion Millennium (Cardiff).
Stadion ini memiliki kapasitas 60.432 penonton, menggantikan stadion lama Arsenal, Highbury yang telah dipakai Arsenal selama kurang lebih 93 tahun (1913-2006). Pembuatan stadion ini membutuhkan dana kurang lebih sekitar 430 juta poundsterling. Sebelumnya stadion ini bernama Ashburton Grove, tapi dinamai Emirates Stadium karena tim Arsenal mencapai kesepakatan dengan perusahaan penerbangan Emirates untuk mensponsori Arsenal selama 15 tahun.

*sumber: wikipedia, soccer series: canon revolution
Stadion ini memiliki kapasitas 60.432 penonton, menggantikan stadion lama Arsenal, Highbury yang telah dipakai Arsenal selama kurang lebih 93 tahun (1913-2006). Pembuatan stadion ini membutuhkan dana kurang lebih sekitar 430 juta poundsterling. Sebelumnya stadion ini bernama Ashburton Grove, tapi dinamai Emirates Stadium karena tim Arsenal mencapai kesepakatan dengan perusahaan penerbangan Emirates untuk mensponsori Arsenal selama 15 tahun.
*sumber: wikipedia, soccer series: canon revolution
Fan Fiction: Another Love Story 1. Cerita ini hanyalah Fiksi dan Khayalan belaka, hanya sebagian tokoh adalah nyata dan benar-benar ada. Tidak ada maksud khusus untuk melecehkan atau mencemarkan nama baik suatu pihak atau tokoh yang terlibat dalam cerita ini.
Prolog.
Surga dan Neraka
Segala sesuatu yang hidup pasti akan mati pada waktunya, aku percaya itu. Walaupun berusaha menghindarinya, kematian akan tetap mendatangimu. Walau berusaha bersembunyi pun, kematian akan menemukanmu. Karena Tuhan sudah menentukan kapan kau akan mati. Dan kau tidak mungkin dapat menolaknya. Itulah yang disebut takdir. Aku meyakini Tuhan menciptakan tiga macam kehidupan. Kehidupan saat kita belum dilahirkan, kehidupan saat kita di lahirkan, dan kehidupan setelah kematian. Kehidupan setelah kematian bagiku berarti surga dan neraka. Sangat simpel, manusia yang semasa hidupnya lebih banyak melakukan dosa daripada berbuat baik akan masuk neraka, dan sebaliknya, manusia yang semasa hidupnya selalu berbuat baik, maka ia akan mendapatkan surga. Aku memang tidak paham bagaimana Tuhan menilai kebaikan manusia, karena menurutku, orang yang baik diamata seseorang pun, pasti pernah dipandang sebaliknya oleh orang lain. Tapi aku percaya penilaian Tuhan tidak mungkin salah, karena dia melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku percaya Tuhan adalah hakim yang paling adil di seluruh jagad raya ini. Dia tidak mungkin memasukkan orang jahat kedalam surga dan meletakkan yang baik di neraka kan? Tidak mungkin.
Aku tetap teguh pada pendapatku tentang tiga macam kehidupan yang sudah diatur Tuhan selama ini, sampai pada suatu saat pendirianku mulai goyah. Saat dimana kehidupan dan kematian terasa tak berbatas. Saat dia datang ke kehidupanku.
Pertemuan Pertama
“Oke, aku sudah cukup sabar sampai saat ini” Aku berkata setengah berteriak. Sedikit membentak malah.
“Setidaknya kau bisa beritahu aku alasanmu mengganguku kan?”. Namaku Carla, aku delapan belas, dan aku sedang berbicara dengan ruangan kosong, setidaknya dari manusia.
Aku baru saja menyewa sebuah flat mungil—kalau tidak ingin dibilang ‘kecil’, dipinggiran kota London Utara. Dan kehidupanku yang baru saja dimulai disini ternyata tidak berjalan seperti yang aku bayangkan. Ada sesuatu—dan aku rasa aku tahu apa itu, di flat ini yang menggangguku.
Tidak ada jawaban. Tentu saja. Maksudku, aku sekarang sedang bicara dengan sesuatu yang aku tidak tahu wujudnya. Hantu kah? Poltergeist? Aku tidak peduli. Sudah satu minggu ini dia menggangguku. Menggeser meja makan juga kursi-kursi saat aku sedang terlelap dimalam hari, mengendurkan semua bola lampu yang ada, jadi aku harus mengencangkannya semuanya sendiri, juga mencabut kabel teleponku, jadi aku harus menyambungkannya terlebih dahulu bila ingin menggunakannya dan ini sudah berlangsung selama tujuh hari. Yang benar saja!
“Bisakah kau hanya memberi tanda bila kau tidak mau bicara—atau mungkin tidak bisa?” Aku kembali seperti bicara dengan ruangan hampa. Aku cukup marah sekarang.
“Sekarang aku bahkan tidak tahu aku sedang bicara dengan siapa” Kataku membentak.
“Apakah aku sudah melakukan hal yang buruk?” Kali ini nada bicaraku seperti orang yang pasrah. Aku juga bingung mengapa mulutku bisa mengeluarkan kata-kata dengan nada seperti itu. Tapi itu benar, apakah aku sudah melakukan hal yang begitu buruk sampai harus ditegur dengan cara seperti ini?
Tiba-tiba saja aura aneh datang menerjang menerpa kulitku. Dingin. Tapi bukan dingin yang membuatmu nyaman seperti saat kau masuk ruangan ber-AC saat musim panas. Ini rasa dingin yang tajam, menusuk-nusuk kulit. Aku mencoba bersikap tenang. Tadi kan aku sendiri yang memintanya datang.
“Maaf,” Tiba-tiba aku mendengar sebuah kata terucap begitu lembut dan merdu, seprti dentingan lonceng yang berirama. Aku mencoba mencari sosok yang membuat suara indah yang sekaligus membuatku bergidik ngeri. Aku tidak menemukan apapun. Hanya pantry kecilku yang remang. Sudut gelap di ujung lorong pantry ini memang cocok untuk kemunculan makhluk-makhluk kasat mata. Setidaknya itu yang aku tahu dari berbagai film horror.
“Kau bahkan tidak takut padaku” Suara indah itu lagi. Menggema di seantero pantryku.
“Itu sungguh penghinaan, kau tahu?” Dan aku masih berkonsentrasi menemukan sumber suara itu. Mencari sosok seperti apa yang mungkin menghasilkan suara selembut itu.
“Baiklah” Kataku spontan. “Aku sudah mendengar suaramu. Sekarang, bolehkan aku melihat sosokmu?” Mataku masih awas. Menanti setiap kemungkinan sosok yang akan muncul.
“Begitu penasaranya kah kau terhadapku?” Aku kembali memutar tubuhku. Dimana sih dia? Aku memang sudah sering melihat berbagai macam hantu atau apalah namanya, baik dari film, atau cerita bergambar di majalah. Tapi tentu saja belum pernah yang secara langsung. Dan ini sangat membuatku antusias. Mungkin terdengar agak aneh, karena sebagian orang tentu berharap tidak ingin bertemu dengan makhluk-makhluk aneh dalam hidup mereka yang singkat.
Rasa dingin yang menyakitkan itu datang lagi, dan lebih keras. Aku menggigit bibir bawahku. Menyiritkan mata, mencoba menahan sensasi aneh yang menjalari sisa kulitku yang tidak tertutup pakaian.
“Hallo,” Sapa seorang cowok yang mengenakan subuah sweater hitam beserta celana panjangnya yang juga hitam.
Dia menyeringai sinis saat menyapaku. Jaraknya hanya skitar satu meter didepanku. Pakaian yang dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Aku memerhatikannya dengan seksama. Maksudku, ini adalah pertama kalinya aku melihat ‘hantu’ dan sosoknya yang rupawan sungguh mengecewakan. Wajah pucatnya sama sekali tidak menakutiku. Kulitnya sangat putih seputih patung batu yang biasa kau temukan di museum. Rambut cokelat tuanya mengilat diterpa remangya lampu pantryku, membuatnya berwarna lebih pirang. Alis matanya gelap dan tebal bagai rajutan yang sempurna—dan sangat indah, juga sepasang matanya yang berwarna merah tua, memancarkan… sesuatu, aku tidak tahu apa itu? Tak sadar mulutku menganga saat menatapnya. Takjub. Aku tidak pernah tahu ada sosok yang begitu sempurna di dunia ini. Sosoknya masih berdiri mematung. Persis lukisan sempurna serafim yang tampan. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Hey, kemana perginya makhluk dengan wajah hancur dan berlumuran darah? Makhluk menakutkan yang mengejarmu dengan membawa pisau dapur yang kotor dengan noda darah? Ini menggelikan.
“Apa?” Ia menatapku bingung, mengerutkan alisanya yang sempurna, membuat sedikit kerutan ekspresi di dahinya yang selicin marmer. Aku kembali menggigit bibir bawahku. Kali ini karena aku terhanyut oleh pesonanya.
“Kau sudah melihatku, kau puas sekarang?” Sosok sempurna itu menatapku tajam. Aku masih terdiam membisu.
“Sekarang, bisakah kau meninggalkan tempat ini? Aku sudah menuruti kemauanmu” Aku masih belum menyadari apa makna dari kata-katanya.
“Ya. Sangat mudah kan? Seperti kedengarannya. Cukup tinggalkan tempat ini, dengan tenang” Tatapannya berubah serius. Tunggu dulu, baru saja dia… mengusirku? Yang benar saja? Ini kan flatku! Setidaknya sampai enam bulan kedepan karena aku baru menyewanya selama itu.
“Aku ragu apakah aku bisa menuruti kemauanmu” Jawabku. Cowok itu menatapku tajam
“Maaf young lady, tapi aku sama sekali tidak memiliki niat untuk berbagi tempat tinggal” Katanya sambil menyunggingkan sedikit senyum meremehkan dari bibirnya. “Terlebih dengan manusia” Tambahnya. Aku menyiritkan dahiku. Mencoba menyingkirkan segala pesonanya yang memabukkan.
“Maaf, dan aku benar-benar tidak berniat pergi. Aku suka tempat ini, dan yang terpenting, aku sudah menyewanya hingga enam bulan kedepan” Aku mencoba menjelaskan. Tentu sangat menggelikan kalau aku harus pindah dari flat yang baru aku tinggali seminggu ini karena alasan, ada ‘hantu’ tampan yang mengusirku? Tidak dalam duniaku.
“Kau tidak ingin pergi?”
“Tidak dengan alasan apapun” Aku tidak membiarkannya berargumen.
“Kau sungguh tidak bermaksud mengatakannya” Seketika setelah menyelesaikan kalimatnya, dia menghilang. Benar-benar hilang. Bahkan berkas sisa-sisa keberadaanya pun tidak ada—walaupun aku tidak yakin bakal ada. Cara dia muncul dan menghilang memang seperti yang kusaksikan di film horror. Begitu cepat, dan sekejap. Dan, rasa dingin—menyakitkan yang melandaku pun lenyap.
Aku tidak berusaha, atau bahkan hanya mencoba untuk menemukannya, seperti tadi. Disaat aku begitu antusias untuk menemukannya. Aku jatuh terududuk lemas dengan kedua lutut tertekuk. Aku shock, bukan karena aku baru saja melihat ‘hantu’ yang begitu rupawan dengan suara selembut satin. Terlebih karena ‘hantu’ yang begitu rupawan itu baru saja mengancamku. Walaupun bahasa yang digunakannya terlalu halus untuk disebut ‘ancaman’. Tapi, tetap saja itu ancaman. Aku tidak tahu aku seharusnya bersikap bagaimana. Haruskah aku takut dan segera mengemasi barang-barangku lalu pergi ke tempat yang sangat jauh hingga ia tak bisa mengikutiku? Atau aku harus memanggil ahli arwah? Ghost buster atau semacamnya agar dia yang pergi dari flat ini?
Tapi otakku yang paling dalam menolak ide yang melintas diatas. Aku tidak mau dan tidak akan pernah melakukannya. Selama ini aku tidak pernah percaya pada cenayang dan semacamnya. Aku hanya percaya pada hal-hal yang dapat dijelaskan dengan logika, bukan hal yang seperti ini. Tapi, baru saja hantu tampan itu meruntuhkan logikaku. Walaupu tak bisa dipungkiri, ada bagian dari otakku yang terkadang selalu membuatku berpikir konyol. Lagipula aku… masih ingin melihatnya. Melihat sosok sempurna yang mungkin hanya bisa kau temukan di karya fiksi. Yang kau harus membayangkannya sendiri dengan imajinasimu untuk mendapatkannya. Entah mengapa bagian otakku yang menolak ide pertama tadi malah memerintahkanku untuk mencarinya. Menemukannya. Melihat kesempurnaan itu lebih lama lagi. Ini terasa seperti zat adiktif. Yang membuatmu kecanduan setelah kesan pertama yang diberikan.
Aku kemudian berdiri. Menata kakiku yang semenit lalu tersa tak bersendi. Aku berjalan kearah ruang tengah, lalu ke kamarku. Dan tidak ada siapapun disana. Bagaimana cara membuatnya muncul?
Tentu bukan dengan menggosokkan tanganmu ke sebuah lampu ajaib. Memanggilnya? Yang benar saja, aku bahkan tidak tahu namanya. Atau bahkan dia tidak punya nama? Untuk kalimat terakhir barusan aku hanya bergurau. Bagaimana mungkin dia tidak punya nama. Bagaimana temannya, kerabatnya atau yang lebih jelas—kalau dia tidak punya keluarga, sebangsanya mengajaknya berbincang? Tentu saja aku tidak percaya ada hantu yang menikah dan melahirkan bayi hantu, jadi tidak mungkin dia punya keluarga.
Aku menyudahi pikiran-pikiran konyol dari kepalaku.
“Hey, kau yang ada di flat ini juga…” Aku mencoba memanggilnya, sebisaku. “Bisakah kau menampakkan dirimu sekali lagi?” Tanyaku dengan kalimat yang ragu.
Aku hanya takut kata-kataku menyinggung perasaanya. Apakah hal buruk yang mungkin terjadi saat kau menyinggung hantu? Paling kau akan dibunuh—itu pun kalau mereka benar-benar bisa membunuh. Aku pernah membaca sebuah artikel di koran, artikel itu menyebutkan bahwa sebenarnya hantu, apapun itu, tidak bisa menyakiti manusia. Aku hanya barharap satu hal. Koran itu tidak asal menampilkan tulisan anak sekolah menengah hanya untuk memenuhi space yang tersisa. Dan tidak ada jawaban, sama seperti saat pertama kalinya aku memintanya muncul.
Aku duduk disebuah kursi diruang tengah. Menghela napas panjang berulang kali. Disaat aku mulai tenang, aku menyadari kejadian apa yang baru saja aku alami. Pertama, aku bertemu ‘hantu’. Kedua, hantu yang aku temui luar biasa tampan, ketampanan yang sangat tidak manusiawi¬—walaupun dia memang bukan manusia. Yang ketiga, dia baru saja mengusirku, dengan ancaman, walaupun dia tidak menyebutkannya secara langsung. Yang ke-empat… aku baru saja menyadari apakah poin yang ke-empat itu. Itu adalah, aku ingin melihatnya lagi.
Hari tak terasa beranjak gelap dan lagi aku harus mengencangkan seluruh bola lampu di flat ini. Setelahnya aku kembali menunggu dalam sunyi. Apakah dia akan menampakkan dirinya lagi? Mungkin tidak sekarang.
“Aku rasa sudah saatnya kau berkemas, nona” suara indah itu lagi, begitu merdu dan syahdu. Bukannya takut aku malah gembira—dalam artian lain tentu saja. Aku bangkit dan memutar tubuhku. Mencarinya, tapi ia tidak ada dimanapun.
“Kau tidak menampakkan diri?”
“Untuk apa?” Tanya suara itu.
Hebat! Sekarang aku sedang mengobrol dengan hantu.
“Aku ingin melihatmu” Jawabku jujur, tentu tidak ada untungnya bicara bohong pada hantu.
“Kau manusia pertama yang mengatakannya” Suara itu begitu renyah dan enak didengar. “Kau tidak takut pada hantu?” Sambungnya.
“Kau sama sekali, tidak menakutkan” Jawabku, dan itu benar.
Tidak ada jawaban setelahnya. Namun tiba-tiba aku merasakan aura dingin itu datang lagi. Tapi begitu kuat hingga aku kembali jatuh terduduk. Sesak. Aura ini seratus kali lebih pekat dari saat pertama kemunculannya. Rasanya seperti terseret pusaran air saat kau berenang di laut—tertarik dengan kuat, tanpa bisa menggapai sesuatu untuk bertahan. Kepalaku terasa berat dan pusing, seluruh benda disekitarku seperti berputar. Rasa sesak itu datang lagi, aku berusaha menghirup udara sebanyak banyaknya, namun hanya sedikit yang bisa mengisi rongga dadaku. Aku panik, aku bisa merasakan seperti ada yang sedang meremas saluran napasku. Ini gawat! Benar-benar gawat!
Aku terbatuk-batuk sambil kedua tanganku terus mencengkram dadaku. Rasa pusing itu semakin menjadi. Keringat dingin bertumpahan di tubuhku. Air mata menggenang dipelupuk mataku, membuat pandanganku yang mulai kabur jadi lebih parah. Seperti ada selaput yang menghalangi mataku. Aku baru sadar ini ulah siapa.
“Kumohon… jangan…” Kataku dengan suara serak dan terputus putus, namun itulah suara terbaik yang bisa aku bunyikan saat ini.
“Kau mau… membunuhku?” Mati, setelah mengucapkannya entah dari mana asalnya, aku jadi terbayang wajah orang yang mungkin akan sedih kalau hantu ini benar membunuhku. Ibuku, ayah… Daniel pacarku, dan… dan aku tidak menemukan wajah orang lain setelahnya. Aku tidak punya saudara kandung. Aku bahkan tidak dekat dengan sepupu-sepupuku. Teman? Aku bisa dibilang tidak memiliki teman—hanya ada beberapa, hanya saja tidak terlalu dekat. Siapa lagi yang akan benar-benar bersedih saat aku mati selain ketiga orang itu? Aku rasa tidak ada.
“Apakah aku menakutkan sekarang?” Tanya suara itu.
Dan dia benar, beginilah harusnya sesosok hatu. Menakutkan—mengancam. Tapi aku tidak benar-benar takut, aku hanya panik dengan kematian yang sebentar lagi datang. Well, kalau memang kehidupan setelah kematian itu benar ada, aku pikir perbuatanku selama hidup—setidaknya sampai saat ini, tidak ada yang spesial. Itu berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada surga, dan selamat datang untuk neraka. Atau aku malah akan bernasib sama dengan hantu tampan yang sekarang sedang mengirimku ke kematian? Menjadi arwah yeng tersesat dalam dunia manusia. Hey, kenapa disaat menegangkan—situasi hidup dan mati begini, aku masih sempat berpikir konyol? Sepertinya rasa sesak yang melandaku tidak mematikan fungsi otakku—setidaknya bagian yang selalu berpikir konyol.
Kepalaku semakin pusing, dan rasa sesak itu benar-benar mencekikku. Dan sekarang mematikan seluruh fungsi otakku. Aku terseret arus kematian terlalu dalam. Hingga kemudian semuanya gelap gulita.
Entah sudah berapa lama, kemudian aku tersadar, aku membuka mataku. Sudah matikah aku? Ternyata jawabannya tidak. Aku masih berada di flatku. Masih ditempat dimana hantu itu mencecikku—setidaknya begitulah rasanya, bahkan tanpa menampakkan dirinya, ia hampir membunuhku. Aku duduk dan menarik napas cepat-cepat. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, merasakan alirannya memenuhi paru-paruku, kemudian menghembuskannya. Aku tidak mati. Kepalaku masih tersa pening tentu saja, tapi aku sadar aku masih hidup. Aku bangkit perlahan. Jam dinding mengingatkan aku waktu saat ini. Pukul 2:30 dini hari. Aku berjalan limbung ke kamarku, dan langsung merebahkan diriku yang masih begitu terasa aneh ke kasur. Sejurus kemudian aku sudah terlelap.
***
Aku merasa lebih baik saat paginya. Aku duduk terdiam ditengah kasurku. Merenung. Kemarin aku hampir saja terbunuh. Ini gila. Maksudku, semua orang tentu pernah hampir tebunuh, tapi hampir dibunuh hantu pasti tidak. Aku menempelkan telapak tanganku di dahi. Kemudian memejamkan mata. Dan suara itu datang lagi.
“Kau yang memintaku melakukan ini. Padahal aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, untuk segera pergi dari tempat ini dengan tenang” Oh, ayolah. Ini bahkan masih terlalu pagi untuk adegan pengusiran?
“Kenapa kau tidak langsung membunuhku? Kalau kau ingin aku benar-benar pergi” Tanyaku kesal. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Aku baru saja minta dibunuh.
“Jangan menantangku” Kata suara itu, kesal. “Kalian manusia terlalu mudah mati” Aku menyiritkan alis mendengarnya. Bukan karena kesal dihina, terlebih pada kata-katanya barusan itu memang benar. Kami—manusia memang gampang mati. Cukup meminum sebotol kecil ekstrak tumbuhan—seperti yang dilakukan Romeo saat menyaksikan istri barunya mati, atau yang lebih mudah, tinggal mengiris urat nadi dan menunggu hingga kehabisan darah. Benar-benar terlalu mudah.
“Mengapa kau begitu ingin aku pergi?” Akhirnya aku menanyakannya. Alasan dia mengusirku.
“Karena ini tempat tinggalku” jawabnya singkat, bahkan terlalu singkat untuk kumengerti. “Aku sudah berada disini sejak dulu, bahkan sebelum orang tuamu dilahirkan” Ia menjelaskan. Penjelasan yang tentu saja membuat aku shock. Makhluk tampan yang begitu sempurna itu, yang wajahnya begitu tanpa cela, bahkan lebih tua dari kakekku.
“Tapi kau terlihat seumur denganku?” Tanyaku pada ruangan kosong.
“Hah, jangan bodoh. Apa yang mungkin terjadi pada hantu? Menjadi tua, lalu mati? Kami bahkan sudah mati” Jawabnya dengan nada jijik.
“Berapa umurmu?” Tanyaku penasaran. Pernyataannya barusan membuat otakku mengirimkan ribuan pertanyaan langsung ke bibirku.
“Aku seumurmu. Delapan belas, saat aku mati tentu saja. Tapi tahun ini aku 134—kalau tidak salah hitung” Jawabnya. Aku tidak menyangka dia mau meladeni pertanyaanku yang begitu tidak pentingnya.
“Wow, kau seabad lebih” Sahutku spontan.
“Apa itu bagus menurutmu? Umurku bahkan tidak akan ada batasnya” Kata suara itu. Benar juga, dia sudah mati dan tidak mungkin mati lagi. Iya kan?
“Boleh aku tahu namamu? Aku Carla. Kau tentu punya nama kan?” Tanyaku.
“Tentu saja, aku juga pernah menjadi makhluk lemah sepertimu—manusia,” Jawabnya jengkel. “Aku… Francesc” Aku lega dia juga punya nama, entah untuk alasan apa lagi aku cukup lega. Namun itu ternyata kelegaan sesaat. Suasana tidak nyaman itu muncul lagi.
“Bisa kau pergi sekarang?” Tanya makhluk tampan itu—Francesc. Kurasa ketidakwarasanku tadi sempat menular padanya sehingga dia mau kuajak berbincang sebentar, tapi sekarang dia sudah sadar dengan tujuan awalnya. Oh, tidak.
“Aku tidak mungkin pindah, aku bahkan tidak punya cukup uang untuk sebulan ini” Aku jujur, uang tabunganku sudah habis untuk membayar uang sewa flat ini. Daniel, pacarku sempat menawarkan diri untuk melunasi pembayaran uang sewa flat ini, dia seorang pembalap—tentu dia punya banyak uang, tapi aku menolaknya. “Dan aku tidak ingin merepotkan orang tuaku lebih berat lagi karena harus mencari tempat tinggal baru untukku kan?” Aku mencoba berdebat dengannya.
“Mengapa kita tidak tinggal berdampingan saja? Kurasa berbagi tempat tinggal tidak buruk” Tawarku. Usulan terbodoh yang pernah aku tawarkan selama hidupku. Tinggal dengan hantu.
“Tidak dengan manusia” Jawabnya ketus.
“Oh, ayolah kumohon… aku bahkan tidak pernah mengganggumu” Kataku “Dan tidak akan pernah” Tambahku. Mendadak suasana tidak nyaman itu lenyap. Begitu juga dengan suaranya. Sunyi sesaat. Dan aku putuskan untuk bertanya.
“Hmm, apa ini berarti kau setuju?” Aku menanti ruangan kosong untuk bicara. Dan penantianku tak sia-sia, setealah beberapa menit ia menjawab.
“Terserah kau saja” Aku tersenyum lebar dibuatnya. “Asalkan kau menepati janjimu untuk tidak menggangguku” Sambungnya.
Oh, yang benar saja, siapa sih yang selama ini mengganggu? Ini gila, aku baru saja memutuskan untuk berbagi tempat tinggal dengan hantu. Benar-benar gila.
Aku bangkit dan berjalan kearah dapur, mengabil sekotak sereal dan menuangkannya ke mangkuk. Aku harus makan. Yang pertama karena aku tidak boleh meninggalkan sarapan karena alasan kesehatan—aku punya penyakit lambung yang buruk, dan yang ke dua karena aku benar-benar lapar. Hari ini aku berencana pergi berbelanja ke sebuah mini market di dekat flatku. Saat hendak mengunci pintu, aku teringat dengan kesepakatan yang baru aku buat dengan seorang hantu tampan.
“Well, kita tinggal bersama sekarang, kuharap kau tidak menyiksaku lagi dengan bola-bola lampu itu, okay?” Kataku kepada ruangan kosong di depan pintu masuk. Menanti sejenak da tidak ada jawaban.
“Ku anggap itu artinya ‘sepakat’” Kataku yang kemudian bergegas keluar dan mengunci pintu. Aku berjalan ke arah barat flatku dengan perasaan mengambang. Apa sih yang baru saja aku lakukan? Tinggal satu flat dengan hantu—yang tampan. Aku mulai memikirkan bagaimana nantinya kehidupanku.
Surga dan Neraka
Segala sesuatu yang hidup pasti akan mati pada waktunya, aku percaya itu. Walaupun berusaha menghindarinya, kematian akan tetap mendatangimu. Walau berusaha bersembunyi pun, kematian akan menemukanmu. Karena Tuhan sudah menentukan kapan kau akan mati. Dan kau tidak mungkin dapat menolaknya. Itulah yang disebut takdir. Aku meyakini Tuhan menciptakan tiga macam kehidupan. Kehidupan saat kita belum dilahirkan, kehidupan saat kita di lahirkan, dan kehidupan setelah kematian. Kehidupan setelah kematian bagiku berarti surga dan neraka. Sangat simpel, manusia yang semasa hidupnya lebih banyak melakukan dosa daripada berbuat baik akan masuk neraka, dan sebaliknya, manusia yang semasa hidupnya selalu berbuat baik, maka ia akan mendapatkan surga. Aku memang tidak paham bagaimana Tuhan menilai kebaikan manusia, karena menurutku, orang yang baik diamata seseorang pun, pasti pernah dipandang sebaliknya oleh orang lain. Tapi aku percaya penilaian Tuhan tidak mungkin salah, karena dia melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku percaya Tuhan adalah hakim yang paling adil di seluruh jagad raya ini. Dia tidak mungkin memasukkan orang jahat kedalam surga dan meletakkan yang baik di neraka kan? Tidak mungkin.
Aku tetap teguh pada pendapatku tentang tiga macam kehidupan yang sudah diatur Tuhan selama ini, sampai pada suatu saat pendirianku mulai goyah. Saat dimana kehidupan dan kematian terasa tak berbatas. Saat dia datang ke kehidupanku.
Pertemuan Pertama
“Oke, aku sudah cukup sabar sampai saat ini” Aku berkata setengah berteriak. Sedikit membentak malah.
“Setidaknya kau bisa beritahu aku alasanmu mengganguku kan?”. Namaku Carla, aku delapan belas, dan aku sedang berbicara dengan ruangan kosong, setidaknya dari manusia.
Aku baru saja menyewa sebuah flat mungil—kalau tidak ingin dibilang ‘kecil’, dipinggiran kota London Utara. Dan kehidupanku yang baru saja dimulai disini ternyata tidak berjalan seperti yang aku bayangkan. Ada sesuatu—dan aku rasa aku tahu apa itu, di flat ini yang menggangguku.
Tidak ada jawaban. Tentu saja. Maksudku, aku sekarang sedang bicara dengan sesuatu yang aku tidak tahu wujudnya. Hantu kah? Poltergeist? Aku tidak peduli. Sudah satu minggu ini dia menggangguku. Menggeser meja makan juga kursi-kursi saat aku sedang terlelap dimalam hari, mengendurkan semua bola lampu yang ada, jadi aku harus mengencangkannya semuanya sendiri, juga mencabut kabel teleponku, jadi aku harus menyambungkannya terlebih dahulu bila ingin menggunakannya dan ini sudah berlangsung selama tujuh hari. Yang benar saja!
“Bisakah kau hanya memberi tanda bila kau tidak mau bicara—atau mungkin tidak bisa?” Aku kembali seperti bicara dengan ruangan hampa. Aku cukup marah sekarang.
“Sekarang aku bahkan tidak tahu aku sedang bicara dengan siapa” Kataku membentak.
“Apakah aku sudah melakukan hal yang buruk?” Kali ini nada bicaraku seperti orang yang pasrah. Aku juga bingung mengapa mulutku bisa mengeluarkan kata-kata dengan nada seperti itu. Tapi itu benar, apakah aku sudah melakukan hal yang begitu buruk sampai harus ditegur dengan cara seperti ini?
Tiba-tiba saja aura aneh datang menerjang menerpa kulitku. Dingin. Tapi bukan dingin yang membuatmu nyaman seperti saat kau masuk ruangan ber-AC saat musim panas. Ini rasa dingin yang tajam, menusuk-nusuk kulit. Aku mencoba bersikap tenang. Tadi kan aku sendiri yang memintanya datang.
“Maaf,” Tiba-tiba aku mendengar sebuah kata terucap begitu lembut dan merdu, seprti dentingan lonceng yang berirama. Aku mencoba mencari sosok yang membuat suara indah yang sekaligus membuatku bergidik ngeri. Aku tidak menemukan apapun. Hanya pantry kecilku yang remang. Sudut gelap di ujung lorong pantry ini memang cocok untuk kemunculan makhluk-makhluk kasat mata. Setidaknya itu yang aku tahu dari berbagai film horror.
“Kau bahkan tidak takut padaku” Suara indah itu lagi. Menggema di seantero pantryku.
“Itu sungguh penghinaan, kau tahu?” Dan aku masih berkonsentrasi menemukan sumber suara itu. Mencari sosok seperti apa yang mungkin menghasilkan suara selembut itu.
“Baiklah” Kataku spontan. “Aku sudah mendengar suaramu. Sekarang, bolehkan aku melihat sosokmu?” Mataku masih awas. Menanti setiap kemungkinan sosok yang akan muncul.
“Begitu penasaranya kah kau terhadapku?” Aku kembali memutar tubuhku. Dimana sih dia? Aku memang sudah sering melihat berbagai macam hantu atau apalah namanya, baik dari film, atau cerita bergambar di majalah. Tapi tentu saja belum pernah yang secara langsung. Dan ini sangat membuatku antusias. Mungkin terdengar agak aneh, karena sebagian orang tentu berharap tidak ingin bertemu dengan makhluk-makhluk aneh dalam hidup mereka yang singkat.
Rasa dingin yang menyakitkan itu datang lagi, dan lebih keras. Aku menggigit bibir bawahku. Menyiritkan mata, mencoba menahan sensasi aneh yang menjalari sisa kulitku yang tidak tertutup pakaian.
“Hallo,” Sapa seorang cowok yang mengenakan subuah sweater hitam beserta celana panjangnya yang juga hitam.
Dia menyeringai sinis saat menyapaku. Jaraknya hanya skitar satu meter didepanku. Pakaian yang dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Aku memerhatikannya dengan seksama. Maksudku, ini adalah pertama kalinya aku melihat ‘hantu’ dan sosoknya yang rupawan sungguh mengecewakan. Wajah pucatnya sama sekali tidak menakutiku. Kulitnya sangat putih seputih patung batu yang biasa kau temukan di museum. Rambut cokelat tuanya mengilat diterpa remangya lampu pantryku, membuatnya berwarna lebih pirang. Alis matanya gelap dan tebal bagai rajutan yang sempurna—dan sangat indah, juga sepasang matanya yang berwarna merah tua, memancarkan… sesuatu, aku tidak tahu apa itu? Tak sadar mulutku menganga saat menatapnya. Takjub. Aku tidak pernah tahu ada sosok yang begitu sempurna di dunia ini. Sosoknya masih berdiri mematung. Persis lukisan sempurna serafim yang tampan. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Hey, kemana perginya makhluk dengan wajah hancur dan berlumuran darah? Makhluk menakutkan yang mengejarmu dengan membawa pisau dapur yang kotor dengan noda darah? Ini menggelikan.
“Apa?” Ia menatapku bingung, mengerutkan alisanya yang sempurna, membuat sedikit kerutan ekspresi di dahinya yang selicin marmer. Aku kembali menggigit bibir bawahku. Kali ini karena aku terhanyut oleh pesonanya.
“Kau sudah melihatku, kau puas sekarang?” Sosok sempurna itu menatapku tajam. Aku masih terdiam membisu.
“Sekarang, bisakah kau meninggalkan tempat ini? Aku sudah menuruti kemauanmu” Aku masih belum menyadari apa makna dari kata-katanya.
“Ya. Sangat mudah kan? Seperti kedengarannya. Cukup tinggalkan tempat ini, dengan tenang” Tatapannya berubah serius. Tunggu dulu, baru saja dia… mengusirku? Yang benar saja? Ini kan flatku! Setidaknya sampai enam bulan kedepan karena aku baru menyewanya selama itu.
“Aku ragu apakah aku bisa menuruti kemauanmu” Jawabku. Cowok itu menatapku tajam
“Maaf young lady, tapi aku sama sekali tidak memiliki niat untuk berbagi tempat tinggal” Katanya sambil menyunggingkan sedikit senyum meremehkan dari bibirnya. “Terlebih dengan manusia” Tambahnya. Aku menyiritkan dahiku. Mencoba menyingkirkan segala pesonanya yang memabukkan.
“Maaf, dan aku benar-benar tidak berniat pergi. Aku suka tempat ini, dan yang terpenting, aku sudah menyewanya hingga enam bulan kedepan” Aku mencoba menjelaskan. Tentu sangat menggelikan kalau aku harus pindah dari flat yang baru aku tinggali seminggu ini karena alasan, ada ‘hantu’ tampan yang mengusirku? Tidak dalam duniaku.
“Kau tidak ingin pergi?”
“Tidak dengan alasan apapun” Aku tidak membiarkannya berargumen.
“Kau sungguh tidak bermaksud mengatakannya” Seketika setelah menyelesaikan kalimatnya, dia menghilang. Benar-benar hilang. Bahkan berkas sisa-sisa keberadaanya pun tidak ada—walaupun aku tidak yakin bakal ada. Cara dia muncul dan menghilang memang seperti yang kusaksikan di film horror. Begitu cepat, dan sekejap. Dan, rasa dingin—menyakitkan yang melandaku pun lenyap.
Aku tidak berusaha, atau bahkan hanya mencoba untuk menemukannya, seperti tadi. Disaat aku begitu antusias untuk menemukannya. Aku jatuh terududuk lemas dengan kedua lutut tertekuk. Aku shock, bukan karena aku baru saja melihat ‘hantu’ yang begitu rupawan dengan suara selembut satin. Terlebih karena ‘hantu’ yang begitu rupawan itu baru saja mengancamku. Walaupun bahasa yang digunakannya terlalu halus untuk disebut ‘ancaman’. Tapi, tetap saja itu ancaman. Aku tidak tahu aku seharusnya bersikap bagaimana. Haruskah aku takut dan segera mengemasi barang-barangku lalu pergi ke tempat yang sangat jauh hingga ia tak bisa mengikutiku? Atau aku harus memanggil ahli arwah? Ghost buster atau semacamnya agar dia yang pergi dari flat ini?
Tapi otakku yang paling dalam menolak ide yang melintas diatas. Aku tidak mau dan tidak akan pernah melakukannya. Selama ini aku tidak pernah percaya pada cenayang dan semacamnya. Aku hanya percaya pada hal-hal yang dapat dijelaskan dengan logika, bukan hal yang seperti ini. Tapi, baru saja hantu tampan itu meruntuhkan logikaku. Walaupu tak bisa dipungkiri, ada bagian dari otakku yang terkadang selalu membuatku berpikir konyol. Lagipula aku… masih ingin melihatnya. Melihat sosok sempurna yang mungkin hanya bisa kau temukan di karya fiksi. Yang kau harus membayangkannya sendiri dengan imajinasimu untuk mendapatkannya. Entah mengapa bagian otakku yang menolak ide pertama tadi malah memerintahkanku untuk mencarinya. Menemukannya. Melihat kesempurnaan itu lebih lama lagi. Ini terasa seperti zat adiktif. Yang membuatmu kecanduan setelah kesan pertama yang diberikan.
Aku kemudian berdiri. Menata kakiku yang semenit lalu tersa tak bersendi. Aku berjalan kearah ruang tengah, lalu ke kamarku. Dan tidak ada siapapun disana. Bagaimana cara membuatnya muncul?
Tentu bukan dengan menggosokkan tanganmu ke sebuah lampu ajaib. Memanggilnya? Yang benar saja, aku bahkan tidak tahu namanya. Atau bahkan dia tidak punya nama? Untuk kalimat terakhir barusan aku hanya bergurau. Bagaimana mungkin dia tidak punya nama. Bagaimana temannya, kerabatnya atau yang lebih jelas—kalau dia tidak punya keluarga, sebangsanya mengajaknya berbincang? Tentu saja aku tidak percaya ada hantu yang menikah dan melahirkan bayi hantu, jadi tidak mungkin dia punya keluarga.
Aku menyudahi pikiran-pikiran konyol dari kepalaku.
“Hey, kau yang ada di flat ini juga…” Aku mencoba memanggilnya, sebisaku. “Bisakah kau menampakkan dirimu sekali lagi?” Tanyaku dengan kalimat yang ragu.
Aku hanya takut kata-kataku menyinggung perasaanya. Apakah hal buruk yang mungkin terjadi saat kau menyinggung hantu? Paling kau akan dibunuh—itu pun kalau mereka benar-benar bisa membunuh. Aku pernah membaca sebuah artikel di koran, artikel itu menyebutkan bahwa sebenarnya hantu, apapun itu, tidak bisa menyakiti manusia. Aku hanya barharap satu hal. Koran itu tidak asal menampilkan tulisan anak sekolah menengah hanya untuk memenuhi space yang tersisa. Dan tidak ada jawaban, sama seperti saat pertama kalinya aku memintanya muncul.
Aku duduk disebuah kursi diruang tengah. Menghela napas panjang berulang kali. Disaat aku mulai tenang, aku menyadari kejadian apa yang baru saja aku alami. Pertama, aku bertemu ‘hantu’. Kedua, hantu yang aku temui luar biasa tampan, ketampanan yang sangat tidak manusiawi¬—walaupun dia memang bukan manusia. Yang ketiga, dia baru saja mengusirku, dengan ancaman, walaupun dia tidak menyebutkannya secara langsung. Yang ke-empat… aku baru saja menyadari apakah poin yang ke-empat itu. Itu adalah, aku ingin melihatnya lagi.
Hari tak terasa beranjak gelap dan lagi aku harus mengencangkan seluruh bola lampu di flat ini. Setelahnya aku kembali menunggu dalam sunyi. Apakah dia akan menampakkan dirinya lagi? Mungkin tidak sekarang.
“Aku rasa sudah saatnya kau berkemas, nona” suara indah itu lagi, begitu merdu dan syahdu. Bukannya takut aku malah gembira—dalam artian lain tentu saja. Aku bangkit dan memutar tubuhku. Mencarinya, tapi ia tidak ada dimanapun.
“Kau tidak menampakkan diri?”
“Untuk apa?” Tanya suara itu.
Hebat! Sekarang aku sedang mengobrol dengan hantu.
“Aku ingin melihatmu” Jawabku jujur, tentu tidak ada untungnya bicara bohong pada hantu.
“Kau manusia pertama yang mengatakannya” Suara itu begitu renyah dan enak didengar. “Kau tidak takut pada hantu?” Sambungnya.
“Kau sama sekali, tidak menakutkan” Jawabku, dan itu benar.
Tidak ada jawaban setelahnya. Namun tiba-tiba aku merasakan aura dingin itu datang lagi. Tapi begitu kuat hingga aku kembali jatuh terduduk. Sesak. Aura ini seratus kali lebih pekat dari saat pertama kemunculannya. Rasanya seperti terseret pusaran air saat kau berenang di laut—tertarik dengan kuat, tanpa bisa menggapai sesuatu untuk bertahan. Kepalaku terasa berat dan pusing, seluruh benda disekitarku seperti berputar. Rasa sesak itu datang lagi, aku berusaha menghirup udara sebanyak banyaknya, namun hanya sedikit yang bisa mengisi rongga dadaku. Aku panik, aku bisa merasakan seperti ada yang sedang meremas saluran napasku. Ini gawat! Benar-benar gawat!
Aku terbatuk-batuk sambil kedua tanganku terus mencengkram dadaku. Rasa pusing itu semakin menjadi. Keringat dingin bertumpahan di tubuhku. Air mata menggenang dipelupuk mataku, membuat pandanganku yang mulai kabur jadi lebih parah. Seperti ada selaput yang menghalangi mataku. Aku baru sadar ini ulah siapa.
“Kumohon… jangan…” Kataku dengan suara serak dan terputus putus, namun itulah suara terbaik yang bisa aku bunyikan saat ini.
“Kau mau… membunuhku?” Mati, setelah mengucapkannya entah dari mana asalnya, aku jadi terbayang wajah orang yang mungkin akan sedih kalau hantu ini benar membunuhku. Ibuku, ayah… Daniel pacarku, dan… dan aku tidak menemukan wajah orang lain setelahnya. Aku tidak punya saudara kandung. Aku bahkan tidak dekat dengan sepupu-sepupuku. Teman? Aku bisa dibilang tidak memiliki teman—hanya ada beberapa, hanya saja tidak terlalu dekat. Siapa lagi yang akan benar-benar bersedih saat aku mati selain ketiga orang itu? Aku rasa tidak ada.
“Apakah aku menakutkan sekarang?” Tanya suara itu.
Dan dia benar, beginilah harusnya sesosok hatu. Menakutkan—mengancam. Tapi aku tidak benar-benar takut, aku hanya panik dengan kematian yang sebentar lagi datang. Well, kalau memang kehidupan setelah kematian itu benar ada, aku pikir perbuatanku selama hidup—setidaknya sampai saat ini, tidak ada yang spesial. Itu berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada surga, dan selamat datang untuk neraka. Atau aku malah akan bernasib sama dengan hantu tampan yang sekarang sedang mengirimku ke kematian? Menjadi arwah yeng tersesat dalam dunia manusia. Hey, kenapa disaat menegangkan—situasi hidup dan mati begini, aku masih sempat berpikir konyol? Sepertinya rasa sesak yang melandaku tidak mematikan fungsi otakku—setidaknya bagian yang selalu berpikir konyol.
Kepalaku semakin pusing, dan rasa sesak itu benar-benar mencekikku. Dan sekarang mematikan seluruh fungsi otakku. Aku terseret arus kematian terlalu dalam. Hingga kemudian semuanya gelap gulita.
Entah sudah berapa lama, kemudian aku tersadar, aku membuka mataku. Sudah matikah aku? Ternyata jawabannya tidak. Aku masih berada di flatku. Masih ditempat dimana hantu itu mencecikku—setidaknya begitulah rasanya, bahkan tanpa menampakkan dirinya, ia hampir membunuhku. Aku duduk dan menarik napas cepat-cepat. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, merasakan alirannya memenuhi paru-paruku, kemudian menghembuskannya. Aku tidak mati. Kepalaku masih tersa pening tentu saja, tapi aku sadar aku masih hidup. Aku bangkit perlahan. Jam dinding mengingatkan aku waktu saat ini. Pukul 2:30 dini hari. Aku berjalan limbung ke kamarku, dan langsung merebahkan diriku yang masih begitu terasa aneh ke kasur. Sejurus kemudian aku sudah terlelap.
***
Aku merasa lebih baik saat paginya. Aku duduk terdiam ditengah kasurku. Merenung. Kemarin aku hampir saja terbunuh. Ini gila. Maksudku, semua orang tentu pernah hampir tebunuh, tapi hampir dibunuh hantu pasti tidak. Aku menempelkan telapak tanganku di dahi. Kemudian memejamkan mata. Dan suara itu datang lagi.
“Kau yang memintaku melakukan ini. Padahal aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, untuk segera pergi dari tempat ini dengan tenang” Oh, ayolah. Ini bahkan masih terlalu pagi untuk adegan pengusiran?
“Kenapa kau tidak langsung membunuhku? Kalau kau ingin aku benar-benar pergi” Tanyaku kesal. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Aku baru saja minta dibunuh.
“Jangan menantangku” Kata suara itu, kesal. “Kalian manusia terlalu mudah mati” Aku menyiritkan alis mendengarnya. Bukan karena kesal dihina, terlebih pada kata-katanya barusan itu memang benar. Kami—manusia memang gampang mati. Cukup meminum sebotol kecil ekstrak tumbuhan—seperti yang dilakukan Romeo saat menyaksikan istri barunya mati, atau yang lebih mudah, tinggal mengiris urat nadi dan menunggu hingga kehabisan darah. Benar-benar terlalu mudah.
“Mengapa kau begitu ingin aku pergi?” Akhirnya aku menanyakannya. Alasan dia mengusirku.
“Karena ini tempat tinggalku” jawabnya singkat, bahkan terlalu singkat untuk kumengerti. “Aku sudah berada disini sejak dulu, bahkan sebelum orang tuamu dilahirkan” Ia menjelaskan. Penjelasan yang tentu saja membuat aku shock. Makhluk tampan yang begitu sempurna itu, yang wajahnya begitu tanpa cela, bahkan lebih tua dari kakekku.
“Tapi kau terlihat seumur denganku?” Tanyaku pada ruangan kosong.
“Hah, jangan bodoh. Apa yang mungkin terjadi pada hantu? Menjadi tua, lalu mati? Kami bahkan sudah mati” Jawabnya dengan nada jijik.
“Berapa umurmu?” Tanyaku penasaran. Pernyataannya barusan membuat otakku mengirimkan ribuan pertanyaan langsung ke bibirku.
“Aku seumurmu. Delapan belas, saat aku mati tentu saja. Tapi tahun ini aku 134—kalau tidak salah hitung” Jawabnya. Aku tidak menyangka dia mau meladeni pertanyaanku yang begitu tidak pentingnya.
“Wow, kau seabad lebih” Sahutku spontan.
“Apa itu bagus menurutmu? Umurku bahkan tidak akan ada batasnya” Kata suara itu. Benar juga, dia sudah mati dan tidak mungkin mati lagi. Iya kan?
“Boleh aku tahu namamu? Aku Carla. Kau tentu punya nama kan?” Tanyaku.
“Tentu saja, aku juga pernah menjadi makhluk lemah sepertimu—manusia,” Jawabnya jengkel. “Aku… Francesc” Aku lega dia juga punya nama, entah untuk alasan apa lagi aku cukup lega. Namun itu ternyata kelegaan sesaat. Suasana tidak nyaman itu muncul lagi.
“Bisa kau pergi sekarang?” Tanya makhluk tampan itu—Francesc. Kurasa ketidakwarasanku tadi sempat menular padanya sehingga dia mau kuajak berbincang sebentar, tapi sekarang dia sudah sadar dengan tujuan awalnya. Oh, tidak.
“Aku tidak mungkin pindah, aku bahkan tidak punya cukup uang untuk sebulan ini” Aku jujur, uang tabunganku sudah habis untuk membayar uang sewa flat ini. Daniel, pacarku sempat menawarkan diri untuk melunasi pembayaran uang sewa flat ini, dia seorang pembalap—tentu dia punya banyak uang, tapi aku menolaknya. “Dan aku tidak ingin merepotkan orang tuaku lebih berat lagi karena harus mencari tempat tinggal baru untukku kan?” Aku mencoba berdebat dengannya.
“Mengapa kita tidak tinggal berdampingan saja? Kurasa berbagi tempat tinggal tidak buruk” Tawarku. Usulan terbodoh yang pernah aku tawarkan selama hidupku. Tinggal dengan hantu.
“Tidak dengan manusia” Jawabnya ketus.
“Oh, ayolah kumohon… aku bahkan tidak pernah mengganggumu” Kataku “Dan tidak akan pernah” Tambahku. Mendadak suasana tidak nyaman itu lenyap. Begitu juga dengan suaranya. Sunyi sesaat. Dan aku putuskan untuk bertanya.
“Hmm, apa ini berarti kau setuju?” Aku menanti ruangan kosong untuk bicara. Dan penantianku tak sia-sia, setealah beberapa menit ia menjawab.
“Terserah kau saja” Aku tersenyum lebar dibuatnya. “Asalkan kau menepati janjimu untuk tidak menggangguku” Sambungnya.
Oh, yang benar saja, siapa sih yang selama ini mengganggu? Ini gila, aku baru saja memutuskan untuk berbagi tempat tinggal dengan hantu. Benar-benar gila.
Aku bangkit dan berjalan kearah dapur, mengabil sekotak sereal dan menuangkannya ke mangkuk. Aku harus makan. Yang pertama karena aku tidak boleh meninggalkan sarapan karena alasan kesehatan—aku punya penyakit lambung yang buruk, dan yang ke dua karena aku benar-benar lapar. Hari ini aku berencana pergi berbelanja ke sebuah mini market di dekat flatku. Saat hendak mengunci pintu, aku teringat dengan kesepakatan yang baru aku buat dengan seorang hantu tampan.
“Well, kita tinggal bersama sekarang, kuharap kau tidak menyiksaku lagi dengan bola-bola lampu itu, okay?” Kataku kepada ruangan kosong di depan pintu masuk. Menanti sejenak da tidak ada jawaban.
“Ku anggap itu artinya ‘sepakat’” Kataku yang kemudian bergegas keluar dan mengunci pintu. Aku berjalan ke arah barat flatku dengan perasaan mengambang. Apa sih yang baru saja aku lakukan? Tinggal satu flat dengan hantu—yang tampan. Aku mulai memikirkan bagaimana nantinya kehidupanku.
Kamis, 12 November 2009
Fan Fiction
Janji di postingan sebelumnya adalah ngebahas tentang fanfic atau fiksi fan.
Here you go. :)
Fanfic, terdiri dari dua kata; fan, yang berarti penggemar. Dan Fiction/Fiksi adalah rekaan. Secara keseluruhan, fanfic atau fanfiction adalah karya tulis berbentuk paragraf deskriptif yang dibuat oleh seorang/sekelompok penggemar yang menceritakan tokoh/objek idolanya.
Simpelnya, fanfic itu adalah cerita original yang dibuat oleh fan, dengan menggunakan tokoh, latar tempat, latar situasi dan waktu yang bertepatan dengan film, buku, atau bahkan komik asal tokoh utama.
Di dunia maya, fiksifan biasa ditulis dengan keywords; FF, fanfic, fanfiction atau fic.
Pada awalnya, fanfic hanya dibuat oleh orang tertentu, yang kemudian dimuat di majalah sebagai kolom tetap. Nah, orang tertentu yang saya maksud disini adalah orang-orang yang memang bekerja dari menulis. Semacam penulis reguler cerpen yang sering kita jumpai di majalah, hanya saya orang-orang ini memang mengkhususkan diri untuk menulis fanfic.
Seiring perkembangan jaman, makin banyak penulis amatir yang merefleksikan rasa kagumnya pada suatu tokoh dengan cara menuliskan sebuah cerita rekaan tentang idolanya. Apalagi setelah internet mendunia, banyak banget forum-forum atau milis yang sengaja mengkhususkan diri memuat karya fiksi penggemar. Bisa coba kunjungi: http://www.fanfiction.net
di situs ini terdapat ribuan fanfic yang dipos kan oleh para pengarang dari berbagai penjuru dunia.
Kamu juga bisa ikut posting fic kamu disini :)
dari situs ini, fic kamu akan dibaca oleh guests forum atau member yang akan memberikan komentar/reviews tentang fic kamu. Jangan kaget ya, kalo fic kiriman kamu ngga mendapat sambutan hangat. Terkadang reviews yang datang malah menjelek-jelekkan fic kamu. Tapi, who cares? Yang penting kan kita udah berani menampilkan hasil karya kita pada banyak orang. Itu yang terpenting!
Nah, dari komen-komen itu kan kita jadi bisa belajar, dimana sih letak kelemahan karya tulis kita?
Sampai saat ini, di internet masih sulit ditemui fanfic dengan Bahasa Indonesia, karena forum-forum penyelenggaranya mayoritas adalah forum internasional, yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa penghubungnya.
Fanfic juga populer untuk para penggemar manga dan anime Jepang. Mereka juga membuat fanart =>> sama seperti fanfic, hanya fanart berupa gambar atau lukisan. Juga doujin, sketsa komik strip 4 kolom atau lebih yang menceritakan tokoh anime atau manga tertentu.
Dalam fanfic, doujin dan fanart, juga mengenal istilah 'penggabungan'. Dalam karya fic ini kamu bisa menjumpai tokoh dari berbagai macam film atau buku bertemu untuk mengisahkan cerita baru. Contoh, dalam suatu fic gua pernah menemukan tokoh vampir super tampan dari Twilight, Edward Cullen sedang berhadapan dengan The Hannibal King, si pembasmi vampir dari film Blade Trinity. Seru kan? Kita bisa nge mix tokoh kesayangan kita dengan berbagai dunia fiksi lainnya!
Ga sabar untuk segera bikin fic?
Ayo buruan buka open office atau ms. Wordnya!
Inget ya, yang penting ceritanya adalah cerita original, jangan ngejiplak! Jangan lupa tampilin disclaimer untuk penulis aslinya! Disclaimer ini menunjukkan darimana ide cerita dan penokohan yang kita gunakan. Sepele, tapi penting! :D
Here you go. :)
Fanfic, terdiri dari dua kata; fan, yang berarti penggemar. Dan Fiction/Fiksi adalah rekaan. Secara keseluruhan, fanfic atau fanfiction adalah karya tulis berbentuk paragraf deskriptif yang dibuat oleh seorang/sekelompok penggemar yang menceritakan tokoh/objek idolanya.
Simpelnya, fanfic itu adalah cerita original yang dibuat oleh fan, dengan menggunakan tokoh, latar tempat, latar situasi dan waktu yang bertepatan dengan film, buku, atau bahkan komik asal tokoh utama.
Di dunia maya, fiksifan biasa ditulis dengan keywords; FF, fanfic, fanfiction atau fic.
Pada awalnya, fanfic hanya dibuat oleh orang tertentu, yang kemudian dimuat di majalah sebagai kolom tetap. Nah, orang tertentu yang saya maksud disini adalah orang-orang yang memang bekerja dari menulis. Semacam penulis reguler cerpen yang sering kita jumpai di majalah, hanya saya orang-orang ini memang mengkhususkan diri untuk menulis fanfic.
Seiring perkembangan jaman, makin banyak penulis amatir yang merefleksikan rasa kagumnya pada suatu tokoh dengan cara menuliskan sebuah cerita rekaan tentang idolanya. Apalagi setelah internet mendunia, banyak banget forum-forum atau milis yang sengaja mengkhususkan diri memuat karya fiksi penggemar. Bisa coba kunjungi: http://www.fanfiction.net
di situs ini terdapat ribuan fanfic yang dipos kan oleh para pengarang dari berbagai penjuru dunia.
Kamu juga bisa ikut posting fic kamu disini :)
dari situs ini, fic kamu akan dibaca oleh guests forum atau member yang akan memberikan komentar/reviews tentang fic kamu. Jangan kaget ya, kalo fic kiriman kamu ngga mendapat sambutan hangat. Terkadang reviews yang datang malah menjelek-jelekkan fic kamu. Tapi, who cares? Yang penting kan kita udah berani menampilkan hasil karya kita pada banyak orang. Itu yang terpenting!
Nah, dari komen-komen itu kan kita jadi bisa belajar, dimana sih letak kelemahan karya tulis kita?
Sampai saat ini, di internet masih sulit ditemui fanfic dengan Bahasa Indonesia, karena forum-forum penyelenggaranya mayoritas adalah forum internasional, yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa penghubungnya.
Fanfic juga populer untuk para penggemar manga dan anime Jepang. Mereka juga membuat fanart =>> sama seperti fanfic, hanya fanart berupa gambar atau lukisan. Juga doujin, sketsa komik strip 4 kolom atau lebih yang menceritakan tokoh anime atau manga tertentu.
Dalam fanfic, doujin dan fanart, juga mengenal istilah 'penggabungan'. Dalam karya fic ini kamu bisa menjumpai tokoh dari berbagai macam film atau buku bertemu untuk mengisahkan cerita baru. Contoh, dalam suatu fic gua pernah menemukan tokoh vampir super tampan dari Twilight, Edward Cullen sedang berhadapan dengan The Hannibal King, si pembasmi vampir dari film Blade Trinity. Seru kan? Kita bisa nge mix tokoh kesayangan kita dengan berbagai dunia fiksi lainnya!
Ga sabar untuk segera bikin fic?
Ayo buruan buka open office atau ms. Wordnya!
Inget ya, yang penting ceritanya adalah cerita original, jangan ngejiplak! Jangan lupa tampilin disclaimer untuk penulis aslinya! Disclaimer ini menunjukkan darimana ide cerita dan penokohan yang kita gunakan. Sepele, tapi penting! :D
Selasa, 10 November 2009
Cuaca buruk bikin flu! Argh!
Hah. Seminggu ini gua jauh dari komputer. Kenapa? Yak, gua sakit flu berat. Ngga bisa ngapa-ngapain kecuali bersin dan batuk-batuk.
Gua ga ngerti dari mana asalnya virus laknat itu bisa nular ke gua. Yang jelas, hidup gua jadi bener-bener ga jelas seminggu ini.
Bangun tidur karena dipaksa bangun oleh idung mampet yang membuat gua sulit napas, dan bisa tidur lagi juga karena obat yang kayaknya--atau udah pasti pake obat penenang aka obat tidur.
Gua rasa cuaca Jakarta yang lagi ga jelas juga--kalo lagi panas, panas banget, tapi pas lagi ujan gede banget ujannya, pake angin kenceng plus petir, cukup mendukung sakit yang gua derita. Yah, maksud gua, kapan sih, cuaca Jakarta 'jelas'? Hah, kalo ngebahas masalah ini bawaannya emosi, jadi, skip aja :p
Geez. Gua kayak mayat idup seminggu ini. Mata becek, idung sebelah mampet-sebelah meler ga karuan, kepala pusing. Bersin-bersin seharian... Wtf!
Gua cukup bersyukur sore ini gua udah bisa bersentuhan lagi dengan komputer tercinta, dan mulai menulis fiksi lagi! Yeay!
Nah, sebelum gua ngelanjutin kisah Amarilis dan Suri, gua ingin mempostkan sebuah fiksi romance sebagai selingan yang tokohnya gua ambil dari tokoh nyata aka fanfiction!
Buat yang belum kenal fanfiction, di post-an berikutnya akan gua kupas mengenai fanfic lebih mendalam :)
Gua ga ngerti dari mana asalnya virus laknat itu bisa nular ke gua. Yang jelas, hidup gua jadi bener-bener ga jelas seminggu ini.
Bangun tidur karena dipaksa bangun oleh idung mampet yang membuat gua sulit napas, dan bisa tidur lagi juga karena obat yang kayaknya--atau udah pasti pake obat penenang aka obat tidur.
Gua rasa cuaca Jakarta yang lagi ga jelas juga--kalo lagi panas, panas banget, tapi pas lagi ujan gede banget ujannya, pake angin kenceng plus petir, cukup mendukung sakit yang gua derita. Yah, maksud gua, kapan sih, cuaca Jakarta 'jelas'? Hah, kalo ngebahas masalah ini bawaannya emosi, jadi, skip aja :p
Geez. Gua kayak mayat idup seminggu ini. Mata becek, idung sebelah mampet-sebelah meler ga karuan, kepala pusing. Bersin-bersin seharian... Wtf!
Gua cukup bersyukur sore ini gua udah bisa bersentuhan lagi dengan komputer tercinta, dan mulai menulis fiksi lagi! Yeay!
Nah, sebelum gua ngelanjutin kisah Amarilis dan Suri, gua ingin mempostkan sebuah fiksi romance sebagai selingan yang tokohnya gua ambil dari tokoh nyata aka fanfiction!
Buat yang belum kenal fanfiction, di post-an berikutnya akan gua kupas mengenai fanfic lebih mendalam :)
Selasa, 03 November 2009
Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 9.
"Tempat ini..." Suri ternganga menyaksikan tempat yang begitu berbeda dengan kampung halamannya. Gedung-gedung besar berdempetan bercat warna pucat menyambut mereka setelah hampir selama lima jam berada di dalam perahu. Berbeda sekali dengan tempat tinggal mereka dahulu, rumah-rumah mungil dengan cerobong asap, bangunan dari batu, juga lapangan luas dan domba-domba.
"Selamat datang di Androd" Bisik Amarilis. Dia sudah tahu seperti apa Androd dari buku-buku yang dibacanya.
"Kota macam apa ini?" Tanya Suri saat mereka berjalan berdampingan dan memandangi bangunan di sepanjang jalan yang ramai.
Suri dan Amarilis tentu menyadari perbedaan mencolok antara kota ini dan kampung halaman mereka.
"Ini kota besar, Suri. Kita tidak akan menemui para ibu yang berbincang di sore hari di sini. Aku bahkan tak yakin mereka saling kenal satu sama lain" Jawab Amarilis. "Setidaknya karena hal itu, kita bisa aman di sini" Lanjutnya.
"Ooh..." Gumam Suri. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota.
Suri asyik memerhatikan para warga lokal yang berkulit pucat dan dengan pakaian yang didominasi warna hitam. Ia bergidik karena mereka lebih terlihat seperti mayat ketimbang warga lokal.
"Suri! Jaga matamu! Jangan melihat berlebihan" Desis Amarilis.
"Habis mereka aneh," Jawab Suri. "Hey, sebenarnya kita mau pergi kemana?" Tanya Suri kemudian.
Amarilis lalu melepas topinya dan mengeluarkan secarik perkamen di dalamnya. Amarilis kemudian menyerahkan potongan perkamen itu kepada Suri.
"Mirr st. 24 B. Apa ini?" Tanya Suri setelah membaca isi perkamen itu.
"Itu alamat kantor imigrasi. Kita harus melapor jika ingin belajar sihir di sini" Jelas Amarilis. Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Setelah mengurus dokumen dan mendaftar di sekolah sihir lanjutan, mereka memutuskan untuk segera mencari tempat menginap karena hari mulai gelap dan udara menjadi sangat dingin. Mereka akhirnya menyewa sebuah kamar di salah satu flat dekat sekolah baru mereka. Tanpa mereka ketahui, Master Zaida kemudian menyewa kamar tepat di sebelah kamar mereka.
"Kau tahu? Kita harus segera membeli pakaian baru, kau tahu kan, untuk berbaur. Lagi pula baju-bajuku jadi tidak ada yang muat lagi karena tubuhku jadi dewasa mendadak" Kata Suri sambil menurunkan barang bawaannya dari tas.
"Yeah, bisa kita lakukan besok. Aku capek sekali, aku tidur duluan ya?" Tanya Amarilis. Hari ini memang benar-benar melelahkan.
"Oke. Selamat malam" Kata Suri.
"Malam" Sahut Amarilis sambil menarik selimutnya. Tak butuh waktu lama hingga Amarilis benar-benar terlelap dalam tidurnya. Tak ada teman ngobrol membuat Suri mengantuk. Ia melemparkan tasnya ke lantai di sisi tempat tidurnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Ia menatap langit-langit kamar flat suram itu dan teringat pada ibunya. Biasanya ibunya selalu membawakannya segelas susu coklat hangat sebelum tidur. Ia lantas berpikir, sedang apa ibunya sekarang? Apakah warga desa sudah menemukan pakaian mereka yang terkoyak di dalam hutan? Suri memaksa matanya terpejam dan berusaha untuk segera tidur. Banyak yang harus dilakukan esok.
Master Zaida menyihir sebuah tempayan berisi air dengan tongkatnya. Sekejap, air di dalam tempayan itu bergejolak dan memberinya pemandangan di kamar sebelah, tempat Suri dan Amarilis menginap
:to be continued:
"Selamat datang di Androd" Bisik Amarilis. Dia sudah tahu seperti apa Androd dari buku-buku yang dibacanya.
"Kota macam apa ini?" Tanya Suri saat mereka berjalan berdampingan dan memandangi bangunan di sepanjang jalan yang ramai.
Suri dan Amarilis tentu menyadari perbedaan mencolok antara kota ini dan kampung halaman mereka.
"Ini kota besar, Suri. Kita tidak akan menemui para ibu yang berbincang di sore hari di sini. Aku bahkan tak yakin mereka saling kenal satu sama lain" Jawab Amarilis. "Setidaknya karena hal itu, kita bisa aman di sini" Lanjutnya.
"Ooh..." Gumam Suri. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota.
Suri asyik memerhatikan para warga lokal yang berkulit pucat dan dengan pakaian yang didominasi warna hitam. Ia bergidik karena mereka lebih terlihat seperti mayat ketimbang warga lokal.
"Suri! Jaga matamu! Jangan melihat berlebihan" Desis Amarilis.
"Habis mereka aneh," Jawab Suri. "Hey, sebenarnya kita mau pergi kemana?" Tanya Suri kemudian.
Amarilis lalu melepas topinya dan mengeluarkan secarik perkamen di dalamnya. Amarilis kemudian menyerahkan potongan perkamen itu kepada Suri.
"Mirr st. 24 B. Apa ini?" Tanya Suri setelah membaca isi perkamen itu.
"Itu alamat kantor imigrasi. Kita harus melapor jika ingin belajar sihir di sini" Jelas Amarilis. Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Setelah mengurus dokumen dan mendaftar di sekolah sihir lanjutan, mereka memutuskan untuk segera mencari tempat menginap karena hari mulai gelap dan udara menjadi sangat dingin. Mereka akhirnya menyewa sebuah kamar di salah satu flat dekat sekolah baru mereka. Tanpa mereka ketahui, Master Zaida kemudian menyewa kamar tepat di sebelah kamar mereka.
"Kau tahu? Kita harus segera membeli pakaian baru, kau tahu kan, untuk berbaur. Lagi pula baju-bajuku jadi tidak ada yang muat lagi karena tubuhku jadi dewasa mendadak" Kata Suri sambil menurunkan barang bawaannya dari tas.
"Yeah, bisa kita lakukan besok. Aku capek sekali, aku tidur duluan ya?" Tanya Amarilis. Hari ini memang benar-benar melelahkan.
"Oke. Selamat malam" Kata Suri.
"Malam" Sahut Amarilis sambil menarik selimutnya. Tak butuh waktu lama hingga Amarilis benar-benar terlelap dalam tidurnya. Tak ada teman ngobrol membuat Suri mengantuk. Ia melemparkan tasnya ke lantai di sisi tempat tidurnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Ia menatap langit-langit kamar flat suram itu dan teringat pada ibunya. Biasanya ibunya selalu membawakannya segelas susu coklat hangat sebelum tidur. Ia lantas berpikir, sedang apa ibunya sekarang? Apakah warga desa sudah menemukan pakaian mereka yang terkoyak di dalam hutan? Suri memaksa matanya terpejam dan berusaha untuk segera tidur. Banyak yang harus dilakukan esok.
Master Zaida menyihir sebuah tempayan berisi air dengan tongkatnya. Sekejap, air di dalam tempayan itu bergejolak dan memberinya pemandangan di kamar sebelah, tempat Suri dan Amarilis menginap
:to be continued:
Minggu, 01 November 2009
Sejengkal lebih mengenal Arsene Wenger, memang berbeda sejak muda.
Fokus, sungguh-sungguh, dan tak berhenti belajar. Begitulah karakter Wenger kala masih muda. Ketika diperkenalkan kepada sepak bola oleh sang ayah pada umur 6 tahun, dia sungguh-sungguh menekuninya meski posturnya tidak ideal. Impiannya adalah menjadi seperti Franz Beckenbauer yang sangat elegan.
Berada di desa yang terisolasi tak membuat Wenger patah arang. Dia yakin menjadi pebola profesional bukanlah impian yang terlampau tinggi untuk diraih. Caranya, dia berlatih sangat tekun dan berdisiplin.
"Jika ingin bekerja dengan baik, kita harus mampu menjaga tubuh. Karena tak punya fisik yang kuat, saya cepat sadar akan hal in. Saya masih ingat, kala di tim village, 11 pemain menghabiskan 10 botol anggur setelah bertanding. Saya adalah satu-satunya yang tak minum. Mereka menjadikan budaya itu untuk mempererat ikatan. Tapi, saya punya komitmen untuk merealisasikan mimpi menjadi pebola profesional" Kenang Wenger.

Hal lain yang membedakan wenger dari rekan-rekan sebayanya pada waktu itu adalah komitmennya terhadap pendidikan. Sambil bermain bola, dia tetap meneruskan kuliahnya di University of Strasbourg hingga menggapai gelar sarjana ekonomi. Bahkan sempat menimma ilmu di Inggris. Tepatnya di Cambridge.
"Para pebola profesional Perancis kerap menghabiskan waktu liburan di Club Med. Saya membeli tiket pesawat ke London. Seorang teman menyarankan saya kuliah di Cambridge untuk memperdalam bahasa Inggris. Saya menimba ilmu selama tiga pekan. Di sana, saya menyewa sepeda sebagai alat transportasi" Kisah Wenger. "Teman-teman setim menganggap saya sudah gila"
Bukan tanpa alasan Wenger tetap memprioritaskan sekolah.
"Dulu, orang-orang menganggap pebola itu berotak udang. Jika berpapasan dengan orang dan kita mengaku sebagai pebola, dia akan cepat pergi meninggalkan kita. Satu-satunya cara untuk mendapat pengakuan adalah dengan menjadi seorang mahasiswa" Paparnya.
Kedua orang tua Wenger, Alphonse dan Louise, menentang sang anak kala memilih sepak bola sebagai jalan hidup. Mereka lebih suka Wenger melanjutkan bisnis sukucadang kendaraan yang mereka rintis. Mereka pun sangat menentang kala Wenger menjadi pelatih tim junior Strasbourg karena itu berarti dia harus mencurahkan seluruh perhatian kepada sepak bola.
Namun begitu, kedua orang tua Wenger pun akhirnya luluh juga menyaksikan kesuksesan anaknya menjadi pelatih klub-klub besar seperti AS Monaco, Nagoya Grampus, dan kini Arsenal FC.
*Sumber: Soccer Series: Cannon Revolution.
Berada di desa yang terisolasi tak membuat Wenger patah arang. Dia yakin menjadi pebola profesional bukanlah impian yang terlampau tinggi untuk diraih. Caranya, dia berlatih sangat tekun dan berdisiplin.
"Jika ingin bekerja dengan baik, kita harus mampu menjaga tubuh. Karena tak punya fisik yang kuat, saya cepat sadar akan hal in. Saya masih ingat, kala di tim village, 11 pemain menghabiskan 10 botol anggur setelah bertanding. Saya adalah satu-satunya yang tak minum. Mereka menjadikan budaya itu untuk mempererat ikatan. Tapi, saya punya komitmen untuk merealisasikan mimpi menjadi pebola profesional" Kenang Wenger.
Hal lain yang membedakan wenger dari rekan-rekan sebayanya pada waktu itu adalah komitmennya terhadap pendidikan. Sambil bermain bola, dia tetap meneruskan kuliahnya di University of Strasbourg hingga menggapai gelar sarjana ekonomi. Bahkan sempat menimma ilmu di Inggris. Tepatnya di Cambridge.
"Para pebola profesional Perancis kerap menghabiskan waktu liburan di Club Med. Saya membeli tiket pesawat ke London. Seorang teman menyarankan saya kuliah di Cambridge untuk memperdalam bahasa Inggris. Saya menimba ilmu selama tiga pekan. Di sana, saya menyewa sepeda sebagai alat transportasi" Kisah Wenger. "Teman-teman setim menganggap saya sudah gila"
Bukan tanpa alasan Wenger tetap memprioritaskan sekolah.
"Dulu, orang-orang menganggap pebola itu berotak udang. Jika berpapasan dengan orang dan kita mengaku sebagai pebola, dia akan cepat pergi meninggalkan kita. Satu-satunya cara untuk mendapat pengakuan adalah dengan menjadi seorang mahasiswa" Paparnya.
Kedua orang tua Wenger, Alphonse dan Louise, menentang sang anak kala memilih sepak bola sebagai jalan hidup. Mereka lebih suka Wenger melanjutkan bisnis sukucadang kendaraan yang mereka rintis. Mereka pun sangat menentang kala Wenger menjadi pelatih tim junior Strasbourg karena itu berarti dia harus mencurahkan seluruh perhatian kepada sepak bola.
Namun begitu, kedua orang tua Wenger pun akhirnya luluh juga menyaksikan kesuksesan anaknya menjadi pelatih klub-klub besar seperti AS Monaco, Nagoya Grampus, dan kini Arsenal FC.
*Sumber: Soccer Series: Cannon Revolution.
Langganan:
Postingan (Atom)