Keterangan usia karakter:
Peter Pevensie: 17
Susan Pevensie: 16
Edmund Pevensie: 14
Lucy Pevensie: 12
Nuria Harewood: 16
Disclaimer: semua yang berhubungan dengan Narnia adalah milik C S Lewis :)
Chapter 4
“Oh sudahlah, sepertinya kalian melupakan aku” Desah Nuria pasrah.
“Dan aku di sini… aku tidak mengerti… aku sedang berjalan-jalan di atas kapal ayahku, kami akan ke Amerika sore ini, saat melihat-lihat sisi bawah kapal dari anjungan, kurasa aku terpeleset rokku sendiri dan terjatuh ke air… dan tiba-tiba kalian menolongku?” Jelas Nuria.
“Wow” Komentar Edmund. Dia menaikkan sebelah alisnya, membandingkan dengan saat pertama kalinya ia datang ke Narnia. Waktu itu ia datang melalui lemari pakaian.
“Yang terpenting sekarang, bagaimana aku bisa kembali ke dermaga, ayahku pasti sudah sangat marah sekarang!” Seru Nuria.
“Ehm, soal itu… kurasa kami sama sekali tak bisa membantu” Jawab Peter.
“Apa?!” Seru Nuria. “Tapi… kupkir kalian tahu tempat ini?”
“Kami tak benar-benar tahu… kurasa ini di Archenland, mungkin… aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak kami meninggalkan tempat ini” Jawab Edmund.
“Archenland? Kupikir kau tadi bilang Narnia?” Tanya Nuria bingung. Archenland? Archenland apa? Ini masih di Inggris kan? Pikirnya.
Peter menjepit dahi diantara kedua matanya dengan jempol dan telunjuk—kebiasaannya saat stress. Dia bingung kalau harus menjelaskan seluruh Narnia pada gadis ini.
“Begini, aku masih belum tahu pasti dimana ini, kurasa kita harus mencari penduduk lokal dan bertanya” Jelas Edmund.
“Jadi kalian juga terdampar seperti aku?”
“Ya. Kami sedang berada di perpustakaan lalu ABRACADABRA! disinilah kita”
“Oh Tuhan jadi ini benar-benar bukan di Inggris? Jadi tempat ini seperti Wonderlandnya Alice? Atau Neverlandnya Peter Pan? Kalian bercanda!” Respon Nuria atas pengakuan Edmund.
“Kedengarannya memang konyol tapi setelah datang ke tempat ini dua kali—dan sekarang yang ke tiga, aku jadi percaya Neverland itu ada, tapi kurasa Wonderlandnya Alice tetap terdengar sinting untukku, bayangkan saja; pasukan kartu remi hah? tentara catur?” Kata Edmund sambil menyeringai.
“Hentikan Ed, itu membuatnya tambah bingung” Kata Peter sambil memutar bola matanya.
“Aku pusing” Kata Nuria akhirnya. Tenggelam sudah membuat kepalanya sakit. Tenggelam dan terdampar di Neverland jelas tak lebih baik.
“Berbaringlah sebentar, aku dan Edmund akan mencari ranting untuk api unggun, sebentar lagi sore dan kurasa udara tak akan jadi lebih hangat saat malam. Mungkin kita bisa menemukan makan malam sekalian” Kata Peter sambil memakai sepatunya kembali. Dia menatap pepohonan di sekitar mereka, berharap salah satunya adalah pohon buah, ia tak ingin kelaparan malam ini.
“Setelah kau lebih baik kami akan ceritakan tentang Narnia” Kata Edmund.
“Aku ditinggal sendirian di sini? Enak saja! Aku ikut!” Tenggelam, terdampar di Neverland, dan sendirian tidak terdengar menyenangkan.
***
“Lucy!” Panggil Susan yang terengah-engah. Mereka sudah berjalan menelusuri hutan lebat tiga jam penuh tanpa istirahat berharap bisa menemukan warga lokal yang kebetulan lewat atau perkampungan tapi tak ada apapun, sejauh ini. Yang mereka yakin adalah, mereka bukan sedang berada di Narnia. Mereka hapal setiap inci hutan di Narnia, sementara tempat ini terasa begitu asing.
“Oh ayolah Su, kenapa kau jadi lamban begitu” Kata Lucy sambil menghentikan langkahnya. Lucy sudah jauh berada di depan Susan.
“Maaf saja tapi aku tak punya energi sebanyak kau. Aku butuh istirahat oke?” Kata Susan sambil mengatur posisi duduknya di bawah satu pohon besar.
Lucy menghampiri kakaknya dan duduk si sisi lain pohon, menggoyang-goyangkan kakinya dengan santai. Entah bagaimana Lucy sama sekali tidak merasa lelah. Dia terlalu bersemangat karena kembali ke Narnia. Pikirannya melayang ke barbagai hal tentang Narnia; para centaurus, pohon-pohon yang bisa berdansa, dan Aslan, sang Singa Agung. Tanpa mereka sadari ada yang mengendap-endap di balik semak dan pepohonan. Enam orang berjubah panjang dengan turban menutupi rambut mereka dan bersenjata sedang mengintai mereka dari berbagai sudut.
“Lu, kau dengar itu?” Tanya Susan.
“Apa?” Tanya Lucy.
“Seperti ada orang bercakap-cakap?” Tanya Susan sekali lagi. Lucy memfokuskan pendengarannya, tapi tak mendengar apapun. Hutan itu sunyi.
“Aku tak mendengar apapun” Tepat saat Lucy menyelesaikan kalimatnya, tiga dari keenam prajurit itu berlari dengan cepat ke arah mereka, menodongkan pedang melengkung yang mengerikan. Lucy menjerit panik. Susan langsung bangkit dan segera memutari pohon besar itu untuk menggapai adiknya, mendekap erat tubuh Lucy di belakang punggungnya, berharap bisa menenangkannya, melindunginya, walaupun ia tak yakin bisa melindungi dirinya sendiri saat ini.
“Kami bukan orang jahat!” Kata Susan pada ketiga orang berturban itu, namun ketiganya tetap menodongkan pedang dan menghampiri mereka. Ketika sudah cukup dekat, muncullah ketiga orang lainnya dari balik semak. Satu diantaranya—yang kumis dan janggutnya paling tebal dan panjang, mengenakan jubah yang lebih bagus dari lima lainnya, gagang pedangnya dihiasi batu-batu mulia. Jelas sekali dia adalah pemimpin mereka atau semacamnya. Susan dan Lucy semakin panik melihat jumlah mereka.
Ketiga orang yang baru muncul itu berdiskusi dengan bahasa yang tak dimengerti Susan dan Lucy. Mereka menatap Susan dan Lucy dengan cermat, penuh pertimbangan. Setelah berdiskusi, si pemimpin berjalan mendekati kuduanya, senyum mengembang di wajahnya.
“Maaf kami menggenggu sore kalian yang indah, Nona-nona, tapi kurasa kalian harus ikut kami” Susan sempat kaget ternyata orang ini bisa berbahasa Inggris. Ketiga prajurit yang tadi menyerbu mereka melambaikan pedang besar mereka, mengisyaratkan keduanya untuk berjalan mengikuti sang pemimpin. Tak merasa punya pilihan lain, mereka mematuhinya. Susan merasakan tubuh Lucy bergetar dalam dekapannya.
“Tenang Lu, semuanya akan baik-baik saja” Bisiknya sambil meremas lengan Lucy. Kuharap, gumamnya dalam hati.
Rabu, 14 Juli 2010
Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 15
“A… apakah Master berhasil?” Tanya Amarilis ragu-ragu.
“Tentu! Pada awalnya, aku sempat ragu, karena pada saat yang bersaan sahabatku Cyra akhirnya mengetahui semua rencanaku. Dia melarangku, memberitahuku betapa berbahayanya ini bagiku, bagi pekerjaan ayahku. Tapi aku kembali berhasil meyakinkan diriku sendiri. Aku sudah bersusah payah selama ini hanya untuk membatalkannya? Tidak akan.
Cyra akhirnya menyerah membujukku dengan cara baik, dia mengancam akan memberi tahu orang lain jika ia tidak diperbolehkan bertransformasi bersamaku. Ia berkata, ‘jika aku tak bisa menghentikanmu, maka kau harus membiarkanku ikut bersamamu’ dan aku menyetujuinya. Dia anak panti asuhan, ia tak punya siapa-siapa kecuali aku, sebagai satu-satunya teman yang dia punya. Aku tak ingin meninggalkannya sendirian, maka, malam itu juga, kami bertransformasi” Amarilis menahan napas saat mendengarkannya. Ceritanya sungguh hampir sama dengan dia dan Suri.
“Mustahil” Desah Amarilis.
“Ya, aku pun tak percaya waktu itu kami benar-benar melakukannya” Kata Master Zaida sambil membelai rambut Suri. “aku bukan bibinya, seperti yang kalian tahu. Aku sepupunya” Amarilis terbengong-bengong. Semua orang mengenal Master Zaida sebagai bibi Suri.
“Sepupu?” Tanya Amarilis.
“Ya, sepupu, waktu aku seusia kalian, Suri masih kecil. Setelah bertransformasi, aku kabur dari rumah bersama Cyra. Kami berdua pergi, perjalanan panjang dan sangat berat, menyebrangi Xam, terus menuju Anetri. Kelelahan, lapar, tak kupikirkan. Tak akan ada yang mencurigai kami di sana, hanya itu yang membuatku tetap berjalan. Tapi tentu saja, aku yang waktu itu tak sepintar yang kukira. Anetri adalah negari kerajaan yang sangat patuh hukum. Kau tidak akan bisa memasuki sebuah kerajaan tanpa izin masuk, dan aku melupakan itu, karena terlalu sibuk memikirkan kekuatan yang akan segera kudapatkan. Tepat saat kami tiba di pelabuhan ibu kota kota Aneba, kami ditangkap pihak kerajaan dan dituduh sebagai penyusup, di pengadilan itulah, semuanya terbongkar” Kisah Master Zaida. “Cyra berusaha melindungiku, ya Cyra tersayang mengatakan dialah dibalik semua ini, dia memanfaatkan aku yang anak seorang pejabat di pemerintahan untuk mengejar obsesinya mempelajari sihr tingkat tinggi. Dia berbohong demi menyelamatkan aku” Semua memori masa lalu Master Zaida berkelebat di depan matanya. Terasa begitu nyata, begitu mengerikan. “ingin sekali aku menyangkalnya, karena pada kenyataannya aku lah yang memulai semua ini, tapi waktu itu aku terlalu syok, terlalu takut, aku terlalu pengecut untuk mengakui semuanya”
“Mereka percaya?”
“Tak semudah itu memang, tapi disaat ayahku datang, semuanya tak bisa kuubah lagi. Pihak kerajaan tentu tak akan menghukum putri pejabat negeri tetangga, ditambah lagi prestasiku yang terlalu mengilap membuat mereka mempertimbangkan hukumanku. Dan benar saja, aku dikembalikan ke tempat ini sementara Cyra tetap menjalani hukuan di penjara kota Aneba. Tongkat sihirnya dihancurkan, dia tak lagi boleh mengenal sihir. Bayangkan saja, gadis seusiamu dipenjara di penjara kerajaan yang gelap, lembab dan penuh dengan penjahat. Aku lah yang seharusnya dikurung di tempat itu, bukan Cyra” Kata Master Zaida. “Cyra yang anggun, gemulai dan sangat pemalu seperti seekor kucing, dengan berani mampu membelaku di depan pengadilan kerajaan, sementara aku? Aku meninggalkannya disana, sendirian” Kenang Master Zaida.
“Lalu apakah Master pernah bertemu dengannya lagi?” Tanya Amarilis penasaran. Senyum getir mengembang di wajah Master Zaida.
“Tentu… tentu, dia kembali ke panti asuhan lima belas tahun kemudian, setelah masa tahanannya, tapi dia bukanlah Cyra yang dulu lagi, dia berubah. Wajahnya buruk rupa, dan yang paling parah, dia membenciku. Cyra berpikiran bahwa aku akan datang menolongnya keluar dari penjara itu atas bantuan ayahku, dia menunggu dan menunggu, tapi kenyataannya aku tak pernah melakukannya. Dia menyerangku dengan mantera yang tak pernah aku ketahui sebelumnya, aku tak mengerti bagaimana ia bisa menguasai kekuatan yang begitu besar, ia sama sekali tadak diperbolehkan bersentuhan dengan sihir pada masa hukumannya. Dia tak hanya melukaiku, tapi dia juga membunuh orang tuaku, dia ingin aku merasakan kesendirian yang dirasakannya selama ini. Dia ingin aku merasakan bagaimana rasanya saat aku tak lagi bisa berlindung dibalik punggung ayahku, bagaimana berjuang untuk hidupku sendiri. Aku harus dirawat secara intensif waktu itu, sementara Cyra menghilang. Terakhir yang kuketahui, dia kembali dihikum, kali ini dikurung oleh penjara sihir, tak terlihat mata, tapi dia tak akan bisa keluar dari belenggu itu. Aku yang membuatnya menjadi seperti itu”
Amarilis membelalakkan mata mendengarnya. Dia tahu tentang hukuan-hukuman pemerintahan sihir, dan tahu dengan detail seperti apa tepatnya penjara sihir, belenggu sihir yang kasat mata. Dan yang paling diingatnya adalah, siksaan dari belenggu itu. Semua kenangan-kenangan buruk yang pernah terjadi di dalam hidup kita akan diputarkan kembali, membuat kita merasakan kembali rasa sakitnya, tekanannya…
“Padang rumput tempat kita menyelamatkan Suri tadi… itulah belenggunya” Perkataan Master Zaida membuat Amarilis kembali terbengong-bengong. Tempat itu memang menguarkan aroma kebencian yang luar biasa dan, luar biasa dingin, berbau busuk. Tapi ia tak pernah menyangka itu adalah belenggu sihir… kalau begitu…?
“Kucing yang waktu itu?! Wanita buruk rupa itu!” Sambar Amarilis ketka semuanya terasa sambung menyambung di kepalanya. Wanita itu mengenal Master Zaida.
“Ya, kau benar, apapun yang kau pikirkan tentangnya… wanita di padang rumput itu adalah Cyra”
“Tentu! Pada awalnya, aku sempat ragu, karena pada saat yang bersaan sahabatku Cyra akhirnya mengetahui semua rencanaku. Dia melarangku, memberitahuku betapa berbahayanya ini bagiku, bagi pekerjaan ayahku. Tapi aku kembali berhasil meyakinkan diriku sendiri. Aku sudah bersusah payah selama ini hanya untuk membatalkannya? Tidak akan.
Cyra akhirnya menyerah membujukku dengan cara baik, dia mengancam akan memberi tahu orang lain jika ia tidak diperbolehkan bertransformasi bersamaku. Ia berkata, ‘jika aku tak bisa menghentikanmu, maka kau harus membiarkanku ikut bersamamu’ dan aku menyetujuinya. Dia anak panti asuhan, ia tak punya siapa-siapa kecuali aku, sebagai satu-satunya teman yang dia punya. Aku tak ingin meninggalkannya sendirian, maka, malam itu juga, kami bertransformasi” Amarilis menahan napas saat mendengarkannya. Ceritanya sungguh hampir sama dengan dia dan Suri.
“Mustahil” Desah Amarilis.
“Ya, aku pun tak percaya waktu itu kami benar-benar melakukannya” Kata Master Zaida sambil membelai rambut Suri. “aku bukan bibinya, seperti yang kalian tahu. Aku sepupunya” Amarilis terbengong-bengong. Semua orang mengenal Master Zaida sebagai bibi Suri.
“Sepupu?” Tanya Amarilis.
“Ya, sepupu, waktu aku seusia kalian, Suri masih kecil. Setelah bertransformasi, aku kabur dari rumah bersama Cyra. Kami berdua pergi, perjalanan panjang dan sangat berat, menyebrangi Xam, terus menuju Anetri. Kelelahan, lapar, tak kupikirkan. Tak akan ada yang mencurigai kami di sana, hanya itu yang membuatku tetap berjalan. Tapi tentu saja, aku yang waktu itu tak sepintar yang kukira. Anetri adalah negari kerajaan yang sangat patuh hukum. Kau tidak akan bisa memasuki sebuah kerajaan tanpa izin masuk, dan aku melupakan itu, karena terlalu sibuk memikirkan kekuatan yang akan segera kudapatkan. Tepat saat kami tiba di pelabuhan ibu kota kota Aneba, kami ditangkap pihak kerajaan dan dituduh sebagai penyusup, di pengadilan itulah, semuanya terbongkar” Kisah Master Zaida. “Cyra berusaha melindungiku, ya Cyra tersayang mengatakan dialah dibalik semua ini, dia memanfaatkan aku yang anak seorang pejabat di pemerintahan untuk mengejar obsesinya mempelajari sihr tingkat tinggi. Dia berbohong demi menyelamatkan aku” Semua memori masa lalu Master Zaida berkelebat di depan matanya. Terasa begitu nyata, begitu mengerikan. “ingin sekali aku menyangkalnya, karena pada kenyataannya aku lah yang memulai semua ini, tapi waktu itu aku terlalu syok, terlalu takut, aku terlalu pengecut untuk mengakui semuanya”
“Mereka percaya?”
“Tak semudah itu memang, tapi disaat ayahku datang, semuanya tak bisa kuubah lagi. Pihak kerajaan tentu tak akan menghukum putri pejabat negeri tetangga, ditambah lagi prestasiku yang terlalu mengilap membuat mereka mempertimbangkan hukumanku. Dan benar saja, aku dikembalikan ke tempat ini sementara Cyra tetap menjalani hukuan di penjara kota Aneba. Tongkat sihirnya dihancurkan, dia tak lagi boleh mengenal sihir. Bayangkan saja, gadis seusiamu dipenjara di penjara kerajaan yang gelap, lembab dan penuh dengan penjahat. Aku lah yang seharusnya dikurung di tempat itu, bukan Cyra” Kata Master Zaida. “Cyra yang anggun, gemulai dan sangat pemalu seperti seekor kucing, dengan berani mampu membelaku di depan pengadilan kerajaan, sementara aku? Aku meninggalkannya disana, sendirian” Kenang Master Zaida.
“Lalu apakah Master pernah bertemu dengannya lagi?” Tanya Amarilis penasaran. Senyum getir mengembang di wajah Master Zaida.
“Tentu… tentu, dia kembali ke panti asuhan lima belas tahun kemudian, setelah masa tahanannya, tapi dia bukanlah Cyra yang dulu lagi, dia berubah. Wajahnya buruk rupa, dan yang paling parah, dia membenciku. Cyra berpikiran bahwa aku akan datang menolongnya keluar dari penjara itu atas bantuan ayahku, dia menunggu dan menunggu, tapi kenyataannya aku tak pernah melakukannya. Dia menyerangku dengan mantera yang tak pernah aku ketahui sebelumnya, aku tak mengerti bagaimana ia bisa menguasai kekuatan yang begitu besar, ia sama sekali tadak diperbolehkan bersentuhan dengan sihir pada masa hukumannya. Dia tak hanya melukaiku, tapi dia juga membunuh orang tuaku, dia ingin aku merasakan kesendirian yang dirasakannya selama ini. Dia ingin aku merasakan bagaimana rasanya saat aku tak lagi bisa berlindung dibalik punggung ayahku, bagaimana berjuang untuk hidupku sendiri. Aku harus dirawat secara intensif waktu itu, sementara Cyra menghilang. Terakhir yang kuketahui, dia kembali dihikum, kali ini dikurung oleh penjara sihir, tak terlihat mata, tapi dia tak akan bisa keluar dari belenggu itu. Aku yang membuatnya menjadi seperti itu”
Amarilis membelalakkan mata mendengarnya. Dia tahu tentang hukuan-hukuman pemerintahan sihir, dan tahu dengan detail seperti apa tepatnya penjara sihir, belenggu sihir yang kasat mata. Dan yang paling diingatnya adalah, siksaan dari belenggu itu. Semua kenangan-kenangan buruk yang pernah terjadi di dalam hidup kita akan diputarkan kembali, membuat kita merasakan kembali rasa sakitnya, tekanannya…
“Padang rumput tempat kita menyelamatkan Suri tadi… itulah belenggunya” Perkataan Master Zaida membuat Amarilis kembali terbengong-bengong. Tempat itu memang menguarkan aroma kebencian yang luar biasa dan, luar biasa dingin, berbau busuk. Tapi ia tak pernah menyangka itu adalah belenggu sihir… kalau begitu…?
“Kucing yang waktu itu?! Wanita buruk rupa itu!” Sambar Amarilis ketka semuanya terasa sambung menyambung di kepalanya. Wanita itu mengenal Master Zaida.
“Ya, kau benar, apapun yang kau pikirkan tentangnya… wanita di padang rumput itu adalah Cyra”
Senin, 12 Juli 2010
Vamos La Furia Roja
Worjd Cup 2010 berakhir sudah, dan memunculkan satu kekuatan baru. Penguasa baru. Jawara baru, Spanyol! Yeay! :D my second country Spain!!
Diawali closing ceremony yang--menurut gua lebih cantik dari opening nya :P
jalannya pertandingan final antara Belanda v Spanyol berlangsung seru. Beberapa kali kedua tim saling bertukar serangan berbahaya.
Spanyol cenderung menguasai bola dan membangun serangan dari bawah, sementara Belanda lebih memfokuskan pada serangan balik yang luar biasa mematikan. Beruntung Saint Iker (Iker Casillas) tampil luar biasa malam itu.
Kerasnya pertandingan juga menjadi topik yang diperbincangkan. Wasit mengeluarkan banyak kartu kuning dan satu kartu merah (dari akumulasi dua kartu kuning) untuk Belanda.
Beruntung bagi Spanyol, melawan sepuluh orang pemain Belanda, gol yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Berawal dari kerjasama cantik Fernando Torres dan Cesc Fabregas, Anders Iniesta menjadi "the right man in the right place" dan menceploskan bola ke gawang Marten Steklenberg. Spanyol pun unggul satu gol di akhir babak ke dua perpanjangan waktu.
Sampai menit ke seratus dua puluh Belanda tidak mampu menyamakan kedudukan, dan Spanyolpun berpesta di tengah lapangan. Seluruh pemain, staf hingga pak pelatih tersayang Del Bosque merayakan gelar dunia pertama bagi Spanyol.
Semua bersuka cita, kecuali tim Belanda dan Pendukungnya ya. Hahaaha. :P
Paul The -supermightymagicalcreature- Octopus
Fenomena si gurita sakti berawal dari prediksi akurat Paul, penghuni Sea Life di Jerman untuk seluruh pertandingan tim Panzer di fase grup. Sekali kalah dan dua lainnya menang. Sejak saat itu si Paul diyakini kesaktiannya oleh banyak orang.
Di tambah dua prediksi akurat lainnya kemenangan Jerman atas Inggris dan Argentina, membuat Paul semakin dipercaya.
Sayangnya dua pertandingan pamungkas lainnya Paul tak lagi memihak Jerman, dan memunculkan nama Spanyol sebagai Jawara baru.
Paul dibenci warga lokal? Ya. Pendukung tim Jerman memang kecewa atas kegagalan Jerman dan beberapa ancaman datang ke Sea Life, rumah Paul. Ancaman yang datang mulai dari penculikan, peracunan sampai ancaman untuk menggoreng dan memakan si gurita.
Yah ramalan itu hanya sekedar forecast. Hasil akhir, menurut gua tergantung dari bagaimana seseorang menentukan takdirnya. Ingat kan, takdir itu ngga di tulis di atas batu. Itu berarti kita bisa membuat takdir kita sendiri!
SEKALI LAGI SELAMAT UNTUK SPANYOL! VIVA LA FURIA ROJA!
Diawali closing ceremony yang--menurut gua lebih cantik dari opening nya :P
jalannya pertandingan final antara Belanda v Spanyol berlangsung seru. Beberapa kali kedua tim saling bertukar serangan berbahaya.
Spanyol cenderung menguasai bola dan membangun serangan dari bawah, sementara Belanda lebih memfokuskan pada serangan balik yang luar biasa mematikan. Beruntung Saint Iker (Iker Casillas) tampil luar biasa malam itu.
Kerasnya pertandingan juga menjadi topik yang diperbincangkan. Wasit mengeluarkan banyak kartu kuning dan satu kartu merah (dari akumulasi dua kartu kuning) untuk Belanda.
Beruntung bagi Spanyol, melawan sepuluh orang pemain Belanda, gol yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Berawal dari kerjasama cantik Fernando Torres dan Cesc Fabregas, Anders Iniesta menjadi "the right man in the right place" dan menceploskan bola ke gawang Marten Steklenberg. Spanyol pun unggul satu gol di akhir babak ke dua perpanjangan waktu.
Sampai menit ke seratus dua puluh Belanda tidak mampu menyamakan kedudukan, dan Spanyolpun berpesta di tengah lapangan. Seluruh pemain, staf hingga pak pelatih tersayang Del Bosque merayakan gelar dunia pertama bagi Spanyol.
Semua bersuka cita, kecuali tim Belanda dan Pendukungnya ya. Hahaaha. :P
Paul The -supermightymagicalcreature- Octopus
Fenomena si gurita sakti berawal dari prediksi akurat Paul, penghuni Sea Life di Jerman untuk seluruh pertandingan tim Panzer di fase grup. Sekali kalah dan dua lainnya menang. Sejak saat itu si Paul diyakini kesaktiannya oleh banyak orang.
Di tambah dua prediksi akurat lainnya kemenangan Jerman atas Inggris dan Argentina, membuat Paul semakin dipercaya.
Sayangnya dua pertandingan pamungkas lainnya Paul tak lagi memihak Jerman, dan memunculkan nama Spanyol sebagai Jawara baru.
Paul dibenci warga lokal? Ya. Pendukung tim Jerman memang kecewa atas kegagalan Jerman dan beberapa ancaman datang ke Sea Life, rumah Paul. Ancaman yang datang mulai dari penculikan, peracunan sampai ancaman untuk menggoreng dan memakan si gurita.
Yah ramalan itu hanya sekedar forecast. Hasil akhir, menurut gua tergantung dari bagaimana seseorang menentukan takdirnya. Ingat kan, takdir itu ngga di tulis di atas batu. Itu berarti kita bisa membuat takdir kita sendiri!
SEKALI LAGI SELAMAT UNTUK SPANYOL! VIVA LA FURIA ROJA!
Senin, 05 Juli 2010
Jadwal TV Semi Final, Final, dan Tempat ke 3 World Cup 2010 (RCTI)
Semi Final I
7 July 2010
Belanda v Uruguay 01.30 WIB (RCTI)
Semi Final II
8 July 2010
Jerman v Spanyol 01.30 WIB (RCTI)
Tempat ke 3
11 July 2010
Uruguay v Jerman 01.30 WIB (RCTI)
FINAL
12 July 2010
Belanda v Spanyol 01.30 WIB (RCTI)
degdegaaaaannnn! >.<
GO SPAIN GO!
Vamos Èspaña!
Pase lo que pase, Èspaña SIEMPRE!!
7 July 2010
Belanda v Uruguay 01.30 WIB (RCTI)
Semi Final II
8 July 2010
Jerman v Spanyol 01.30 WIB (RCTI)
Tempat ke 3
11 July 2010
Uruguay v Jerman 01.30 WIB (RCTI)
FINAL
12 July 2010
Belanda v Spanyol 01.30 WIB (RCTI)
degdegaaaaannnn! >.<
GO SPAIN GO!
Vamos Èspaña!
Pase lo que pase, Èspaña SIEMPRE!!
Sabtu, 03 Juli 2010
nyum nyum pan cake :9
Kemaren waktu pertandingan grup H antara Spanyol v Swiss, gua sempet mempersiapkan camilan buat dimakan waktu nonton bola. Yang gampang dan bahannya ada di rumah? Ya udah pasti PAN CAKE!!!!!!!
Gua emang suka banget masak-masak, yah walaupun masih amatir, tapi tetep aja kalau buatan sendiri rasanya gimaannnnaaaa gitu *lebay ah. Postingan kali ini gua bakal nge post ini resep deh, soalnya cara buatnya yang gampang dan bahan-bahannya yang ngga ngeribetin emang asik banget di buat sebagai camilan sore-sore. Pst padahal di mana-mana pan cake kan buat sarapan ya? Hahaha.
Bahan:
250 ml susu cair
200 gr tepung terigu, ayak

40 gr gula pasir (sebenernya pake gula bubuk tapi berhubung bikinnya dadakan, gapapa lah ya. Hehehe)
½ sdt garam
1 sdt ragi instant (bisa juga pake baking powder)
2 butir telur, kocok.
60 gr mentega, lelehkan.
Selai buah/ coklat topping/ maple syrup untuk pelengkap (biasanya gua bikin caramel dari gula palm, soalnya rasanya cocok banget buat pan cake :9)
Alat:
whisk (alat kocok yang pake tangan itu loh) / mixer elektrik dengan kecepatan rendah)
wadah untuk mengocok
penggorengan (kalo punya sih penggorengan Teflon yang ada bentuk-bentuknya tuh biar lucu tapi kalo ngga ada ya penggorengan biasa pun jadi :D)
Cara membuat:
Campur bahan kering jadi satu (tepung, ragi, garam)
Setelah rata, masukkan telur kocok
Tuangkan susu sedikit demi sedikit sambil terus diaduk

Diamkan sebentar, disimpan di tempat teduh dan ditutup kain (min. 30 menit supaya raginya bekerja)
Setelah 30 menit, masukan mentega cair, aduk rata
Panaskan wajan, tunggu sampai agak panas, tuang adonan kurang lebih satu sendok sayur

Balik cake setelah kurang lebih 3 menitan, atau sampai bagian bawahnya kecokelatan
Angkat, olesi selai atau topping lain sesuai selera! Enaknya dimakan anget-anget deh

:9 nyuuummm~~
Padahal udah pake acara bikin makanan segala buat nonton bola, eh ternyata Spanyol kalah dari Swiss TAT akhirnya itu pan cake gua hibahkan kepada adik-adik saya yang selalu lapar. *sigh
Gua emang suka banget masak-masak, yah walaupun masih amatir, tapi tetep aja kalau buatan sendiri rasanya gimaannnnaaaa gitu *lebay ah. Postingan kali ini gua bakal nge post ini resep deh, soalnya cara buatnya yang gampang dan bahan-bahannya yang ngga ngeribetin emang asik banget di buat sebagai camilan sore-sore. Pst padahal di mana-mana pan cake kan buat sarapan ya? Hahaha.
Bahan:
250 ml susu cair
200 gr tepung terigu, ayak
40 gr gula pasir (sebenernya pake gula bubuk tapi berhubung bikinnya dadakan, gapapa lah ya. Hehehe)
½ sdt garam
1 sdt ragi instant (bisa juga pake baking powder)
2 butir telur, kocok.
60 gr mentega, lelehkan.
Selai buah/ coklat topping/ maple syrup untuk pelengkap (biasanya gua bikin caramel dari gula palm, soalnya rasanya cocok banget buat pan cake :9)
Alat:
whisk (alat kocok yang pake tangan itu loh) / mixer elektrik dengan kecepatan rendah)
wadah untuk mengocok
penggorengan (kalo punya sih penggorengan Teflon yang ada bentuk-bentuknya tuh biar lucu tapi kalo ngga ada ya penggorengan biasa pun jadi :D)
Cara membuat:
Campur bahan kering jadi satu (tepung, ragi, garam)
Setelah rata, masukkan telur kocok
Tuangkan susu sedikit demi sedikit sambil terus diaduk
Diamkan sebentar, disimpan di tempat teduh dan ditutup kain (min. 30 menit supaya raginya bekerja)
Setelah 30 menit, masukan mentega cair, aduk rata
Panaskan wajan, tunggu sampai agak panas, tuang adonan kurang lebih satu sendok sayur
Balik cake setelah kurang lebih 3 menitan, atau sampai bagian bawahnya kecokelatan
Angkat, olesi selai atau topping lain sesuai selera! Enaknya dimakan anget-anget deh
:9 nyuuummm~~
Padahal udah pake acara bikin makanan segala buat nonton bola, eh ternyata Spanyol kalah dari Swiss TAT akhirnya itu pan cake gua hibahkan kepada adik-adik saya yang selalu lapar. *sigh
Fan Fiction: Another Love Story 9
Emirates Stadium
“Besar,” Gumamku dalam hati. Dani menggandeng tanganku menaiki tangga-tangga beton menuju stadion. Ada juga beberapa wisatawan yang sedang asyik berfoto-foto di depan stadion. Ada juga yang bergaya dengan meriam-meriam di sekitar stadion itu.
“Biasanya sangat ramai saat akhir pekan, saat pertandingan liga. Kalau hari-hari begini, tidak terlalu ramai” mataku menjelajahi setiap sudut bangunan megah itu. Bentuknya oval, megah, ada sebuah lambang klub besar di tengahnya—persis sama seperti jersey yang dikenakan para pengunjung kedai Dann saat akhir pekan lalu. Sebuah perisai besar dengan sebuah meriam besar berwarna emas mengilap menghadap ke timur. Diatas meriam emas itu tercetak tulisan ‘Arsenal’ yang secara harfiah berarti ‘gudang senjata’. Lebih ke atas lagi ada sebuah panel-panel huruf membentuk tulisan ‘Emirates Stadium’. Di dinding lain ada sebuah rangkaian aksara bahasa arab yang aku tidak tahu apa bacaannya, tapi kurasa ada hubungannya dengan nama stadion ini, ‘The Emirates Stadium’. Sisanya, bangunan oval itu trtutupi kaca-kaca. Tak terasa kami ternyata sudah mengelilingi stadion luar biasa itu satu kali.
“Cantiknya,” Pujiku sambil memutar pandangan sekali lagi. Pasti akan lebih cantik saat bangunan ini sedikit diselimuti salju putih bersih yang berkilauan.
“Biasanya ada tur wisatawan untuk masuk ke dalam… tunggu di sini sebentar, aku akan tanya pusat informasinya” Aku mengangguk ringan dan Danipun melepas genggaman tangannya, mulai berlari menuju sebuah podium yang dikerumuni banyak wisatawan.
Aku mengeluarkan handphoneku, mencoba mengabadikan bangunan ini dengan menggunakan kamera handphoneku, akan kutunjukkan pada Abbey nanti. Aku masih asyik memutar tubuhku sambil menjepret beberapa gambar sampai Dani kembali.
“Tur yang jam setengah dua sudah terlanjur mulai, kita bisa ikut yang perjalanan terakhir, jam setengah tiga, kau mau menunggu sampai jam setengah tiga?” Tanya Dani.
Aku berbalik untuk menghadapinya. Jam setengah tiga? Itu berarti aku akan terlambat masuk kerja.
“Tidak usah, aku masih harus… eh, ke toko, membeli beberapa barang… aku takut tokonya keburu tutup kalau harus ikut tur segala,” Jawabku, berusaha keras tidak menatap matanya.
“Baiklah kalau begitu, kita bisa datang lagi nanti, bagaimana?” Tanya Dani.
“Oke” Aku tersenyum mendengar pernyataannya, itu berarti kami akan mendatangi tempat hebat ini lagi di waktu yang akan datang.
“Ada toko souvenir di bawah, kau mau coba melihat-lihat?” Tanya Dani sambil kembali mentautkan jari-jemarinya dengan tanganku.
“Tentu, tapi tunggu sebentar…” Jawabku sambil menarik tangannya.
“Apa?”
“Aku ingin berfoto denganmu di depan stadion ini”
“Oh,” Dani tesenyum mendengar pengakuanku. Aku menyerahkan handphoneku kepadanya. Dani menerimanya dan mulai memutar tubuhnya, mencari posisi yang bagus untuk berfoto. Akhirnya kami berfoto bersama di depan pintu masuk stadion. Dani merogoh handphone dari saku jeansnya, kemudian mengirim foto kami.
“Aku juga ingin punya” Katanya sambil menyeringai.
Toko souvenir itu terlerak di bagian bawah, dekat tangga beton. Diatasnya tercetak dengan jelas rangkaian huruf bertuliskan ‘The Armoury’. Kami memasuki tempat yang didominasi warna merah itu. Suasana yang sangat baru untukku. Ruangan dipenuhi poster-poster pemain sepakbola. Ada beberapa manekin yang dipajang di depan kaca, menggunakan jersey merah yang sudah tidak asing bagiku. Kami masuk lebih kedalam, ke tempat pernak-pernik lain. Ada sebuah mug merah dengan lambang klub, ada juga jacket dan sweater. Aku berjalan menyusuri rak-rak dan terdiam saat melihat miniatur-miniatur para pemain sepakbola. Lucu-lucu sekali.
“Itu pemberat kertas, apa ada yang kau kenal?” Tanya Dani sambil mengangkat salah satu pemberat kertas itu. Aku hanya menggeleng, karena aku memang sama sekali tidak mengenal satupun dari miniatur-miniatur itu. “Yang ini namanya David Seaman” Katanya sambil menunjukkan pemberat kertas yang menampilkan miniatur seseorang berkumis sedang tersenyum. “Dia ini kipper yang hebat, hanya saja di sudah tidak bermain di Arsenal lagi” Tambahnya sambil meletakkan kembali pemberat kertas itu di tempatnya semula.
Kami melanjutkan menjelajahi isi toko, kembali aku tertarik pada beberapa pernik kecil mengilap. Ada gantungan kunci berbentuk perisai lambang klub. Aku mengambil satu dari rak. Untuk kenang-kenangan, gantungan kunci ini tidak jelek. Aku memerhatikan Dani yang juga mengambil gantungan kunci yang sama seperti yang kuambil.
“Aku memang ingin beli satu yang seperti ini,” Jelasnya sambil menimang-nimang gantungan kunci itu. Aku tersenyum menatapnya. Rasanya menyenangkan sekali memiliki benda yang sama dengan Dani.
Kemudian kami berjalan ke sebelah barat toko, yang sebagian besar isinya dipenuhi oleh jersey-jersey merah. Di sudut ada beberapa gulungan poster yang juga dijual. Disampingnya ada tumpukn majalah baru. Ya ampun, mereka juga punya majalah sendiri? Gumamku sambil mengangkat satu majalah dari tumpukannya.
“Mereka juga punya channel TV sendiri Carla” Kata Dani seolah mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
“Apa yang mereka tayangkan? Pertandingan sepakbola, tentunya” Tanyaku dengan nada sebal. Siapa sih yang mau menyaksikan pertandingan sepakbola setiap hari?
“Ya, tentu saja… lalu ada juga pertandingan-pertandingan penting di masa lalu, konferensi pers, berita-berita ofisial, wawancara eksklusif… banyak sekali, aku kadang-kadang menonton juga” Jelas Dani.
“Aku tidak tahu kau fan Arsenal?” Tanyaku.
“Sulit sekali tidak menyukai sepakbola kalau kau tinggal di London, Sayang. Well, sebenarnya aku tidak memihak yang manapun, aku hanya suka menonton pertandingannya saja. Dan menurutku, Arsenal memainkan sepakbola paling indah di dunia, sangat enak ditonton. Cobalah menonton pertandingan mereka sesekali,” Kata Dani sambil menarik sebuah jersey dari gantungannya. Menyodorkannya kepadaku, mengukur jersey itu di tubuhku.
“Apa kau keberatan kalau aku membelikanmu ini sekalian?” Tanya Dani sambil melambaikan jersey merah itu.
“Untuk apa? Aku kan bukan fan?” Tanyaku.
“Ya, untuk kenang-kenangan saja… aku juga akan beli satu, dan jacket yang disana juga bagus…” Katanya sambil menengok deretan lain di seberang toko.
“Kenapa jadi kau yang belanja banyak sekali? Kupikir aku yang sedang bermanja-manja hari ini?” Tanyaku mengejeknya.
“Oh, tentu Sayang, kau boleh ambil apapun yang kau suka…” Kata Dani kemudian.
“Tidak, kok, aku hanya ingin beli ini… mungkin beberapa, untuk teman–temanku” Kataku yang tiba-tiba teringat Dann, Math juga Abbey yang cinta Arsenal. Dan Cesc… apakah aku juga perlu memberinya hadiah? Oh ya, aku kan masih harus bekerja. Aku melirik jam di tangan Dani saat dia menimang-nimang jacket yang dipilihnya. Pukul dua tepat. Oh, tidak. Aku sudah terlambat.
“Err… Daniel, aku harus pergi sekarang…” Kataku.
“Oh, ya tentu, akan ku antar” Kata Dani sambil menggenggam barang belanjaannya. “Kita bayar dulu ini semua” Kata Dani sambil merebut lima buah gantungan kunci dari tanganku. Tentu saja dia tidak akan mengijinkan aku membayar gantungan kunci itu dengan uangku sendiri. Tidak ada waktu untuk berdebat, akupun menurut saja.
Setelah membayar kamipun bergegas ke dalam mobil dan herannya, Dani tahu kemana tujuanku.
“Bagaimana kau tahu aku ingin pergi ke sini?” Tanyaku bingung. Apa tadi aku sudah mengatakan toko apa yang aku maksud?
“Apa sih yang aku tidak tahu tentangmu, Sayang?” Kata Dani sambil memarkirkan mobilnya di depan toko. Kemudian mematikan mesin mobilnya.
“Apa maksudmu?” Tanyaku gugup.
“Kau bekarja di tempat ini kan?” Tanya Dani. Aku membelalakkan mata menatapnya. Bagamana mungkin dia bisa tahu? “Tidak apa-apa, aku tidak marah kok,” Kata Dani.
“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu…” Kataku akhirnya.
“Ya, aku tahu kau pasti berpikir aku akan melarangmu bekerja kan?” Tanya Dani kemudian. Aku terdiam dan tetap menatapnya. “Aku tidak marah, Carla, kau pernah bekerja part-time sebelumnya saat masih tinggal di Spanyol dan aku tidak marah. Lalu kenapa sekarang aku harus marah?” Tanya Dani. Aku berpikir sejenak. Benar juga. Dulu saat aku masih tinggal di Arenyes de Mar, aku memang bekerja di sebuah toko perlengkapan memancing, dan Dani tidak keberatan sama sekali mengenai hal itu. Tapi itu karena saat itu dia belum berpacaran denganku. Maksudku, aku memang sudah bekerja di tempat itu sebelum mengenalnya.
“Aku memang tidak begitu suka melihatmu bekerja, well maksudku, aku tidak ingin kau kelelahan. Tapi aku tidak akan melarangmu kalau kau memang menginginkannya, dan aku cukup mengenalmu tentang kepiawaianmu mengatur waktu” Kata Dani. “Ayo, turun, aku tahu kau sudah telat, makanya kau kelihatan kurang nyaman hari ini” Aku masih terpaku di seat mobilnya samentara Dani sudah keluar dan berputar menuju tempat dudukku. Dani membukakan aku pintu mobilnya dan akupun melangkah keluar. “ini Inggris Carla, tidak ada yang tidak telat di sini tenang saja” Katanya sambil tertawa. Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. Bukan maksudku untuk menyembunyikan hal ini pada Dani.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku tidak marah” Kata Dani sambil merengkuh pundakku.
“Maaf” Kataku sambil menunduk. Dani merengkuh wajahku, memdongakkannya agar aku bisa menatap matanya yang indah.
“Carla, aku tidak marah padamu” Kata Dani pelan. Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Dani menghela napasnya dan mengulurkan jari kelingkingnya ke depan wajahku.
“Begini saja, kau berjanji jangan pernah merahasiakan sesuatu lagi padaku, tidak ada rahasia diantara kita, oke?” Tanya Dani. Aku tersenyum menatap kesungguhannya, kemudian mengaitkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya.
“Oke” Jawabku.
“Ayo, kau sudah telat. Aku akan mengantarmu dan menjelaskan pada bosmu mengapa kau bisa terlambat” Kala Dani sambil menarik tangaku. Aku tersentak.
“Jangan!” Kataku sambil menarik kembali tanganku. Aku tidak siap kalau mereka tahu aku pacaran dengan Daniel! Maksudku, dia kan terkenal. Aku yakin Abbey akan sadar saat melihatnya. Aku ingat kata Dann kalau dia sangat suka menonton balap motor.
“Kenapa?’ Tanya Dani.
“Dani, kurasa salah satu dari mereka akan mengenalmu. Kau kan… pembalap.” Kataku. Dani menghela napas dan tersenyum.
“Ya ampun Carla… kupikir ada aturan tentang pegawai yang telat karena pacaran! Memangnya kenapa kalau mereka mengenalku?” Tanya Dani.
“Kalau sampai aku tersorot media sebagai pacarmu?” Balasku.
“Hey, aku kan memang tidak pernah berniat menyembunyikanmu dari media! Kau-lah yang menyembunyikan diri, ingat?” Tanya Dani. Dia benar. Aku-lah yang menyembunyikan diri dari media.
“Aku hanya takut kehidupanku dimuat di majalah” Gumamku.
“Tidak seburuk itu kok, Carla” Kata Dani.
“Yeah, paling-paling lusinan paparazzi mengendap-endap mengikutiku keanapun aku pergi, mencari-cari kesalahan yang tidak sengaja aku lakukan kemudian mencetaknya di majalah dengan head line besar-besar” Kataku saat kami memasuki toko. Dani terkekeh mendengarnya. Aku memang agak paranoid dengan paparazzi. Bayangkan saja kalau ada beberapa orang menguntitmu dan berdoa agar kau tersandung di jalan atau menabrak seseorang hanya demi artikel majalah. Hah! Yang benar saja.
“Kau melupakan fan sites, Carla” Ralatnya.
“Oh, ya tentu saja. Fan site-mu, para penggemarmu akan membicarakan kejelekanku sepanjang hari. Sekaligus mendiskusikan betapa beruntungnya aku mendapatkanmu” Aku pernah sekali membuka sebuah fan site Dani. Ribuan foto-foto Dani tersaji dengan lengkapnya, dengan berbagai pose dan latar tempat. Aku heran bagaimana mereka bisa mendapatkannya? Dan forum diskusi. Argh! Aku ingat aku pernah menemukan satu thread yang mendiskusikan sebuah foto—fotoku dan Dani. Di foto itu Dani sedang menggandeng tanganku, kurasa foto itu diambil saat aku masih di Spanyol. Untungnya di foto itu aku tidak sedang jelek-jelek amat. Penggemar Dani memperdebatkan statusku. Apakah aku ini pacarnya, atau hanya teman atau malah anggota keluarganya. Mengingat sikap Dani yang luar biasa dingin pada orang lain, wajar saja mereka mendiskusikannya. Dibandingkan pers Spanyol, pers Inggris jauh lebih menyenangkan. Terbukti aku dan Dani tidak terjamah di sini—well, setidaknya selama sebulan ini. Berbeda dengan saat aku di Spanyol, Dani harus cermat mengatur waktu kalau ingin mengunjungiku. Dia sempat memprotes sikapku yang anti-publikasi. Tapi pilihanku sudah tidak terganggu, aku ingin hidup normal sebagai gadis biasa yang tidak pernah muncul di majalah, kehidupan normal tanpa penguntit, juga tanpa ribuan fans Dani yang membenciku.
“Oh, Calra!” Suara Dann menggema dari dalam ruangan di sudut toko. Anehnya suaranya tidak terdengar marah, seperti yang seharusnya. Suara Dann terdengar cemas.
“Dann, maaf aku terlambat” Kataku saat dia menghampiriku.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku senang kau baik-baik saja, baru saja Cesc datang dan menanyakanmu… dia membuatku panik” Jelas Dann. Buat apa Cesc datang ke sini dan menanyakanku sehala? “dan ini?” Tanya Dann kemudian saat melihat Dani.
“Err… ini…” Aku bingung bagaimana menjelaskannya, aku tahu harusnya tadi aku meyakinkan Dani untuk tidak repot-repot mengantarku segala. “temanku” kataku akhirnya.
“Hello, maaf aku yang memebuat Carla terlambat hari ini, kami pergi jalan-jalan sebentar… oh ya, namaku Daniel” kata Dani sambil mengulurkan tangan. Dann menjabat tangan Dani.
“Panggil aku Dann saja, kau sopan sekali nak… terimakasih sudah mengantar Carla… Oh, kau pergi dengan temanmu… harusnya kau meneleponku atau semacamnya, jangan anggap aku orang lain begitu, aku cemas mengapa kau belum sampai juga sementara Cesc mengatakan kau sudah berangkat sebelum tengah hari…” Kata Dann sambil tersenyum dan memalingkan wajahnya kearahku.
“Yeah, aku tahu… maafkan aku” Kataku. Kemudian aku mendengar dentingan sendok membentur lantai. Semuanya langsung memalingkan wajah ke arah Abbey. Dia yang menjatuhkan sendok.
“Abbey?” Tanya Dann melihat Abbey yang terpaku bak patung. Wajahnya kaku, matanya terbelalak, seolah baru melihat hantu. Oh, aku tahu apa tepatnya yang ia lihat.
“Astaga…” Kata Abbey sambil menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. “mustahil” Katanya kemudian. Matanya tertuju pada Dani.
“Ada apa Abbey? Kenapa kau menjatuhkan sendok-sendok itu” Tanya Dann.
“Orang itu…” Desisnya sambil menunjuk Dani. Dani menatapku dengan wajah bingung.
“Dia mengenalimu, tuan pembalap” Gumamku kepada Dani. Dani terkekeh mendengarnya.
“Daniel! Astaga!!” Jeritnya sambil menghampiri kami.
“Astaga, Abbey! Kenapa kau berteriak?” Tanya Dann bingung.
“Astaga Dann! Orang ini Daniel!! Pembalap itu!” Kata Abbey histeris. Dann membelalak memerhatikan Dani.
“Yang… itu?” Dann ikut-ikutan histeris. Dani hanya tersenyum kaku mendapati dirinya ditatap dengan takjub. Seolah ia tak seharusnya ada di tempat ini.
“Oh, Carla! Kenapa kau tidak cerita padaku kau berpacaran dengan orang ini?” Tanya Abbey sambil meraih kedua tanganku.
“Err… aku…” Aku bingung harus berkata apa. Sementara Abbey memandang aku dan Dani bergantian. Wajahnya sumringah. Nampaknya ia senang sekali bisa bertemu Dani.
“Daniel, boleh aku minta tanda tanganmu? Ah, boleh berfoto bersama?” Tanya Abbey tak sabar, sambil mengeluarkan handphonenya.
“Tentu, dengan senang hati” Jawab Dani dengan ramah.
“Aku pendukungmu lho! Aku menonton race terakhir, selamat atas kemenanganmu!” Kata Abbey kepada Dani sesaat setelah mereka berfoto bersama. Dani tersenyum menanggapi Abbey, atau mungkin dia sudah terbiasa menghadapi perilaku fansnya? Kelakuan Abbey sekarang ini berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang aku jumpai saat hari pertama masuk kerja. Hari ini dia luar biasa berisik. Entah sudah berapa kali ia menjepretkan kamera handphonenya ke arah Dani.
“Terimakasih sudah mendukungku” Kata Dani sambil menandatangani buku notes milik Abbey. Aku bisa melihat mata Abbey berbinar-binar memandangi tanda tangan Dani. Aku tidak tahu dia fan Dani? Yang kutahu dia memang mencintai tayangan olah raga, dari sepakbola, tennis, sampai balap. Mungkin karena terlalu banyak yang ditontonnya, aku sampai tidak menyadari ternyata dia fan Dani.
“Ternyata memang lebih tampan aslinya” Kata Dann disela-sela keheningan kami.
“Wah, terimakasih. Saya tersanjung Anda juga mengenal saya” Kata Dani sambil tersenyum. Cih, sok merendah.
“Jangan dipuji begitu, nanti dia besar kepala” Ejekku sambil beranjak memunguti sendok-sendok yang sudah dilupakan Abbey. Kemudian berjalan menuju dapur, segera mamakai celemek cuci piringku. Sampai tiba-tiba Abbey datang menghampiriku.
“Kau jahat sekali, Carla! Kenapa kau tidak bilang kau pacaran dengan dia? hey, tadi kalian pergi kemana?” Kata Abbey sambil menyandarkan diri di konter cuci piring.
“Mana kutahu kau fannya? Tadi kami ke Emirates sebentar, aku membelikanmu gantungan kunci Arsenal untuk oleh-oleh, ada di tasku. Apa dia sudah pulang?” Balasku.
“Oh, Carla! Kau pacaran dengan Daniel! Dia pembalap terkenal, masa tidak kau pamerkan? Dan dia masih diluar, Dann menyuguhinya secangkir latte, kayaknya dia juga senang bisa bertemu Daniel. Eh, trims kau sudah repot-repot membelikanku souvenir segala” Wajah Abbey menguarkan aroma kebahagiaan.
“Tak masalah, well, tidak ada alasan untukku memamerkannya, yang benar saja, aku bahkan tidak mau orang-orang tahu aku pacaran dengannya” Kataku sambil mulai membilas sendok-sendok yang dijatuhkan Abbey tadi.
“Kenapa?” Tanya Abbey.
“Well, kau tahu kan… publikasi…” Kataku sambil menghela napas.
“Kau jadi terkenal? Apa yang salah dengan itu?” Tanya Abbey lagi, wajahnya mengisayaratkan kebingungan. Seolah-olah tidak waras kalau ada orang yang tidak ingin terkenal.
“Paparazzi? Lusinan fan sites yang mencemooh fotoku? Oh, dan juga jutaan fan Dani yang tidak rela aku —yang hanya gadis biasa ini, pacaran dengan Dani” Jelasku.
Abbey terdiam mendengarkanku. Aku berbalik menghadapnya sambil mengeringkan tanganku dengan lap.
“Kau hanya paranoid. Kurasa tidak akan se-ekstrem itu” Kata Abbey sambil mengernyitkan dahi.
“Itu juga yang dikatakan Dani, tapi aku tetap menolak publikasi. Dan aku juga pernah membuka sebuah forum fan, ternyata ada banyak sekali fan yang kelewatan, maksudku mereka mencintai Dani! Menginginkannya, kau mengerti?” Kataku sambil meletakkan sendok-sendok dalam rak. “aku hanya ingin menjalani kehidupan normal tanpa punya musuh—dibenci oleh fans Dani” Sambungku. Kali ini Abbey nampak mengerti. Yeah, dia kan fan Dani dia pasti terpukul sekali saat tahu pacar Dani adalah gadis biasa—kalau dia tak kenal aku.
“Jadi sudah berapa lama tepatnya kau berpacaran dengan Daniel?” Tanya Abbey memecah keheningan.
“Err… hampir satu tahun. Waktu itu Oktober” Aku mengingat-ingat kapan tepatnya aku mulai berpacaran dengan Dani. Waktu itu tepat satu minggu setelah ulang tahunnya, sehari setelah racenya berakhir, saat dia dinobatkan sebagai juara dunia balap kelas seperempat liter… hari dimana aku merasa begitu dicintai, dinginkan, hari dimana akhirnya aku membuka pintu hatiku untuknya, hari yang sangat indah. Aku ingat betul saat itu dia langsung datang menemuiku setelah sesi akhir musim, masih mengenakan race suitnya, menyatakan cinta kepadaku bukan dengan sebuket mawar, namun dengan piala juara dunianya. Konyol. Aku tersenyum mengenang hari itu.
“Berarti sebentar lagi dong? Sekarang kan sudah tanggal dua September” kata-kata Abbey membuyarkan lamunanku.
“Sekarang tanggal berapa?” Tanyaku.
“Tanggal dua,” Ulangnya. Aku membelalak kaget. Itu berarti dua puluh tujuh hari lagi ulang tahun Dani. Ulang tahunnya tanggal dua puluh sembilan. Aku pernah berencana untuk memberinya hadiah. Tapi apa yang bisa aku hadiahkan? Dia pasti sudah memiliki apa yang diinginkannya…
Ugh! Kenapa aku baru teringat ulang tahunnya sekarang? Aku tidak akan punya cukup waktu untuk memikirkan hadiah yang pantas. Aku berdecak.
“Ada apa? Kau sedang ada janji?” Tanya Abbey.
“Oh, ehm… ada sesuatu yang kulupakan…” Jawabku. Tiba-tiba aku mendengar suara Dani memanggilku. Saat aku menolehkan wajah, dia sudah berdiri di depan pintu dapur.
“Kau ingin aku menunggumu sampai selesai bekerja atau mau kujemput saat tutup toko?” Tanya Dani. Abbey tersenyum mendengar pertanyaan Dani.
“Sebaiknya aku pergi ya?” Tanya Abbey sambil melewati Dani yang masih berdiri di ambang pintu.
“Ehm… kau pulang saja, kau pasti capai kan? Aku bisa naik bus kok,” Jawabku malas-malasan. Moodku langsung buruk karena teringat ulang tahun Dani barusan.
“Kapan tokonya tutup Ms Moody?” Tanya Dani. Da sering memanggilku ‘Ms Moody’ karena moodku yang sering jungkir balik.
“Jam delapan” Jawabku.
“Akan kujemput kalau begitu” Kata Dani sambil menghampiriku, dia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya. “tidak usah membantah,” Tambahnya.
“Jangan begini, ini kan tempat umum” Kataku sambil menepiskan tangannya saat ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dani tersenyum kemudian kembali ke arah pintu.
“Sampai jumpa nanti jam delapan,” Katanya sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum sekilas, kemudian Dani pergi.
Aku bergegas mengembil handphoneku dari dalam tas yang kuletekan di loker, mengecek saldo tabunganku secara online. Aku masih punya seribu lima ratus Pounds. Apa yang harus aku beli dengan uang ini? Dan aku tak mungkin mengharapkan uang bulanan dari ayahku. Lagipula aku harus membelikannya hadiah yang pantas. Karena pasti bukan hanya aku yang akan memberinya hadiah, pasti teman-teman, keluarga, dan… Yvette… yeah, pasti mereka memberikan hadiah yang bagus. Aku tidak mau Dani membanding-bandingkan hadiah mereka dengan hadiahku. Apa yang harus aku hadiahkan?
:tbc:
“Besar,” Gumamku dalam hati. Dani menggandeng tanganku menaiki tangga-tangga beton menuju stadion. Ada juga beberapa wisatawan yang sedang asyik berfoto-foto di depan stadion. Ada juga yang bergaya dengan meriam-meriam di sekitar stadion itu.
“Biasanya sangat ramai saat akhir pekan, saat pertandingan liga. Kalau hari-hari begini, tidak terlalu ramai” mataku menjelajahi setiap sudut bangunan megah itu. Bentuknya oval, megah, ada sebuah lambang klub besar di tengahnya—persis sama seperti jersey yang dikenakan para pengunjung kedai Dann saat akhir pekan lalu. Sebuah perisai besar dengan sebuah meriam besar berwarna emas mengilap menghadap ke timur. Diatas meriam emas itu tercetak tulisan ‘Arsenal’ yang secara harfiah berarti ‘gudang senjata’. Lebih ke atas lagi ada sebuah panel-panel huruf membentuk tulisan ‘Emirates Stadium’. Di dinding lain ada sebuah rangkaian aksara bahasa arab yang aku tidak tahu apa bacaannya, tapi kurasa ada hubungannya dengan nama stadion ini, ‘The Emirates Stadium’. Sisanya, bangunan oval itu trtutupi kaca-kaca. Tak terasa kami ternyata sudah mengelilingi stadion luar biasa itu satu kali.
“Cantiknya,” Pujiku sambil memutar pandangan sekali lagi. Pasti akan lebih cantik saat bangunan ini sedikit diselimuti salju putih bersih yang berkilauan.
“Biasanya ada tur wisatawan untuk masuk ke dalam… tunggu di sini sebentar, aku akan tanya pusat informasinya” Aku mengangguk ringan dan Danipun melepas genggaman tangannya, mulai berlari menuju sebuah podium yang dikerumuni banyak wisatawan.
Aku mengeluarkan handphoneku, mencoba mengabadikan bangunan ini dengan menggunakan kamera handphoneku, akan kutunjukkan pada Abbey nanti. Aku masih asyik memutar tubuhku sambil menjepret beberapa gambar sampai Dani kembali.
“Tur yang jam setengah dua sudah terlanjur mulai, kita bisa ikut yang perjalanan terakhir, jam setengah tiga, kau mau menunggu sampai jam setengah tiga?” Tanya Dani.
Aku berbalik untuk menghadapinya. Jam setengah tiga? Itu berarti aku akan terlambat masuk kerja.
“Tidak usah, aku masih harus… eh, ke toko, membeli beberapa barang… aku takut tokonya keburu tutup kalau harus ikut tur segala,” Jawabku, berusaha keras tidak menatap matanya.
“Baiklah kalau begitu, kita bisa datang lagi nanti, bagaimana?” Tanya Dani.
“Oke” Aku tersenyum mendengar pernyataannya, itu berarti kami akan mendatangi tempat hebat ini lagi di waktu yang akan datang.
“Ada toko souvenir di bawah, kau mau coba melihat-lihat?” Tanya Dani sambil kembali mentautkan jari-jemarinya dengan tanganku.
“Tentu, tapi tunggu sebentar…” Jawabku sambil menarik tangannya.
“Apa?”
“Aku ingin berfoto denganmu di depan stadion ini”
“Oh,” Dani tesenyum mendengar pengakuanku. Aku menyerahkan handphoneku kepadanya. Dani menerimanya dan mulai memutar tubuhnya, mencari posisi yang bagus untuk berfoto. Akhirnya kami berfoto bersama di depan pintu masuk stadion. Dani merogoh handphone dari saku jeansnya, kemudian mengirim foto kami.
“Aku juga ingin punya” Katanya sambil menyeringai.
Toko souvenir itu terlerak di bagian bawah, dekat tangga beton. Diatasnya tercetak dengan jelas rangkaian huruf bertuliskan ‘The Armoury’. Kami memasuki tempat yang didominasi warna merah itu. Suasana yang sangat baru untukku. Ruangan dipenuhi poster-poster pemain sepakbola. Ada beberapa manekin yang dipajang di depan kaca, menggunakan jersey merah yang sudah tidak asing bagiku. Kami masuk lebih kedalam, ke tempat pernak-pernik lain. Ada sebuah mug merah dengan lambang klub, ada juga jacket dan sweater. Aku berjalan menyusuri rak-rak dan terdiam saat melihat miniatur-miniatur para pemain sepakbola. Lucu-lucu sekali.
“Itu pemberat kertas, apa ada yang kau kenal?” Tanya Dani sambil mengangkat salah satu pemberat kertas itu. Aku hanya menggeleng, karena aku memang sama sekali tidak mengenal satupun dari miniatur-miniatur itu. “Yang ini namanya David Seaman” Katanya sambil menunjukkan pemberat kertas yang menampilkan miniatur seseorang berkumis sedang tersenyum. “Dia ini kipper yang hebat, hanya saja di sudah tidak bermain di Arsenal lagi” Tambahnya sambil meletakkan kembali pemberat kertas itu di tempatnya semula.
Kami melanjutkan menjelajahi isi toko, kembali aku tertarik pada beberapa pernik kecil mengilap. Ada gantungan kunci berbentuk perisai lambang klub. Aku mengambil satu dari rak. Untuk kenang-kenangan, gantungan kunci ini tidak jelek. Aku memerhatikan Dani yang juga mengambil gantungan kunci yang sama seperti yang kuambil.
“Aku memang ingin beli satu yang seperti ini,” Jelasnya sambil menimang-nimang gantungan kunci itu. Aku tersenyum menatapnya. Rasanya menyenangkan sekali memiliki benda yang sama dengan Dani.
Kemudian kami berjalan ke sebelah barat toko, yang sebagian besar isinya dipenuhi oleh jersey-jersey merah. Di sudut ada beberapa gulungan poster yang juga dijual. Disampingnya ada tumpukn majalah baru. Ya ampun, mereka juga punya majalah sendiri? Gumamku sambil mengangkat satu majalah dari tumpukannya.
“Mereka juga punya channel TV sendiri Carla” Kata Dani seolah mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
“Apa yang mereka tayangkan? Pertandingan sepakbola, tentunya” Tanyaku dengan nada sebal. Siapa sih yang mau menyaksikan pertandingan sepakbola setiap hari?
“Ya, tentu saja… lalu ada juga pertandingan-pertandingan penting di masa lalu, konferensi pers, berita-berita ofisial, wawancara eksklusif… banyak sekali, aku kadang-kadang menonton juga” Jelas Dani.
“Aku tidak tahu kau fan Arsenal?” Tanyaku.
“Sulit sekali tidak menyukai sepakbola kalau kau tinggal di London, Sayang. Well, sebenarnya aku tidak memihak yang manapun, aku hanya suka menonton pertandingannya saja. Dan menurutku, Arsenal memainkan sepakbola paling indah di dunia, sangat enak ditonton. Cobalah menonton pertandingan mereka sesekali,” Kata Dani sambil menarik sebuah jersey dari gantungannya. Menyodorkannya kepadaku, mengukur jersey itu di tubuhku.
“Apa kau keberatan kalau aku membelikanmu ini sekalian?” Tanya Dani sambil melambaikan jersey merah itu.
“Untuk apa? Aku kan bukan fan?” Tanyaku.
“Ya, untuk kenang-kenangan saja… aku juga akan beli satu, dan jacket yang disana juga bagus…” Katanya sambil menengok deretan lain di seberang toko.
“Kenapa jadi kau yang belanja banyak sekali? Kupikir aku yang sedang bermanja-manja hari ini?” Tanyaku mengejeknya.
“Oh, tentu Sayang, kau boleh ambil apapun yang kau suka…” Kata Dani kemudian.
“Tidak, kok, aku hanya ingin beli ini… mungkin beberapa, untuk teman–temanku” Kataku yang tiba-tiba teringat Dann, Math juga Abbey yang cinta Arsenal. Dan Cesc… apakah aku juga perlu memberinya hadiah? Oh ya, aku kan masih harus bekerja. Aku melirik jam di tangan Dani saat dia menimang-nimang jacket yang dipilihnya. Pukul dua tepat. Oh, tidak. Aku sudah terlambat.
“Err… Daniel, aku harus pergi sekarang…” Kataku.
“Oh, ya tentu, akan ku antar” Kata Dani sambil menggenggam barang belanjaannya. “Kita bayar dulu ini semua” Kata Dani sambil merebut lima buah gantungan kunci dari tanganku. Tentu saja dia tidak akan mengijinkan aku membayar gantungan kunci itu dengan uangku sendiri. Tidak ada waktu untuk berdebat, akupun menurut saja.
Setelah membayar kamipun bergegas ke dalam mobil dan herannya, Dani tahu kemana tujuanku.
“Bagaimana kau tahu aku ingin pergi ke sini?” Tanyaku bingung. Apa tadi aku sudah mengatakan toko apa yang aku maksud?
“Apa sih yang aku tidak tahu tentangmu, Sayang?” Kata Dani sambil memarkirkan mobilnya di depan toko. Kemudian mematikan mesin mobilnya.
“Apa maksudmu?” Tanyaku gugup.
“Kau bekarja di tempat ini kan?” Tanya Dani. Aku membelalakkan mata menatapnya. Bagamana mungkin dia bisa tahu? “Tidak apa-apa, aku tidak marah kok,” Kata Dani.
“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu…” Kataku akhirnya.
“Ya, aku tahu kau pasti berpikir aku akan melarangmu bekerja kan?” Tanya Dani kemudian. Aku terdiam dan tetap menatapnya. “Aku tidak marah, Carla, kau pernah bekerja part-time sebelumnya saat masih tinggal di Spanyol dan aku tidak marah. Lalu kenapa sekarang aku harus marah?” Tanya Dani. Aku berpikir sejenak. Benar juga. Dulu saat aku masih tinggal di Arenyes de Mar, aku memang bekerja di sebuah toko perlengkapan memancing, dan Dani tidak keberatan sama sekali mengenai hal itu. Tapi itu karena saat itu dia belum berpacaran denganku. Maksudku, aku memang sudah bekerja di tempat itu sebelum mengenalnya.
“Aku memang tidak begitu suka melihatmu bekerja, well maksudku, aku tidak ingin kau kelelahan. Tapi aku tidak akan melarangmu kalau kau memang menginginkannya, dan aku cukup mengenalmu tentang kepiawaianmu mengatur waktu” Kata Dani. “Ayo, turun, aku tahu kau sudah telat, makanya kau kelihatan kurang nyaman hari ini” Aku masih terpaku di seat mobilnya samentara Dani sudah keluar dan berputar menuju tempat dudukku. Dani membukakan aku pintu mobilnya dan akupun melangkah keluar. “ini Inggris Carla, tidak ada yang tidak telat di sini tenang saja” Katanya sambil tertawa. Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. Bukan maksudku untuk menyembunyikan hal ini pada Dani.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku tidak marah” Kata Dani sambil merengkuh pundakku.
“Maaf” Kataku sambil menunduk. Dani merengkuh wajahku, memdongakkannya agar aku bisa menatap matanya yang indah.
“Carla, aku tidak marah padamu” Kata Dani pelan. Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Dani menghela napasnya dan mengulurkan jari kelingkingnya ke depan wajahku.
“Begini saja, kau berjanji jangan pernah merahasiakan sesuatu lagi padaku, tidak ada rahasia diantara kita, oke?” Tanya Dani. Aku tersenyum menatap kesungguhannya, kemudian mengaitkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya.
“Oke” Jawabku.
“Ayo, kau sudah telat. Aku akan mengantarmu dan menjelaskan pada bosmu mengapa kau bisa terlambat” Kala Dani sambil menarik tangaku. Aku tersentak.
“Jangan!” Kataku sambil menarik kembali tanganku. Aku tidak siap kalau mereka tahu aku pacaran dengan Daniel! Maksudku, dia kan terkenal. Aku yakin Abbey akan sadar saat melihatnya. Aku ingat kata Dann kalau dia sangat suka menonton balap motor.
“Kenapa?’ Tanya Dani.
“Dani, kurasa salah satu dari mereka akan mengenalmu. Kau kan… pembalap.” Kataku. Dani menghela napas dan tersenyum.
“Ya ampun Carla… kupikir ada aturan tentang pegawai yang telat karena pacaran! Memangnya kenapa kalau mereka mengenalku?” Tanya Dani.
“Kalau sampai aku tersorot media sebagai pacarmu?” Balasku.
“Hey, aku kan memang tidak pernah berniat menyembunyikanmu dari media! Kau-lah yang menyembunyikan diri, ingat?” Tanya Dani. Dia benar. Aku-lah yang menyembunyikan diri dari media.
“Aku hanya takut kehidupanku dimuat di majalah” Gumamku.
“Tidak seburuk itu kok, Carla” Kata Dani.
“Yeah, paling-paling lusinan paparazzi mengendap-endap mengikutiku keanapun aku pergi, mencari-cari kesalahan yang tidak sengaja aku lakukan kemudian mencetaknya di majalah dengan head line besar-besar” Kataku saat kami memasuki toko. Dani terkekeh mendengarnya. Aku memang agak paranoid dengan paparazzi. Bayangkan saja kalau ada beberapa orang menguntitmu dan berdoa agar kau tersandung di jalan atau menabrak seseorang hanya demi artikel majalah. Hah! Yang benar saja.
“Kau melupakan fan sites, Carla” Ralatnya.
“Oh, ya tentu saja. Fan site-mu, para penggemarmu akan membicarakan kejelekanku sepanjang hari. Sekaligus mendiskusikan betapa beruntungnya aku mendapatkanmu” Aku pernah sekali membuka sebuah fan site Dani. Ribuan foto-foto Dani tersaji dengan lengkapnya, dengan berbagai pose dan latar tempat. Aku heran bagaimana mereka bisa mendapatkannya? Dan forum diskusi. Argh! Aku ingat aku pernah menemukan satu thread yang mendiskusikan sebuah foto—fotoku dan Dani. Di foto itu Dani sedang menggandeng tanganku, kurasa foto itu diambil saat aku masih di Spanyol. Untungnya di foto itu aku tidak sedang jelek-jelek amat. Penggemar Dani memperdebatkan statusku. Apakah aku ini pacarnya, atau hanya teman atau malah anggota keluarganya. Mengingat sikap Dani yang luar biasa dingin pada orang lain, wajar saja mereka mendiskusikannya. Dibandingkan pers Spanyol, pers Inggris jauh lebih menyenangkan. Terbukti aku dan Dani tidak terjamah di sini—well, setidaknya selama sebulan ini. Berbeda dengan saat aku di Spanyol, Dani harus cermat mengatur waktu kalau ingin mengunjungiku. Dia sempat memprotes sikapku yang anti-publikasi. Tapi pilihanku sudah tidak terganggu, aku ingin hidup normal sebagai gadis biasa yang tidak pernah muncul di majalah, kehidupan normal tanpa penguntit, juga tanpa ribuan fans Dani yang membenciku.
“Oh, Calra!” Suara Dann menggema dari dalam ruangan di sudut toko. Anehnya suaranya tidak terdengar marah, seperti yang seharusnya. Suara Dann terdengar cemas.
“Dann, maaf aku terlambat” Kataku saat dia menghampiriku.
“Tidak apa-apa, Sayang. Aku senang kau baik-baik saja, baru saja Cesc datang dan menanyakanmu… dia membuatku panik” Jelas Dann. Buat apa Cesc datang ke sini dan menanyakanku sehala? “dan ini?” Tanya Dann kemudian saat melihat Dani.
“Err… ini…” Aku bingung bagaimana menjelaskannya, aku tahu harusnya tadi aku meyakinkan Dani untuk tidak repot-repot mengantarku segala. “temanku” kataku akhirnya.
“Hello, maaf aku yang memebuat Carla terlambat hari ini, kami pergi jalan-jalan sebentar… oh ya, namaku Daniel” kata Dani sambil mengulurkan tangan. Dann menjabat tangan Dani.
“Panggil aku Dann saja, kau sopan sekali nak… terimakasih sudah mengantar Carla… Oh, kau pergi dengan temanmu… harusnya kau meneleponku atau semacamnya, jangan anggap aku orang lain begitu, aku cemas mengapa kau belum sampai juga sementara Cesc mengatakan kau sudah berangkat sebelum tengah hari…” Kata Dann sambil tersenyum dan memalingkan wajahnya kearahku.
“Yeah, aku tahu… maafkan aku” Kataku. Kemudian aku mendengar dentingan sendok membentur lantai. Semuanya langsung memalingkan wajah ke arah Abbey. Dia yang menjatuhkan sendok.
“Abbey?” Tanya Dann melihat Abbey yang terpaku bak patung. Wajahnya kaku, matanya terbelalak, seolah baru melihat hantu. Oh, aku tahu apa tepatnya yang ia lihat.
“Astaga…” Kata Abbey sambil menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. “mustahil” Katanya kemudian. Matanya tertuju pada Dani.
“Ada apa Abbey? Kenapa kau menjatuhkan sendok-sendok itu” Tanya Dann.
“Orang itu…” Desisnya sambil menunjuk Dani. Dani menatapku dengan wajah bingung.
“Dia mengenalimu, tuan pembalap” Gumamku kepada Dani. Dani terkekeh mendengarnya.
“Daniel! Astaga!!” Jeritnya sambil menghampiri kami.
“Astaga, Abbey! Kenapa kau berteriak?” Tanya Dann bingung.
“Astaga Dann! Orang ini Daniel!! Pembalap itu!” Kata Abbey histeris. Dann membelalak memerhatikan Dani.
“Yang… itu?” Dann ikut-ikutan histeris. Dani hanya tersenyum kaku mendapati dirinya ditatap dengan takjub. Seolah ia tak seharusnya ada di tempat ini.
“Oh, Carla! Kenapa kau tidak cerita padaku kau berpacaran dengan orang ini?” Tanya Abbey sambil meraih kedua tanganku.
“Err… aku…” Aku bingung harus berkata apa. Sementara Abbey memandang aku dan Dani bergantian. Wajahnya sumringah. Nampaknya ia senang sekali bisa bertemu Dani.
“Daniel, boleh aku minta tanda tanganmu? Ah, boleh berfoto bersama?” Tanya Abbey tak sabar, sambil mengeluarkan handphonenya.
“Tentu, dengan senang hati” Jawab Dani dengan ramah.
“Aku pendukungmu lho! Aku menonton race terakhir, selamat atas kemenanganmu!” Kata Abbey kepada Dani sesaat setelah mereka berfoto bersama. Dani tersenyum menanggapi Abbey, atau mungkin dia sudah terbiasa menghadapi perilaku fansnya? Kelakuan Abbey sekarang ini berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang aku jumpai saat hari pertama masuk kerja. Hari ini dia luar biasa berisik. Entah sudah berapa kali ia menjepretkan kamera handphonenya ke arah Dani.
“Terimakasih sudah mendukungku” Kata Dani sambil menandatangani buku notes milik Abbey. Aku bisa melihat mata Abbey berbinar-binar memandangi tanda tangan Dani. Aku tidak tahu dia fan Dani? Yang kutahu dia memang mencintai tayangan olah raga, dari sepakbola, tennis, sampai balap. Mungkin karena terlalu banyak yang ditontonnya, aku sampai tidak menyadari ternyata dia fan Dani.
“Ternyata memang lebih tampan aslinya” Kata Dann disela-sela keheningan kami.
“Wah, terimakasih. Saya tersanjung Anda juga mengenal saya” Kata Dani sambil tersenyum. Cih, sok merendah.
“Jangan dipuji begitu, nanti dia besar kepala” Ejekku sambil beranjak memunguti sendok-sendok yang sudah dilupakan Abbey. Kemudian berjalan menuju dapur, segera mamakai celemek cuci piringku. Sampai tiba-tiba Abbey datang menghampiriku.
“Kau jahat sekali, Carla! Kenapa kau tidak bilang kau pacaran dengan dia? hey, tadi kalian pergi kemana?” Kata Abbey sambil menyandarkan diri di konter cuci piring.
“Mana kutahu kau fannya? Tadi kami ke Emirates sebentar, aku membelikanmu gantungan kunci Arsenal untuk oleh-oleh, ada di tasku. Apa dia sudah pulang?” Balasku.
“Oh, Carla! Kau pacaran dengan Daniel! Dia pembalap terkenal, masa tidak kau pamerkan? Dan dia masih diluar, Dann menyuguhinya secangkir latte, kayaknya dia juga senang bisa bertemu Daniel. Eh, trims kau sudah repot-repot membelikanku souvenir segala” Wajah Abbey menguarkan aroma kebahagiaan.
“Tak masalah, well, tidak ada alasan untukku memamerkannya, yang benar saja, aku bahkan tidak mau orang-orang tahu aku pacaran dengannya” Kataku sambil mulai membilas sendok-sendok yang dijatuhkan Abbey tadi.
“Kenapa?” Tanya Abbey.
“Well, kau tahu kan… publikasi…” Kataku sambil menghela napas.
“Kau jadi terkenal? Apa yang salah dengan itu?” Tanya Abbey lagi, wajahnya mengisayaratkan kebingungan. Seolah-olah tidak waras kalau ada orang yang tidak ingin terkenal.
“Paparazzi? Lusinan fan sites yang mencemooh fotoku? Oh, dan juga jutaan fan Dani yang tidak rela aku —yang hanya gadis biasa ini, pacaran dengan Dani” Jelasku.
Abbey terdiam mendengarkanku. Aku berbalik menghadapnya sambil mengeringkan tanganku dengan lap.
“Kau hanya paranoid. Kurasa tidak akan se-ekstrem itu” Kata Abbey sambil mengernyitkan dahi.
“Itu juga yang dikatakan Dani, tapi aku tetap menolak publikasi. Dan aku juga pernah membuka sebuah forum fan, ternyata ada banyak sekali fan yang kelewatan, maksudku mereka mencintai Dani! Menginginkannya, kau mengerti?” Kataku sambil meletakkan sendok-sendok dalam rak. “aku hanya ingin menjalani kehidupan normal tanpa punya musuh—dibenci oleh fans Dani” Sambungku. Kali ini Abbey nampak mengerti. Yeah, dia kan fan Dani dia pasti terpukul sekali saat tahu pacar Dani adalah gadis biasa—kalau dia tak kenal aku.
“Jadi sudah berapa lama tepatnya kau berpacaran dengan Daniel?” Tanya Abbey memecah keheningan.
“Err… hampir satu tahun. Waktu itu Oktober” Aku mengingat-ingat kapan tepatnya aku mulai berpacaran dengan Dani. Waktu itu tepat satu minggu setelah ulang tahunnya, sehari setelah racenya berakhir, saat dia dinobatkan sebagai juara dunia balap kelas seperempat liter… hari dimana aku merasa begitu dicintai, dinginkan, hari dimana akhirnya aku membuka pintu hatiku untuknya, hari yang sangat indah. Aku ingat betul saat itu dia langsung datang menemuiku setelah sesi akhir musim, masih mengenakan race suitnya, menyatakan cinta kepadaku bukan dengan sebuket mawar, namun dengan piala juara dunianya. Konyol. Aku tersenyum mengenang hari itu.
“Berarti sebentar lagi dong? Sekarang kan sudah tanggal dua September” kata-kata Abbey membuyarkan lamunanku.
“Sekarang tanggal berapa?” Tanyaku.
“Tanggal dua,” Ulangnya. Aku membelalak kaget. Itu berarti dua puluh tujuh hari lagi ulang tahun Dani. Ulang tahunnya tanggal dua puluh sembilan. Aku pernah berencana untuk memberinya hadiah. Tapi apa yang bisa aku hadiahkan? Dia pasti sudah memiliki apa yang diinginkannya…
Ugh! Kenapa aku baru teringat ulang tahunnya sekarang? Aku tidak akan punya cukup waktu untuk memikirkan hadiah yang pantas. Aku berdecak.
“Ada apa? Kau sedang ada janji?” Tanya Abbey.
“Oh, ehm… ada sesuatu yang kulupakan…” Jawabku. Tiba-tiba aku mendengar suara Dani memanggilku. Saat aku menolehkan wajah, dia sudah berdiri di depan pintu dapur.
“Kau ingin aku menunggumu sampai selesai bekerja atau mau kujemput saat tutup toko?” Tanya Dani. Abbey tersenyum mendengar pertanyaan Dani.
“Sebaiknya aku pergi ya?” Tanya Abbey sambil melewati Dani yang masih berdiri di ambang pintu.
“Ehm… kau pulang saja, kau pasti capai kan? Aku bisa naik bus kok,” Jawabku malas-malasan. Moodku langsung buruk karena teringat ulang tahun Dani barusan.
“Kapan tokonya tutup Ms Moody?” Tanya Dani. Da sering memanggilku ‘Ms Moody’ karena moodku yang sering jungkir balik.
“Jam delapan” Jawabku.
“Akan kujemput kalau begitu” Kata Dani sambil menghampiriku, dia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya. “tidak usah membantah,” Tambahnya.
“Jangan begini, ini kan tempat umum” Kataku sambil menepiskan tangannya saat ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dani tersenyum kemudian kembali ke arah pintu.
“Sampai jumpa nanti jam delapan,” Katanya sambil melambaikan tangan. Aku tersenyum sekilas, kemudian Dani pergi.
Aku bergegas mengembil handphoneku dari dalam tas yang kuletekan di loker, mengecek saldo tabunganku secara online. Aku masih punya seribu lima ratus Pounds. Apa yang harus aku beli dengan uang ini? Dan aku tak mungkin mengharapkan uang bulanan dari ayahku. Lagipula aku harus membelikannya hadiah yang pantas. Karena pasti bukan hanya aku yang akan memberinya hadiah, pasti teman-teman, keluarga, dan… Yvette… yeah, pasti mereka memberikan hadiah yang bagus. Aku tidak mau Dani membanding-bandingkan hadiah mereka dengan hadiahku. Apa yang harus aku hadiahkan?
:tbc:
Kamis, 01 Juli 2010
Fanfiction: The Lion's Call
Keterangan usia karakter:
Peter Pevensie: 17
Susan Pevensie: 16
Edmund Pevensie: 14
Lucy Pevensie: 12
Nuria Harewood: 16
Disclaimer: all except Nuria are belongs to C S Lewis
Chapter 3
"Peter? Edmund Pevensie!" Gadis itu membelalakkan mata saat menyadari kedua orang yang menolongnya barusan adalah mantan tetangganya saat masih tinggal di Finchley. Keduanya memang jauh lebih tinggi dibanding terakhir kali ia bertemu, tapi raut wajah mereka tetap sama saja menurutnya.
"Kau kenal kami?" Tanya Peter dan Edmund bersamaan. Keduanya saling pandang. Gadis ini mengenal mereka sebagai Raja di Narnia atau?
"Tentu saja! Astaga kalian tak mengenaliku? Eh, apa yang kalian lakukan di Liverpool? Apakah Susan ikut? Bagaimana Lucy? Dia sudah besar sekarang!" Tanya gadis itu, dia bangkit perlahan dan memeras ujung pakaiannya yang basah kuyup. Kakinya masih terasa lemas dan badannya bergetar.
"Liverpool?" Edmund mengerutkan dahinya. Tempat ini bukan Liverpool tentu saja, bahkan ini bukan Inggris.
"Iya! Di sini...! Eh?!" Gadis itu tersadar ini bukan lagi tempat yang sama seperti tempat saat dia tergelincir dari anjungan kapal milik ayahnya dan tenggelam. "dimana ini?!" Tanyanya kepada Peter dan Edmund. Kedua Pevensie saling bertukar pandang dengan bingung.
"Kau datang dari Liverpool?" Tanya Peter.
"Ya! Dimana ini? Aku seharusnya ada di pelabuhan di Liverpool!" Kata gadis itu panik. Ia sudah janji pada ayahnya untuk tidak pergi terlalu jauh karena kapal yang akan membawa mereka ke Amerika akan segera berangkat.
"Dan kami seharusnya ada di perpustakaan sekolah di London, sayang sekali" Jawab Edmund sambil kembali duduk dan melepas sepatu berikut kaus kakinya yang basah. Ia tak lagi merasa kehausan setelah puas berenang--dan ikut meminum air danau saat menolong gadis ini tadi. Ia malah berharap ia kering sekarang.
"Apa maksudmu London?" Tanya gadis itu bingung. Peter ikut duduk di samping Edmund sementara gadis itu masih panik dan bingung. Tak seperti Edmund yang sedang jengkel karena sepatunya yang basah, Peter sempat melepas sepatunya sebelum terjun ke danau.
"Kau--well, kita sedang berada di Narnia" Kata Peter. Gadis itu membelalakkan matanya, kemudian mengernyit dan memandang ke sekeliling tubuhnya. Pepohonan hijau, danau...
"Narnia? Narnia apa? Aku bersumpah tadi aku ada di Liverpool! Aku tak mungkin terseret gelombang laut dan nyasar di danau sialan ini!" Papar gadis itu. Ia tadi tergelincir dari anjungan kapal bukan di tempat ini!
"Duduklah, akan kujelaskan" Pinta Peter. Gadis itu hanya bisa menatap kedua Pevensie dengan tatapan bingung, dan, tanpa punya pilihan lain, akhirnya duduk di depan mereka. Meskipun dia sedang berada di tempat asing bernama Narnia ini setidaknya dia tidak sendiri, malah bertemu teman lama.
Matanya kemudian tertuju pada Edmund. Rambut gelapnya basah, membuat kulit wajahnya terlihat makin pucat. Dulu dia sempat menyukai cowok ini. Sejak pertama kali melihatnya saat datang ke rumah Pevensie. Dulu saat usianya masih sembilan tahun, cinta monyet. Dulu dia sempat merasa konyol karena suka kepada adik Susan yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Edmund waktu itu benar-benar menarik perhatiannya. Dia berbeda. Dia sering kali duduk menyendiri sambil membaca buku dongeng di depan perapian, sedikit berbicara dan tak suka dikelilingi orang yang tak dikenalinya. Dia hanya bergaul dengan saudara-saudarinya. Dibandingkan Peter yang hangat dan terbuka--walau sedikit berlaku superior, atau Susan yang selalu menimbang-nimbang banyak hal--terlalu dewasa untuk usianya saat itu, Edmund begitu berbeda. Unik.
Dia menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan memori yang tiba-tiba saja berkelebat di kepalanya. Sudah lima tahun dia tak bertemu dengan para Pevensie, semuanya sudah tidak sama lagi, tentu saja, sekarang mereka sudah remaja.
"So... pertama-tama, biarkan kami mengetahui namamu? Dan bagaimana kau bisa ada di sini?" Tanya Peter.
"Astaga kau benar-benar tak mengenaliku?" Tanya gadis itu. Kedua Pevensie di hadapannya menggelengkan kepala. Peter dan Edmund memandangi gadis di hadapan mereka sekali lagi dan tetap tak mendapat petunjuk.
"Sorry" Kata Peter sambil menyunggingkan senyum khasnya.
Gadis itu menarik napas panjang.
"Namaku Nuria. Ingat? Nuria Harewood. Aku tadinya tetangga kalian, aku tinggal di seberang jalan dan berteman dengan Susan, kami pergi ke sekolah yang sama. Aku juga pernah menginap di rumah kalian" Jelas Nuria. "lalu saat aku sepuluh, well, saat itu kau sebelas Pete, dan kau delapan Ed, aku pindah ke Liverpool karena ayahku mendapatkan pekerjaan di sana. Sejak saat itu aku tak lagi pernah kembali ke Finchley"
"kau ingat? Aku sering meneriakimu dari seberang jalan karena kau hampir selalu lupa menutup pagar setelah kau masuk?" Tanya Nuria kepada Peter.
"Oohh..." Tanggap Peter.
"Kau mengingatnya Pete?" Tanya Edmund dari sisi kirinya.
"Sedikit... kurasa..." Jawab Peter sedikit memaksa. Edmund memutar bola matanya, ia tahu betul sebenarnya Peter tak mengingat gadis ini, sama seperth dirinya.
"
Peter Pevensie: 17
Susan Pevensie: 16
Edmund Pevensie: 14
Lucy Pevensie: 12
Nuria Harewood: 16
Disclaimer: all except Nuria are belongs to C S Lewis
Chapter 3
"Peter? Edmund Pevensie!" Gadis itu membelalakkan mata saat menyadari kedua orang yang menolongnya barusan adalah mantan tetangganya saat masih tinggal di Finchley. Keduanya memang jauh lebih tinggi dibanding terakhir kali ia bertemu, tapi raut wajah mereka tetap sama saja menurutnya.
"Kau kenal kami?" Tanya Peter dan Edmund bersamaan. Keduanya saling pandang. Gadis ini mengenal mereka sebagai Raja di Narnia atau?
"Tentu saja! Astaga kalian tak mengenaliku? Eh, apa yang kalian lakukan di Liverpool? Apakah Susan ikut? Bagaimana Lucy? Dia sudah besar sekarang!" Tanya gadis itu, dia bangkit perlahan dan memeras ujung pakaiannya yang basah kuyup. Kakinya masih terasa lemas dan badannya bergetar.
"Liverpool?" Edmund mengerutkan dahinya. Tempat ini bukan Liverpool tentu saja, bahkan ini bukan Inggris.
"Iya! Di sini...! Eh?!" Gadis itu tersadar ini bukan lagi tempat yang sama seperti tempat saat dia tergelincir dari anjungan kapal milik ayahnya dan tenggelam. "dimana ini?!" Tanyanya kepada Peter dan Edmund. Kedua Pevensie saling bertukar pandang dengan bingung.
"Kau datang dari Liverpool?" Tanya Peter.
"Ya! Dimana ini? Aku seharusnya ada di pelabuhan di Liverpool!" Kata gadis itu panik. Ia sudah janji pada ayahnya untuk tidak pergi terlalu jauh karena kapal yang akan membawa mereka ke Amerika akan segera berangkat.
"Dan kami seharusnya ada di perpustakaan sekolah di London, sayang sekali" Jawab Edmund sambil kembali duduk dan melepas sepatu berikut kaus kakinya yang basah. Ia tak lagi merasa kehausan setelah puas berenang--dan ikut meminum air danau saat menolong gadis ini tadi. Ia malah berharap ia kering sekarang.
"Apa maksudmu London?" Tanya gadis itu bingung. Peter ikut duduk di samping Edmund sementara gadis itu masih panik dan bingung. Tak seperti Edmund yang sedang jengkel karena sepatunya yang basah, Peter sempat melepas sepatunya sebelum terjun ke danau.
"Kau--well, kita sedang berada di Narnia" Kata Peter. Gadis itu membelalakkan matanya, kemudian mengernyit dan memandang ke sekeliling tubuhnya. Pepohonan hijau, danau...
"Narnia? Narnia apa? Aku bersumpah tadi aku ada di Liverpool! Aku tak mungkin terseret gelombang laut dan nyasar di danau sialan ini!" Papar gadis itu. Ia tadi tergelincir dari anjungan kapal bukan di tempat ini!
"Duduklah, akan kujelaskan" Pinta Peter. Gadis itu hanya bisa menatap kedua Pevensie dengan tatapan bingung, dan, tanpa punya pilihan lain, akhirnya duduk di depan mereka. Meskipun dia sedang berada di tempat asing bernama Narnia ini setidaknya dia tidak sendiri, malah bertemu teman lama.
Matanya kemudian tertuju pada Edmund. Rambut gelapnya basah, membuat kulit wajahnya terlihat makin pucat. Dulu dia sempat menyukai cowok ini. Sejak pertama kali melihatnya saat datang ke rumah Pevensie. Dulu saat usianya masih sembilan tahun, cinta monyet. Dulu dia sempat merasa konyol karena suka kepada adik Susan yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Edmund waktu itu benar-benar menarik perhatiannya. Dia berbeda. Dia sering kali duduk menyendiri sambil membaca buku dongeng di depan perapian, sedikit berbicara dan tak suka dikelilingi orang yang tak dikenalinya. Dia hanya bergaul dengan saudara-saudarinya. Dibandingkan Peter yang hangat dan terbuka--walau sedikit berlaku superior, atau Susan yang selalu menimbang-nimbang banyak hal--terlalu dewasa untuk usianya saat itu, Edmund begitu berbeda. Unik.
Dia menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan memori yang tiba-tiba saja berkelebat di kepalanya. Sudah lima tahun dia tak bertemu dengan para Pevensie, semuanya sudah tidak sama lagi, tentu saja, sekarang mereka sudah remaja.
"So... pertama-tama, biarkan kami mengetahui namamu? Dan bagaimana kau bisa ada di sini?" Tanya Peter.
"Astaga kau benar-benar tak mengenaliku?" Tanya gadis itu. Kedua Pevensie di hadapannya menggelengkan kepala. Peter dan Edmund memandangi gadis di hadapan mereka sekali lagi dan tetap tak mendapat petunjuk.
"Sorry" Kata Peter sambil menyunggingkan senyum khasnya.
Gadis itu menarik napas panjang.
"Namaku Nuria. Ingat? Nuria Harewood. Aku tadinya tetangga kalian, aku tinggal di seberang jalan dan berteman dengan Susan, kami pergi ke sekolah yang sama. Aku juga pernah menginap di rumah kalian" Jelas Nuria. "lalu saat aku sepuluh, well, saat itu kau sebelas Pete, dan kau delapan Ed, aku pindah ke Liverpool karena ayahku mendapatkan pekerjaan di sana. Sejak saat itu aku tak lagi pernah kembali ke Finchley"
"kau ingat? Aku sering meneriakimu dari seberang jalan karena kau hampir selalu lupa menutup pagar setelah kau masuk?" Tanya Nuria kepada Peter.
"Oohh..." Tanggap Peter.
"Kau mengingatnya Pete?" Tanya Edmund dari sisi kirinya.
"Sedikit... kurasa..." Jawab Peter sedikit memaksa. Edmund memutar bola matanya, ia tahu betul sebenarnya Peter tak mengingat gadis ini, sama seperth dirinya.
"
Langganan:
Postingan (Atom)