Spesial
Baru saja aku selesai mengeringkan pakaian dengan mesin di lantai dasar. Untunglah aku mencuci hari ini. Tidak ada tetangga yang juga mencuci hari ini, jadi aku tidak perlu mengantre segala. Aku kemudian menarik keluar semua pakaian yang berhawa hangat itu, memasukkannya ke sebuah keranjang dan segera membawanya masuk ke kamar flatku. Hawa dingin memenuhi ruang flat, padahal padahal diluar sana tidak sedingin ini. Itu berarti…
“Cesc!” Panggilku penuh semangat. Dia pulang! Cesc kembali!
“Hey, kau merasakanku ya?” Suaranya menggema di seantero ruang depan, tapi aku tak melihatnya di sudut manapun.
“Tentu saja!” Pamerku. “Well, kau dimana?” Tanyaku. Tentu saja aku ingn sekali melihatnya, sudah dua hari aku tidak melihat kesempurnaan ciptaan Tuhan itu.
“Aku di sini,” Jawabnya dengan nada suara bingung. Tapi tetap tak menampakkan dirinya.
“Aku tak melihatmu”
“Oh, aku belum bisa melakukannya… sementara,”
“Apa maksudmu?” Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya. Belum bisa menampakkan diri?
“Hmm, perjalananku dua hari ini menguras energiku, aku tidak cukup kuat untuk memadatkan diri” Jelasnya. Aku baru tahu selama ini dia memadatkan diri. Ugh, itu terdengar mengerikan. Seolah-olah dia sekumpulan serpihan kecil melayang di udara yang memadatkan diri baru bisa terlihat. Atau memang begitu? Dan aku baru tahu dia memerlukan energi. Dari mana sumbernya? Otak bagian-berpikir-konyol-ku mengirimkan jawabannya. Mungkin sebenarnya di punya kabel colokan listrik di belakang tubuhnya untuk men-charge baterai energinya.
“Oh,” Aku mengangguk lemas. Padahal aku sangat merindukannya. Ingin sekali aku melihat wajahnya saat sedang bicara seperti ini.
“Aku cuma butuh sedikit istirahat, aku tidak akan mati lagi kok. Haha” Katanya.
“Yeah, dasar hantu,” Ejekku. “Bagaimana perjalananmu?” Tanyaku basa basi.
“Panjang, tapi lumayan lah, sudah lama sekali aku tidak pergi jauh, makanya aku jadi se capai ini” Jelasnya. Aku tidak ingin bertanya macam-macam tentang kepergiannya. Dia kan tidak tahu aku mengetahui tentang Para Pembersih yang ditemuinya.
“Rupanya kau menepati janjimu—tempat ini tetap utuh,”
“Kau terkesan? Trims—kalau itu pujian” Kataku sambil berjalan ke dalam kamarku, mulai melipat-lipat pakaian kering. Aku merasakannya, dia juga berjalan mengikutiku masuk ke kamar. Angin dinginnya mengikutiku.
“Itu pujian, kok”
“Yeah yeah” Jawabku sekenanya. Tiba-tiba aku merasakan hembusan angin dingin menerpa daerah punggungku. Sekilas, tapi terasa. Aku terkesiap.
“Kau menyentuhku ya?” Tanyaku pada ruang kamarku yang kosong.
“Wow, kau benar-benar sudah terbiasa dengan kehadiranku ya?” Tanya Cesc dengan nada antusias. Apa maksudnya sih?
“Well, kalau yang ini bagaimana?” Tanya Cesc. Dan kemudian aku merasakan angin dingin itu membelai pipiku. Kali ini berbeda, angin dinginnya terasa berputar-putar disana, tidak sekilas lalu hilang. Ini terasa seperti ia sedang menempelkan tangan hantunya di pipiku. Dengan refleks aku menggapai pipiku. Tanganku langsung menyentuh pipiku. Tangankupun ikut merasakan angin dingin yang seolah mengendap di sana.
“Aku senang kau bisa merasakanku walau aku tidak terlihat,” Kata Cesc dengan suara lembut dan menentramkan.
“Aku lebih suka kalau kau terlihat” Balasku.
“Kau kangen padaku rupanya,” Kata Cesc dan aku merasakan angin dingin itu lenyap dari pipiku. Nadanya terdengar mengejek.
“Boleh dikatakan begitu, maksudku, tidak ada yang mengobrol denganku di sini selain kau” Kataku sambil melanjutkan melipat baju-baju. Pura-pura cuek, padahal aku memang kangen sekali. Aku merasakan darah mengaliri wajahku. Aku yakin wajahku pasti sudah memerah sekarang. Persis seperti saat aku sedang mengaku cinta pada Dani. Wajahku selalu terasa membara saat Dani mulai menyentuhku. Aku terkesiap. Membelalakkan mata. Jantungku berdegup keras. Tunggu dulu…
“Kurasa aku juga kangen, yeah, kau kan satu-satunya manusia yang mengenalku” Kata Cesc. Aku merasakan kembali sentuhannya di pipiku.
“Kau merah… apa kau sedang sakit?” Tanya Cesc dengan lembut, nyaris seperti bisikan. Tunggu, sejak kapan kami jadi seintim ini? Dia menyentuhku, membelai wajahku. Aku merasakannya. Dan aku menyukai sentuhannya, dingin dan nyaman.
“Aku sehat” Jawabku sambil bangkit dari tempat tidur, untuk memasukkan pakaianku ke dalam lemari. Aku memang mengaguminya, Cesc-ku yang tampan dan… sempurna. Tapi aku tidak pernah sekalipun merasakan ini pada orang lain. Aku berdiri mematung di depan lemari pakaian. Entah dari mana datangnya pikiran ini. Tapi aku baru saja aku merasa aku sedang berselingkuh. Jantungku berdegup kencang. Batiku memberontak.
Tidak, tentu saja itu tidak mungkin. Aku mencintai Dani. Itu benar seratus persen. Tidak mungkin aku merasakan hal itu lagi. Dan Cesc bukan manusia. Apa sih yang kupikirkan? Lagi pula aku tidak tahu bagaimana yang dimaksud berselingkuh itu. Tentu saja aku tidak mungkin menyukai Cesc. Well, dia tampan tentu saja, tapi… berbeda. Wajah Dani berkelebat di kepalaku. Menyadarkanku dari opini bodohku. Ya, tentu saja. Apa sih yang barusan itu? Mana mungkin aku menempatkan teman hantuku ini dalam posisi selingkuh? Bodoh benar aku. Dia bahkan tidak benar-benar nyata. Aku meringgis. Apa yang kau pikrkan Carla! Kalian memang dekat—tinggal bersama, tepatnya. Tapi bukan berarti berselingkuh, tentu saja.
“Benar kan kau tidak sakit?” Tanya Cesc sekali lagi.
“Aku sehat kok, tidak usah cemas begitu” Jawabku dengan perasaan yang sudah seringan bulu. Teman hantuku—teman pertamaku di London sudah pulang, dan aku hanya merindukannya karena dia baru saja pergi jauh, itu bukan berarti aku menyukainya, bukan berarti berselingkuh. Tentu saja aku merasakan bahwa dia spesial, dia kan memang teman pertamaku, pantas saja aku memerhatikannya, begitu juga dia. Aku menghela napas puas, dengan kesimpulan yang baru saja aku tarik keluar.
“Hmm, pacarmu datang” Kata-kata Cesc membuatku membelalak kaget. Kemudian hawa dingin itu hilang, seiring kepergiannya.
“Masa?” Tanyaku kaget. Baru saja aku ingin berkata ‘dia masih di Perancis’ tapi ketukan tiga kali di pintu depan tentu saja membuatku benar-benar tersentak. Aku berlari memburu ke arah pintu masuk, memutar kuncinya dan membuka pintu segera. Dia benar. Dani. Di depanku.
“Dani!” Jeritku. Mimpi apa aku semalam? Hari ini Cesc dan Dani sekaligus, dua-duanya pulang.
“Hey, Cantik” Sahutnya sambil tersenyum. Kemudian menerobos masuk, melewati aku yang masih terkesiap kaget. “Apa?” Tanya Dani ketka aku menutup kembali pintu sambil memandang tak percaya kearahnya.
“Dua kali kau mengagetkanku dengan kedatanganmu” Jawabku sambil kembali mengunci pintu. Dani tersenyum, kemudian dia merengkuh pinggangku, merapatkan tubuh kami. Aku melingkarkan lenganku di lehernya saat dia mulai menciumku.
“Kau tidak suka kalau aku datang?” Bisiknya di sela-sela ciuman kami. Mana mungkin aku tidak suka, ingin sekali aku menjawabnya begitu, andai bibirku tidak terlalu sibuk.
“Selamat atas kemenanganmu kemarin” Kataku saat Dani melepaskan dekapannya. Dani tersenyum senang.
“Ttrims” Jawabnya lembut, rona merah terlukis di pipnya. “Kupersembahkan untukmu, kemenanganku” Katanya lagi. Aku jadi ikut-ikutan tersipu malu. Aku tersadar kami masih di belakang pintu, aku menariknya masuk lebih dalam, ke ruang tengah.
“Mau minum sesuatu?” Tanyaku saat Dani duduk di sofa hijau lumutku. Tapi kemudian dia menarik pergelangan tanganku dan membawaku ke pangkuannya.
“Tidak perlu repot-repot, nona” Desahnya sambil kembali menciumiku. Aku menyandarkan kedua sikuku di bahunya, mengatur posisi dudukku tanpa melepas ciumannya sedetikpun. Dani mendongakkan kepalanya agar tetap dapat menciumku. Kedua tanganku merengkuh wajahnya dengan rakus, menyisipkan jari-jariku ke rambutnya. Dani membelai lembut punggungku dengan jari-jarinya, nyaris tak menyentuh, kemudian meraih tengkukku. Aku bisa merasakan jantungku berdetak hebat, napasku memburu. Ciuman kami semakin menjadi, saat tiba-tiba aku merasakan hembusan dingin di punggungku. Aku terkesiap kaget dan melepaskan ciumanku. Napas Dani menderu hangat menerpa pipiku. Wangi mulutnya masih membaur di rongga hidungku, memengaruhi logikaku. Tapi aku cukup sadar apa yang barusan itu.
“Ada apa, Sayang?” Bisik Dani sambil membelai tulang pipiku dengan telunjuknya..
“Eh, tidak…” Jawabku gugup sambil menggeser kakiku untuk segera melompat dari pangkuannya, dan segera duduk tepat di sebelahnya. Itu tadi Cesc. Aku jadi teringat kata-katanya tempo hari; ‘aku tentu tidak ingin melihat yang lebih dari yang tadi itu’. Kurasa baru saja dia menagih kata-kataku. Dan tentu saja kami sama sekali tidak bermaksud melakukannya tadi. Kalau terhanyut, ya. Sulit sekali tidak terhanyut saat Dani mulai menciumku.
Dani menatapku bingung dan membalikkan tubuhnya ke arahku.
“Jangan bilang kau takut padaku” Tanya Dani sambil merengkuh wajahku dengan kesua tangannya. Memaksaku melihat seringaiannya.
“Eh? Bukan, tentu saja bukan… aku hanya… err…” aku tidak tahu harus bilang apa. Tidak mungkin aku bilang, ‘hantu penunggu flat ini tidak suka melihat kita mesra-mesraan,’
“Ya ampun, Carla! Aku tidak akan melakukannya kok!” Kata Daniel sambil tertawa. Kurasa dia mengira aku takut ciuman kami tadi akan berujung di tempat tidur.
“Yeah, well… eh… sebaiknya aku mengambilkanmu sesuatu” Kataku gugup dan kemudian beranjak menuju dapur. Aku berhenti tepat di konter cuci piring dan membuka kran, mebasuh wajahku.
“Hey,” Suara Cesc menggema di telingaku, mengagetkanku. Nadanya datar dan menakutkan.
“Oh” Aku mendesah dan mengambil sebuah handuk kecil untuk mengeringkan wajahku. “Mmm… maaf yang tadi… aku benar-benar… err… lepas kendali” Aku kesulitan menemukan kata yang tepat.
“Yeah, tidak masalah asal hanya kau yang terhanyut,” Jawab Cesc dingin. Yak, bagus dia tahu aku tadi sempat terhanyut, jadi aku tidak perlu berusaha menjelaskan apa yang aku rasakan. Aku menggumam tak jelas sambil mengeluarkan sebotol cola dari lemari es dan mengambil dua buah gelas dari rak.
“Aku benar-benar tidak suka melihat kau—melihatnya. Wajahmu… ugh. Dan kalau terjadi lagi, aku tidak akan segan-segan menampakkan diri di hadapannya. Oke?” Nada suaranya meninggi disetiap kata. Seolah-olah dia tahu sikap Dani yang mungkin akan menyeretku keluar dari tempat ini kalau tahu tempat tinggalku ada hantunya. Dan ketidak-sukaanku akan bergantung padanya.
“Kau mengancamku?” Lagi-lagi aku bicara pada ruangan kosong.
“Tidak juga, tergantung bagaimana kau mengartikannya”
“Bagiku ancaman. Dan itu bukan urusanmu kan? Kami memang berpacaran, oke?” Aku mulai jengkel. Sekarang Cesc terdengar seperti Ayahku—seperti orang tua yang membatasi pergaulan anaknya.
“Dan ini tempat tinggal bersama, ingat?” Cesc seolah baru saja mengucapkan kata sihirnya. Dan aku benar-benar tidak bisa berargumen.
“Ugh!” aku langsung pergi meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tengah. Disana Dani sedang menonton TV. Aku meletakkan gelas di atas meja dan menuangkan cola dingin ke dalamnya. Dani kembali merengkuh pinggangku dan menarikku untuk duduk di sampingnya. Hampir saja aku menjatuhkan botol cola besar itu. Dani mengambil botol cola dari genggamanku dan meletakkannya di meja sambil terkekeh.
“Sejak kapan kau jadi begitu gugup saat bersamaku sih?” Tanya Dani sambil membelaikan tangannya ke pipiku. Dani menyibakkan rambutku, menyisipkannya ke belakang telingaku. Kemudian aku merasakan hembusan napasnya di pipiku, aku merasakan ciumannya di rahangku, kemudian menelusuri leherku. Aku memejamkan mata meresapi ciumannya. Oh, tidak.
“Daniel…” Desahku. “Hentikan,” Pintaku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin dia berhenti, batinku mengatakan hal yang berlawanan dengan mulutku.
“Mmmm…” Dani tak mendengarkanku. Dia merengkuh pinggangku lebih erat. Aku terpaksa mendorong tubuhnya. Dani menatap mataku dengan tatapan aneh. Jantungku berdetak kencang, memompakan darah ke pipiku, wajahku pasti sudah merah padam.
“Maaf,” Kataku menyadari tatapan matanya mengesankan ia merasa ‘tertolak’. Tatapan kecewa dan tidak suka. “Aku…” Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Aku sama sekali tidak bermaksud menolaknya.
“Ya ampun Carla, aku tidak akan kelewatan” Kata Dani.
“Yeah… err…” Sebenarnya aku sangat tidak peduli kalau kami sampai kelewatan, mana mungkin aku menolak—tapi sepertinya Dani-lah yang pada kenyataannya selalu menolakku. Dani terlalu menganggap serius permintaan ayahku saat aku pertama datang ke London. Ayahku meminta Dani untuk menjagaku. Tentu saja itu permintaan yang masuk akal kan? Mengingat Dani juga akan berada di London saat sedang tidak membalap. Tapi kurasa Dani terlalu berlebihan menanggapinya. Kurasa maksud ayahku saat itu adalah menjagaku dari kemungkinan sakit, menghadapi masalah, dan yang semacamnya, bukannya menjaga keperawananku. Dasar Dani.
Tapi Cesc tidak akan membiarkannya begitu saja, setelah apa yang dilihatnya tadi. Dani tersenyum melihat kegugupanku. Dia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya.
“Tidak apa-apa, Sayang, katakan saja apa yang kau rasakan. Maafkan aku kalau menurutmu aku sudah kelewatan kali ini. Well, aku kan bertanggung jawab atas dirimu, setelah menyanggupi permintaan orangtuamu untuk menjaga putri mereka yang cantik ini. Aku hanya ingin mesra-mesraan denganmu” Katanya lembut.
“Tidak, Dani. Kau tidak mengerti, maksudku… bukannya aku tidak menyukainya, bukan, bukan itu… aku suka kok, suka sekali… eh, maksudku aku suka kalau kau… err…” aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Tentu saja dia tidak mengerti kondisiku. Aku berdecak dan memalingkan wajahku dari tatapannya. Dani tersenyum melihatku.
“Bagaimana kalau kita keluar dan makan siang? Sudah lama sekali kita tidak keluar bersama” Kata Dani sambil mencubit pipiku. Aku senang dia tidak menghiraukan kelakuan anehku.
“Oke,” Kataku. Aku bangkit dari sofa dan bergegas menuju kamarku, membuka lemari dan mencari pakaian yang pantas—cukup pantas untuk jalan dengan Dani. Aku memilih sebuah camisole sepaha warna abu-abu dan celana panjang hitam.
“Terimakasih kau sudah mau menghargai keberadaannku” Kata Cesc, entah dari mana sumber suaranya.
“Yeah,” Jawabku dengan nada jengkel. “Keluarlah, aku mau ganti baju” Pintaku dengan nada dingin. Aku sedang tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Aku ingin segera keluar dan mesra-mesraan dengan Dani. Padahal tadi aku merindukan Cesc tapi sekarang kehadirannya adalah yang paling tidak kuinginkan.
“Oke. Dan jangan lupa kerja part timemu jam dua siang”
“Ugh!” Kenapa hari ini Cesc jadi sangat menjengkelkan? Memang benar aku nanti harus masuk kerja, dan tidak bisa disalahkan juga kalau dia mengingatkan aku. Tapi mengapa disaat Dani mengajakku jalan-jalan? Aku sempat berpikir untuk minta libur satu hari pada Dann, tapi kemudian Cesc menjawab pernyataan di kepalaku seolah dia bisa membaca pikiranku seperti si-vampir Dwight. Oh, ya benar! Hari ini Cesc sama menjengkelkannya dengan vampir itu.
“Kemarin kau sudah libur karena toko tutup, jangan harap Dann mau memberimu libur hari ini”
“Aku tahu! Pergilah!” Sekarang aku mulai membentak. Kemudian aku mengganti T-shirt longgar dan celana pendekku dengan camisole pilihanku tadi. Aku bercermin sebentar, melihat sosokku di kaca. Aku sempat berpikir apakah aku seharusnya membawa baju ganti untuk kupakai waktu kerja nanti, tapi segera kuurungkan karena Dani pasti curiga kalau aku membawa tas besar. Aku tidak mau dia tahu tentang pekerjaanku dan melarangnya. Pekerjaanku baik-baik saja menurutku, dan menyenangkan. Lagipula camisoleku pantas kok untuk ukuran pekarjaanku. Aku kemudian menyisir rambutku cepat-cepat, memoleskan sedikit bedak padat dan memakai lip balm sekadarnya. Aku kemudian keluar kamar dan menemui Dani di ruang tengah. Dia tersenyum manis dan meraih kedua tanganku, menggenggamnya dengan lembut. Aku membalas senyumannya, walau aku tahu pasti senyumanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
“Kau cantik sekali, seharusnya aku tidak pakai T-shirt hari ini” Kata Dani. Aku meringgis, bukannya tidak suka dibilang cantik, tapi seumur hidupku yang pernah memujiku cantik hanya Dani dan ibuku. Pastilah aku cantik sekali.
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Itu berarti aku hanya punya waktu kurang dari dua jam setengah bersama Dani. Aku mendesis pelan. Aku tidak suka waktuku bersama Dani dibatasi. Dani mulai menyalakan mesin mobilnya, deru ringan Aston Martin silvernya mengantar kami menuju jalan besar.
“Bagaimana VW barumu?”
“Keren, semua teman di kampusku melongo memandangnya”
“Masa?”
“Yep. Mereka tidak menyangka aku yang membawa mobil itu” Dani tertawa sejenak mendengar penjelasanku.
“Jadi, mau kemana kita hari ini?” Tanya Dani.
“Kan kau yang mengajakku” Jawabku.
“Kau boleh memutuskan, tentu saja. Tapi aku lapar sekali, bagaimana kalau kita makan dulu?”
“Oke,” Aku juga lumayan lapar. Aku langsung merancang ide agar aku tetap tidak terlambat kerja. Tempat apa yang tidak terlalu jauh dari kedai Dann? Tiba-tiba bola lampu terasa menerangi rongga kepalaku yang kosong.
“Eh, Dani, setelah makan nanti, aku ingin sekali mengunjungi stadion besar yang di Ashburton itu. Kau mau menemaniku kan?” Tanyaku dengan nada suara manja. Aku mengernyit jijik setelahnya. Aku tidak akan pernah bicara dengan nada seperti itu lagi seumur hidupku.
“Stadion? Oh, Emirates ya? Tentu saja aku akan menemanimu kemanapun yang kau mau, Sayang” Jawab Dani.
“Asyik!” Aku mungkin akan muntah nanti saat teringat suara yang kuhasilkan saat ini. Tidak apa-apa, aku harus tetap bermanja-manja dengannya. Satu hari ini sedikit berakting tidak masalah.
“Tapi, sejak kapan kau suka sepakbola?” Tanya Dani.
“Err… aku hanya ingin tahu seperti apa stadionnya, temanku—teman kuliahku fan Arsenal, dia shock berat saat kukatakan aku bahkan tidak tahu apa itu Arsenal. Lalu dia langsung menjelaskan tentang empat klub besar yang ada di London. Well, aku lupa apa saja nama-namanya, tapi seingatku dia bilang empat. Dan dia bilang stadion yang itu adalah yang termewah di sini” Jawabku. Kali ini aku tidak bohong, well, kecuali bagian ‘teman kuliah’. Karena faktanya, aku sama sekali tidak punya teman disana. Dan aku tidak yakin akan mendapatkan teman baru dalam waktu dekat menilik sikap teman sekelasku yang kelewatan saat melihatku mengendarai VW baru.
“Arsenal, Chelsea, Tottenham dan West Ham, sebenarnya ada Fulham juga” Jelas Dani.
“Kau tahu!”
“Yeah, sepakbola sangat terkenal di sini, Carla,” Kata Dani.
“Kupikir isi kepalamu hanya balap” Ejekku.
“Kau salah! Ada satu lagi, kau tahu itu” Kata Dani, sepertinya dia tidak suka aku menyimpulkan isi kepalanya. Aku berpikir sejenak sambil mengernyitkan dahi. Memangnya apa lagi yang begitu dicintainya selain motor? Dan kemudian aku sekali lagi merasakan ada sebuah bola lampu yang menyala di kepalaku, dan sekaligus aku merasakan pipiku membara. Aku melirik Dani, dan dia melirikku sesekali dalam frekuensi tertentu antara jalan di depan dan aku, menanti kesimpulanku yang baru.
“Aku” Gumamku sambil menunduk, menghindari pandangannya.
“Tepat,” Katanya sambil tersenyum.
***
Kami tiba di sebuah restoran Italia di pusat kota. Dani memarkirkan mobilnya dengan anggun, kami keluar bersamaan, dan kemudian Dani menghampirku. Dia menarik tanganku, menyisipkan jemarinya di sela-sela jari tanganku, meremasnya lembut. Kami berjalan berdampingan seperti sepasang kekasih—diluar kenyataan bahwa kami memang sepasang kekasih.
Restoran Italia itu didominasi warna kayu yang elegan, terkesan sangat nyaman sekaligus formal. Padahal aku akan lebih menikmati waktu dengannya kalau kami makan di restoran fast food, Mc. D misalnya? Kenapa dia senang sekali membawaku ke tempat seperti ini sih?
Salah seorang pelayan datang menghampiri kami, membimbing kami mencari meja untuk dua orang, setelah sampai, dia lalu memanggil rekannya untuk membawakan kami buku menu dan dua gelas kecil welcome drink. Astaga, buku menunya tebal sekali. Dani kemudian meminta waktu untuk kami memesan, dan kedua pelayan itupun pergi. Syukurlah, aku tidak suka diperhatikan mereka saat memilih makanan, sangat tidak nyaman rasanya. Aku sempat memandang sekeliling, ada beberapa meja kosong dan sisanya terisi, walau tidak penuh. Di sudut sebelah kanan aku melihat sekelompok cewek-cewek yang sedang mengobrol seru. Kurasa usia mereka sebaya denganku. Dari penampilan mereka, well, mudah sekali menyimpulkan mereka adalah sekelompok anak orang kaya.
“Aku sering sekali makan disini dengan Mr Puig, masakannya enak-enak. Pilih saja yang kau suka, Sayang” Kata Dani sambil menyerahkan buku menu yang sudah dia bukakan untukku, bagian main course. Aku mulai melihat-lihat nama masakannya. Apa? Ya tentu saja pasta, ini kan restoran Italia. Ada banyak sekali nama, aku sampai pusing melihatnya.
“Kau sering datang ke tempat ini dengan Mr Puig atau dengan simpananmu?” Aku sudah pusing melihat daftar menunya yang kelewatan dan menunggu Dani menawarkan salah satu menu untukku. Dani yang sedang asyik membaca buku menunya tersentak ke depan dan langsung melirik kearahku dari balik alisnya yang tebal.
“Hah?”
“Kok malah ‘hah?’ Aku kan bertanya,” Kataku meledeknya.
“Apa maksudmu dengan ‘simpanan’ sih? Kau pikir aku berselingkuh ya?” Tanya Dani sambil meringgis, tersenyum sangat lebar hampir tertawa, well, kurasa dia memang menahan tawa, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
“Yeah, mana aku tahu kan kau punya simpanan atau tidak, kurasa gadis London cantik-cantik, aku kecewa kalau tidak ada yang menarik perhatianmu” Kataku sambil menyembunyikan wajahku dibalik buku menu, pura-pura membaca. Dani kemudian menurunkan buku menu itu dari tanganku, dan menatap wajahku dengan ekspresi bingung.
“Sudah menentukan kau mau makan apa?”
“Pilihkan saja satu untukku, aku bingung” Jawabku sambil meletakkan buku menu itu di meja.
“Kau tidak suka kita makan di sini? Kita bisa pindah kemana saja yang membuatmu nyaman,” Kata Dani. Sepertinya dia pikir aku merasa tidak nyaman di tempat yang benar-benar nyaman ini.
“Aku kan minta kau pilihkan aku satu, apa itu salah?” Tanyaku balas menatapnya bingung. “Tempat ini baik-baik saja,” Tambahku.
“Kukira kau tidak suka, habis kau mulai bicara aneh. Mmm, kalau begitu kupesakan Fusilli oke? Fusilli disini benar-benar enak, aku jamin kau pasti suka. Appetizer-nya Fonduta Soup saja, dan kau mau memilih dessert-nya?” Kata Dani. Aku bengong sesaat. Kupikir makan yang pakai tiga hidangan hanya saat formal dine.
“Dessert? Well, aku tiramisu saja” Kataku kemudian. Dani segera memanggil pelayan yang langsung datang menghampiri meja kami, aku memerhatikannya saat mulai bicara dengan pelayan sambil menunjuk-nunjuk buku menu. Saat pelayan pergi dan meminta kami menunggu sepuluh menit, aku melanjutkan aktingku.
“Tadi kau bilang aku mulai bicara aneh, memangnya apa yang aku bicarakan?” Tanyaku.
“Well, tadi kau mulai bicara tentang gadis-gadis London dan simpanan. Itu aneh menurutku,” Kata Dani enteng.
“Masa sih aneh? Aku kan cuma bertanya siapa tahu kau punya pacar selain aku…” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Dani menyerocos.
“Oh, Carla, hentikan. Memangnya aku kurang menyatakan cintaku padamu ya? Sampai-sampai kau bilang begitu padaku. Sumpah, aku tidak—sama sekali tidak punya pacar selain kau, tentu saja”
“Masa sih? Oh, Dani! Aku kecewa! Kupikir kau sudah cukup populer dan tampan!” Kataku dengan ekspresi meremehkan. Dani mengernyitkan wajahnya aneh.
“Apa sebenarnya yang kau maksudkan sih?” Dani mulai tidak sabar melihat sikapku hari ini.
“Well, aku mau mengaku padamu… kuharap kau bisa menerimanya dengan lapang dada,” Kataku sok serius. Dan Dani benar-benar menatapku dengan serius.
“Apa tepatnya yang ingin kau bicarakan?”
“Ehm… aku… kurasa aku sedang jatuh cinta pada seorang cowok… well, itu normal kan?” Kataku dengan nada enteng. Aku langsung melihat dampak dari kata-kataku. Mata Dani membelalak kaget. Bibirnya terbuka. Matanya awas.
“A… apa maksudmu, Carla?” aku membalas tatapannya. “kau tidak mencintaiku lagi?” Tanya Dani dengan wajah pucat pasi. Seolah-olah hal yang paling ditakutinya di dunia baru saja terjadi.
“Kau bilang aku tidak mencintaimu lagi?” Tanyaku tak percaya.
“Kau yang bilang kau baru saja jatuh cinta dengan orang lain!” Dani berusaha meredam emosi yang tiba-tiba berkecamuk di dadanya dengan memelankan suaranya hingga nyaris seperti desisan.
“Kalau aku bilang ‘ya’, apa kau mau mengalah untuknya?” Tantangku. Matanya membelalak kaget, ekspresinya tak terbaca. Matanya menatap wajahku lekat-lekat.
“Siapa? Siapa sebenarnya yang kita bicarakan ini?” Tanya Dani. Matanya nanar dan sarat akan kepedihan. Oh, aku jadi tidak tega melihatnya. Apa kuhentikan saja?
“Err… Dani, jangan dianggap serius…” Sekarang aku malah bingung sendiri bagaimana cara mengakhiri sandiwara kecilku ini. Dani tidak mendengarkanku. Matanya masih menatapku lekat-lekat. Ekspresinya tak terbaca.
“Siapa Carla? Siapa yang membuatmu jatuh cinta?” Tanya Dani. Suaranya agak gemetar, aku bsa merasakannya. Oh, apa yang harus aku lakukan?
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dua orang pelayan datang membawakan pesanan kami, menatanya di meja, kemudian beranjak pergi dengan wajah penuh senyum, berbanding terbalik dengan wajah Dani-ku. Yang masih menatapku serius.
“Tidak ada,” Jawabku sambil mengangkat sebuah garpu dengan perlahan.
“Tidak ada?”
“Tidak ada yang membuatku jatuh cinta, Dani. Aku hanya bercanda tadi…” Aku jadi menyesal saat mengatakannya. Aku menunggu perubahan ekspresi wajahnya, tapi tak terjadi apapun.
“Well, maafkan aku sebelumnya…” Malah jadi aku yang sulit berkata-kata. “aku hanya ingin tahu bagaimana sikapmu seandainya kita tidak bisa bersama lagi…”
“Apa maksudmu kita tidak bisa bersama lagi?”
“Seandainya, Daniel!” aku berhenti sejenak, memikirkan kata-kata yang baru saja aku katakana. Seandainya. Seandainya aku berpisah dengan Dani… Seandainya itu benar terjadi, kurasa aku lah yang paling kacau. Lalu beberapa minggu kemudian aku melihat siaran balap dan sudah ada yang menggantikan posisiku. Dani sudah bisa—sudah pasti mendapatkan penggantiku, sementara aku? Depresi berat? Entahlah, untuk membayangkannya saja nyaliku tak cukup. Aku memepertegas halusinasi di kepalaku. Pacar baru Dani… Ugh! Kenapa yang terbayang olehku adalah Yvette?! Yvette adalah teman masa kecil Dani. Keluarga Dani sendiri sudah menganggapnya bagian dari mereka. Beruntung sekali gadis itu, menghabiskan masa kecil dengan Dani-ku, tumbuh bersama Dani. Aku tidak berani menanyakan apa saja yang mereka sudah lakukan bersama. Atau lebih tepatnya seberapa banyak yang sudah mereka lalui berdua.
Kalau menurut penilaianku, kurasa, orang tua Daniel mengira pada akhirnya Daniel dan Yvette akan bersama. Well, sebelum Dani bertemu denganku. Dan Daniel, memang sangat dekat dengan Yvette. Mereka tumbuh bersama, dan Yvette tahu tentang balap sebanyak yang Dani tahu. Itu hal yang paling membuatku cemburu.
“Jadi yang tadi itu tidak benar-benar terjadi…”
“Ya tentu saja, sudah kubilang kan? Aku hanya ingin tahu…” Kataku sambil mengulurkan tanganku untuk membelai pipnya. “kaulah satu-satunya yang membuatku jatuh cinta” Wajahku pasti sudah merah padam sekarang. Ekspresi wajahnya melunak, bahunya yang sempat tegang jadi lebih rileks, kemudian Dani menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Menghela napas panjang.
“Kau mau memaafkan aku kan? Aku sangat menyesal… kupikir kau tidak akan benar-benar menaggapiku” Aku benar-benar menyesal mengatakannya. Karena kata-kataku malah mengingatkanku pada Yvette.
“Oh, Carla! Berjanjilah padaku, jangan pernah melakukannya lagi,” Desahnya. “kau hampir membuatku pingsan”
“Oh, ayolah Dani! Seharusnya kan kau yang mengaku padaku kau punya pacar selain aku” Desahku.
“Hentikan, Carla! Kenapa kau ingin sekali aku memiliki orang lain?” Aku terdiam sejenak meresapi kata-katanya. Mengapa? Tentu saja…
“Karena aku sangat… biasa saja untukmu, yeah, terlalu biasa saja…” Aku hampir terjatuh dari kursi saat memikirkannya. Inikah alasanku? Alasan mendasar aku menanyakannya macam-macam. Kebiasaanku. Kalau dibandingkan dengan Yvette yang mengerti balap… kalau dibandingkan kelompok cewek-cewek di meja sudut itu… aku benar-benar sangat biasa.
Dani merunduk ke arah meja, mendekatkan wajahnya denganku, manatap kedua mataku lekat-lekat.
“Kau luar biasa, Carla. Jangan pernah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain, kau harusnya menyadari hal ini; kau sangat luar biasa untukku, itulah mengapa kau yang sekarang duduk di sini, bukannya cewek lain” Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menitikkan air mata mendengar kata-kata Dani. Dia terlalau berlebihan mencintaiku. Aku tidak akan sanggup menerima cintanya yang begitu besar.
“Daniel…” Desahku. “Jangat membuatku manja”
“Tidak apa-apa, Sayang. Beranja-manjalah padaku” Kata Dani lembut, kembali ke posisi duduk awalanya, mengambil sendok dan garpu. “Makanlah, Sayang. Apakah aku harus menyuapimu juga?” Ledeknya. Dani merebut garpu yang sedang kugenggam.
“Bukan itu yang aku maksud dengan manja tadi!” Kataku kesal, aku sama sekali tidak suka manja yang seperti ini. Aku merebut kembali garpuku, mulai menusuk-nusuk Fusilli dari piring. Manja yang aku maksud adalah rasa ketergantungan berlebihan terhadap suatu objek. Seolah-olah kau tidak akan sanggup melewati satu hari saja—atau yang lebih parah, tidak bisa melakukan apapun tanpa ada si-objek. Itu benar-benar manja yang tidak sehat. Apakah aku sudah terjebak dalam taraf itu kepada Dani? Bisa saja terjadi, kalau dia memperlakukan aku bak puteri begini.
“Manja yang manapun, aku tidak peduli. Asalkan kau hanya melakukannya padaku” Kata Dani.
“Aku sungguh tidak pernah terbayang yang lain-lain” Jawabku dengan yakin. Tentu saja, tidak ada yang lain. Hanya ada Dani. Kelegaan merayap ke seluruh tubuhku. Aku menusuk Fusilli saus carbonara itu dan menyuapkannya ke mulutku. Mengunyahnya pelan sambil memerhatikan Dani yang sedang menyesap supnya. Ya, tentu, hanya ada Dani dan aku. Aku tak peduli yang lainnya.
Sabtu, 05 Juni 2010
Sabtu, 29 Mei 2010
Extra Freak on A Stick
Otak gua mampet. Hampir beberapa hari belakangan ini gua terus terusan keinget itu orang.
Udah lama banget ga ketemu, gua akuin, gua kangen.
Entah kenapa-entah bagaimana, hal-hal di sekitar gua justru memperparah keadaan.
Gua pasti langsung ngelongok ke arah jalan pas liat mobil-tipe sama-dengan cat sama kayak mobil dia dan langsung mendem, menghela napas panjang atau ngga malah ketawa lirih pas gua tau itu bukan dia. Freak.
Gua ngangis pas denger lagu Wake Me Up When September Ends-nya Green Day. Itu adalah lagu kenangan gua sama dia. Gua yang bego sih, masa lagu sedih begitu dijadiin lagu kenangan. Abis mau gimana lagi, lagu itu ngingetin gua saat pertama kali gua ketemu dia. Waktu itu gua SMP kelas 3, lagi senggang dan mampir ke cafe punya nyokap. Waktu itu gua lagi doyan-doyannya sama Green Day dan iseng masang kaset itu di sound system, duduk di salah satu bangku sambil asik dengerin lagu-lagunya sambil nyanyi dalam hati, dan, tanpa sepengetahuan gua--dan waktu itu gua belom kenal, dia ikutan nyanyi, lagu Wake Me Up When September Ends. Man, i thought that must be love at the first sight.
Ini adalah pertama kalinya gua ngerasa 'beda' kepada orang lain. Dia lagi sendiri and when our eyes met, my fingers were shaking, i couldnt stop staring, dan parahnya gua sampe ga bisa bergerak, what a beauty.
Ga ngerti deh gua saat itu kenapa.
Sejak saat itu gua makin suka Wake Me Up When September Ends, dan makin sering main ke cafe nyokap cuma buat ngerasain keringet dingin-tangan dingin dan jantung degdegan pas liat dia. Walaupun dia lebih sering dateng dan nongkrong bareng temen-temennya. Its ok, gua bisa liat dia aja udah cukup. Ekstra cukup ditambah bisa ngeliat dia ketawa sama temen-temennya. I wish i were there. On their table, ketawa sama-sama.
Dan sekarang, ketika semuanya udah selesai, gua cuma bisa nangis pas denger lagu ini, kebayang semua kejadian yang pernah gua alamin sama dia. Geez. Double Freak.
Waktu nonton Celebrity dna di Trans TV, ada satu segmen dimana si Gilbert Marchianno dikejar banci sampe pucet dan lemes. What a coincident. Dia juga phobia banci. Langsung kebayang muka pucet dan keringet dinginnya pas ada bencong. Ekspresinya bikin gua ketawa garuk-garuk tanah. Apalagi pas abangnya dia bikin sureprise ulang tahun buat dia, pake ada bencongnya. Dia langsung ngacir kabur ke kamar dan banting pintu kayak cewe. One of thousands of our memories that i loves.
Triple Freak
Yang terakhir. Dia adalah orang yang menginspirasi gua untuk fanfic Another Love Story. Gua ngambil segala kebaikan dia dan gua masukin ke tokoh Daniel. He taught me so much about love, caring, sacrifices, Oh My Fuck God, gua selalu inget dia pas ngetik cerita ini. Terus terang, gua ga tau harus gimana. Every part yang ada Danielnya, gua inget dia. Kayak ada lobang di dada gua. Sakit.
Oh shit gua nangis lagi. Quadruple Freak.
Gua cuma pengen bilang. Man, lo adalah orang yang luar biasa hebat. Lo bisa bikin gua super bahagia sampe ga bisa tidur dan lo juga bisa bikin gua depresi sampe pengen mati. What a great guy.
Dan gua sayang sama dia. Kalau aja dia minta gua buat nunggu, gua pasti nunggu. Pasti. Gua masih pengen ketawa-ketawa, nyanyi-nyanyi, nonton bola bareng, semuanya sama dia. Gua ga tau gimana caranya ngehapus kenangan-kenangan yang udah terlanjur gua simpen. Extra Freak on a Stick.
Udah lama banget ga ketemu, gua akuin, gua kangen.
Entah kenapa-entah bagaimana, hal-hal di sekitar gua justru memperparah keadaan.
Gua pasti langsung ngelongok ke arah jalan pas liat mobil-tipe sama-dengan cat sama kayak mobil dia dan langsung mendem, menghela napas panjang atau ngga malah ketawa lirih pas gua tau itu bukan dia. Freak.
Gua ngangis pas denger lagu Wake Me Up When September Ends-nya Green Day. Itu adalah lagu kenangan gua sama dia. Gua yang bego sih, masa lagu sedih begitu dijadiin lagu kenangan. Abis mau gimana lagi, lagu itu ngingetin gua saat pertama kali gua ketemu dia. Waktu itu gua SMP kelas 3, lagi senggang dan mampir ke cafe punya nyokap. Waktu itu gua lagi doyan-doyannya sama Green Day dan iseng masang kaset itu di sound system, duduk di salah satu bangku sambil asik dengerin lagu-lagunya sambil nyanyi dalam hati, dan, tanpa sepengetahuan gua--dan waktu itu gua belom kenal, dia ikutan nyanyi, lagu Wake Me Up When September Ends. Man, i thought that must be love at the first sight.
Ini adalah pertama kalinya gua ngerasa 'beda' kepada orang lain. Dia lagi sendiri and when our eyes met, my fingers were shaking, i couldnt stop staring, dan parahnya gua sampe ga bisa bergerak, what a beauty.
Ga ngerti deh gua saat itu kenapa.
Sejak saat itu gua makin suka Wake Me Up When September Ends, dan makin sering main ke cafe nyokap cuma buat ngerasain keringet dingin-tangan dingin dan jantung degdegan pas liat dia. Walaupun dia lebih sering dateng dan nongkrong bareng temen-temennya. Its ok, gua bisa liat dia aja udah cukup. Ekstra cukup ditambah bisa ngeliat dia ketawa sama temen-temennya. I wish i were there. On their table, ketawa sama-sama.
Dan sekarang, ketika semuanya udah selesai, gua cuma bisa nangis pas denger lagu ini, kebayang semua kejadian yang pernah gua alamin sama dia. Geez. Double Freak.
Waktu nonton Celebrity dna di Trans TV, ada satu segmen dimana si Gilbert Marchianno dikejar banci sampe pucet dan lemes. What a coincident. Dia juga phobia banci. Langsung kebayang muka pucet dan keringet dinginnya pas ada bencong. Ekspresinya bikin gua ketawa garuk-garuk tanah. Apalagi pas abangnya dia bikin sureprise ulang tahun buat dia, pake ada bencongnya. Dia langsung ngacir kabur ke kamar dan banting pintu kayak cewe. One of thousands of our memories that i loves.
Triple Freak
Yang terakhir. Dia adalah orang yang menginspirasi gua untuk fanfic Another Love Story. Gua ngambil segala kebaikan dia dan gua masukin ke tokoh Daniel. He taught me so much about love, caring, sacrifices, Oh My Fuck God, gua selalu inget dia pas ngetik cerita ini. Terus terang, gua ga tau harus gimana. Every part yang ada Danielnya, gua inget dia. Kayak ada lobang di dada gua. Sakit.
Oh shit gua nangis lagi. Quadruple Freak.
Gua cuma pengen bilang. Man, lo adalah orang yang luar biasa hebat. Lo bisa bikin gua super bahagia sampe ga bisa tidur dan lo juga bisa bikin gua depresi sampe pengen mati. What a great guy.
Dan gua sayang sama dia. Kalau aja dia minta gua buat nunggu, gua pasti nunggu. Pasti. Gua masih pengen ketawa-ketawa, nyanyi-nyanyi, nonton bola bareng, semuanya sama dia. Gua ga tau gimana caranya ngehapus kenangan-kenangan yang udah terlanjur gua simpen. Extra Freak on a Stick.
Rabu, 12 Mei 2010
FanFiction: The Lion's Call
Disclaimer: I Own NOTHING
Chapter 2
"Dimana kita, Pete?" Tanya Edmund. Sementara saudara laki-lakinya terus memutar tubuhnya kesana kemari. Mendapati pemandangan di sekitarnya berubah drastis. Ruang perpustakaan yang ramai sepulang sekolah itu lenyap, seolah memang tak pernah ada sebelumnya. Melainkan sebuah padang rumput dan sinar matahari menyengat, tengah hari.
"Menurutmu?" Peter Pevensie menaikkan kedua alisnya menatap Edmund.
"Narnia?" Gumam Edmund. "tapi kita baru saja kembali kemarin!"
"Yeah, dan bukankah Aslan bilang aku tak akan kembali lagi? Aku tak mengerti Ed" Jawab Peter.
Edmund melepas mantel seragamnya, merasa saat ini bukanlah cuaca yang tepat untuk berpakaian tebal.
Keduanya terdiam sesaat sebelum mereka memutuskan untuk berjalan ke Timur.
"Di Narnia bagian mana ini? Aku tak ingat ada padang rumput seluas ini?" Tanya Edmund yang hanya di jawab oleh gelengan kepala oleh saudaranya.
"Yang jelas kita harus segera berjalan ke pepohonan itu, matahari ini mulai menguapkan cairan tubuhku" Kata Peter sambil menunjuk ke arah pepohonan, sekitar satu kilo meter jaraknya. Perbatasan antara padang rumput ini dengan hutan lebat.
Mereka sampai di deretan pepohonan dan langsung merebahkan diri ditengah bayang-bayang teduh pohon-pohon rindang.
"Oh Ed. Aku harap aku bawa botol minum sialan itu" Gumam Peter sambil terengah-engah, merasakan mulut dan tenggorokannya yang kering. Ibunya pernah menyuruh mereka berempat untuk membawa botol air minum. Tapi karena merasa konyol, dan tidak sesuai dengan usia mereka yang telah remaja, hanya Lucy-lah yang membawanya kemana-mana.
Mereka memejamkan mata menikmati hembusan angin semilir yang menerpa wajah-wajah berkeringat mereka.
Sampai mereka mendengar bunyi sesuatu yang besar terjebur ke dalam air.
Suara air bergemuruh membuat kedua bersaudara itu tersenyum. Ada sungai, atau danau? Ah apa saja!
Dengan sigap mereka bangkit berdiri dan saling berpandangan beberapa saat dengan bahagia. Ternyata ada sumber air di dekat mereka.
Sampai suara lain yang datang berikutnya membuat wajah mereka mengejang.
"TOLONG!!" Pekik seseorang dari balik pepohonan rindang.
Peter dan Edmund membelalakkan mata kemudian segera berlari memburu kearah datangnya suara.
Setelah beberapa saat berlari mereka pun tiba di tepi sebuah danau yang besar, dikelilingi pohon-pohon rindang, dengan air bergemuruh yang disebabkan oleh seseorang di tengahnya meronta-ronta dengan panik, berusaha menggapai udara kosong dengan tangannya yang pucat. Jelas sekali dia butuh pertolongan, dan Edmund yang pertama kali menceburkan diri ke dalam danau dan kemudian diikuti Peter.
Mereka berenang dengan sigap dan sampai di tengah danau dalam waktu singkat.
"Aku mendapatkan mu! Aku mendapatkan mu!" Seru Edmund saat berhasil menggenggam lengan orang itu. Edmund melingkarkan lengannya di tubuh orang itu, memeluknya erat untuk menenangkannya.
"Tenanglah! Kau akan membuat kita berdua tenggelam! Mengapung bersamaku" Seru Edmund kesal karena orang yang baru di tolongnya tak berhenti bergerak-gerak tak beraturan, membuatnya kesulitan mengapung. Dia bahkan sempat ikut terseret masuk ke dalam air beberapa saat.
Peter yang datang kemudian menegakkan tubuh orang itu--yang ternyata perempuan, membuat kepalanya tetap di atas permukaan air.
Dengan sedikit kesulitan--karena si gadis terus meronta-ronta dengan panik, Peter dan Edmund akhirnya berhasil membawa gadis itu ke tepian danau.
Gadis itu terbatuk-batuk dan segera memuntahkan banyak sekali air dari dalam perutnya. Mereka berdua berjongkok disamping tubuh gadis itu dan Edmund berinisiatif untuk menepuk-nepuk punggung sang gadis, membatu memompa air keluar.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Peter saat gadis itu berhenti memuntahkan air dari mulutnya.
"Apakah aku terlihat baik-baik saja?" Jawab gadis itu. "aku hampir mati tenggelam dan menurutmu aku baik?" Jawab gadis itu sinis. Peter membelalakkan mata dan Edmund menggelengkan kepala.
"Maaf Nona, tapi aku dan kakak laki-lakiku baru saja menceburkan diri ke danau untuk menolongmu!" Ucap Edmund.
"Kau tahu Ed? Mungkin tadi lebih baik kita biarkan saja dia tenggelam," Sahut Peter dengan jengkel. Merasa yang dilakukannya dan Edmund sia-sia.
Untuk pertama kalinya, sang gadis mendongakkan kepala untuk melihat kedua sosok penyelamatnya. Dan membelalakkan mata, mengenali keduanya.
Selain jadi jauh lebih tinggi, dan garis wajah yang menegas karena usia, tak ada yang berubah dari kedua bersaudara ini setelah lima tahun tak bertemu.
"A... Astaga! Peter! Edmund Pevensie!" Seru gadis itu.
Diikuti tatapan takjub kedua Pevensie.
"Kau kenal kami?" Tanya Peter dan Edmund bersamaan.
Catatan Penulis:
Chapter 2 ini menyenangkan banget untuk diketik :3
kedua Pevensie's boys kompak nyelametin cewe yang tenggelam, walaupun akhirnya si cewe malah bersikap kurang menyenangkan.
Next chapter, masih akan menceritakan Pete dan Ed dan juga si cewe ini, siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia bisa ada di tempat ini--tenggelem pula. Hahahaa.
Chapter 2
"Dimana kita, Pete?" Tanya Edmund. Sementara saudara laki-lakinya terus memutar tubuhnya kesana kemari. Mendapati pemandangan di sekitarnya berubah drastis. Ruang perpustakaan yang ramai sepulang sekolah itu lenyap, seolah memang tak pernah ada sebelumnya. Melainkan sebuah padang rumput dan sinar matahari menyengat, tengah hari.
"Menurutmu?" Peter Pevensie menaikkan kedua alisnya menatap Edmund.
"Narnia?" Gumam Edmund. "tapi kita baru saja kembali kemarin!"
"Yeah, dan bukankah Aslan bilang aku tak akan kembali lagi? Aku tak mengerti Ed" Jawab Peter.
Edmund melepas mantel seragamnya, merasa saat ini bukanlah cuaca yang tepat untuk berpakaian tebal.
Keduanya terdiam sesaat sebelum mereka memutuskan untuk berjalan ke Timur.
"Di Narnia bagian mana ini? Aku tak ingat ada padang rumput seluas ini?" Tanya Edmund yang hanya di jawab oleh gelengan kepala oleh saudaranya.
"Yang jelas kita harus segera berjalan ke pepohonan itu, matahari ini mulai menguapkan cairan tubuhku" Kata Peter sambil menunjuk ke arah pepohonan, sekitar satu kilo meter jaraknya. Perbatasan antara padang rumput ini dengan hutan lebat.
Mereka sampai di deretan pepohonan dan langsung merebahkan diri ditengah bayang-bayang teduh pohon-pohon rindang.
"Oh Ed. Aku harap aku bawa botol minum sialan itu" Gumam Peter sambil terengah-engah, merasakan mulut dan tenggorokannya yang kering. Ibunya pernah menyuruh mereka berempat untuk membawa botol air minum. Tapi karena merasa konyol, dan tidak sesuai dengan usia mereka yang telah remaja, hanya Lucy-lah yang membawanya kemana-mana.
Mereka memejamkan mata menikmati hembusan angin semilir yang menerpa wajah-wajah berkeringat mereka.
Sampai mereka mendengar bunyi sesuatu yang besar terjebur ke dalam air.
Suara air bergemuruh membuat kedua bersaudara itu tersenyum. Ada sungai, atau danau? Ah apa saja!
Dengan sigap mereka bangkit berdiri dan saling berpandangan beberapa saat dengan bahagia. Ternyata ada sumber air di dekat mereka.
Sampai suara lain yang datang berikutnya membuat wajah mereka mengejang.
"TOLONG!!" Pekik seseorang dari balik pepohonan rindang.
Peter dan Edmund membelalakkan mata kemudian segera berlari memburu kearah datangnya suara.
Setelah beberapa saat berlari mereka pun tiba di tepi sebuah danau yang besar, dikelilingi pohon-pohon rindang, dengan air bergemuruh yang disebabkan oleh seseorang di tengahnya meronta-ronta dengan panik, berusaha menggapai udara kosong dengan tangannya yang pucat. Jelas sekali dia butuh pertolongan, dan Edmund yang pertama kali menceburkan diri ke dalam danau dan kemudian diikuti Peter.
Mereka berenang dengan sigap dan sampai di tengah danau dalam waktu singkat.
"Aku mendapatkan mu! Aku mendapatkan mu!" Seru Edmund saat berhasil menggenggam lengan orang itu. Edmund melingkarkan lengannya di tubuh orang itu, memeluknya erat untuk menenangkannya.
"Tenanglah! Kau akan membuat kita berdua tenggelam! Mengapung bersamaku" Seru Edmund kesal karena orang yang baru di tolongnya tak berhenti bergerak-gerak tak beraturan, membuatnya kesulitan mengapung. Dia bahkan sempat ikut terseret masuk ke dalam air beberapa saat.
Peter yang datang kemudian menegakkan tubuh orang itu--yang ternyata perempuan, membuat kepalanya tetap di atas permukaan air.
Dengan sedikit kesulitan--karena si gadis terus meronta-ronta dengan panik, Peter dan Edmund akhirnya berhasil membawa gadis itu ke tepian danau.
Gadis itu terbatuk-batuk dan segera memuntahkan banyak sekali air dari dalam perutnya. Mereka berdua berjongkok disamping tubuh gadis itu dan Edmund berinisiatif untuk menepuk-nepuk punggung sang gadis, membatu memompa air keluar.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Peter saat gadis itu berhenti memuntahkan air dari mulutnya.
"Apakah aku terlihat baik-baik saja?" Jawab gadis itu. "aku hampir mati tenggelam dan menurutmu aku baik?" Jawab gadis itu sinis. Peter membelalakkan mata dan Edmund menggelengkan kepala.
"Maaf Nona, tapi aku dan kakak laki-lakiku baru saja menceburkan diri ke danau untuk menolongmu!" Ucap Edmund.
"Kau tahu Ed? Mungkin tadi lebih baik kita biarkan saja dia tenggelam," Sahut Peter dengan jengkel. Merasa yang dilakukannya dan Edmund sia-sia.
Untuk pertama kalinya, sang gadis mendongakkan kepala untuk melihat kedua sosok penyelamatnya. Dan membelalakkan mata, mengenali keduanya.
Selain jadi jauh lebih tinggi, dan garis wajah yang menegas karena usia, tak ada yang berubah dari kedua bersaudara ini setelah lima tahun tak bertemu.
"A... Astaga! Peter! Edmund Pevensie!" Seru gadis itu.
Diikuti tatapan takjub kedua Pevensie.
"Kau kenal kami?" Tanya Peter dan Edmund bersamaan.
Catatan Penulis:
Chapter 2 ini menyenangkan banget untuk diketik :3
kedua Pevensie's boys kompak nyelametin cewe yang tenggelam, walaupun akhirnya si cewe malah bersikap kurang menyenangkan.
Next chapter, masih akan menceritakan Pete dan Ed dan juga si cewe ini, siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia bisa ada di tempat ini--tenggelem pula. Hahahaa.
Minggu, 09 Mei 2010
Get Married?
Just get back from my childhood-friend's wedding. Quite shocked by how the time passed so fast.
Shes just eight-teen and married. Dengan orang yang dia pilih sendiri. Ga ngerti juga gua, gimana dengan cepatnya dia bisa menentukan 'keputusan' seumur hidup itu.
I dont know how could she possibly give the trust to a boy to be her husban. To be her mate for the rest of her life. I just wonder how.
That doesnt mean i dont want to get married though. I want to. Of course i do lol
but for me, maybe i would need more time than she took to know if that boy is capable enough to be my leader. I mean, i dont want to get married for the second or third time just because we cant get through any longer because of our ego, because i believe youth means ego, and ego means trouble.
I want it just once, once for a life.
Sounds bit perfectionist i know. Ga ada seorangpun manusia yang pingin gagal. Kick me anyway thats ok. But thats me.
Pertanyaannya adalah, kira-kira kapan ya, gua bisa percaya sama sesorang buat menikah dan hidup sama-sama gua sampai mati? Hahahaa.
Shes just eight-teen and married. Dengan orang yang dia pilih sendiri. Ga ngerti juga gua, gimana dengan cepatnya dia bisa menentukan 'keputusan' seumur hidup itu.
I dont know how could she possibly give the trust to a boy to be her husban. To be her mate for the rest of her life. I just wonder how.
That doesnt mean i dont want to get married though. I want to. Of course i do lol
but for me, maybe i would need more time than she took to know if that boy is capable enough to be my leader. I mean, i dont want to get married for the second or third time just because we cant get through any longer because of our ego, because i believe youth means ego, and ego means trouble.
I want it just once, once for a life.
Sounds bit perfectionist i know. Ga ada seorangpun manusia yang pingin gagal. Kick me anyway thats ok. But thats me.
Pertanyaannya adalah, kira-kira kapan ya, gua bisa percaya sama sesorang buat menikah dan hidup sama-sama gua sampai mati? Hahahaa.
Sabtu, 08 Mei 2010
Fan Fiction: Another Love Story 7
Sendirian
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menghilangkan selubung perak dari mataku. Aku menolehkan wajah ke arah jam dinding. Pukul setengah sembilan. Aku tak pernah bangun jam segini, ingatku. Ini pasti gara-gara semalam, setelah pulang dari kedai--lembur pertamaku. Aku sampai di flat pukul sebelas malam, gara-gara pertandingan sepakbola sialan itu. Bagaimama tidak? Pertandingan itu sia-sia menurutku, karena hasilnya imbang, kosong-kosong untuk kedua tim. Setelah pulang pun aku tidak bisa langsung tidur nyenyak. Aku berulang kali memeriksa saluran air dan gas, mengecek kunci pintu dan jendela dan menutup semua stop kontak yang ada. Akt benar-benar melakukannya berulang kali. Aku tidak akan membiarkan Cesc mendapati flat kami hanya berupa serpihan puing gosong dan abu saat dia pulang nanti. Ditambah dengan cerita Dann tentang penghianatan salah seorang Pembersih membuat tidurku dipenuhi mimpi-mimpi aneh. Dalam mimpiku, aku melihat sekelompok orang menggunakan jubah hitam panjang berkerudung. Berjalan di padang rumput gelap... ada Cesc disana. Ada semuanya, mungkin lebih tepat. Ada Dann, Math, Darren dan Dween juga. Semuanya menatapku cemas, terutama Cesc.
'Pergi, Carla' Perintahnya dengan lirih. Setelah itu aku terbangun.
Aku masih mengantuk. Tapi aku terus berjalan ke dapur. Aku memandang sudut ruangan, tempat Cesc biasanya muncul. Dia tidak ada.
Aku kemudian menuang segelar susu yang aku ambil dari lemari es, meneguknya banyak-banyak. Dinginnya susu langsung merembes masuk ke dalam tubuhku. Ugh! Harusnya kupanaskan dulu sebentar. Aku jadi sakit perut dibuatnya.
Setelah menyelesaikan masalah dengan perutku, aku segera mandi dan bersiap pergi kuliah. Hari Senin. Hari yang dibenci banyak orang--dengan alasan yang tentunya berbeda. Aku juga sering kali kehilangan mood di hari Senin. Aku menjepit-jepit rambutku seadanya, tidak bisa dibilang rapih, tapi lumayan untuk hari yang menyebalkan. Aku menemukan surat tergeletak di depan pintu masuk saat hendaj membuka kuncinya. Sepertinya ada yang memasukannya dari lubang surat di pintu tadi malam. Kubolak-balik amplop biru tua itu, tapi tak kutemukan nama pengirimnya.
Kuputuskan untuk langsung membukanya saja. Kurobek sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas di dalamnya. Dan ada sebuah benda hitam dengan kilau keperakan jatuh berdenting dengan nyaring saat aku mengeluarkan kertasnya. Aku memungutnya. Eh? Ini kan...
Aku tersentak kaget mendapati benda itu adalah sebuah kunci, dengan logo VW besar terukir keperakan di tengah kepala kuncinya. Aku membolak-balik kunci itu dan tersadar. Dengan tergesa-gesa segera aku membuka kertas yang terlipat dua dan membaca surat yang tertulis dengan tulisan tangan yang kukenali di tengahnya.
Aku sudah bilang padamu mobilnya akan datang satu minggu lagi, tapi ternyata prosesnya tak sesulit yang kubayangkan. Aku sudah membuatkanmu SIM sekalian, mungkin akan dikirim besok pagi--kurasa. Cobalah berjalan-jalan sebentar, sudah lumayan lama kau tidak menyetir kan? Lakukanlah di sekitar flatmu saja, ok?
Aku mencintaimu,
D
Ini tulisan tangan Daniel. Aku mengenalnya dengan baik. Dan kunci ini tentu saja...
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengunci pintu flatku dan berlari menuruni tangga. Dan benar saja. Sebuah mobil terparkir dengan indahnya didepan tembok pagar gedung flat. Aku terbengong-bengong melihat kilauannya yang diterpa sinar matahari. Warnanya biru--khas sekali, aku tahu warna pilihan Dani tak mungkin jauh dari silver dan biru.
Aku memandangi lagi suratnya yang masih kugenggam dengan erat di tanganku saking syoknya. 'Aku sudah membuatkanmu SIM sekalian, mungkin akan dikirim besok pagi--kurasa'
Bagaimana mungkin dia membuatkan aku SIM? Aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran. Hanya dua hari, dengan hanya dua hari dia mengirimkan aku ini?
Dia bahkan--yang aku tidak tahu bagaimana caranya, membuatkan aku SIM-nya 'sekalian'!
Aku langsung merogoh ke dalam tas, mencari-cari handphoneku. Secepat kilat men-dial nomor handphone Dani.
"Halo?" Suaranya malas-malasan. Sepertinya dia masih tidur saat handphonenya berdering.
"Daniel!" Sambarku. Aku mendengar suara bergeletak. Aku yakin dia baru saja menjatuhkan handphonenya karena kaget. Seperempat detik kemudian dia mulai bicara.
"Carla? A-ada apa?" Tanya Dani.
"Bagaimana kau bisa membuatkan aku SIM?! Jangan bilang kau menyuap pegawai kepolisian!" Aku langsung menghakiminya.
"Aku tidak berbuat curang, Carla! Aku menggunakan data-data dari SIM lamamu" Dani menjelaskan.
"Oh, Daniel, aku tidak bodoh! SIM seharusnya dibuat oleh orang yang bersangkutan, bukan dibuat orang lain dengan alasan 'sekalian'! Ini melanggar hukum!" Aku makin marah. Aku yakin wajahku pasti jelek sekali saat ini.
"Astaga Carla, dengar dulu" Pintanya. Aku menghembuskan napas keras-keras. Suasana hening sesaat. Tapi jelas aku masih marah. Bagaimana mungkin dia melanggar hukum dengam alasan 'sekalian'? Yang benar saja!
“Aku minta maaf kalau caraku salah dimatamu, aku memang seharusnya memberi tahumu terlebih dahulu—aku lupa kau sangat… well, tapi, aku tidak mungkin melanggar hukum dengan sengaja, kau tahu itu. Aku menggunakan data-data orisinil yang aku dapatkan dari rumahmu, aku sama sekali tidak memalsukan atau semacamnya. SIM-mu—SIM Spanyol-mu masih berlaku sampai detik ini bahkan sampai tahun depan, itulah sebabnya mengapa prosesnya sangat cepat, mereka tidak membutuhkan datamu secara langsung karena memang kau sudah punya data-data itu” Dani menjelaskannya dengan perlahan dan lembut. Dia sama sekali tenang. Aku mungkin harus banyak belajar pengendalian diri darinya.
“Oh,” Aku bergumam pelan. Hatiku yang panas seolah tersiram semangkuk es krim. “Maaf, kalau begitu. Aku tidak tahu kalau… SIM-ku bisa digunakan” Suaraku serak.
“Tidak apa-apa, Carla. Seperti yang aku katakana tadi, harusnya aku bilang dulu padamu. Yah, tapi mungkin karena aku memang ingin sekali membereskan semua urusan itu sendirian…” aku merasa malu sekali. Aku benar-benar keterlaluan. Dani sudah mengurus semuanya untukku, bahkan ditengah-tengah jadwal balapnya, tapi apa yang aku lakukan? Membentaknya? Marah-marah lewat telepon saat dia bahkan baru bangun tidur. Kalau saja ada lubang menganga di depanku,.Ingin sekali aku mengubur diriku dalam-dalam dan menangis sejadi-jadinya, meratapi sikapku yang benar-benar tidak pantas untuknya. Aku benci hari Senin. Aku benci diriku sendiri.
“Terimakasih Dani,” Aku merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku. Untunglah suaraku masih terdengar normal. Aku berdeham beberapa kali untuk memastikan suaraku masih cukup layak untuk bicara dengannya.
“Tidak perlu, aku senang kau mau menerimanya” Katanya lembut. Kata-katanya yang selembut satin malah membuatku terpuruk. Aku merapatkan handphone itu ke dadaku, mencegahnya mendengar isakkanku. Aku berusaha mengendalikan tangisanku tapi gagal. Aku tidak mau ia mendengar tangisan bodohku, dan akupun memutus teleponnya. Kenapa aku jadi semakin cengeng dari waktu ke waktu? Dani mencoba menghubungi aku lagi namun tidak ku angkat. Aku masih sibuk meredakan tangisanku sendiri. Setelah yang ke tujuh kali ia meneleponku, aku memutuskan untuk mengiriminya pesan singkat.
‘Maaf, sinyalnya jelek sekali. Akan kuhubungi kau nanti’
Aku berbohong. Aku tidak berhasil menemukan kata-kata lainnya, maka ku tekan tombol SEND. Belum dua menit aku sudah mendapat balasannya.
‘Oh, tidak apa. Hubungi aku segera saat kau senggang. Kuharap kau tidak marah padaku. Aku mencintaimu’
Aku tidak membalas pesannya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku buru-buru menyeka air mataku yang berlinangan di pipi. Melangkah, menjejakkan kaki ke arah halte bus. Berharap dan berusaha agar di setiap langkah aku dapat membenahi suasana hatiku. Tidak sekalipun terpikir olehku untuk mengendarai VW itu tanpa SIM. Aku benar-benar kehilangan mood hari ini. Tapi itu bukan alasan bagus untukku membolos kuliah.
***
Aku turun di halte dekat Toserba di Ashburton siang hari setelah kuliah. Mendapati toko sedang tutup. Mengapa mereka menutup toko? Mendadak aku teringat Mathieu sedang pergi bersama Cesc dan yang lainnya ke Hungaria. Tapi, bagaimana dengan Abbey—teman baruku? Juga Danniene? Mereka kan tidak ikut pergi. Maksudku, setidaknya Dann memberitakuku dulu kalau memeng toko tutup hari ini. Aku mengambil handphoneku dari saku. Mungkin aku bisa menelepon Danniene dan menanyakan tentang toko yang tutup. Sudah sejak pagi aku tidak memeriksa handphoneku, karena aku mangaktifkan modus silent selama di kampus. Dan benar saja, ada empat puluh panggilan tak terjawab. Semuanya dari Dani. Apakah dia pikir aku sedang marah padanya? Yang seharusnya marah kan dia?
Aku kemudian membuka inbox-ku. Lebih parah, enam puluh dua pesan masuk. Semua pesan dari Dani kecuali satu. Ada satu dari Abbey.
‘Hari ini Dann tidak membuka toko, dia bilang ada keperluan’
Sangat pendek dan jelas. Aku yakin Abbey tidak berkirim pesan pendek dengan banyak orang. Aku kemudian mengetik balasannya Dann ada urusan? Mendadak pikiran konyol mengelitik otak-bagian-yang-berpikir-konyol-ku. Mungkin dia sedang berbelanja keperluan sihir dengan para penyihir-penyihir lainnya.
‘Terimakasih beritanya’. Walaupun aku sudah terlanjur sampai di sini, tapi tidak ada salahnya menghargai info darinya. Hari ini memang benar-benar menyebalkan. Tadi pagi aku memarahi Dani, terisak sepanjang jalan menuju kampus. Di kelaspun aku tidak bisa konsentrasi, dan sekarang? Aku bahkan tidak bisa menemui satu-satunya teman yang aku punya. Aku merasa ada seseorang yang mengutukku hari ini.
Aku kemudian membuka pesan-pesan dari Dani. Isinya kebanyakan sama;
‘Carla, kau sedang senggang sekarang? Kalau ya, hubungi aku’
‘Carla, bisa hubungi aku sekarang?’
‘Kenapa kau tidak mengengkat teleponku?’
‘Carla, beri tahu aku kau tidak marah’
‘Kau tidak marah padaku kan? Angkat teleponku kalau ya’
‘Oh, Carla! Kau mulai membuatku gila!’
Aku terkikik membaca pesan-pesannya. Sepuluh pesan terakhir kosong. Aku yakin dia frustasi berat karena tidak bisa menghubungiku hingga mengirim pesan-pesan kosong begitu. Sambil menunggu bus di halte aku men-dial nomornya. Belum sampai bunyi ‘ttuuuutt’ selesai berdengung satu kali, ia sudah mengangkat teleponnya.
“Oh, Carla!” Dia mendesis di ujung sambungan.
“Sudah ku bilang kan sinyalnya jelek?” Kataku.
“Kau hampir membuatku gila! Sekarang katakan padaku, kau memang sedang marah padaku kan? Jangan pernah berbohong tentang sinyal! London tidak pernah kehilangan sinyal sedetikpun!” Dani tahu aku berbohong.
“Aku tidak marah padamu! Aku hanya marah pada diriku sendiri,” Kataku. Aku mengakuinya. Aku memang marah pada diriku sendiri. Apa-apaan aku ini, tidak bisa mengendalikan diri, tidak berpikir jernih padahal hari masih pagi. Ditambah lagi, akhir-akhir ini aku luar biasa cengeng. Menagisi banyak hal, terutama kebodohanku dalam bersikap. Lama-lama aku bisa gila. Atau mungkin memang aku sudah benar-banar gila?
“Kenapa?” Tanya Dani.
“Tidak apa-apa, jangan dipikirkan, moodku hari ini jelek sekali… tunggu dulu! Kau harusnya kan sedang…” Daniel memotong kata-kataku.
“Tiga puluh menit lagi, kurasa” Jawabnya. Dia tahu aku bermaksud menanyakan balapnya. Aku tadi bermaksud menyaksikan balapnya dari TV di kedai, tapi ternyata kedai berikut toserbanya tutup.
“Kau harusnya bersiap-siap! Aku bersumpah tidak akan pernah menonton balapmu lagi kalau gara-gara telepon ini kau di-diskualifikasi!” Ancamku.
“Jadi kau benar tidak marah kan?” Tanya Dani.
“Aku tidak sama sekali” Jawabku penuh keyakinan.
“Oh, baiklah. Saksikan aku baik-baik, jangan katinggalan sedetikpun!” kemudian Dani memutus teleponnya. Aku mendesah pasrah. Tak lama kemudian bus datang, membawaku kembali ke flat.
Aku sampai di flat empat puluh lima menit berikutnya, mengunci kembali pintu masuk dan segera menuju ruang tengah untuk menyalakan TV. Memindahkan Channelnya ke Star Sport. Balapnya sudah mulai—tentu saja. Aku menjelajahi seluruh sisi layar, mencari sesosok tercintaku. Itu dia! Di urutan ke dua, motor biru mengilapnya sangat mudah dikenali. Lap ke sembilan. Aku menyaksikannya dengan saksama. Hampir tak berkedip. Dani meliukkan tubuhnya saat membelokkan motornya di sebuah tikungan tajam. Aku mengernyit ngeri melihatnya. Jujur saja, aku tidak terlalu menyukai balapan. Apa lagi balapan sepeda motor. Walaupun Dani memang terlihat sangat… menakjubkan saat sedang dalam balutan racing suit, tetap saja aku bergidik ngeri saat ia mulai melakukan manuver-manuvernya untuk meng-over take lawan. Alhasil, aku bisa dibilang lebih sering mendoakan agar ia tidak terjatuh dari motornya dan cedera dibanding mendoakannya memenangi sebuah race. Aku tahu pasti dia akan menertawakan aku karena sikapku yang over ini. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku lebih memilih berdoa agar dia bisa finish dengan selamat dibanding berdoa agar dia segera mengambil alih pimpinan lomba.
Lap sudah memasuki angkan dua belas, sudah separuh jalan. Tinggal dua belas setengah lap lagi. Oh, ya Tuhan, mengapa mereka menentukan banyak sekali lap! Dani masih di posisi ke dua, dan masih berupaya setengah mati untuk menyalip si motor berwarna hitam. Apa yang dia pikirkan sih? Posisi dua menurutku bukan pencapaian yang buruk! Berhentilah mempermainkan jantungku dan tetaplah menjalankan motor itu dengan layak! Kalau dia bisa menjawab, aku yakin dia pasti akan menjawab: ‘mengapa kau harus puas ada di posisi dua, padahal kau bisa jadi yang terdepan?’ yah, terserah saja dia mau bilang apa. Dasar maniak. Aku kembali menyaksikan balap dan jantungku berdenyut aneh setiap kali tikungan sempit—yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk Dani dan lawannya, sehingga jarak motor mereka terlampau dekat sampai terlihat bersentuhan. Jangan sampai mereka benar-benar besenggolan!
Pada dua lap terakhir Dani berhasil merangsek ke posisi terdepan. Entah harus kusyukuri atau tidak. Yah, paling tidak, itu hasil jerih payahnya. Kemenagan yang manis. Aku ikut tersenyum puas saat motor biru mengilapnya—yang mengingatkan aku pada si-VW baruku di bawah sana, menjejakkan bannya lebih dulu, kemudian selang dua detik diikuti si motor hitam. Dani melambai-lambai pada setiap sudut tribun penonton yang ikut bersorak dan bertepuk tangan untuknya. Walaupun ia masih memakai helm, aku tahu ia sedang tertawa puas. Setelah ini dia masih akan melakukan prosesi podium—serah terima piala, kemudian pers coference. Jadi kuputuskan untuk mengiriminya pesan singkat saja dibanding meneleponnya. Aku tahu dia pasti akan langsung meneleponku setelah membaca pesanku.
‘Selamat! Berjuang sampai akhir eh? Kau membuat jantungku bekerja ekstra! Tapi, tak apa, aku turut senang, setidaknya kau selamat sampai finish. Selamat sekali lagi, race yang menegangkan. Aku mencintaimu’
setelah menekan tombol SEND aku kembali terpaku pada layar TV. Melihat Dani sedang berpelukan dengan Mr Puig, lalu degan para staff mekaniknya. Kemudian dia membuka helmnya, rambutnya basah karena keringat tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan. Aku tahu dia pasti terlalu senang untuk merasa lelah. Setelah itu layar beralih ke podium. Serah terima piala dilakukan setelah memperdengarkan lagu kebangsaan sang juara, Spain’s Anthem—lagu kebangsaanku juga, diikuti dengan wine celebration. Saling semprot menyepmrotkan sampagne dari botol besarnya. Gambar close-up wajah Daniel hampir mengisi seluruh durasi sesi podium sampai pers conference. Aku yakin para penggemarnya yang ada di seluruh dunia sedang menjerit histeris karena bisa menyaksikan seluk beluk wajah Dani. Aku cukup bahagia ternyata cowok tampan yang wajahnya memenuhi layar TV itu adalah milikku. Kemudian acaranya berakhir setelah seluruh top three selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan seputar balap yang baru saja berlangsung. Dan benar saja, tak sampai lima menit, handphoneku berdering. Daniel.
“Hey!” Sapaku.
“Carla, terimakasih ucapannya. Aku senang sekali… dan tentu saja aku juga mencintaimu, Sayang” Katanya. Aura kebahagiaan jelas sekali tegambar dari suaranya.
“Tidak perlu berterimakasih segala, cepatlah berkemas dan kembalilah ke London secepat yang kau bisa” Pintaku. Tak tahan lagi rasanya aku melihat dia cengar-cengir di layar TV.
“Memaksaku nih?” Tantang Dani.
“Oh, well. Aku cuma ingin memastikan yang aku lihat di TV tadi, yang tebar-tebar pesona itu memang kau” Ledekku.
“Kau bilang aku apa?” Tanya Dani.
“Kau tebar-tebar pesona” Jawabku jengkel. Terus terang saja, aku tidak suka ia menyebarkan senyuman indahnya itu kepada orang lain. Egois betul aku.
“Haha, apa aku terlihat begitu? Memangnya apa yang seharusnya aku lakukan? Menangis? Kurasa aku akan kehilangan lebih dari separuh fans fanatikku kalau aku melakukannya” Katanya enteng. Seolah-olah kehilangan separuh fansnya bukan masalah.
“Yeah, kau benar, fansmu akan menganggapmu sinting kalau kau malah menangis bukannya tersenyum” Ledekku. “Dan aku yakin fansmu malah akan jadi anti-Dani karena kau cengeng. Maksudku, cewek kan tidak suka melihat cowok yang cengeng” Aku melanjutkan sepenuh hati. Senang sekali meledeknya saat suasanan hatinya sedang bagus begini.
“Oh, kau mulai meledekku… lihat saja pembalasanku nanti saat aku kembali ke London” Ancam Dani.
“Kutunggu,” Kataku penuh kebahagiaan. Kami tertawa bersama-sama.a
“Baiklah. Carla, aku masih harus melakukan banyak hal, jadi… bisa kita lanjutkan nanti?” Tanya Dani ragu-ragu. Aku tahu ia sebenarnya tidak ingin memutus teleponnya, sama sepertiku.
“Oh, tentu saja,” Jawabku segera.
“Sampai bertemu di London, kalau begitu,” Kata Dani kemudian.
“Yeah, sampai nanti” Sahutku. Aku senang sebentar lagi dia akan pulang.
“Aku mencintaimu, Sayang” Kata Daniel selembut satin.
“Aku juga” Jawabku kemudian. Menekan tombol END.
Malam itu aku tidur lebih cepat. Well, setelah benar-benar yakin aku sudah menutup saluran gas dan segala macam-macam yang lainnya, akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Tidak bisa dikatakan seratus persen nyenyak sih, karena aku bermimpi, mimpi aneh seperti malam pertemuan hantu lalu.
Aku melihatnya, Cesc berdiri ditengah padang rumput gelap. Wajahnya luar biasa tampan seperti biasa, namun ekspresinya tak dapat kubaca. Kali ini dia tak mengatakan apa-apa. Tapi sejurus kemudan dia lenyap tak berbekas. Aku panik dan memutar tubuhku, mencarinya di kegelapan padang rumput yang serasa tak berbatas. Tapi bukan Cesc yang kutemukan, melainkan tiga sosok berjubah hitam panjang berkerudung. Aku tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup kerudung. Tapi entah mengapa aku merasakan bahwa mereka akan menyerangku—walaupun aku sama sekali tidak tahu serangan seperti apa yang mungkin mereka lakukan. Tapi batinku mengatakan bahwa aku harus menyingkir dari hadapan mereka. Entah untuk alasan apa, aku merasa takut pada ketiga sosok itu. Persis saat ketakutan mulai merambati seluruh tubuhku, aku mendengar Cesc berbicara kepadaku. Atau lebih tepatnya memerintah.
‘Pergi Carla!’ desisnya. Aku terkesiap dan kemudian aku terbangun. Membuka mata lebar-lebar. Peluh bercucuran di tubuhku. Tadi itu… nyata sekali. Aku menyeka titik-titik air di dahiku. Ini kali kedua aku memimpikan Cesc. Latar tempatnya sama. Aku mengingatnya dengan jelas. Padang rumput gelap, wajah rupawannya dan… ketiga sosok misterius berjubah dan berkerudung hitam panjang. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku mulai bisa mengendalikan diriku selepas mimpi aneh barusan. Aku bangkit dari tempat tidurku dengan malas-malasan. Berjalan perlahan ke dapur, membasuh wajahku di bak cuci piring. Segar sekali raasanya. Aku kemudian mengambil dua buah telur dari dalam lemari es. Sarapan hari ini telur cepok saja lah.
Aku menatap sudut dapur saat mulai mengunyah telur goreng buatanku. Dia belum kembali. Ini hari ke dua. Dia bilang padaku hanya akan pergi selama satu sampai dua hari. Kapan tepatnya dua hari dari kepergiannya waktu itu? Aku mulai merasa kesepian. Rasanya ada yang kurang. Tidak ada aura dingin menyelimuti dapur. Tidak ada sapaan saat aku berjalan ke dapur di pagi hari. Tidak ada wajah tampannya. Aku menghela napas dan menghabiskan potongan terrakhir telur gorengku. Aku bergegas mandi dan berpakaian. Aku hanya ada satu kelas di hari Selasa, itu berarti setelah aku pulang kuliah, aku bisa langsung mencuci pakaian. Setelah itu baru kembalu lagi ke kedai untuk bekerja. Aku mengatur jadwal kegiatanku hari ini. Dan sekali lagi, aku menemukan amplop di bawah pintu masuk. Tidak ada surat. Hanya SIM-ku. Yak, bagus, itu berarti aku sudah bisa menggunakan Si-VW, yang berarti menghemat waktu perjalanan. Aku berjalan ke arah Si-VW biru mengilap, manjejalkan kuncinya dan men-sterter mesin. Suara mesinnya menderu tapi halus. Khas mobil-mobil keluaran anyar. Aku merogoh handphoneku dari dalam tas. Ucapan terimakasih kurasa perlu. Ingat kan? Aku harus mulai belajar berperilaku baik dan mengendalikan emosi.
‘Aku sudah terima SIM-nya, terimakasih.’ Aku tidak tahu sekarang Dani masih di Perancis atau malah sudah sampai London. Tapi kan balapnya baru kemarin, jadi kurasa dia masih di Perancis.
“Wah, jadi VW biru itu milikmu ya, Nak!” Kata seorang pria paruh baya dari atas beranda sebuah kamar di lantai dua. Aku tidak mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu ada orang lain yang tinggal di gedung ini, karena tempatnya memang sepi sekali. Aku mencoba bersikap ramah.
“Yeah, sebenarnya aku tidak terlalu suka warna biru sih” Jawabku.
“Biru bagus, omong-omong, aku tidak tahu ada anak orang kaya yang tinggal di tempat ini” Kata pria itu sambil memandang wajahku lekat-lekat. Aku heran apakah dia bisa membedakan wajah orang kaya dan yang bukan.
“Aku bukan anak orang kaya, tenang saja, ini bukan barang curian kok, ini hadiah” Jawabku saat menyadari spertinya pria itu tidak menemukan ‘wajah orang kaya’ dariku. Aku tertawa geli dalam hati.
“Oh well, itu berarti yang memberimu hadiahlah yang orang kaya—kaya banget memberikan VW pada orang lain. Aku benar-benar tidak mengerti pikiran orang kaya…” Gumamnya sambil kembali masuk ke kamarnya. Aku terkikik geli dan masuk ke dalam kabin VW yang nyaman, mulai mengoper gigi tanpa ragu. Karena mobil ini mudah sekali dikendarai ternyata. Aku jadi teringat Volvo tua milik ayahku. Mobil pertamaku. Aku melirik meteran bahan bakar dan ternyata full. Aku tiba di kampus sepuluh menit lebih awal. Tahu begini harusnya aku datang agak siang saja, menyadari tatapan-tatapan banyak orang saat aku memarkirkan mobil ini dengan mulus. Hebat juga aku, kupikir aku sudah lupa bagaimana caranya memarkir kendaraan. Aku kenal sebagian orang yang menatapku di tempat parkir, teman-teman sekelasku. Sepertinya mereka kaget, aku yang biasanya datang dan pulang dengan bus tiba-tiba membawa sebuah VW biru mengilap. Hah, dasar anak-anak orang kaya yang sok pintar. Mungkin aku harus lebih sering berterima kasih pada Dani, karena dengan begini setidaknya aku bisa sedikit pamer pada mereka.
Kelas berlalu tanpa masalah, wlaupun ada sebagian anak yang bisik-bisik di belakangku. Sepertinya mereka mendebatkan bagaimana mungkin seorang anak yang masuk kampus ini dengan jalan bea siswa sepertiku—yang biasa datang dan pergi dengan bus bisa mengendarai VW Golf R32 seharga dua puluh lima ribu pounds. Aku hampir saja tertawa saat salah seorang dari mereka menyimpulkan bahwa aku sebenarnya anak orang kaya yang pura-pura sederhana—seperti sebuah drama seri TV. Dan ada lagi yang mengatakan itu pasti mobil pinjaman. Oh, terserahlah. Aku jadi penasaran bagaimana ekspresi mereka kalau saja mobil yang dibelikan Dani untukku adalah sebuah Porsche. Mungkinkah mereka akan melompat dari gedung kampus saking shocknya? Kuharap.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menghilangkan selubung perak dari mataku. Aku menolehkan wajah ke arah jam dinding. Pukul setengah sembilan. Aku tak pernah bangun jam segini, ingatku. Ini pasti gara-gara semalam, setelah pulang dari kedai--lembur pertamaku. Aku sampai di flat pukul sebelas malam, gara-gara pertandingan sepakbola sialan itu. Bagaimama tidak? Pertandingan itu sia-sia menurutku, karena hasilnya imbang, kosong-kosong untuk kedua tim. Setelah pulang pun aku tidak bisa langsung tidur nyenyak. Aku berulang kali memeriksa saluran air dan gas, mengecek kunci pintu dan jendela dan menutup semua stop kontak yang ada. Akt benar-benar melakukannya berulang kali. Aku tidak akan membiarkan Cesc mendapati flat kami hanya berupa serpihan puing gosong dan abu saat dia pulang nanti. Ditambah dengan cerita Dann tentang penghianatan salah seorang Pembersih membuat tidurku dipenuhi mimpi-mimpi aneh. Dalam mimpiku, aku melihat sekelompok orang menggunakan jubah hitam panjang berkerudung. Berjalan di padang rumput gelap... ada Cesc disana. Ada semuanya, mungkin lebih tepat. Ada Dann, Math, Darren dan Dween juga. Semuanya menatapku cemas, terutama Cesc.
'Pergi, Carla' Perintahnya dengan lirih. Setelah itu aku terbangun.
Aku masih mengantuk. Tapi aku terus berjalan ke dapur. Aku memandang sudut ruangan, tempat Cesc biasanya muncul. Dia tidak ada.
Aku kemudian menuang segelar susu yang aku ambil dari lemari es, meneguknya banyak-banyak. Dinginnya susu langsung merembes masuk ke dalam tubuhku. Ugh! Harusnya kupanaskan dulu sebentar. Aku jadi sakit perut dibuatnya.
Setelah menyelesaikan masalah dengan perutku, aku segera mandi dan bersiap pergi kuliah. Hari Senin. Hari yang dibenci banyak orang--dengan alasan yang tentunya berbeda. Aku juga sering kali kehilangan mood di hari Senin. Aku menjepit-jepit rambutku seadanya, tidak bisa dibilang rapih, tapi lumayan untuk hari yang menyebalkan. Aku menemukan surat tergeletak di depan pintu masuk saat hendaj membuka kuncinya. Sepertinya ada yang memasukannya dari lubang surat di pintu tadi malam. Kubolak-balik amplop biru tua itu, tapi tak kutemukan nama pengirimnya.
Kuputuskan untuk langsung membukanya saja. Kurobek sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas di dalamnya. Dan ada sebuah benda hitam dengan kilau keperakan jatuh berdenting dengan nyaring saat aku mengeluarkan kertasnya. Aku memungutnya. Eh? Ini kan...
Aku tersentak kaget mendapati benda itu adalah sebuah kunci, dengan logo VW besar terukir keperakan di tengah kepala kuncinya. Aku membolak-balik kunci itu dan tersadar. Dengan tergesa-gesa segera aku membuka kertas yang terlipat dua dan membaca surat yang tertulis dengan tulisan tangan yang kukenali di tengahnya.
Aku sudah bilang padamu mobilnya akan datang satu minggu lagi, tapi ternyata prosesnya tak sesulit yang kubayangkan. Aku sudah membuatkanmu SIM sekalian, mungkin akan dikirim besok pagi--kurasa. Cobalah berjalan-jalan sebentar, sudah lumayan lama kau tidak menyetir kan? Lakukanlah di sekitar flatmu saja, ok?
Aku mencintaimu,
D
Ini tulisan tangan Daniel. Aku mengenalnya dengan baik. Dan kunci ini tentu saja...
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengunci pintu flatku dan berlari menuruni tangga. Dan benar saja. Sebuah mobil terparkir dengan indahnya didepan tembok pagar gedung flat. Aku terbengong-bengong melihat kilauannya yang diterpa sinar matahari. Warnanya biru--khas sekali, aku tahu warna pilihan Dani tak mungkin jauh dari silver dan biru.
Aku memandangi lagi suratnya yang masih kugenggam dengan erat di tanganku saking syoknya. 'Aku sudah membuatkanmu SIM sekalian, mungkin akan dikirim besok pagi--kurasa'
Bagaimana mungkin dia membuatkan aku SIM? Aku menggeleng-gelengkan kepala karena heran. Hanya dua hari, dengan hanya dua hari dia mengirimkan aku ini?
Dia bahkan--yang aku tidak tahu bagaimana caranya, membuatkan aku SIM-nya 'sekalian'!
Aku langsung merogoh ke dalam tas, mencari-cari handphoneku. Secepat kilat men-dial nomor handphone Dani.
"Halo?" Suaranya malas-malasan. Sepertinya dia masih tidur saat handphonenya berdering.
"Daniel!" Sambarku. Aku mendengar suara bergeletak. Aku yakin dia baru saja menjatuhkan handphonenya karena kaget. Seperempat detik kemudian dia mulai bicara.
"Carla? A-ada apa?" Tanya Dani.
"Bagaimana kau bisa membuatkan aku SIM?! Jangan bilang kau menyuap pegawai kepolisian!" Aku langsung menghakiminya.
"Aku tidak berbuat curang, Carla! Aku menggunakan data-data dari SIM lamamu" Dani menjelaskan.
"Oh, Daniel, aku tidak bodoh! SIM seharusnya dibuat oleh orang yang bersangkutan, bukan dibuat orang lain dengan alasan 'sekalian'! Ini melanggar hukum!" Aku makin marah. Aku yakin wajahku pasti jelek sekali saat ini.
"Astaga Carla, dengar dulu" Pintanya. Aku menghembuskan napas keras-keras. Suasana hening sesaat. Tapi jelas aku masih marah. Bagaimana mungkin dia melanggar hukum dengam alasan 'sekalian'? Yang benar saja!
“Aku minta maaf kalau caraku salah dimatamu, aku memang seharusnya memberi tahumu terlebih dahulu—aku lupa kau sangat… well, tapi, aku tidak mungkin melanggar hukum dengan sengaja, kau tahu itu. Aku menggunakan data-data orisinil yang aku dapatkan dari rumahmu, aku sama sekali tidak memalsukan atau semacamnya. SIM-mu—SIM Spanyol-mu masih berlaku sampai detik ini bahkan sampai tahun depan, itulah sebabnya mengapa prosesnya sangat cepat, mereka tidak membutuhkan datamu secara langsung karena memang kau sudah punya data-data itu” Dani menjelaskannya dengan perlahan dan lembut. Dia sama sekali tenang. Aku mungkin harus banyak belajar pengendalian diri darinya.
“Oh,” Aku bergumam pelan. Hatiku yang panas seolah tersiram semangkuk es krim. “Maaf, kalau begitu. Aku tidak tahu kalau… SIM-ku bisa digunakan” Suaraku serak.
“Tidak apa-apa, Carla. Seperti yang aku katakana tadi, harusnya aku bilang dulu padamu. Yah, tapi mungkin karena aku memang ingin sekali membereskan semua urusan itu sendirian…” aku merasa malu sekali. Aku benar-benar keterlaluan. Dani sudah mengurus semuanya untukku, bahkan ditengah-tengah jadwal balapnya, tapi apa yang aku lakukan? Membentaknya? Marah-marah lewat telepon saat dia bahkan baru bangun tidur. Kalau saja ada lubang menganga di depanku,.Ingin sekali aku mengubur diriku dalam-dalam dan menangis sejadi-jadinya, meratapi sikapku yang benar-benar tidak pantas untuknya. Aku benci hari Senin. Aku benci diriku sendiri.
“Terimakasih Dani,” Aku merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku. Untunglah suaraku masih terdengar normal. Aku berdeham beberapa kali untuk memastikan suaraku masih cukup layak untuk bicara dengannya.
“Tidak perlu, aku senang kau mau menerimanya” Katanya lembut. Kata-katanya yang selembut satin malah membuatku terpuruk. Aku merapatkan handphone itu ke dadaku, mencegahnya mendengar isakkanku. Aku berusaha mengendalikan tangisanku tapi gagal. Aku tidak mau ia mendengar tangisan bodohku, dan akupun memutus teleponnya. Kenapa aku jadi semakin cengeng dari waktu ke waktu? Dani mencoba menghubungi aku lagi namun tidak ku angkat. Aku masih sibuk meredakan tangisanku sendiri. Setelah yang ke tujuh kali ia meneleponku, aku memutuskan untuk mengiriminya pesan singkat.
‘Maaf, sinyalnya jelek sekali. Akan kuhubungi kau nanti’
Aku berbohong. Aku tidak berhasil menemukan kata-kata lainnya, maka ku tekan tombol SEND. Belum dua menit aku sudah mendapat balasannya.
‘Oh, tidak apa. Hubungi aku segera saat kau senggang. Kuharap kau tidak marah padaku. Aku mencintaimu’
Aku tidak membalas pesannya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku buru-buru menyeka air mataku yang berlinangan di pipi. Melangkah, menjejakkan kaki ke arah halte bus. Berharap dan berusaha agar di setiap langkah aku dapat membenahi suasana hatiku. Tidak sekalipun terpikir olehku untuk mengendarai VW itu tanpa SIM. Aku benar-benar kehilangan mood hari ini. Tapi itu bukan alasan bagus untukku membolos kuliah.
***
Aku turun di halte dekat Toserba di Ashburton siang hari setelah kuliah. Mendapati toko sedang tutup. Mengapa mereka menutup toko? Mendadak aku teringat Mathieu sedang pergi bersama Cesc dan yang lainnya ke Hungaria. Tapi, bagaimana dengan Abbey—teman baruku? Juga Danniene? Mereka kan tidak ikut pergi. Maksudku, setidaknya Dann memberitakuku dulu kalau memeng toko tutup hari ini. Aku mengambil handphoneku dari saku. Mungkin aku bisa menelepon Danniene dan menanyakan tentang toko yang tutup. Sudah sejak pagi aku tidak memeriksa handphoneku, karena aku mangaktifkan modus silent selama di kampus. Dan benar saja, ada empat puluh panggilan tak terjawab. Semuanya dari Dani. Apakah dia pikir aku sedang marah padanya? Yang seharusnya marah kan dia?
Aku kemudian membuka inbox-ku. Lebih parah, enam puluh dua pesan masuk. Semua pesan dari Dani kecuali satu. Ada satu dari Abbey.
‘Hari ini Dann tidak membuka toko, dia bilang ada keperluan’
Sangat pendek dan jelas. Aku yakin Abbey tidak berkirim pesan pendek dengan banyak orang. Aku kemudian mengetik balasannya Dann ada urusan? Mendadak pikiran konyol mengelitik otak-bagian-yang-berpikir-konyol-ku. Mungkin dia sedang berbelanja keperluan sihir dengan para penyihir-penyihir lainnya.
‘Terimakasih beritanya’. Walaupun aku sudah terlanjur sampai di sini, tapi tidak ada salahnya menghargai info darinya. Hari ini memang benar-benar menyebalkan. Tadi pagi aku memarahi Dani, terisak sepanjang jalan menuju kampus. Di kelaspun aku tidak bisa konsentrasi, dan sekarang? Aku bahkan tidak bisa menemui satu-satunya teman yang aku punya. Aku merasa ada seseorang yang mengutukku hari ini.
Aku kemudian membuka pesan-pesan dari Dani. Isinya kebanyakan sama;
‘Carla, kau sedang senggang sekarang? Kalau ya, hubungi aku’
‘Carla, bisa hubungi aku sekarang?’
‘Kenapa kau tidak mengengkat teleponku?’
‘Carla, beri tahu aku kau tidak marah’
‘Kau tidak marah padaku kan? Angkat teleponku kalau ya’
‘Oh, Carla! Kau mulai membuatku gila!’
Aku terkikik membaca pesan-pesannya. Sepuluh pesan terakhir kosong. Aku yakin dia frustasi berat karena tidak bisa menghubungiku hingga mengirim pesan-pesan kosong begitu. Sambil menunggu bus di halte aku men-dial nomornya. Belum sampai bunyi ‘ttuuuutt’ selesai berdengung satu kali, ia sudah mengangkat teleponnya.
“Oh, Carla!” Dia mendesis di ujung sambungan.
“Sudah ku bilang kan sinyalnya jelek?” Kataku.
“Kau hampir membuatku gila! Sekarang katakan padaku, kau memang sedang marah padaku kan? Jangan pernah berbohong tentang sinyal! London tidak pernah kehilangan sinyal sedetikpun!” Dani tahu aku berbohong.
“Aku tidak marah padamu! Aku hanya marah pada diriku sendiri,” Kataku. Aku mengakuinya. Aku memang marah pada diriku sendiri. Apa-apaan aku ini, tidak bisa mengendalikan diri, tidak berpikir jernih padahal hari masih pagi. Ditambah lagi, akhir-akhir ini aku luar biasa cengeng. Menagisi banyak hal, terutama kebodohanku dalam bersikap. Lama-lama aku bisa gila. Atau mungkin memang aku sudah benar-banar gila?
“Kenapa?” Tanya Dani.
“Tidak apa-apa, jangan dipikirkan, moodku hari ini jelek sekali… tunggu dulu! Kau harusnya kan sedang…” Daniel memotong kata-kataku.
“Tiga puluh menit lagi, kurasa” Jawabnya. Dia tahu aku bermaksud menanyakan balapnya. Aku tadi bermaksud menyaksikan balapnya dari TV di kedai, tapi ternyata kedai berikut toserbanya tutup.
“Kau harusnya bersiap-siap! Aku bersumpah tidak akan pernah menonton balapmu lagi kalau gara-gara telepon ini kau di-diskualifikasi!” Ancamku.
“Jadi kau benar tidak marah kan?” Tanya Dani.
“Aku tidak sama sekali” Jawabku penuh keyakinan.
“Oh, baiklah. Saksikan aku baik-baik, jangan katinggalan sedetikpun!” kemudian Dani memutus teleponnya. Aku mendesah pasrah. Tak lama kemudian bus datang, membawaku kembali ke flat.
Aku sampai di flat empat puluh lima menit berikutnya, mengunci kembali pintu masuk dan segera menuju ruang tengah untuk menyalakan TV. Memindahkan Channelnya ke Star Sport. Balapnya sudah mulai—tentu saja. Aku menjelajahi seluruh sisi layar, mencari sesosok tercintaku. Itu dia! Di urutan ke dua, motor biru mengilapnya sangat mudah dikenali. Lap ke sembilan. Aku menyaksikannya dengan saksama. Hampir tak berkedip. Dani meliukkan tubuhnya saat membelokkan motornya di sebuah tikungan tajam. Aku mengernyit ngeri melihatnya. Jujur saja, aku tidak terlalu menyukai balapan. Apa lagi balapan sepeda motor. Walaupun Dani memang terlihat sangat… menakjubkan saat sedang dalam balutan racing suit, tetap saja aku bergidik ngeri saat ia mulai melakukan manuver-manuvernya untuk meng-over take lawan. Alhasil, aku bisa dibilang lebih sering mendoakan agar ia tidak terjatuh dari motornya dan cedera dibanding mendoakannya memenangi sebuah race. Aku tahu pasti dia akan menertawakan aku karena sikapku yang over ini. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku lebih memilih berdoa agar dia bisa finish dengan selamat dibanding berdoa agar dia segera mengambil alih pimpinan lomba.
Lap sudah memasuki angkan dua belas, sudah separuh jalan. Tinggal dua belas setengah lap lagi. Oh, ya Tuhan, mengapa mereka menentukan banyak sekali lap! Dani masih di posisi ke dua, dan masih berupaya setengah mati untuk menyalip si motor berwarna hitam. Apa yang dia pikirkan sih? Posisi dua menurutku bukan pencapaian yang buruk! Berhentilah mempermainkan jantungku dan tetaplah menjalankan motor itu dengan layak! Kalau dia bisa menjawab, aku yakin dia pasti akan menjawab: ‘mengapa kau harus puas ada di posisi dua, padahal kau bisa jadi yang terdepan?’ yah, terserah saja dia mau bilang apa. Dasar maniak. Aku kembali menyaksikan balap dan jantungku berdenyut aneh setiap kali tikungan sempit—yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk Dani dan lawannya, sehingga jarak motor mereka terlampau dekat sampai terlihat bersentuhan. Jangan sampai mereka benar-benar besenggolan!
Pada dua lap terakhir Dani berhasil merangsek ke posisi terdepan. Entah harus kusyukuri atau tidak. Yah, paling tidak, itu hasil jerih payahnya. Kemenagan yang manis. Aku ikut tersenyum puas saat motor biru mengilapnya—yang mengingatkan aku pada si-VW baruku di bawah sana, menjejakkan bannya lebih dulu, kemudian selang dua detik diikuti si motor hitam. Dani melambai-lambai pada setiap sudut tribun penonton yang ikut bersorak dan bertepuk tangan untuknya. Walaupun ia masih memakai helm, aku tahu ia sedang tertawa puas. Setelah ini dia masih akan melakukan prosesi podium—serah terima piala, kemudian pers coference. Jadi kuputuskan untuk mengiriminya pesan singkat saja dibanding meneleponnya. Aku tahu dia pasti akan langsung meneleponku setelah membaca pesanku.
‘Selamat! Berjuang sampai akhir eh? Kau membuat jantungku bekerja ekstra! Tapi, tak apa, aku turut senang, setidaknya kau selamat sampai finish. Selamat sekali lagi, race yang menegangkan. Aku mencintaimu’
setelah menekan tombol SEND aku kembali terpaku pada layar TV. Melihat Dani sedang berpelukan dengan Mr Puig, lalu degan para staff mekaniknya. Kemudian dia membuka helmnya, rambutnya basah karena keringat tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan. Aku tahu dia pasti terlalu senang untuk merasa lelah. Setelah itu layar beralih ke podium. Serah terima piala dilakukan setelah memperdengarkan lagu kebangsaan sang juara, Spain’s Anthem—lagu kebangsaanku juga, diikuti dengan wine celebration. Saling semprot menyepmrotkan sampagne dari botol besarnya. Gambar close-up wajah Daniel hampir mengisi seluruh durasi sesi podium sampai pers conference. Aku yakin para penggemarnya yang ada di seluruh dunia sedang menjerit histeris karena bisa menyaksikan seluk beluk wajah Dani. Aku cukup bahagia ternyata cowok tampan yang wajahnya memenuhi layar TV itu adalah milikku. Kemudian acaranya berakhir setelah seluruh top three selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan seputar balap yang baru saja berlangsung. Dan benar saja, tak sampai lima menit, handphoneku berdering. Daniel.
“Hey!” Sapaku.
“Carla, terimakasih ucapannya. Aku senang sekali… dan tentu saja aku juga mencintaimu, Sayang” Katanya. Aura kebahagiaan jelas sekali tegambar dari suaranya.
“Tidak perlu berterimakasih segala, cepatlah berkemas dan kembalilah ke London secepat yang kau bisa” Pintaku. Tak tahan lagi rasanya aku melihat dia cengar-cengir di layar TV.
“Memaksaku nih?” Tantang Dani.
“Oh, well. Aku cuma ingin memastikan yang aku lihat di TV tadi, yang tebar-tebar pesona itu memang kau” Ledekku.
“Kau bilang aku apa?” Tanya Dani.
“Kau tebar-tebar pesona” Jawabku jengkel. Terus terang saja, aku tidak suka ia menyebarkan senyuman indahnya itu kepada orang lain. Egois betul aku.
“Haha, apa aku terlihat begitu? Memangnya apa yang seharusnya aku lakukan? Menangis? Kurasa aku akan kehilangan lebih dari separuh fans fanatikku kalau aku melakukannya” Katanya enteng. Seolah-olah kehilangan separuh fansnya bukan masalah.
“Yeah, kau benar, fansmu akan menganggapmu sinting kalau kau malah menangis bukannya tersenyum” Ledekku. “Dan aku yakin fansmu malah akan jadi anti-Dani karena kau cengeng. Maksudku, cewek kan tidak suka melihat cowok yang cengeng” Aku melanjutkan sepenuh hati. Senang sekali meledeknya saat suasanan hatinya sedang bagus begini.
“Oh, kau mulai meledekku… lihat saja pembalasanku nanti saat aku kembali ke London” Ancam Dani.
“Kutunggu,” Kataku penuh kebahagiaan. Kami tertawa bersama-sama.a
“Baiklah. Carla, aku masih harus melakukan banyak hal, jadi… bisa kita lanjutkan nanti?” Tanya Dani ragu-ragu. Aku tahu ia sebenarnya tidak ingin memutus teleponnya, sama sepertiku.
“Oh, tentu saja,” Jawabku segera.
“Sampai bertemu di London, kalau begitu,” Kata Dani kemudian.
“Yeah, sampai nanti” Sahutku. Aku senang sebentar lagi dia akan pulang.
“Aku mencintaimu, Sayang” Kata Daniel selembut satin.
“Aku juga” Jawabku kemudian. Menekan tombol END.
Malam itu aku tidur lebih cepat. Well, setelah benar-benar yakin aku sudah menutup saluran gas dan segala macam-macam yang lainnya, akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Tidak bisa dikatakan seratus persen nyenyak sih, karena aku bermimpi, mimpi aneh seperti malam pertemuan hantu lalu.
Aku melihatnya, Cesc berdiri ditengah padang rumput gelap. Wajahnya luar biasa tampan seperti biasa, namun ekspresinya tak dapat kubaca. Kali ini dia tak mengatakan apa-apa. Tapi sejurus kemudan dia lenyap tak berbekas. Aku panik dan memutar tubuhku, mencarinya di kegelapan padang rumput yang serasa tak berbatas. Tapi bukan Cesc yang kutemukan, melainkan tiga sosok berjubah hitam panjang berkerudung. Aku tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup kerudung. Tapi entah mengapa aku merasakan bahwa mereka akan menyerangku—walaupun aku sama sekali tidak tahu serangan seperti apa yang mungkin mereka lakukan. Tapi batinku mengatakan bahwa aku harus menyingkir dari hadapan mereka. Entah untuk alasan apa, aku merasa takut pada ketiga sosok itu. Persis saat ketakutan mulai merambati seluruh tubuhku, aku mendengar Cesc berbicara kepadaku. Atau lebih tepatnya memerintah.
‘Pergi Carla!’ desisnya. Aku terkesiap dan kemudian aku terbangun. Membuka mata lebar-lebar. Peluh bercucuran di tubuhku. Tadi itu… nyata sekali. Aku menyeka titik-titik air di dahiku. Ini kali kedua aku memimpikan Cesc. Latar tempatnya sama. Aku mengingatnya dengan jelas. Padang rumput gelap, wajah rupawannya dan… ketiga sosok misterius berjubah dan berkerudung hitam panjang. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku mulai bisa mengendalikan diriku selepas mimpi aneh barusan. Aku bangkit dari tempat tidurku dengan malas-malasan. Berjalan perlahan ke dapur, membasuh wajahku di bak cuci piring. Segar sekali raasanya. Aku kemudian mengambil dua buah telur dari dalam lemari es. Sarapan hari ini telur cepok saja lah.
Aku menatap sudut dapur saat mulai mengunyah telur goreng buatanku. Dia belum kembali. Ini hari ke dua. Dia bilang padaku hanya akan pergi selama satu sampai dua hari. Kapan tepatnya dua hari dari kepergiannya waktu itu? Aku mulai merasa kesepian. Rasanya ada yang kurang. Tidak ada aura dingin menyelimuti dapur. Tidak ada sapaan saat aku berjalan ke dapur di pagi hari. Tidak ada wajah tampannya. Aku menghela napas dan menghabiskan potongan terrakhir telur gorengku. Aku bergegas mandi dan berpakaian. Aku hanya ada satu kelas di hari Selasa, itu berarti setelah aku pulang kuliah, aku bisa langsung mencuci pakaian. Setelah itu baru kembalu lagi ke kedai untuk bekerja. Aku mengatur jadwal kegiatanku hari ini. Dan sekali lagi, aku menemukan amplop di bawah pintu masuk. Tidak ada surat. Hanya SIM-ku. Yak, bagus, itu berarti aku sudah bisa menggunakan Si-VW, yang berarti menghemat waktu perjalanan. Aku berjalan ke arah Si-VW biru mengilap, manjejalkan kuncinya dan men-sterter mesin. Suara mesinnya menderu tapi halus. Khas mobil-mobil keluaran anyar. Aku merogoh handphoneku dari dalam tas. Ucapan terimakasih kurasa perlu. Ingat kan? Aku harus mulai belajar berperilaku baik dan mengendalikan emosi.
‘Aku sudah terima SIM-nya, terimakasih.’ Aku tidak tahu sekarang Dani masih di Perancis atau malah sudah sampai London. Tapi kan balapnya baru kemarin, jadi kurasa dia masih di Perancis.
“Wah, jadi VW biru itu milikmu ya, Nak!” Kata seorang pria paruh baya dari atas beranda sebuah kamar di lantai dua. Aku tidak mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu ada orang lain yang tinggal di gedung ini, karena tempatnya memang sepi sekali. Aku mencoba bersikap ramah.
“Yeah, sebenarnya aku tidak terlalu suka warna biru sih” Jawabku.
“Biru bagus, omong-omong, aku tidak tahu ada anak orang kaya yang tinggal di tempat ini” Kata pria itu sambil memandang wajahku lekat-lekat. Aku heran apakah dia bisa membedakan wajah orang kaya dan yang bukan.
“Aku bukan anak orang kaya, tenang saja, ini bukan barang curian kok, ini hadiah” Jawabku saat menyadari spertinya pria itu tidak menemukan ‘wajah orang kaya’ dariku. Aku tertawa geli dalam hati.
“Oh well, itu berarti yang memberimu hadiahlah yang orang kaya—kaya banget memberikan VW pada orang lain. Aku benar-benar tidak mengerti pikiran orang kaya…” Gumamnya sambil kembali masuk ke kamarnya. Aku terkikik geli dan masuk ke dalam kabin VW yang nyaman, mulai mengoper gigi tanpa ragu. Karena mobil ini mudah sekali dikendarai ternyata. Aku jadi teringat Volvo tua milik ayahku. Mobil pertamaku. Aku melirik meteran bahan bakar dan ternyata full. Aku tiba di kampus sepuluh menit lebih awal. Tahu begini harusnya aku datang agak siang saja, menyadari tatapan-tatapan banyak orang saat aku memarkirkan mobil ini dengan mulus. Hebat juga aku, kupikir aku sudah lupa bagaimana caranya memarkir kendaraan. Aku kenal sebagian orang yang menatapku di tempat parkir, teman-teman sekelasku. Sepertinya mereka kaget, aku yang biasanya datang dan pulang dengan bus tiba-tiba membawa sebuah VW biru mengilap. Hah, dasar anak-anak orang kaya yang sok pintar. Mungkin aku harus lebih sering berterima kasih pada Dani, karena dengan begini setidaknya aku bisa sedikit pamer pada mereka.
Kelas berlalu tanpa masalah, wlaupun ada sebagian anak yang bisik-bisik di belakangku. Sepertinya mereka mendebatkan bagaimana mungkin seorang anak yang masuk kampus ini dengan jalan bea siswa sepertiku—yang biasa datang dan pergi dengan bus bisa mengendarai VW Golf R32 seharga dua puluh lima ribu pounds. Aku hampir saja tertawa saat salah seorang dari mereka menyimpulkan bahwa aku sebenarnya anak orang kaya yang pura-pura sederhana—seperti sebuah drama seri TV. Dan ada lagi yang mengatakan itu pasti mobil pinjaman. Oh, terserahlah. Aku jadi penasaran bagaimana ekspresi mereka kalau saja mobil yang dibelikan Dani untukku adalah sebuah Porsche. Mungkinkah mereka akan melompat dari gedung kampus saking shocknya? Kuharap.
Jumat, 07 Mei 2010
FanFiction: The Lion's Call
Catatan Penulis:
A Fan Fiction of The Chronicle of Narnia.
Rating: Teen >> for safety, sedikit romance soalnya.
Disclaimer: i own NOTHING except MY OWN CHARACTER.
Latar waktu dalam cerita ini adalah setelah "The Chronicle of Narnia: Prince Caspian"
Penokohan dalam fic ini tentu saja masih berpusat pada keempat Pevensie dan Caspian X dan dengan tambahan satu tokoh ciptaan gua, Nuria.
Dua pairin, Susan x Caspian dan Edmund x Nuria.
Gua merasa king Ed sedang dalam usia yang tepat untuk jatuh cinta for the first time LOL
Oke, ini adalah fic Narnia pertama sepanjang hidup gua, dan, gua sangat excited! Semoga ceritanya menghibur! :D
Chapter 1
"Selamat datang di Narnia. Negeri yang terbentang antara lamp-post dan istana Cair Paravel di laut Timur. Tempat dimana hewan-hewan dapat berbicara, hal-hal ajaib terjadi dan dimana petualangan bermula"
Lucy Pevensie memandang lurus ke luar jendela ruang kelasnya, kearah langit biru cerah tanpa awan di luar sana.
Ia berharap ada seekor faun baik hati yang mengatakan kalimat itu. Ia benar-benar berharap ia ada di Narnia sekarang.
Tapi kenyataannya, dia sedang di London. Tepatnya di dalam salah satu ruang kelas di sekolah asramanya.
Sudah satu hari berlalu sejak keberangkatannya melalui portal yang dibuat Aslan dari istana Telmarine menuju peron kereta api yang kemudian membawanya ke tempat ini.
Baru dua puluh empat jam ia meninggalkan Narnia, tapi ia merasa sudah pergi untuk waktu yang lama.
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Setelah meletakan barang-barangnya di kamar asramanya, Lucy bergegas naik ke lantai tiga gedung asrama putri untuk menemui kakaknya.
Tiga kali ketukan ringan di pintu kamar cukup untuk menarik perhatian seseorang di dalamnya. Pintu pun terbuka.
"Ya?" Tanya seorang gadis berambut pirang menyambut Lucy di depan pintu.
"Bisa aku bertemu Susan?" Tanya Lucy. Gadis itu memerhatikan Lucy dengan seksama, menyadari kemiripan wajah gadis kecil ini dengan rekan sekamarnya.
"Oh, tentu! Kau pasti Lucy kan? Masuklah," Kata gadis itu sambil menyingkir dari depan pintu untuk memberi Lucy ruang. "well, mungkin kalian butuh privasi?" Tanya gadis pirang itu sambil berjalan ke luar pintu.
"Oh, terima kasih"
Kamar ini sama persis dengan kamar asramanya, dua tempat tidur, dua meja ber-rak, dua lemari pakaian dan satu kamar mandi di pojok ruangan.
Lucy berjalan perlahan dan mendapati kakaknya sedang memandang lurus ke luar jendela kamarnya, persis seperti yang dilakukannya tadi.
Lucy mengerti perasaan kakaknya. Yang dirasakan kakaknya berbeda dengan rasa rindunya terhadap Narnia. Dia jatuh cinta pada Caspian dan tidak mungkin bersama, karena Aslan sudah memutuskan bahwa Susan dan Peter tak akan kembali lagi ke Narnia.
"Susan," Panggil Lucy. Susan menoleh dan mendapati adiknya sudah berdiri di sampingnya.
"Lucy? Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Susan yang baru menyadari kehadiran adiknya dan ketidak hadiran rekan sekamarnya Lily.
"Hanya ingin ngobrol dengan mu... tentang Narnia," Jawab Lucy.
"Oh, Lu... aku sungguh tidak sedang dalam mood yang bagus untuk bicarakan ini" Sahut Susan sambil menghela napas panjang.
"Maaf Su, aku tak bermaksud mengganggumu, tapi tak ada seorangpun yang tahu tentang Narnia di sini, sementara Peter dan Edmund ada di sekolah laki-laki" Kata Lucy sambil duduk di samping kakaknya. Susan tersenyum dan berdiri untuk membuka jendela kamarnya, mungkin, angin yang berhembus masuk bisa sedikit mengurangi beban pikirannya.
Saat jendela terbuka, angin segar berhembus masuk membelai wajah Susan, membuatnya harus menyipitkan mata karena angin yang bertiup makin keras.
"Susan! Tutup jendelanya!" Seru Lucy saat menyadari ini mungkin saja badai.
Tetapi angin yang semakin keras bertiup seolah melempar mereka ke tengah ruangan.
Buku-buku berterbangan, lemari pakaian pun berantakan dibuatnya.
"Lucy!" Pekik Susan sambil menghampiri adiknya yang terhempas sampai ke sudut ruangan.
Ketika ia menyentuh tubuh Lucy, angin yang luar biasa aneh itu berhenti berhembus.
"Apa yang tadi itu?" Tanya Lucy.
"Entahlah" Jawab Susan.
Kamar Susan jadi luar biasa berantakan.
"Su! Lihat!" Seru Lucy sambil menunjuk sudut kamar. Ada sebuah pohon besar disana.
"Bagaimana...?" Susan berdiri dengan kebingungan.
Seketika pemandangan di sekitar mereka berubah perlahan. Dinding-dinding kamar memudar, digantikan dengan pepohonan hutan hujan tropis yang berlumut.
Semua perabot; tempat tidur, meja belajar dan lemari menghilang. Merekapun menyadari segala sesuatu jadi lebih terang, karena di atas mereka tak lagi dibatasi langit-langit, melainkan langit asli.
Udara pun berbeda, lebih kaya akan oksigen dan semakin menyegarkan dengan wangi dahan dahan muda dan tanah lembab.
"Mustahil!" Seru Susan.
Baru sehari berlalu dan mereka sedang berada di Narnia lagi?
Dan, bukankah Aslan sudah mengatakan bahwa Susan dan Peter tak akan pernah kembali lagi ke Narnia?
"Oh Susan! Kita di Narnia!" Lucy berteriak senang sambil melompat-lompat dengan lincahnya.
A Fan Fiction of The Chronicle of Narnia.
Rating: Teen >> for safety, sedikit romance soalnya.
Disclaimer: i own NOTHING except MY OWN CHARACTER.
Latar waktu dalam cerita ini adalah setelah "The Chronicle of Narnia: Prince Caspian"
Penokohan dalam fic ini tentu saja masih berpusat pada keempat Pevensie dan Caspian X dan dengan tambahan satu tokoh ciptaan gua, Nuria.
Dua pairin, Susan x Caspian dan Edmund x Nuria.
Gua merasa king Ed sedang dalam usia yang tepat untuk jatuh cinta for the first time LOL
Oke, ini adalah fic Narnia pertama sepanjang hidup gua, dan, gua sangat excited! Semoga ceritanya menghibur! :D
Chapter 1
"Selamat datang di Narnia. Negeri yang terbentang antara lamp-post dan istana Cair Paravel di laut Timur. Tempat dimana hewan-hewan dapat berbicara, hal-hal ajaib terjadi dan dimana petualangan bermula"
Lucy Pevensie memandang lurus ke luar jendela ruang kelasnya, kearah langit biru cerah tanpa awan di luar sana.
Ia berharap ada seekor faun baik hati yang mengatakan kalimat itu. Ia benar-benar berharap ia ada di Narnia sekarang.
Tapi kenyataannya, dia sedang di London. Tepatnya di dalam salah satu ruang kelas di sekolah asramanya.
Sudah satu hari berlalu sejak keberangkatannya melalui portal yang dibuat Aslan dari istana Telmarine menuju peron kereta api yang kemudian membawanya ke tempat ini.
Baru dua puluh empat jam ia meninggalkan Narnia, tapi ia merasa sudah pergi untuk waktu yang lama.
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Setelah meletakan barang-barangnya di kamar asramanya, Lucy bergegas naik ke lantai tiga gedung asrama putri untuk menemui kakaknya.
Tiga kali ketukan ringan di pintu kamar cukup untuk menarik perhatian seseorang di dalamnya. Pintu pun terbuka.
"Ya?" Tanya seorang gadis berambut pirang menyambut Lucy di depan pintu.
"Bisa aku bertemu Susan?" Tanya Lucy. Gadis itu memerhatikan Lucy dengan seksama, menyadari kemiripan wajah gadis kecil ini dengan rekan sekamarnya.
"Oh, tentu! Kau pasti Lucy kan? Masuklah," Kata gadis itu sambil menyingkir dari depan pintu untuk memberi Lucy ruang. "well, mungkin kalian butuh privasi?" Tanya gadis pirang itu sambil berjalan ke luar pintu.
"Oh, terima kasih"
Kamar ini sama persis dengan kamar asramanya, dua tempat tidur, dua meja ber-rak, dua lemari pakaian dan satu kamar mandi di pojok ruangan.
Lucy berjalan perlahan dan mendapati kakaknya sedang memandang lurus ke luar jendela kamarnya, persis seperti yang dilakukannya tadi.
Lucy mengerti perasaan kakaknya. Yang dirasakan kakaknya berbeda dengan rasa rindunya terhadap Narnia. Dia jatuh cinta pada Caspian dan tidak mungkin bersama, karena Aslan sudah memutuskan bahwa Susan dan Peter tak akan kembali lagi ke Narnia.
"Susan," Panggil Lucy. Susan menoleh dan mendapati adiknya sudah berdiri di sampingnya.
"Lucy? Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Susan yang baru menyadari kehadiran adiknya dan ketidak hadiran rekan sekamarnya Lily.
"Hanya ingin ngobrol dengan mu... tentang Narnia," Jawab Lucy.
"Oh, Lu... aku sungguh tidak sedang dalam mood yang bagus untuk bicarakan ini" Sahut Susan sambil menghela napas panjang.
"Maaf Su, aku tak bermaksud mengganggumu, tapi tak ada seorangpun yang tahu tentang Narnia di sini, sementara Peter dan Edmund ada di sekolah laki-laki" Kata Lucy sambil duduk di samping kakaknya. Susan tersenyum dan berdiri untuk membuka jendela kamarnya, mungkin, angin yang berhembus masuk bisa sedikit mengurangi beban pikirannya.
Saat jendela terbuka, angin segar berhembus masuk membelai wajah Susan, membuatnya harus menyipitkan mata karena angin yang bertiup makin keras.
"Susan! Tutup jendelanya!" Seru Lucy saat menyadari ini mungkin saja badai.
Tetapi angin yang semakin keras bertiup seolah melempar mereka ke tengah ruangan.
Buku-buku berterbangan, lemari pakaian pun berantakan dibuatnya.
"Lucy!" Pekik Susan sambil menghampiri adiknya yang terhempas sampai ke sudut ruangan.
Ketika ia menyentuh tubuh Lucy, angin yang luar biasa aneh itu berhenti berhembus.
"Apa yang tadi itu?" Tanya Lucy.
"Entahlah" Jawab Susan.
Kamar Susan jadi luar biasa berantakan.
"Su! Lihat!" Seru Lucy sambil menunjuk sudut kamar. Ada sebuah pohon besar disana.
"Bagaimana...?" Susan berdiri dengan kebingungan.
Seketika pemandangan di sekitar mereka berubah perlahan. Dinding-dinding kamar memudar, digantikan dengan pepohonan hutan hujan tropis yang berlumut.
Semua perabot; tempat tidur, meja belajar dan lemari menghilang. Merekapun menyadari segala sesuatu jadi lebih terang, karena di atas mereka tak lagi dibatasi langit-langit, melainkan langit asli.
Udara pun berbeda, lebih kaya akan oksigen dan semakin menyegarkan dengan wangi dahan dahan muda dan tanah lembab.
"Mustahil!" Seru Susan.
Baru sehari berlalu dan mereka sedang berada di Narnia lagi?
Dan, bukankah Aslan sudah mengatakan bahwa Susan dan Peter tak akan pernah kembali lagi ke Narnia?
"Oh Susan! Kita di Narnia!" Lucy berteriak senang sambil melompat-lompat dengan lincahnya.
Cerita Fiksi: Suri dan Amarilis, dan petualangan kecil mereka. Part 13.
"Apa dia akan baik-baik saja?" Tanya Amarilis khawatir. Saat ini Amarilis, Master Zaida dan Suri yang masih tak sadarkan diri sedang berada di flat yang disewa Amarilis saat pertama kali datang ke kota ini bersama Suri.
"Kuharap... dia terlalu banyak mendapatkan mantera jahat" Jawab Master Zaida. Tentu bukan jawaban yang diharapkan Amarilis. Ia mengerutkan dahinya menatap sahabat yang sangat dikasihinya terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya luar biasa pucat dan bibirnya membiru. Saat itu Suri memang terlihat seperti orang yang sudah meninggal.
Master Zaida mengeluarkan berbagai macam botol dari dalam tas yang dibawanya dengan mantera pengecil benda. Ia membuka botol besar yang terbuat dari kristal dan berisi cairan berwarna kebiruan dan meminumkannya pada Suri. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin ditanyakan Amarilis pada Master Zaida, mulai dari bagaimana ia bisa bersama mereka di tempat ini, sampai mengenai penyihir aneh yang baru saja dihadapinya hari ini. Tapi rasa cemasnya terhadap Suri menghapus semuanya.
"Ini" Kata Master Zaida sambil memberikan Amarilis sebuah botol kaca seukuran ibu jari.
"Apa ini?" Tanya Amarilis sambil memandangi botol kaca bening yang memperlihatkan larutan di dalamnya. Larutan itu berwarna merah semerah darah.
"Minum, dan kau akan tahu" Jawab Master Zaida. Amarilis menatap Master Zaida dengan keragu-raguan. "yaampun nah, aku tak akan meracunimu"
Amarilis membuka penutup botol itu dan mengendus mulut botolnya, memastikan kalau cairan itu bukan darah.
Ternyata mdmang bukan. Aromanya seperti herbal... lucretia... atau apa ya?
Dengan sedikit keragu-raguan tersisa, Amarilis akhirnya menenggak larutan itu. Dengan sekali teguk, cairan berwarna merah darah itu langsung meluncur ke dalam kerongkongannya.
Rasanya aneh... agak masam dan... hangat...
Amarilis memekik seketika saat rasa hangat di lehernya yang ditimbulkan larutan itu berubah menjadi semakin hangat dan perlahan panas. Panasnya lalu menjalar ke dadanya dan ke perutnya. Rasa hangatnya kini hilang sama sekali, digantikan oleh rasa panas yang luar biasa membakar organ dalam tubuhnya. Wajahnya mengejang, rahangnya tegang menahan sakit. Air mata merebak seketika. Keringat mulai meluncur di wajahnya.
Ia menjatuhkan botol itu ke lantai, membiarkannya bergemelutuk dan menggelinding di lantai. Lengan-lengannya begetar hebat.
"Sa...kit..." Ucapnya dengan suara parau. Air mata semakin menggenang, membuat pandangannya semakin tak jelas.
"Sedikit sakit memang. Bertahanlah," Jawab Master Zaida.
'Sedikit' katanya?! Pekik Amarilis dalam kepalanya. Ia bahkan merasa ada asap merembes keluar dari dalam tubuhnya.
Amarilis menjatuhkan tubuhnya ke lantai saat rasa panasnya mulai menjalar ke lengan-lengannya, ke kaki-kakinya, dan terakhir ke kepalanya. Ia berharap dinginnya lantai dapat sedikit mengurangi rasa panas di tubuhnya. Tarikan napas Amarilis semakin berat dan tidak beraturan. Kepalanya terasa mendidih. Lehernya yang terbakar tak memungkinkannya untuk berteriak melampiaskan rasa sakit yang dideritanya. Entah sejak kapan tepatnya ia tak sadarkan diri.
***
"Bangun! Amarilis!" Seru Master Zaida. Tepukan ringannya di pipi Amarilis mengumpulkan perlahan kesadaran Amarilis yang sempat mengilang.
"Mas...ter?" Suara Amarilis masih serak dan tenggorokannya memang terasa sakit. Rasa panas membakar itu seolah tak pernah ada, tapi tubuhnya terasa sakit, seperti habis berolah raga berat tanpa pemanasan.
Ia memerhatikan sekitarnya. Ia masih di flat itu.
"SURI!" Serunya, yang terbayangkan pertama kali olehnya adalah Suri. Seketika Amarilis bangkit dan mendapati Suri, masih sama seperti saat sebelum ia pingsan tadi.
"Sssshhh!! Jangan ribut! Dia sudah melewati masa kritisnya. Suri memang terlihat tak sepucat tadi. Pipinya tak lagi seputih kapur dan bibirnya merona. Amarilis menghela napas lega melihatnya.
"Berapa lama aku...?" Tanya Amarilis sambil memegangi kepalanya yang masih terasa aneh. Ia mendapati lengan bajunya jadi jauh lebih panjang dari sebelumnya. Lengannya juga terasa... begitu kecil?
"Tidak lama, paling tidak dua jam" Jawab Master Zaida santai.
Amarilis melihat ke arah kakinya. Pakaian yang ia kenakan benar-benar kebesaran. Semuanya.
Dengan segera ia menyadari apa yang terjadi. Ia langsung berlari ke arah cermin dan mendapati ia telah kembali ke tubuh aslinya. Anak-anak.
"Mustahil!" Serunya melihat wajahnya kembali jadi wajahnya yang dulu. Rambutnya, tinggi tubuhnya... semuanya. "tidak mungkin! Ramuan penukar tak ada penawarnya!"
Master Zaida tertawa mendengarnya. Ia sangat menikmati saat tipuannya selama ini tak diketahui muridnya itu.
"Kau pikir kau bisa membuat ramuan perubahan semudah itu, hah? Aku tak mungkin meletakan resep ramuan seberbahaya itu di laci di ruanganku, Amarilis. Aku jadi bingung sebenarnya kau ini jenius atau apa?"
Amarilis membelalakkan mata mendengar penuturan sang Master.
:to be continued:
"Kuharap... dia terlalu banyak mendapatkan mantera jahat" Jawab Master Zaida. Tentu bukan jawaban yang diharapkan Amarilis. Ia mengerutkan dahinya menatap sahabat yang sangat dikasihinya terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya luar biasa pucat dan bibirnya membiru. Saat itu Suri memang terlihat seperti orang yang sudah meninggal.
Master Zaida mengeluarkan berbagai macam botol dari dalam tas yang dibawanya dengan mantera pengecil benda. Ia membuka botol besar yang terbuat dari kristal dan berisi cairan berwarna kebiruan dan meminumkannya pada Suri. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin ditanyakan Amarilis pada Master Zaida, mulai dari bagaimana ia bisa bersama mereka di tempat ini, sampai mengenai penyihir aneh yang baru saja dihadapinya hari ini. Tapi rasa cemasnya terhadap Suri menghapus semuanya.
"Ini" Kata Master Zaida sambil memberikan Amarilis sebuah botol kaca seukuran ibu jari.
"Apa ini?" Tanya Amarilis sambil memandangi botol kaca bening yang memperlihatkan larutan di dalamnya. Larutan itu berwarna merah semerah darah.
"Minum, dan kau akan tahu" Jawab Master Zaida. Amarilis menatap Master Zaida dengan keragu-raguan. "yaampun nah, aku tak akan meracunimu"
Amarilis membuka penutup botol itu dan mengendus mulut botolnya, memastikan kalau cairan itu bukan darah.
Ternyata mdmang bukan. Aromanya seperti herbal... lucretia... atau apa ya?
Dengan sedikit keragu-raguan tersisa, Amarilis akhirnya menenggak larutan itu. Dengan sekali teguk, cairan berwarna merah darah itu langsung meluncur ke dalam kerongkongannya.
Rasanya aneh... agak masam dan... hangat...
Amarilis memekik seketika saat rasa hangat di lehernya yang ditimbulkan larutan itu berubah menjadi semakin hangat dan perlahan panas. Panasnya lalu menjalar ke dadanya dan ke perutnya. Rasa hangatnya kini hilang sama sekali, digantikan oleh rasa panas yang luar biasa membakar organ dalam tubuhnya. Wajahnya mengejang, rahangnya tegang menahan sakit. Air mata merebak seketika. Keringat mulai meluncur di wajahnya.
Ia menjatuhkan botol itu ke lantai, membiarkannya bergemelutuk dan menggelinding di lantai. Lengan-lengannya begetar hebat.
"Sa...kit..." Ucapnya dengan suara parau. Air mata semakin menggenang, membuat pandangannya semakin tak jelas.
"Sedikit sakit memang. Bertahanlah," Jawab Master Zaida.
'Sedikit' katanya?! Pekik Amarilis dalam kepalanya. Ia bahkan merasa ada asap merembes keluar dari dalam tubuhnya.
Amarilis menjatuhkan tubuhnya ke lantai saat rasa panasnya mulai menjalar ke lengan-lengannya, ke kaki-kakinya, dan terakhir ke kepalanya. Ia berharap dinginnya lantai dapat sedikit mengurangi rasa panas di tubuhnya. Tarikan napas Amarilis semakin berat dan tidak beraturan. Kepalanya terasa mendidih. Lehernya yang terbakar tak memungkinkannya untuk berteriak melampiaskan rasa sakit yang dideritanya. Entah sejak kapan tepatnya ia tak sadarkan diri.
***
"Bangun! Amarilis!" Seru Master Zaida. Tepukan ringannya di pipi Amarilis mengumpulkan perlahan kesadaran Amarilis yang sempat mengilang.
"Mas...ter?" Suara Amarilis masih serak dan tenggorokannya memang terasa sakit. Rasa panas membakar itu seolah tak pernah ada, tapi tubuhnya terasa sakit, seperti habis berolah raga berat tanpa pemanasan.
Ia memerhatikan sekitarnya. Ia masih di flat itu.
"SURI!" Serunya, yang terbayangkan pertama kali olehnya adalah Suri. Seketika Amarilis bangkit dan mendapati Suri, masih sama seperti saat sebelum ia pingsan tadi.
"Sssshhh!! Jangan ribut! Dia sudah melewati masa kritisnya. Suri memang terlihat tak sepucat tadi. Pipinya tak lagi seputih kapur dan bibirnya merona. Amarilis menghela napas lega melihatnya.
"Berapa lama aku...?" Tanya Amarilis sambil memegangi kepalanya yang masih terasa aneh. Ia mendapati lengan bajunya jadi jauh lebih panjang dari sebelumnya. Lengannya juga terasa... begitu kecil?
"Tidak lama, paling tidak dua jam" Jawab Master Zaida santai.
Amarilis melihat ke arah kakinya. Pakaian yang ia kenakan benar-benar kebesaran. Semuanya.
Dengan segera ia menyadari apa yang terjadi. Ia langsung berlari ke arah cermin dan mendapati ia telah kembali ke tubuh aslinya. Anak-anak.
"Mustahil!" Serunya melihat wajahnya kembali jadi wajahnya yang dulu. Rambutnya, tinggi tubuhnya... semuanya. "tidak mungkin! Ramuan penukar tak ada penawarnya!"
Master Zaida tertawa mendengarnya. Ia sangat menikmati saat tipuannya selama ini tak diketahui muridnya itu.
"Kau pikir kau bisa membuat ramuan perubahan semudah itu, hah? Aku tak mungkin meletakan resep ramuan seberbahaya itu di laci di ruanganku, Amarilis. Aku jadi bingung sebenarnya kau ini jenius atau apa?"
Amarilis membelalakkan mata mendengar penuturan sang Master.
:to be continued:
Langganan:
Postingan (Atom)